"Kak Ben ... tolong ... jangan."
Bentala seketika membuka kelopak matanya. Dia tidak sedang bermimpi, melainkan mengingat sesuatu yang selalu dia yakini sebagai mimpi. Bunga tidur yang anehnya tidak bisa Bentala lupakan meskipun kilasan itu samar dan hanya sebagian."Tapi, suara Tari begitu nyata," ucapnya.Bentala segera menggeleng mengenyahkan keyakinan itu. Bermimpi menyentuh Mentari adalah hal yang sangat memalukan. Meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah, tetapi tetap saja. Mentari sudah seperti adiknya sendiri.Ya, adik. Kenyataan yang membuat Bentala bimbang bertahun silam.Rasa sayangnya kepada Mentari bukan rasa sayang dari kakak kepada adiknya. Bentala menyadari hal itu. Namun, hubungan mereka tidak bisa berkembang, terlebih Bentala sudah dijodohkan dengan anak perempuan sahabat ayahnya. Jika Bentala menolak, maka ikatan persahabatan dua keluarga akan dipertaruhkan."Mas Tala!"Pria itu menoleh. Dia lalu mengembuskan napas saat melihat siapa yang memanggilnya. Nama samarannya Bunga. Dulu dia adalah perempuan bayaran. Sekarang sudah naik pangkat menjadi mucikari.Bentala dulu cukup sering menyewa jasa Bunga. Namun, karena perempuan itu sudah bertambah tua dan masih banyak daun muda yang lebih menggoda, Bentala mencoretnya dari daftar perempuan yang akan menyenangkannya.Pertemuan pertama Bentala dan Bunga adalah malam itu. Saat esoknya Bentala mendapat ingatan jika dia melakukannya bersama Mentari, bukan Bunga. Sejak dulu Bentala berusaha menyingkirkan prasangka itu. Dia tetap diam. Kali ini sepertinya dia harus benar-benar memastikan jika ingatannya memang keliru."Bunga," panggil Bentala dingin."Iya, Mas?" Bunga menyahut manja."Kamu masih ingat saat pertama kali aku menyewamu?"Bunga mengangguk."Benar kamu yang bersamaku saat itu?" Bentala menatap serius lawan bicaranya. Dia sengaja mengundang Bunga untuk menanyakan hal ini."Mas menyuruh aku ke sini cuma mau bertanya hal itu?""Jawab saja!" Bentala sedikit kehilangan kesabaran.Bunga justru cekikikan. "Em ... sebenarnya bukan," jawabnya yang sukses membuat Bentala membelalak lebar."Jangan bercanda! Aku mohon," pinta Bentala.Bunga mengangguk. "Aku serius."Bentala menelan ludah. "Katakan apa yang terjadi malam itu!" desak Bentala.Bunga menghela napas. Dia lalu menjelaskan, "Jadi, aku, kan, datang ke apartemennya Mas Ben. Tapi, ada perempuan yang menghentikan aku. Dia mengusirku. Kupikir dia pacar Mas Ben. Daripada nantinya aku kena masalah, lebih baik aku menurutinya."Bentala mendengarkan dengan saksama. "Ada perempuan yang mengusirmu?"Bunga merengut. "Iya.""Siapa?""Ya mana aku tahu." Bunga mengangkat pundak. "Kita tidak kenalan."Bentala mengeluarkan ponselnya. Dia kemudian menunjukkan foto Mentari yang diambil saat jalan-jalan kemarin. "Apa dia?" Bentala sangat berharap Bunga menjawab bukan.Bunga menyipitkan mata melihat foto Mentari. "Nah, iya. Perempuan blasteran ini."Bahu Bentala seketika merosot. "Lalu apa yang terjadi setelah itu?""Aku pulang. Tapi, besoknya Mas Tala menemuiku dan memberiku uang padahal aku tidak melakukan apa-apa.""Astaga!" Bentala menyugar rambut. "Kenapa kamu tidak bilang?" tanyanya emosi.Bunga tersenyum lebar. "Nanti uangnya diambil lagi. Kan, lumayan, Mas."Bentala semakin menjambaki rambutnya. Apa yang dia sentuh adalah Mentari? Saat itu Bentala sedang mabuk sambil menunggu kedatangan Bunga. Ketika pintu apartemennya diketuk, dan Bentala menemukan seorang perempuan berdiri di hadapannya, Bentala langsung menarik perempuan itu."Kak Ben! Apa