Share

Bab 3 Emosi Yang Membuncah

Andhika hendak mencari orang tuanya yang mengalami kecelakaan. Ia hanya datang seorang diri. Saat itu, dia melihat sosok gadis kecil yang sedang berjalan-jalan di luar ruang UGD dan ada pria berbadan kekar menghampirinya.

"Putri, ya Tuhan!"

Andhika berjalan terburu-buru ke ruang UGD. Ia menghempas tangan si pria yang tampak sedang merayu gadis kecil itu.

"Tunggu! anda mau apakan anak saya!" hardiknya.

"Oh, kami dari kepolisian. Anda anggota keluarga nenek Diana, kan? kebetulan kami sedang menunggu," jawabnya.

Andhika menggendong putrinya lalu menengok neneknya yang sedang berbaring di ranjang. 

"Nenek," panggilnya, ia memeluknya dengan erat.

"Nenek baru saja dirampok orang, untung ada yang mau menolong, coba kalau enggak," keluh beliau sambil mengusap bahu Andhika.

Andhika lantas keluar ruang UGD dan menyambangi pria yang sedang menunggu. Dalam kondisi geram, ia malah memaki-maki.

"Anda yang membantu nenek saya? sudah telat, ini sudah telat. Harusnya hubungi saya lebih awal!"

"Maaf, jangan emosi dulu. Beliau baru saja beritahu saya nomor HP anda."

Andhika yang geram menarik baju lawan bicaranya. Namun, seseorang menahan gerakan tangannya. Dan Andhika terkejut ketika melihat sosok yang berpakaian seperti polisi hendak memisahkan pertikaian itu.

"Maaf, jangan bertengkar di sini. Ini rumah sakit, hargai mereka jangan sampai istirahatnya terganggu akibat ulah anda," ucapnya.

"Pak Sofyan, dia sudah mencari gara-gara!" 

"Tenang, Doni!" Sahut Sofyan.

Andhika mulai mereda. Namun, watak arogannya belum juga luluh. Doni hampir saja menjadi korban lebih memilih untuk menghampiri Andhika.

 "Saya dari kepolisian, ada apa ini?" tanya Sofyan.

"Gue kan udah bantu orang tuanya ke rumah sakit, eh dianya tiba-tiba saja marahin gue," keluh Doni. "Orang kurang adab!"

"Ingat, ya! saya memang gampang emosi. Cepat bilang apa yang terjadi dengan nenek dan putri saya itu!" ucapnya sambil menunjuk pada dua orang yang sedang duduk di ranjang pasien.

Sofyan tertegun. Rupanya mereka adalah sosok nenek dan anak perempuan yang sudah ditolong oleh Suci. Si nenek tampak lemah dan anak perempuan itu duduk dengan tenang sembari meneguk air.

"Itu nenek anda, kan? tadi siang mereka dirampok dan teman saya yang menolong beliau, kalau gak percaya tanya saja mereka," tegas Sofyan. "Anda jangan kayak anak kecil, bersikaplah dewasa sedikit!"

 Andhika naik darah. Tatapan matanya semakin tajam. 

 "Kamu gak tahu sedang berhadapan dengan siapa! jangan seenaknya saja kalau ngomong, tutup mulut anda!"

"Anda yang harusnya tutup mulut!" sangkal Sofyan. "Orang yang sudah berbuat baik sama mereka, anda harusnya tahu terima kasih malah uring-uringan seperti orang depresi. Mau lawan saya? silakan, saya dari kepolisian, jadi saksi dari begal yang sudah merampok nenek anda itu."

Andhika masih geram. Lalu menarik kemeja yang dikenakan Sofyan dan tangan kanan dan hendak memukul. Tapi, seseorang wanita menahan tangan Andhika untuk menghentikan aksinya.

 "Cukup Andhika, cukup! jangan main tangan lagi. Kalau anak kamu jadi korban pemukulan orang pastinya kamu sakit hati juga, kan?" ucapnya.

