Share

06

"Tari, kamu menganggap kami ini apa? Kenapa kamu tidak mengatakan apa pun?"

Nawang menangis tersedu-sedu setelah mengetahui fakta jika Mentari pergi dari rumahnya karena ingin menyembunyikan kehamilan. Nawang sedikit kecewa karena Mentari memilih minggat alih-alih terbuka kepadanya.

"Apa yang harus Tante katakan kepada ibumu?"

Sang adik angkat, Harsya, sudah menitipkan Mentari kepadanya. Nawang menganggap Mentari seperti putrinya sendiri. Mengetahui Mentari menjalani kehidupan yang sulit, Nawang tidak memiliki keberanian jika dia bertemu dengan Harsya di akhirat nanti.

Sementara itu Mentari tetap bergeming. Dia tidak menyangka rahasia ini terbongkar juga. Pagi-pagi Bentala dan Nawang sudah datang berkunjung hanya untuk mengonfirmasi hal ini. Mentari belum sempat bertanya dari mana mereka tahu soal itu dan alamat rumahnya karena Nawang lebih dulu menyerangnya dengan pertanyaan.

"Tari, laki-laki bejat mana yang sudah menyusahkan hidupmu?" Nawang memegang kedua tangan Mentari, menggoyangnya pelan.

Pertanyaan itu akhirnya keluar juga. Pertanyaan yang tidak akan pernah bisa Mentari jawab. Mungkin, bisa. Namun, Mentari memilih tetap merahasiakan hal itu. Tidak boleh ada yang tahu siapa ayah Sasi sebenarnya.

"Tante," panggil Mentari lembut. "Sekarang Tari sudah memiliki kehidupan yang jauh lebih baik. Tari akan menikah dengan laki-laki yang mencintai Tari. Kita tidak perlu membicarakan masa lalu." Perempuan itu mengulas senyum manis.

Nawang masih menitikan air mata. Mentari perlu memeluk perempuan renta itu agar beliau bisa tenang. Apa yang terjadi kepada Mentari sama sekali bukan kesalahan Nawang. Tanpa sengaja, mata Mentari bertemu dengan milik Bentala. Keduanya berserobok pandang selama beberapa detik.

Netra hazel milik Mentari selalu berhasil memerangkap Bentala, membawa pria itu pada kilatan-kilatan ingatan dari masa lalu yang pernah datang ke mimpinya. Mimpi memalukan sekaligus indah, Bentala menyebutnya.

Mentari menjadi yang pertama memutus kontak mata mereka. Bentala sedikit kecewa. Sebentar lagi adik sepupunya itu akan segera menikah. Akan ada orang lain yang menikmati keindahan mata Mentari. Bentala menghela napas. Padahal mereka baru bertemu. Akan tetapi, perpisahan lagi yang harus dirasa.

"Anakmu mana? Tante ingin melihatnya," ucap Nawang setelah tangisannya reda.

"Sekolah, Tante. Hari ini pengumumam kelulusannya," jawab Mentari.

Mentari harap Sasi kembali dari sekolahnya setelah Nawang dan Bentala pergi. Namun, lagi-lagi keinginannya tidak terkabul.

"Om Ben!"

Ketiga orang yang berada di ruang tamu itu tersentak saat mendengar seruan seorang gadis remaja di ambang pintu.

Mentari sontak melebarkan mata. Jantungnya berdegub kencang seiring langkah Sasi yang semakin mendekat. Sasi menyalami ibunya lebih dulu, lalu pada Nawang.

"Ini?" Nawang menoleh Mentari meminta penjelasan.

Bukannya menjawab, Mentari justru menelan ludah.

"Nenek Nawang?" tanya Sasi.

Nawang mengangguk pelan.

"Aku Sasi, Nek. Putrinya Bunda Tari," ucap Sasi.

Nawang langsung memeluk erat Sasi. Tangisnya tumpah lagi. "Cucuku," ujar Nawang sambil terisak. "Kamu sangat cantik seperti ibumu," sambung perempuan itu setelah melepaskan pelukannya.