yang akan Kakak lakukan?" Suara Mentari tiba-tiba terngiang bersamaan kepingan memori itu.Bentala tidak mengindahkan pemberontakan perempuan yang berada di dalam kendalinya. Dia terus melancarkan serangan. Matanya dan mata hazel perempuan itu bertemu. Perempuan itu menangis. Akan tetapi, Bentala tetap melanjutkan aksinya sampai dia mencapai kepuasan dan jatuh tertidur.Paginya, Bentala tidak menemukan siapa pun di apartemennya. Namun, dia yakin sudah menghabiskan malam bersama Bunga. Lebih tepatnya, Bentala meyakinkan diri sendiri karena faktanya gambaran yang muncul di kepala adalah wajah Mentari."Bodoh!" Bentala merutuki dirinya sendiri.Pria itu lantas bangkit. Dia keluar dari restorannya tanpa mengindahkan seruan Bunga. Bentala menuju rumah Mentari dengan pikiran yang kalut. Sesekali dia tetap menjambaki rambut.***"Bunda, ada Om Ben," ucap Sasi seraya menuruni tangga dari ruang tamu ke dapur. Di belakang gadis itu, Bentala berjalan mengikuti.Mentari mengerutkan kening. "Kak Ben? Ada apa?" tanyanya sedikit waspada."Ada hal yang ingin aku katakan, Tari," ucap Bentala.Mentari menelan ludah. Perasaannya mendadak tidak enak. Namun, dia tetap berusaha santai. "Soal apa, Kak Ben?"Bentala justru melirik Sasi, membuat jantung Mentari semakin berdegub kencang."Bisa tinggalkan Om sama bundamu?" tanya Bentala lembut.Sasi mengangguk. Anak itu kembali ke atas.Bentala menarik kursi makan di dekat Mentari, kemudian mendudukinya. "Langsung saja, Tari. Sudah terjadi sesuatu di antara kita di masa lalu, kan?" Pria itu bersuara pelan, tetapi penuh penekanan.Mentari sontak membelalak. "A-apa maksud Kak Ben?""Aku sudah melakukan sesuatu yang buruk padamu, bukan?"Mentari menggeleng."Jangan bohong, Tari. Aku tahu. Aku sudah mengingat semuanya."Mentari tetap menggeleng. "Tari tidak mengerti apa yang sedang Kak Ben bicarakan.""Malam itu. Dua hari sebelum pernikahanku. Kamu datang ke apartemenku."Mentari mengetatkan rahang. Udara di sekitar mendadak sulit dia hirup. "Ti-tidak," jawab Mentari tergagap. "Eh, iya. Tapi, Kak Ben tidak membukakan pintu."Tatapan Bentala menajam. Dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Mentari. "Aku ... membukakan pintu untukmu," ucap Bentala penuh penekanan. "Aku membawamu ke dalam. Aku ....." Bentala tidak sanggup melanjutkan perkataannya. "Maaf, Tari," sambungnya lirih.Pria itu menunduk penuh penyesalan."Minta maaf untuk apa, Kak? Tidak terjadi apa-apa. Kak Ben mungkin keliru. Kak Ben sedang mabuk, kan, saat itu?"Bentala sontak menyipit. "Kamu tahu aku mabuk?"Mentari ingin sekali memukul kepalanya sendiri. Terkadang, dia memang bodoh."Tari," panggil Bentala. "Sudahlah, jangan mengelak.""Tidak, Kak. Tidak terjadi apa-apa." Mentari bangkit dari duduknya sambil menghapus air mata yang tidak bisa ditahan.Bentala ikut berdiri. Namun, dia langsung bersimpuh di bawah kaki Mentari. "Aku ... benar-benar minta maaf, Tari," ucap Bentala lirih. Tidak lama kemudian, dia terisak. Pundaknya naik turun meningkahi tangisannya."Kak Ben, berdirilah." Mentari justru tertawa meskipun air matanya terus keluar. "Kak Ben tidak melakukan apa pun." Perempuan itu masih mengelak.Bentala mendongak, menatap Mentari yang banjir oleh air mata. "Kamu tidak akan menangis kalau memang tidak terjadi sesuatu di antara kita."Air mata kurang ajar! Kenapa harus ada di saat yang tidak tepat? Mentari tidak ingin menangis. Dia memang jarang menangis. Namun, fakta masa lalu yang selama ini dia sembunyikan telah terungkap.Mentari terpaksa mengingat lagi