Share

07

"Kak Ben ... tolong ... jangan."

Bentala seketika membuka kelopak matanya. Dia tidak sedang bermimpi, melainkan mengingat sesuatu yang selalu dia yakini sebagai mimpi. Bunga tidur yang anehnya tidak bisa Bentala lupakan meskipun kilasan itu samar dan hanya sebagian.

"Tapi, suara Tari begitu nyata," ucapnya.

Bentala segera menggeleng mengenyahkan keyakinan itu. Bermimpi menyentuh Mentari adalah hal yang sangat memalukan. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi tetap saja. Mentari sudah seperti adiknya sendiri.

Ya, adik. Kenyataan yang membuat Bentala bimbang bertahun silam.

Rasa sayangnya kepada Mentari bukan rasa sayang dari kakak kepada adiknya. Bentala menyadari hal itu. Namun, hubungan mereka tidak bisa berkembang, terlebih Bentala sudah dijodohkan dengan anak perempuan sahabat ayahnya. Jika Bentala menolak, maka ikatan persahabatan dua keluarga akan dipertaruhkan.

"Mas Tala!"

Pria itu menoleh. Dia lalu mengembuskan napas saat melihat siapa yang memanggilnya. Nama samarannya Bunga. Dulu dia adalah perempuan bayaran. Sekarang sudah naik pangkat menjadi mucikari.

Bentala dulu cukup sering menyewa jasa Bunga. Namun, karena perempuan itu sudah bertambah tua dan masih banyak daun muda yang lebih menggoda, Bentala mencoretnya dari daftar perempuan yang akan menyenangkannya.

Pertemuan pertama Bentala dan Bunga adalah malam itu. Saat esoknya Bentala mendapat ingatan jika dia melakukannya bersama Mentari, bukan Bunga. Sejak dulu Bentala berusaha menyingkirkan prasangka itu. Dia tetap diam. Kali ini sepertinya dia harus benar-benar memastikan jika ingatannya memang keliru.

"Bunga," panggil Bentala dingin.

"Iya, Mas?" Bunga menyahut manja.

"Kamu masih ingat saat pertama kali aku menyewamu?"

Bunga mengangguk.

"Benar kamu yang bersamaku saat itu?" Bentala menatap serius lawan bicaranya. Dia sengaja mengundang Bunga untuk menanyakan hal ini.

"Mas menyuruh aku ke sini cuma mau bertanya hal itu?"

"Jawab saja!" Bentala sedikit kehilangan kesabaran.

Bunga justru cekikikan. "Em ... sebenarnya bukan," jawabnya yang sukses membuat Bentala membelalak lebar.

"Jangan bercanda! Aku mohon," pinta Bentala.

Bunga mengangguk. "Aku serius."

Bentala menelan ludah. "Katakan apa yang terjadi malam itu!" desak Bentala.

Bunga menghela napas. Dia lalu menjelaskan, "Jadi, aku, kan, datang ke apartemennya Mas Ben. Tapi, ada perempuan yang menghentikan aku. Dia mengusirku. Kupikir dia pacar Mas Ben. Daripada nantinya aku kena masalah, lebih baik aku menurutinya."

Bentala mendengarkan dengan saksama. "Ada perempuan yang mengusirmu?"

Bunga merengut. "Iya."

"Siapa?"

"Ya mana aku tahu." Bunga mengangkat pundak. "Kita tidak kenalan."

Bentala mengeluarkan ponselnya. Dia kemudian menunjukkan foto Mentari yang diambil saat jalan-jalan kemarin. "Apa dia?" Bentala sangat berharap Bunga menjawab bukan.

Bunga menyipitkan mata melihat foto Mentari. "Nah, iya. Perempuan blasteran ini."

Bahu Bentala seketika merosot. "Lalu apa yang terjadi setelah itu?"

"Aku pulang. Tapi, besoknya Mas Tala menemuiku dan memberiku uang padahal aku tidak melakukan apa-apa."

"Astaga!" Bentala menyugar rambut. "Kenapa kamu tidak bilang?" tanyanya emosi.

Bunga tersenyum lebar. "Nanti uangnya diambil lagi. Kan, lumayan, Mas."

Bentala semakin menjambaki rambutnya. Apa yang dia sentuh adalah Mentari? Saat itu Bentala sedang mabuk sambil menunggu kedatangan Bunga. Ketika pintu apartemennya diketuk, dan Bentala menemukan seorang perempuan berdiri di hadapannya, Bentala langsung menarik perempuan itu.

"Kak Ben! Apa yang akan Kakak lakukan?" Suara Mentari tiba-tiba terngiang bersamaan kepingan memori itu.

Bentala tidak mengindahkan pemberontakan perempuan yang berada di dalam kendalinya. Dia terus melancarkan serangan. Matanya dan mata hazel perempuan itu bertemu. Perempuan itu menangis. Akan tetapi, Bentala tetap melanjutkan aksinya sampai dia mencapai kepuasan dan jatuh tertidur.

Paginya, Bentala tidak menemukan siapa pun di apartemennya. Namun, dia yakin sudah menghabiskan malam bersama Bunga. Lebih tepatnya, Bentala meyakinkan diri sendiri karena faktanya gambaran yang muncul di kepala adalah wajah Mentari.

"Bodoh!" Bentala merutuki dirinya sendiri.

