Lyliana Devita, merupakan mahasiswi semester tiga di sebuah universitas. Dia saat ini tinggal di kos-kosan karena memang rumahnya jauh. Sebenarnya ayah dan ibunya menyuruh untuk menyewa rumah kontrakan, tapi Lily lebih memilih di kosan saja.
Kosan Dahlia namanya. Penghuninya bukan hanya mahasiswi, melainkan juga ada anak SMA dan mereka yang merantau untuk bekerja.Hari ini Lily pulang lebih malam. Ia baru saja mengikuti rapat organisasi. Pegal dan capek rasanya. Ia lewati lorong kos-kosan yang berbentuk L. Sepi dan gelap. Pantas saja, diluar hujan mungkin mereka lebih memilih bergumul di kamar masing-masing. Pakaiannya saja basah kuyup. Kamar Lily berada di nomor 2 dari pintu utama. Dan ketika ia melewati kamar pertama, telinga nya tak sengaja mendengar bunyi aneh. Langkahnya terhenti. Ia kernyitkan dahi, menajamkan pendengarannya. Kamar pertama adalah kamar Arin, siswa kelas sebelas di sebuah SMA swasta.Penasaran, ia dekati pintu yang kebetulan agak terbuka."Cklek!"Lily membulatkan matanya. Ia lihat Arin sedang berada di pangkuan seorang pemuda seusianya. Pakaian bagian atasnya sudah berantakan. Dan parahnya lagi, mereka masih mengenakan seragam sekolah. Gila! Lily mengerjap-ngerjapkan matanya tak percaya. Menyadari kehadiran Lily keduanya tersentak dan menjauhkan diri."K-kak Lily," gumam Arin pelan. Sementara pemuda itu menatap Lily santai."Apa yang kalian lakukan!" geram Lily. Arin menunduk takut."Kau juga. Cepat keluar!" Bentak Lily pada pemuda itu, sorot matanya tajam.Si pemuda menyeringai dan melewati Lily dengan santai.Lily masih pandangi pemuda itu keluar dari area kosan dengan motor besarnya. Bodo amat di luar hujan. Ia benci melihat sesuatu yang menjijikkan terjadi di kosan ini.Tatapannya beralih ke Arin yang menunduk."Sudah berapa kali kalian seperti ini?""Ba-baru sekali ini kok kak," cicit Arin."Jangan berbohong, Rin!" Sentaknya."Sering kak. Tapi kalau di kosan baru kali ini," Arin menggigit bibir bawahnya. Tak berani bersitatap dengan Lily."Kau tahu bukan, ini gak bener Rin.""Ma-maf kak. Tapi kami cuma sebatas kiss kok. Gak lebih. Beneran,"Lily mendengus."Tetap saja. Kau mau sesuatu yang lebih buruk terjadi?" Kesalnya. Setahunya Arin adalah anak yang polos. Tapi kenapa jadi seperti ini sih. Ia ingat bagaimana kedua orang tua Arin menitipkan padanya. Mereka tetangga desa."Maaf kak."Lily menghela napas. Ia masih tak habis pikir, racun apa yang di susupkan pemuda itu pada Arin."Katakan siapa dia?""Namanya Doni kak. Pacar Arin."Lily menggelengkan kepala."Arin... Arin. Kalau memang dia sayang sama kamu gak bakal dia ngajakin kayak gitu.""Tapi kan cuma itu kak,""Tetap saja. Kau tahu, berawal dari ciuman lalu berlanjut ke... ah. Sudahlah. Jangan dibahas. Kau juga sudah dewasa."Lily beranjak, bermaksud kembali ke kamarnya."Kak," panggil Arin. Lily menoleh."Jangan bilangin bapak sama ibu ya,"Lily menghela napas pelan. Demi apa, dia selalu tak tega melihat wajah polos Arin.Ia akhirnya mengangguk."Yang penting jangan di ulangi lagi.""Makasih kak," Arin tersenyum.Lily kembali ke kamarnya.