Andhika hendak mencari orang tuanya yang mengalami kecelakaan. Ia hanya datang seorang diri. Saat itu, dia melihat sosok gadis kecil yang sedang berjalan-jalan di luar ruang UGD dan ada pria berbadan kekar menghampirinya.
"Putri, ya Tuhan!"
Andhika berjalan terburu-buru ke ruang UGD. Ia menghempas tangan si pria yang tampak sedang merayu gadis kecil itu.
"Tunggu! anda mau apakan anak saya!" hardiknya.
"Oh, kami dari kepolisian. Anda anggota keluarga nenek Diana, kan? kebetulan kami sedang menunggu," jawabnya.
Andhika menggendong putrinya lalu menengok neneknya yang sedang berbaring di ranjang.
"Nenek," panggilnya, ia memeluknya dengan erat.
"Nenek baru saja dirampok orang, untung ada yang mau menolong, coba kalau enggak," keluh beliau sambil mengusap bahu Andhika.
Andhika lantas keluar ruang UGD dan menyambangi pria yang sedang menunggu. Dalam kondisi geram, ia malah memaki-maki.
"Anda yang membantu nenek saya? sudah telat, ini sudah telat. Harusnya hubungi saya lebih awal!"
"Maaf, jangan emosi dulu. Beliau baru saja beritahu saya nomor HP anda."
Andhika yang geram menarik baju lawan bicaranya. Namun, seseorang menahan gerakan tangannya. Dan Andhika terkejut ketika melihat sosok yang berpakaian seperti polisi hendak memisahkan pertikaian itu.
"Maaf, jangan bertengkar di sini. Ini rumah sakit, hargai mereka jangan sampai istirahatnya terganggu akibat ulah anda," ucapnya.
"Pak Sofyan, dia sudah mencari gara-gara!"
"Tenang, Doni!" Sahut Sofyan.
Andhika mulai mereda. Namun, watak arogannya belum juga luluh. Doni hampir saja menjadi korban lebih memilih untuk menghampiri Andhika.
"Saya dari kepolisian, ada apa ini?" tanya Sofyan.
"Gue kan udah bantu orang tuanya ke rumah sakit, eh dianya tiba-tiba saja marahin gue," keluh Doni. "Orang kurang adab!"
"Ingat, ya! saya memang gampang emosi. Cepat bilang apa yang terjadi dengan nenek dan putri saya itu!" ucapnya sambil menunjuk pada dua orang yang sedang duduk di ranjang pasien.
Sofyan tertegun. Rupanya mereka adalah sosok nenek dan anak perempuan yang sudah ditolong oleh Suci. Si nenek tampak lemah dan anak perempuan itu duduk dengan tenang sembari meneguk air.
"Itu nenek anda, kan? tadi siang mereka dirampok dan teman saya yang menolong beliau, kalau gak percaya tanya saja mereka," tegas Sofyan. "Anda jangan kayak anak kecil, bersikaplah dewasa sedikit!"
Andhika naik darah. Tatapan matanya semakin tajam.
"Kamu gak tahu sedang berhadapan dengan siapa! jangan seenaknya saja kalau ngomong, tutup mulut anda!"
"Anda yang harusnya tutup mulut!" sangkal Sofyan. "Orang yang sudah berbuat baik sama mereka, anda harusnya tahu terima kasih malah uring-uringan seperti orang depresi. Mau lawan saya? silakan, saya dari kepolisian, jadi saksi dari begal yang sudah merampok nenek anda itu."
Andhika masih geram. Lalu menarik kemeja yang dikenakan Sofyan dan tangan kanan dan hendak memukul. Tapi, seseorang wanita menahan tangan Andhika untuk menghentikan aksinya.
"Cukup Andhika, cukup! jangan main tangan lagi. Kalau anak kamu jadi korban pemukulan orang pastinya kamu sakit hati juga, kan?" ucapnya.
"Mama, sejak kapan ada di sini?" tanya Andhika keheranan dan ia berbicara dengan ketus. "Mereka mengaku jadi saksi begal yang mencoba merampok nenek sampai hipertensinya kambuh."
Sofyan membela diri. "Maaf, bu. Kami dari kepolisian, begal yang coba merampok beliau sudah ditangani pihak polisi, jadi tidak perlu takut lagi."