kejadian malam itu saat dia disuruh Nawang melihat keadaan Bentala yang tidak kunjung pulang padahal akan segera menikah. Dia berpapasan dengan seorang perempuan asing yang hendak ke kediaman Bentala. Mentari langsung mengusirnya.Mentari akan menuntut penjelasan kepada Bentala soal perempuan itu. Namun, belum sempat dia bertanya, Bentala lebih dulu menyerangnya. Bentala yang berada di bawah kendali alkohol berhasil menodai Mentari.Mentari berusaha bersikap biasa saja setelah kejadian itu. Bentala sedang tidak sadar. Dia bahkan tidak ingat. Pria itu juga akan segera menikah. Mentari memilih menutup mulutnya rapat-rapat karena takut akan menimbulkan kegaduhan. Perjodohan Bentala sangat penting karena menyangkut persahabat orang tuanya.Saat Mentari mendapati dirinya hamil dua bulan kemudian. Perempuan itu memilih pergi. Bentala sudah menjadi seorang suami. Mentari tidak mungkin menghancurkan pernikahan mereka yang bahkan belum seumur jagung."Aku benar-benar minta maaf, Tari. Kamu boleh menghukumku. Kamu boleh memukulku. Menendangku. Apa saja terserah."Mentari menghapus air matanya. Bentala memang sudah menghancurkan masa depan Mentari. Gara-gara hal itu Mentari pernah sangat terpuruk dan terperosok ke dalam kehidupan kelam yang selalu dia coba lupakan."Bangunlah, Kak Ben. Lupakan saja apa yang sudah terjadi.""Bagaimana mungkin, Tari? Korban dari kejadian itu bukan hanya kamu. Aku harus bertanggung jawab kepada kalian."Mentari mengernyit dalam."Sasi adalah putriku, bukan?" tanya Bentala."Reta?"Mentari terperanjat ketika mendapati gadis itu mengunjungi kediamannya. Reta memang pernah ke sini saat mereka berkemah di halaman. Akan tetapi, waktu itu dia bersama Ranggi, tidak seorang diri seperti hari ini."Silakan duduk, Reta," ucap Mentari aasedikit canggung. "Mau dibuatkan minuman apa?"Gadis itu menggeleng pelan. "Tidak usah. Aku tidak akan lama. Ada sesuatu yang ingin aku katakan."Mentari lantas mengambil tempat di seberang Reta. Dia bertanya-tanya hal apa yang membawa Reta sampai menemuinya. "Ada apa?""Ini soal Om Ranggi.""Ranggi?""Iya. Sebenarnya aku tidak punya hak membicarakan hal ini. Tapi, karena aku menduga aku menjadi penyebabnya, mau tidak mau aku harus terlibat.""Apa sesuatu terjadi lagi kepada Ranggi?" Mentari sontak panik. Dia sedikit trauma jika ada orang lain yang ingin memberikan kabar soal pria itu kepadanya. Dulu Xavier saat Ranggi kecelakaan. Belum lama ini Sasi memberi tahu jika mantan suaminya tersebut dibegal."Om Ranggi masih mencintai And
Sasi pikir Lukman akan memiliki pandangan buruk kepadanya karena menyembunyikan pernikahan. Namun, pria itu justru khawatir. Sasi benar-benar terkejut. Pesan Lukman belum Sasi balas. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Sasi juga harus segera membersihkan diri lantaran Emir sudah keluar. Keterlambatannya itu ternyata semakin membuat Lukman cemas hingga dia kembali mengirim pesan. Lukman : [Sasi, aku harap kamu baik-baik saja.] Pria itu mungkin tidak akan tenang sebelum Sasi menjawabnya. Sasi : [Aku baik-baik saja, Kak.] Lukman : [Benarkah?] Sepertinya Lukman benar-benar peduli kepada Sasi. Perempuan itu refleks terenyum. Sasi : [Iya.] "Ada apa, Babe?" Ah! Sasi lupa jika dia sedang berada di dalam mobil bersama Emir. Sasi lantas menunjukkan foto Rai yang sedang mengikuti acara outbond. Sasi sengaja meminta foto Rai kepada Mentari karena merindukan adiknya itu. "Sepertinya aku kenal tempat itu." "Iya. Di Nuraga Park. Sekolah Rai sedang mengadakan study tour ke sana."