----------Jika teringat siapa pemuda itu, sungguh! Lily ingin berteriak.Kini pemuda SMA, ah salah. Sepertinya dia anak STM- itu kini ada di hadapannya, bersama kedua orang tuanya. Wajahnya santai tanpa dosa."Kamu gimana sih Don. Mama sama papa sekolahin kamu supaya jadi orang bener. Bukan malah seperti ini. Memalukan!" Papa pemuda itu murka. Mamanya terisak saat mendengar kelakuan pemuda itu yang sukses mencoreng wajah keluarga.Di sisi lain, Lily juga menggeram marah. Bagaimana bisa semuanya jadi berubah seperti ini. Kejadian yang tak disangka dan membalikkan keadaan. "Tapi pa. Doni gak ngapa-ngapain, sumpah," belanya."Doni! Harus berapa kali papa bilang. Tanggung jawab. Jangan mencari alasan pembenaran untuk kesalahanmu," bentak papanya. Wajah pria setengah baya yang masih tampan itu mengeras. Ia benar-benar kecewa.Doni membuang napas kasar. Selalu saja begini."Jika kamu terus-terusan begini, mau di taruh dimana muka papa Don. Kalau sampai berita ini menyebar, dah! Papa gak tahu lagi bagaimana harus mengurus kamu," ujar papanya sembari mendesah kecewa.Doni diam saja, dengan geraham menggeram marah. Niat baiknya kenapa berubah menjadi bumerang untuk dirinya. Matanya bersitatap pandang dengan Lily yang termangu. Bibirnya menyeringai misterius."Oke. Kalau mama dan papa masih memaksa, Doni akui, Doni memang menjebak kak Lily! Dan Doni memang berniat untuk memperkosanya.""Plak!""Anak kurang ajar!"Doni menyeringai lagi. Tamparan papanya memang menyakitkan, tapi bukan itu. Ketidak percayaan kedua orang tuanya atas dirinya lah yang membuatnya sakit dan berontak. Ia juga ingin di hargai sebagai putra mereka."Sia-sia papa mendidikmu jika hanya menjadi bajingan!""Pa, sabar. Doni sudah mengakui kesalahannya. Ayolah pa, tahan emosimu," mama memegangi tangan suaminya. Pak Rendra terduduk di kursi, tertunduk dan memegangi kepalanya."Cih!" Doni mendecih.Lily yang sedari tadi melihat pertengkaran mereka hanya bisa terdiam. Ia masih tak percaya akan terjebak di situasi seperti ini.Ia lihat ke dua orang tuanya yang terisak. Ia hanya bisa menghela napas, ia telah mengecewakan orang tuanya.Tadi pagi, saat orang tuanya berkunjung di kosannya. Mereka terkejut setengah mati, mendapati putrinya sedang tidur dalam pelukan seorang pemuda. Mereka terlelap hingga tak menyadari kedatangan orang tua Lily.Beruntung, kosan sedang sepi. Ayah dan ibu Lily yang syok dan murka langsung membawa mereka pulang saat itu juga. Menyidang mereka di rumah agar tak menimbulkan keributan.Lily yang bingung dengan kejadian yang menimpanya hanya bisa terdiam saat sedang di interogasi. Ia tak ingat apa-apa. Kepalanya saja masih pusing. Terakhir kali ia ingat, ia diajak oleh teman-temannya ke sebuah club. Awalnya dia menolak, namun karena mereka memaksa ia tak ada pilihan lain selain mengikutinya. Lagipula seingatnya ia tak minum alkohol, ia hanya memesan jus jeruk. Itu saja.Setelah itu dia tak ingat apa-apa. Tiba-tiba terbangun dalam pelukan pemuda berandal itu."Maafkan putra kami pak Diki. Kami berjanji akan bertanggung jawab atas insiden ini," sesal pak Rendra.Pak Rendra menatap Doni dan beralih ke Lily yang terdiam dengan pandangan bingung."Minggu depan kita nikahkan mereka.""Apa!"Doni tersentak dari duduknya. Dan Lily bangkit dari ketidak sadarannya. Ia akan menikah dengan pemuda berandal itu? Bocah yang lebih muda darinya dua tahun itu?"Tapi, dia kan lebih tua," tudingnya pada Lily."D-Dia masih SMA. Bagaimana bisa aku menikah dengan bocil?" tolak mereka dengan alasan beda umur."Tidak ada penolakan. Daripada