 "Mama, sejak kapan ada di sini?" tanya Andhika keheranan dan ia berbicara dengan ketus. "Mereka mengaku jadi saksi begal yang mencoba merampok nenek sampai hipertensinya kambuh."

Sofyan membela diri. "Maaf, bu. Kami dari kepolisian, begal yang coba merampok beliau sudah ditangani pihak polisi, jadi tidak perlu takut lagi."

Andhika tampak mengalah, lalu ia memilih menyambangi nenek dan anaknya di ruang UGD. Sikap arogannya memang sulit dikendalikan saat berseteru dengan orang lain. 

"Maaf, sudah merepotkan. Dia anak saya memang suka emosian kalau di situasi begini," ucap ibu itu.

 "Yang menolong nenek itu sebenarnya teman saya. Tapi, masalah begal itu sudah kami tangani. Jadi tenang saja, jangan cemas lagi. Yang jelas harus waspada kalau bepergian kemanapun. Saya mau pamit dulu, ada pekerjaan yang harus kami tangani," pamit Sofyan.

Sofyan dan Doni lalu pergi meninggalkan rumah sakit itu. Wanita yang baru saja datang merasa malu ketika putranya harus berseteru di tempat yang dikerumuni banyak orang.  Apalagi putranya berhadapan dengan anggota kepolisian.

Beliau menghampirinya lalu memeluk wanita dengan rambut yang telah memutih itu dengan erat. Mata beliau tampak berat, ia sedang dalam posisi setengah duduk di ranjang pasien. 

"Lain kali hati-hati kalau bepergian, apalagi ibu bawa Putri, kalau gak ada yang bantu, gak tahu nasib udah kayak apa."

"Marlina, ibu kan sudah lama gak jalan sama Putri, mumpung masih hidup," tegas nenek itu.

Andhika mendekat, lalu memeluk erat neneknya itu. Menghela napas dan suaranya memburu di telinga sang nenek.

"Cuma nenek yang bisa meluluhkan hati aku. Nek, jangan sembarangan lagi kalau mau pergi, kita khawatir," keluh Andhika. 

Pintu terbuka. Muncul sosok dokter cantik nan murah senyum itu membawa alat medis dan menyapa.

 "Hai semua, eh Andhika, tante Marlina, kirain siapa? kapan datang?" tanya dia.

"Tante baru aja datang," sahutnya.

"Indah, makasih ya. Kamu sudah tangani nenek kesayangan aku ini. Apalagi Putri," ucap Andhika dengan lembut.

Indah hanya tersenyum manis. Lalu ia membuka tasnya, ada sebuah boneka kecil dan ia berikan pada Putri yang belum berkutik sedikitpun.

"Ini buat Putri," kata Indah. Tapi gadis kecil itu tampak keberatan menerimanya. "Ini buat Putri, sayang."

Andhika yang menerima boneka kecil tersebut. Lalu ia berikan pada anak gadisnya yang masih berusia lima tahun itu. 

"Putri, ini dari tante Indah, ayo terima, sayang. Jangan sungkan, tante Indah kan teman Papa."

Seketika raut wajah Indah berubah menjadi suram. Seraya bergumam," teman? Kok, cuma teman, sih?"

Tak mau ada perdebatan, Indah lantas memeriksa tensi darah neneknya Andhika juga cek suhu tubuh beliau. Ia mendapat tensi darah nenek itu memang tinggi. Kemudian dahinya mengerut.

"Tensi darah nenek udah tinggi, hati-hati jaga makanan juga pikiran, kalau enggak, nanti bisa stroke," ungkapnya.

"Nenek memang keras kepala," tandas Andhika. "Sudah aku bilang, tapi gak mau nurut."

Kemudian ponsel Andhika berbunyi, ia mengangkat teleponnya dan sengaja keluar ruangan untuk bercakap-cakap. Saat di luar ruangan itu ketika dia asyik berbicara tiba-tiba saja Suci melewatinya dan sebuah kertas yang dia pegang kemudian terlepas dan melayang lalu menutupi wajah Andhika.