Nawang mengusap wajah Sasi. Sekilas memang mirip Mentari. Namun, jika diperhatian lebih saksama, ada bagian dari wajah Sasi yang mirip dengan seseorang, terlebih bentuk mata dan bibir.

"Sama Om tidak salim?" tanya Bentala.

Sasi langsung membalikkan tubuhnya dan menyalami pria itu.

"Katanya hari ini kamu menerima pengumuman kelulusan?" Bentala bertanya lagi.

"Iya." Sasi lantas mengeluarkan sebuah surat dari dalam tasnya yang menyatakan jika dia sudah lulus SMP.

"Patut dirayakan ini," kata Ben.

"Wah, asyik!" Sasi berseru girang. "Aku mau jalan-jalan ke Nuraga Park," ujarnya semangat.

"Oke. Nanti Om ajak kamu ke sana."

Diam-diam Mentari mencengkeram rok yang dia kenakan. Perempuan itu sangat cemas melihat kedekatan Bentala dan Sasi. Kenapa mereka bisa seakrab itu dalam waktu yang sangat singkat?

"Boleh, Bunda?" Sasi menoleh, meminta izin kepada Mentari.

Mentari menelan ludah. Dia tidak ingin membiarkan Sasi pergi bersama Bentala. Namun, alasan apa yang harus Mentari katakan? Sasi juga jarang dia ajak jalan-jalan karena lebih mengutamakan kebutuhan primer. Anak itu kelihatan senang sekali. Mentari jadi serba salah.

"Kenapa tidak boleh? Boleh, dong, Sayang," ucap Nawang menyetujui.

"Nenek juga ikut, ya?"

Nawang mengangguk.

Sasi semakin girang. "Akhirnya aku bisa merasakan liburan bareng keluarga, tidak sama Bunda saja," ujarnya yang membuat Mentari terenyuh. Selama ini Sasi tidak pernah mengeluh. Namun, ternyata hal itu tidak berarti Sasi tidak menginginkan keluarga utuh.

Mau tidak mau, akhirnya Mentari menyetujui keinginan putrinya. Akan tetapi, Mentari memberi tahu rencana jalan-jalan mereka kepada Ranggi. Mentari juga mengajak Reta, dan membolehkan anak itu membawa teman-temannya jika ingin.

Jadilah mereka pergi rombongan. Di luar dugaan, penanggung jawab Nuraga Park adalah teman Ranggi. Lelaki itu mendapat diskon harga sehingga bisa membeli tiket kelas A yang bisa dipakai di semua wahana.

"Naik roller coaster enggak, sih, kita?" tanya Reta kepada ketiga teman perempuannya. Mereka kompak menyetujui. "Ayo, Sas." Reta mengulurkan tangan mengajak Sasi. Akan tetapi, Sasi menggeleng.

"Fobia ketinggian aku, Kak," jawabnya.

"Yah. Serius?"

Sasi mengangguk. "Kalau Kak Reta dan kakak-kakak lainnya mau naik itu, silakan saja."

"Ya sudah kalau begitu."

Reta dan ketiga temannya pergi menuju wahana yang mereka inginkan. Padahal Mentari sangat berharap Sasi bergabung dengan mereka. Mentari mengajak Reta dan teman-temannya bukan tanpa alasan.

"Terus kamu mau apa, Bulanku? Kita ke sini untuk merayakan kelulusan kamu," ucap Mentari.

"Aku penasaran sama food court, Bun. Katanya di sini cuma menyediakan jajanan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia."

Sasi memang doyan jajan. Bercita-cita ingin keliling Indonesia demi berburu kulinernya saja. Selagi ada satu tempat yang menyediakan banyak makanan, Sasi tidak ingin melewatkan kesempatan.

Mereka pergi ke tempat yang dimaksud. Stand makanan dan minuman mengelilingi kursi dan meja yang disediakan. Mereka lantas duduk di satu meja yang sama. Mentari sedikit risi saat Ranggi ingin berdekatan dengannya terus.

"Ranggi, kita belum menikah." Mentari mengingatkan.