nanti kalian bertindak lebih jauh lagi. Lebih baik dicegah dari sekarang.""Benar Ly. Bapak sama ibumu tak mau ada kejadian buruk yang menimpamu lagi. Cukup ini saja.""Tapi," bingungnya. Ia pandang Doni yang memasang wajah datar."Tenang saja. Pernikahan kalian akan dilaksanakan sembunyi-sembunyi. Tak akan berpengaruh pada sekolah kalian. Lagipula sebentar lagi Doni juga lulus dari sekolah," jelas pak Rendra.Keputusan sudah bulat. Tak ada penolakan. Lily menyandarkan tubuhnya lemas.Punya dosa apa dia dimasa lalu, sehingga harus menikahi berondong mesum itu. Lily menarik napas kasar. Hari-hari buruk akan segera di laluinya.Rapat direksi berjalan lumayan alot. Menguras tenaga dan pikiran. Ditambah Farel yang meski berada di ruang ber-Ac merasakan panas dingin. Mungkin karena dia kepikiran yang di rumah. Beruntung presentasinya lancar. Mendapatkan aplouse dari yang lain. Kembali ke mejanya dengan gugup. Papanya menepuk pundaknya, mengacungkan jempol.Tak lama rapat selesai. Tapi masih dilanjut dengan obrolan ala-ala bapak-bapak khas. Farel bergerak gelisah. Dan rupanya itu disadari Dirga. Belum sempat Dirga mengatakan sesuatu, ponselnya berdering."Ah, maaf. Ada panggilan."Pak Manaf mengangguk.Dirga berjalan agak menjauh."Halo sayang--""Farel ada sama kamu kan?""Em, iya. Kenapa?""Cepat ke rumah sakit. Hana akan melahirkan."Dirga terkejut. Menoleh ke arah Farel. Pantas saja putranya sedari tadi gelisah."Oh, oke. Segera."Telpon dimatikan. Dirga segera menghampiri Farel."Segera ke rumah sakit. Istrimu mau melahirkan."Mulut Farel ternganga, tapi dia malah bingung."Tunggu apalagi. Ajak mertuamu, na
Beberapa hari kemudian, Farel sudah boleh dibawa pulang. Merayakan kepulangan Farel dengan mengadakan pesta kecil-kecilan. Tentu hadir juga David dan keluarga Billa.Disela obrolan itu Bram mengomeli Farel karena dikiranya selingkuh dengan wanita waktu itu. Untung saja Bram belum mengatakan pada yang lainnya. Hanya dia pendam sendiri. Dan setelah tahu kenyataannya, dia lega. Yang paling membuat terkejut adalah pernyataan Billa, bahwa Yulia adalah putrinya dengan pria brengsek waktu itu. Dia tahu karena melihat berita yang ramai dibicarakan di televisi dan portal berita online lainnya. Menelisik asal negara dan nama ayahnya, Billa yakin, Yulia itu benar putrinya. Tentu saja itu menggemparkan. Mereka jadi tak enak pada Billa. Tapi Billa bilang tak apa. Mungkin karena didikan ayahnya sehingga Yulia seperti itu. Billa sendiri nanti rencananya akan menemui Yulia saat kondisi sudah kondusif.Pesta dilanjut dengan kecerewetan dari Devan. Dia memang mood booster. Tahu sendirilah, keturunan D
Kenapa harus ada session rumah sakit lagi untuk kisahnya? Dan kali ini pun, pria itu yang terbaring di ranjang pesakitan. Hana menggenggam tangan Farel. Beberapa jam yang lalu, Farel memasuki ruang gawat darurat untuk mengeluarkan peluru di pinggir punggungnya. Untung saja tak sampai tembus mengenai organ dalamnya. Tapi yang namanya peluru panas tetap saja membuat korbannya terbaring tak berdaya. Kini Farel dipindahkan di ruang yang sama dengannya. Frans mati di tempat akibat tiga peluru yang dia tembakkan. Sedang Yulia kini juga dirawat di ruang yang berbeda. Wanita itu rupanya tahan banting. Devan, David dan papanya mendapat perawatan ringan atas luka yang mereka peroleh dari hasil gulat dini hari tadi. Sedangkan kawanan penjahat lain berhasil di ringkus polisi. Termasuk penjahat yang hanya memakai celana dalam itu. Dia terbangun bingung saat mendapati keadaannya yang memalukan.Sampai saat ini, Hana masih tak paham dengan yang dilakukan Farel. Kenapa pria itu datang bersama yang