"Papi, Mami kenapa tidak pulang-pulang?" Danta bertanya sambil berurai air mata. Dia pasti sangat merindukan Vanya.Ranggi segera merangkul tubuh kecil anak itu. "Urusan mami kamu belum selesai. Sabar, ya? Kan, ada Papi, ada Kak Reta juga.""Mau Mami." Danta menggeleing.Ranggi belum bisa menceritakan keadaan Vanya. Danta masih terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi."Kalau sekarang kita main ke rumah Kak Rai, gimana? Mau, kan?"Danta berpikir sejenak. Dihapusnya air mata menggunakan punggung tangan, lalu mengangguk pelan. "Mau," jawabnya.Ranggi tersenyum lega. Dia lantas membawa anak itu menemui Rai. Kesedihan Danta perlahan berkurang saat dia bekerja sama merakit lego bersama kakaknya."Mbak, apa malam ini Rai boleh menginap di rumahku? Mungkin Danta tidak akan terlalu kepikiran Vanya kalau ada anak seumurannya," kata Ranggi kepada Mentari."Aku tidak keberatan kalau anaknya mau. Tapi, Rai susah tidur di tempat asin
"Hanya karena aku menerima keadaanku, itu tidak berarti aku akan menceraikanmu, Sasi. Aku tetap tidak akan membiarkanmu bersama lelaki lain yang wajahnya sempurna, sedangkan aku seperti ini."Perkataan Emir menampar Sasi dengan telak. Seharusnya dia yang memiliki wajah rusak. Seharusnya dia yang tidak percaya diri hingga tidak ingin bertemu orang lain. Seharusnya dia juga yang saat ini sibuk perawatan dengan biaya mahal.Bagaimana mungkin Sasi sempat berpikir akan terbebas dari pernikahan ini saat ucapan terima kasih dan kata maaf saja tidak akan cukup untuk membayar tindakan Emir?Sasi akan menjadi orang yang tidak tahu diuntung."Aku mengerti," sahutnya."Jangan pernah membahas perceraian lagi denganku!" kata Emir tegas."Iya." Sasi kemudian menyentuh pipi Emir yang terkena siraman air keras. Bulan depan pria itu akan menjalani operasi terakhir.Tatapan Emir melembut. Dia menahan tangan Sasi agar tetap berada di pipinya. "Maaf, aku
"Jadi, Emir, kapan kamu akan mentalakku?"Pertanyaan tersebut keluar dari bibir mungil Sasi. Dia mengatakannya dengan santai, seolah-olah hal itu perkara sangat sepele tanpa tahu dampak yang akan dialami oleh si pendengar. Untuk sesaat, Emir merasa jantungnya berhenti berdetak.Pria yang sedang menonton siaran ulang pertandingan voli itu seketika mengetatkan rahang. Dicengkeramnya kuat-kuat remot yang berada digenggaman."Kamu lupa, ya? Toko buka minggu depan. Besok kita harus mulai mengundang tamu-tamu untuk pembukaan nanti," jawab Emir. Tatapannya tetap menatap layar yang memperlihatkan dua tim lokal sedang bertanding. Namun, hatinya remuk redam."Oh, iya juga." Helaan napas terdengar.Apa Sasi kecewa? Rupanya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri dari Emir, padahal perasaan pria itu sudah berubah. Ternyata selama ini cinta Emir tidak bersambut. Menyedihkan. Mungkinkah dia sedang dihukum karena dengan sengaja menikahi Sasi hanya untuk membuatnya
Lukman : [Sasi, kamu sudah punya pacar?]Seharusnya pertanyaan itu mudah. Namun, Sasi justru kesulitan menjawab. Jari-jarinya terhenti begitu saja di atas layar. Dia mendadak sesak. Entah kenapa Sasi enggan memberi tahu statusnya saat ini.Alih-alih memberi jawaban, dia malah balik bertanya.Sasi : [Memangnya kenapa, Kak?]Lukman : [Tidak. Takutnya ada yang marah kita berbalas pesan begini.]Perempuan itu seketika menoleh ke arah pintu kamar mandi. Guyuran shower terdengar dari dalam sana. Dia merasa Emir tidak memiliki alasan untuk marah karena hal ini. Lagi pula, Sasi dan Lukman hanya berkirim pesan. Itu juga membahas pekerjaan, meskipun sedikit keluar konteks.Sasi : [Tidak, kok.]Lukman : [Syukurlah.]Pria itu mengirim emoji senyum, yang membuat Sasi turut menarik kedua sudut bibirnya.Lukman : [Untuk logonya benar tidak ada yang harus direvisi? Kalau menurut kamu ada yang kurang, katakan saja.]Sasi : [Sudah