Pria itu lantas bangkit. Dia keluar dari restorannya tanpa mengindahkan seruan Bunga. Bentala menuju rumah Mentari dengan pikiran yang kalut. Sesekali dia tetap menjambaki rambut.

***

"Bunda, ada Om Ben," ucap Sasi seraya menuruni tangga dari ruang tamu ke dapur. Di belakang gadis itu, Bentala berjalan mengikuti.

Mentari mengerutkan kening. "Kak Ben? Ada apa?" tanyanya sedikit waspada.

"Ada hal yang ingin aku katakan, Tari," ucap Bentala.

Mentari menelan ludah. Perasaannya mendadak tidak enak. Namun, dia tetap berusaha santai. "Soal apa, Kak Ben?"

Bentala justru melirik Sasi, membuat jantung Mentari semakin berdegub kencang.

"Bisa tinggalkan Om sama bundamu?" tanya Bentala lembut.

Sasi mengangguk. Anak itu kembali ke atas.

Bentala menarik kursi makan di dekat Mentari, kemudian mendudukinya. "Langsung saja, Tari. Sudah terjadi sesuatu di antara kita di masa lalu, kan?" Pria itu bersuara pelan, tetapi penuh penekanan.

Mentari sontak membelalak. "A-apa maksud Kak Ben?"

"Aku sudah melakukan sesuatu yang buruk padamu, bukan?"

Mentari menggeleng.

"Jangan bohong, Tari. Aku tahu. Aku sudah mengingat semuanya."

Mentari tetap menggeleng. "Tari tidak mengerti apa yang sedang Kak Ben bicarakan."

"Malam itu. Dua hari sebelum pernikahanku. Kamu datang ke apartemenku."

Mentari mengetatkan rahang. Udara di sekitar mendadak sulit dia hirup. "Ti-tidak," jawab Mentari tergagap. "Eh, iya. Tapi, Kak Ben tidak membukakan pintu."

Tatapan Bentala menajam. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Mentari. "Aku ... membukakan pintu untukmu," ucap Bentala penuh penekanan. "Aku membawamu ke dalam. Aku ....." Bentala tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Maaf, Tari," sambungnya lirih.

Pria itu menunduk penuh penyesalan.

"Minta maaf untuk apa, Kak? Tidak terjadi apa-apa. Kak Ben mungkin keliru. Kak Ben sedang mabuk, kan, saat itu?"

Bentala sontak menyipit. "Kamu tahu aku mabuk?"

Mentari ingin sekali memukul kepalanya sendiri. Terkadang, dia memang bodoh.

"Tari," panggil Bentala. "Sudahlah, jangan mengelak."

"Tidak, Kak. Tidak terjadi apa-apa." Mentari bangkit dari duduknya sambil menghapus air mata yang tidak bisa ditahan.

Bentala ikut berdiri. Namun, dia langsung bersimpuh di bawah kaki Mentari. "Aku ... benar-benar minta maaf, Tari," ucap Bentala lirih. Tidak lama kemudian, dia terisak. Pundaknya naik turun meningkahi tangisannya.

"Kak Ben, berdirilah." Mentari justru tertawa meskipun air matanya terus keluar. "Kak Ben tidak melakukan apa pun." Perempuan itu masih mengelak.

Bentala mendongak, menatap Mentari yang banjir oleh air mata. "Kamu tidak akan menangis kalau memang tidak terjadi sesuatu di antara kita."

Air mata kurang ajar! Kenapa harus ada di saat yang tidak tepat? Mentari tidak ingin menangis. Dia memang jarang menangis. Namun, fakta masa lalu yang selama ini dia sembunyikan telah terungkap.

Mentari terpaksa mengingat lagi kejadian malam itu saat dia disuruh Nawang melihat keadaan Bentala yang tidak kunjung pulang padahal akan segera menikah. Dia berpapasan dengan seorang perempuan asing yang hendak ke kediaman Bentala. Mentari langsung mengusirnya.

Mentari akan menuntut penjelasan kepada Bentala soal perempuan itu. Namun, belum sempat dia bertanya, Bentala lebih dulu menyerangnya. Bentala yang berada di bawah kendali alkohol berhasil menodai Mentari.

Mentari berusaha bersikap biasa saja setelah kejadian itu. Bentala sedang tidak sadar. Dia bahkan tidak ingat. Pria itu juga akan segera menikah. Mentari memilih menutup mulutnya rapat-rapat karena takut akan menimbulkan kegaduhan. Perjodohan Bentala sangat penting karena menyangkut persahabat orang tuanya.

Saat Mentari mendapati dirinya hamil dua bulan kemudian. Perempuan itu memilih pergi. Bentala sudah menjadi seorang suami. Mentari tidak mungkin menghancurkan pernikahan mereka yang bahkan belum seumur jagung.

"Aku benar-benar minta maaf, Tari. Kamu boleh menghukumku. Kamu boleh memukulku. Menendangku. Apa saja terserah."

Mentari menghapus air matanya. Bentala memang sudah menghancurkan masa depan Mentari. Gara-gara hal itu Mentari pernah sangat terpuruk dan terperosok ke dalam kehidupan kelam yang selalu dia coba lupakan.

"Bangunlah, Kak Ben. Lupakan saja apa yang sudah terjadi."

"Bagaimana mungkin, Tari? Korban dari kejadian itu bukan hanya kamu. Aku harus bertanggung jawab kepada kalian."

Mentari mengernyit dalam.

"Sasi adalah putriku, bukan?" tanya Bentala.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status