Pria itu justru tersenyum tanpa merasa bersalah. "Tidak sampai bersentuhan, kok, Mbak. Aku, kan, harus menjaga Mbak Tari. Banyak yang jelalatan tahu, Mbak."

Mentari juga menyadari hal itu. Dia sudah terbiasa saat menjadi pusat perhatian ke mana pun dia pergi. Makanya sebisa mungkin Mentari jarang keluar rumah jika tidak ada hal yang mendesak. Namun, dia sedikit tidak enak karena ada Nawang yang kentara sekali menahan senyuman.

Berbeda dengan Nawang yang senang melihat kedekatan Ranggi dan Mentari, Bentala menunjukkan ekspresi datar. Dia tidak banyak berbicara sejak mengetahui Ranggi juga ikut.

"Tante mau makan apa?" tanya Mentari kepada Nawang. "Di sini ada makanan berat dan ringan."

Nawang lalu menyarankan membeli paket nasi liwet yang stand-nya tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ranggi mengajukan diri untuk memesannya.

"Aku mau keliling dulu biar tahu ada jajanan apa saja," ucap Sasi.

"Ayo! Om juga ikut," sahut Bentala.

Mentari sontak melotot. "Tidak, Sasi. Tempat ini luas. Nanti kamu hilang." Dia melarang tanpa benar-benar memikirkan alasannya, yang membuat Sasi mengerutkan kening.

"Bun, aku sudah gede. Ada Om Ben juga, kan?"

"Iya, Tari. Apa yang kamu khawatirkan?" Bentala bertanya.

Justru yang Mentari khawatirkan adalah kedekatan Bentala dan Sasi.

Keduanya justru pergi tanpa menghiraukan larangan Mentari.

"Sasi!" Mentari hendak menyusul. Akan tetapi, Nawang menghentikannya.

"Kenapa, Tari? Biarkan saja," ujar Nawang.

Mentari menatap cemas kepergian Sasi dan Bentala. Keduanya tengah asyik mengobrol sambil melihat satu per satu stand makanan yang mereka lewati.

"Om juga sejak dulu tidak tertarik naik wahana ekstrem karena takut ketinggian," ucap Bentala.

"Sama dong, seperti aku."

Bentala mengangguk.

"Eh, ada es doger!" Sasi berseru senang. Dia langsung menuju tempatnya.

"Om juga mau," kata Bentala.

Mereka lalu memesan secara bersamaan, "Ketan hitamnya banyakin, ya, Mas."

Keduanya terkejut, kemudian saling memandang. "Ih, Om ikut-ikutan aku terus."

"Kamu kali yang ikut-ikutan Om. Kan, Om yang lahir duluan."

Sasi merengut. "Om suka ketan hitam?"

"Iya," jawab Bentala.

"Kita punya dua kesamaan," tutur Sasi, "Kalau sampai ada tiga, berarti rekor."

"Kamu punya alergi makanan?" tanya Bentala.

Sasi mengangguk. Lagi-lagi mereka menjawab bersamaan, "Udang."

Sasi dan Bentala sama-sama terkejut untuk yang kedua kalinya.

Sasi jadi tertarik mengajukan pertanyaan baru. "Jangan bilang Om suka makan tempe mentah!"

Bentala sontak membelalak, lalu tertawa. "Tanya Ibu. Dulu beliau sering memarahi Om karena mencuri tempe mentah di dapur. Giliran mau diolah, sudah hilang seperempatnya."

Sasi menggeleng tidak percaya. "Kok, bisa kita banyak kesamaan padahal tidak berhubungan darah?" tanyanya heran.

Bentala ikut mempertanyakannya. Dia dan orang tuanya bahkan tidak memiliki kesamaan sebanyak itu. Terlalu di luar nalar jika hanya kebetulan.

Pria itu lantas memandangi Sasi yang sudah mendapatkan es dogernya. Sejak awal Sasi sudah menarik perhatian Bentala. Dia pikir itu karena Sasi adalah putri dari Mentari. Namun, sekarang, Bentala semakin penasaran kepada gadis ini.

Siapa Sasi sebenarnya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status