"Dor! Dor!"Langkah Farel terhenti. Terkejut. Devan segera menariknya ke tempat tersembunyi."Van, siapa?"Devan menggeleng. Tatapannya awas. Mencoba bersikap tenang. Suara ini masih di dekat sini. Jantungnya berdegup kencang. Terpikirkan keberadaan papanya. Ck! Harusnya dia tadi bersama papanya. Tapi, ah...Totalnya ada empat orang yang berhasil mereka lumpuhkan tadi. Jadi, sebenarnya ada berapa orang yang ada disini.Sebuah bayangan hitam berkelebat melewati mereka. Secepat kilat Devan merebut pistol dari tangan Farel. Bersiaga. "Om! Cari keberadaan Farel!"Astaga! Itu, David. Spontan Devan keluar."Bang David."Sontak bayangan itu menoleh."Farel?"Farel muncul.Baru saja David hendak berkata, terdengar suara lain."Itu mereka!"Suara tembakan kembali terdengar. Secepat kilat mereka merunduk mencari tempat aman. "Brengsek! Sial! Dimana curut-curut itu!"Degh!Farel tersentak. Dia tak asing dengan suara itu. Mirip dengan pria yang mendorongnya ke jurang itu. Pria yang bersama deng
Sebuah gudang bekas pabrik lama. Di ruangan yang samar akan penerangan. Sesosok wanita tertunduk dengan kaki dan tangan yang diikat. Mulutnya tersumpal plester besar. Dia masih pingsan akibat bius yang terhirup olehnya beberapa jam yang lalu. Ada dua penjaga yang bersiaga di luar pintu.Sementara di ruangan yang lain, tiga orang pria dan satu wanita tengah menikmati minuman keras di hadapan mereka."Brengsek! Dia masih belum sadar juga?" Wanita itu berkata."Sepertinya kalian tadi memberinya bius terlalu banyak," tukas sang pria."Sory, boss. Dia memberontak kuat. Jadi terpaksa," ucap salah satu dari dua orang yang lain itu. Menuangkan isi botol ke gelas yang diacungkan oleh pria itu."Argh! Aku gak sabar buat nyiksa dia. Frans, ayo kita kunjungi dia sekarang.""Tapi dia belum sadar sayang...""Akan kubuat dia sadar. Ayo! Tanganku sudah gatal menyiksanya."Frans tersenyum. Membelai pipi wanita itu. Lalu mengecup bibirnya singkat."Kau ini bernafsu sekali, hmm? Baiklah, ayo."Keduanya
Pukul setengah sembilan malam saat dia memutuskan pergi. Belum terlalu malam, tapi mama dan papanya juga sudah pergi tidur. Dengan mengendap-endap, Hana menuruni tangga, membuka pintu depan, dan menutupnya kembali.Angin dingin langsung menerpanya. Untung dia memakai sweater yang lumayan tebal. Juga syal merah jambu yang dia lilitkan di lehernya. Dan juga topi rajut menutupi rambut dan telinganya. Mendongak ke langit, gelap. Bahkan tak ada bintang yang tampak. Wajar saja mendung. Anginnya saja dingin luar biasa.Nekat, Hana melongok ke pos satpam. Aman. Mungkin pak Dito sedang di dalam. Mengendap-endap dia membuka gerbang, dan menutupnya lagi. Bergegas mencari tempat aman.Dia sudah memesan taksi online dari aplikasi di ponselnya. Hanya saja taksi pesanannya belum datang. Wanita itu melongok ke arah jalanan dengan tangan dimasukkan ke dalam saku. Menghalau dingin yang teramat menusuk. Menyesal, kenapa dia malah hanya memakai sweater, bukan langsung jaket. Tahu dinginnya begini, dia p