Andhika lantas menutup ponselnya dan keheranan, ia mengambil kertas itu lalu memanggil sosok wanita yang telah melewatinya.

"Tunggu!" 

Suci menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Ada apa, ya?" sahutnya. Betapa terkejutnya ketika berpapasan lagi dengan pria yang telah memakinya.

Andhika terbelalak. Aliran darahnya naik kembali. 

"Kamu yang barusan, kan!" ucapnya lantang.

Suci mengambil paksa kertas itu dari tangan Andhika. "Sini kertasnya, saya mau tanda tangan. Kertas yang pertama sudah kamu robek, kamu buat saya sedih saja."

 "Sedih atau tidak itu bukan urusan saya. Kamu yang bermental lemah lagi susah, jadi wajar saja hanya robekan kertas bisa buat dunia kamu kayak kiamat," ucap Andhika.

 "Hentikan!" gertak Sofyan yang tiba-tiba ada di depan mereka.

Mata Andhika dan Sofyan yang sama-sama tajam saling menatap dengan penuh emosi.

"Anda jangan macam-macam sama wanita, jaga ahlak sama orang lain. Dan dia adalah orang yang sudah berbaik hati menolong nenek dan anak anda," tukas Sofyan.

Andhika membalasnya dengan sinis. Ia bersedekap. "Begitu, ya."

Suci naik pitam. Ada dorongan untuk menampar si pria yang berseteru dengannya dan tangan kanannya mulai ia angkat. Namun, ia mengurungkan niatnya  seketika. Ia teringat akan ibunya yang sakit dan memutuskan untuk pergi. Dan Sofyan menuntun tangan Suci untuk menjauh dari pria yang arogan itu.

Kemudian suara gadis kecil mendadak terdengar dari ruangan dan berteriak," tante, tante!"

Suci lantas menoleh. Ia melepaskan genggaman tangan Sofyan karena mendapati gadis kecil itu tengah memanggilnya. Kemudian ia menghampirinya.

"Kamu gadis yang di jalan itu, kan?" sahut Suci.

Suci hendak memeluk gadis manis itu. Ia mulai berjongkok. Sayangnya tangan Suci ditahan oleh Andhika yang tampak tidak suka. Sofyan meraih tangan Suci lagi dan sedikit mengusap bahunya.

Andhika bergegas menggendongnya dan kembali masuk ruang UGD. Sengaja ia menjauhkan anaknya dari pelukan orang asing, kemudian menghadap kembali pada tiga wanita yang sedang bercengkrama.

"Barusan tante itu yang sudah menolong kita, papa," ucap gadis kecil itu.

"Putri, itu orang lain. Jangan sembarangan," kata Andhika, sang ayah yang menggendongnya.

Putri mulai memberontak, dia terus merengek ingin bertemu dengan wanita yang telah menolongnya. Entah mengapa dia bisa begitu. Sampai ayahnya bingung harus apa.

"Sikap keras kepalanya warisan dari papanya tuh," tukas neneknya.

"Mungkin Putri butuh ibu sambung secepat mungkin, makanya dia suka merengek-rengek," kata Indah. 

Andhika menurunkan anaknya itu, kemudian ia memeriksa kembali di luar ruangan. Dan di sana sudah tak menemukan siapapun. 

"Mana dia? barusan dia ada di sini?" gumamnya.

Andhika kembali menghampiri ibu kandung dan neneknya. Ia mendapati wajah anaknya yang cemberut dan sedang mendekap di dada neneknya. Sebagai ayah mungkin harus perhatian, ia mengusap rambutnya lalu merangkulnya lagi.

"Andhika, barusan Putri cerita katanya udah ketemu sama wanita yang udah bantu kita," kata neneknya. 

Andhika menghela napas, hatinya sedang kalut, apalagi ketika mendengar perkataan neneknya. Kemudian ia bergumam dalam batinnya.  "Apa aku cari dia saja, ya? meski kita barusan sudah bertengkar."

   

     

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status