Andhika tampak mengalah, lalu ia memilih menyambangi nenek dan anaknya di ruang UGD. Sikap arogannya memang sulit dikendalikan saat berseteru dengan orang lain.
"Maaf, sudah merepotkan. Dia anak saya memang suka emosian kalau di situasi begini," ucap ibu itu.
"Yang menolong nenek itu sebenarnya teman saya. Tapi, masalah begal itu sudah kami tangani. Jadi tenang saja, jangan cemas lagi. Yang jelas harus waspada kalau bepergian kemanapun. Saya mau pamit dulu, ada pekerjaan yang harus kami tangani," pamit Sofyan.
Sofyan dan Doni lalu pergi meninggalkan rumah sakit itu. Wanita yang baru saja datang merasa malu ketika putranya harus berseteru di tempat yang dikerumuni banyak orang. Apalagi putranya berhadapan dengan anggota kepolisian.
Beliau menghampirinya lalu memeluk wanita dengan rambut yang telah memutih itu dengan erat. Mata beliau tampak berat, ia sedang dalam posisi setengah duduk di ranjang pasien.
"Lain kali hati-hati kalau bepergian, apalagi ibu bawa Putri, kalau gak ada yang bantu, gak tahu nasib udah kayak apa."
"Marlina, ibu kan sudah lama gak jalan sama Putri, mumpung masih hidup," tegas nenek itu.
Andhika mendekat, lalu memeluk erat neneknya itu. Menghela napas dan suaranya memburu di telinga sang nenek.
"Cuma nenek yang bisa meluluhkan hati aku. Nek, jangan sembarangan lagi kalau mau pergi, kita khawatir," keluh Andhika.
Pintu terbuka. Muncul sosok dokter cantik nan murah senyum itu membawa alat medis dan menyapa.
"Hai semua, eh Andhika, tante Marlina, kirain siapa? kapan datang?" tanya dia.
"Tante baru aja datang," sahutnya.
"Indah, makasih ya. Kamu sudah tangani nenek kesayangan aku ini. Apalagi Putri," ucap Andhika dengan lembut.
Indah hanya tersenyum manis. Lalu ia membuka tasnya, ada sebuah boneka kecil dan ia berikan pada Putri yang belum berkutik sedikitpun.
"Ini buat Putri," kata Indah. Tapi gadis kecil itu tampak keberatan menerimanya. "Ini buat Putri, sayang."
Andhika yang menerima boneka kecil tersebut. Lalu ia berikan pada anak gadisnya yang masih berusia lima tahun itu.
"Putri, ini dari tante Indah, ayo terima, sayang. Jangan sungkan, tante Indah kan teman Papa."
Seketika raut wajah Indah berubah menjadi suram. Seraya bergumam," teman? Kok, cuma teman, sih?"
Tak mau ada perdebatan, Indah lantas memeriksa tensi darah neneknya Andhika juga cek suhu tubuh beliau. Ia mendapat tensi darah nenek itu memang tinggi. Kemudian dahinya mengerut.
"Tensi darah nenek udah tinggi, hati-hati jaga makanan juga pikiran, kalau enggak, nanti bisa stroke," ungkapnya.
"Nenek memang keras kepala," tandas Andhika. "Sudah aku bilang, tapi gak mau nurut."
Kemudian ponsel Andhika berbunyi, ia mengangkat teleponnya dan sengaja keluar ruangan untuk bercakap-cakap. Saat di luar ruangan itu ketika dia asyik berbicara tiba-tiba saja Suci melewatinya dan sebuah kertas yang dia pegang kemudian terlepas dan melayang lalu menutupi wajah Andhika.
Andhika lantas menutup ponselnya dan keheranan, ia mengambil kertas itu lalu memanggil sosok wanita yang telah melewatinya.
"Tunggu!"
Suci menghentikan langkahnya lalu menoleh. "Ada apa, ya?" sahutnya. Betapa terkejutnya ketika berpapasan lagi dengan pria yang telah memakinya.
Andhika terbelalak. Aliran darahnya naik kembali.
"Kamu yang barusan, kan!" ucapnya lantang.
Suci mengambil paksa kertas itu dari tangan Andhika. "Sini kertasnya, saya mau tanda tangan. Kertas yang pertama sudah kamu robek, kamu buat saya sedih saja."
"Sedih atau tidak itu bukan urusan saya. Kamu yang bermental lemah lagi susah, jadi wajar saja hanya robekan kertas bisa buat dunia kamu kayak kiamat," ucap Andhika.
"Hentikan!" gertak Sofyan yang tiba-tiba ada di depan mereka.
Mata Andhika dan Sofyan yang sama-sama tajam saling menatap dengan penuh emosi.
"Anda jangan macam-macam sama wanita, jaga ahlak sama orang lain. Dan dia adalah orang yang sudah berbaik hati menolong nenek dan anak anda," tukas Sofyan.
Andhika membalasnya dengan sinis. Ia bersedekap. "Begitu, ya."
Suci naik pitam. Ada dorongan untuk menampar si pria yang berseteru dengannya dan tangan kanannya mulai ia angkat. Namun, ia mengurungkan niatnya seketika. Ia teringat akan ibunya yang sakit dan memutuskan untuk pergi. Dan Sofyan menuntun tangan Suci untuk menjauh dari pria yang arogan itu.
Kemudian suara gadis kecil mendadak terdengar dari ruangan dan berteriak," tante, tante!"
Suci lantas menoleh. Ia melepaskan genggaman tangan Sofyan karena mendapati gadis kecil itu tengah memanggilnya. Kemudian ia menghampirinya.
"Kamu gadis yang di jalan itu, kan?" sahut Suci.
Suci hendak memeluk gadis manis itu. Ia mulai berjongkok. Sayangnya tangan Suci ditahan oleh Andhika yang tampak tidak suka. Sofyan meraih tangan Suci lagi dan sedikit mengusap bahunya.
Andhika bergegas menggendongnya dan kembali masuk ruang UGD. Sengaja ia menjauhkan anaknya dari pelukan orang asing, kemudian menghadap kembali pada tiga wanita yang sedang bercengkrama.
"Barusan tante itu yang sudah menolong kita, papa," ucap gadis kecil itu.
"Putri, itu orang lain. Jangan sembarangan," kata Andhika, sang ayah yang menggendongnya.
Putri mulai memberontak, dia terus merengek ingin bertemu dengan wanita yang telah menolongnya. Entah mengapa dia bisa begitu. Sampai ayahnya bingung harus apa.
"Sikap keras kepalanya warisan dari papanya tuh," tukas neneknya.
"Mungkin Putri butuh ibu sambung secepat mungkin, makanya dia suka merengek-rengek," kata Indah.
Andhika menurunkan anaknya itu, kemudian ia memeriksa kembali di luar ruangan. Dan di sana sudah tak menemukan siapapun.
"Mana dia? barusan dia ada di sini?" gumamnya.
Andhika kembali menghampiri ibu kandung dan neneknya. Ia mendapati wajah anaknya yang cemberut dan sedang mendekap di dada neneknya. Sebagai ayah mungkin harus perhatian, ia mengusap rambutnya lalu merangkulnya lagi.
"Andhika, barusan Putri cerita katanya udah ketemu sama wanita yang udah bantu kita," kata neneknya.
Andhika menghela napas, hatinya sedang kalut, apalagi ketika mendengar perkataan neneknya. Kemudian ia bergumam dalam batinnya. "Apa aku cari dia saja, ya? meski kita barusan sudah bertengkar."
"Aku harus apa lagi?" batin Suci.Sofyan tetap memeluknya. Mengusap bahu dan rambut gadis itu.Suci terus mengeluhkan kondisinya saat ini yang sedang dirundung masalah. Ibunya sudah semakin parah, hutang bekas pengobatan terus menggunung, bahkan air mata sendunya tak mampu lagi teteskan."Tenang, aku ada di sini buat kamu," kata Sofyan.Tiba di sore hari, dia hendak pulang ke rumahnya dengan menyusuri jalan yang sama. Suci masih mengingat insiden saat menolong seorang nenek dan gadis kecil itu di sana. Ia berdiri sejenak lalu bayangan mereka begitu terngiang-ngiang, apalagi jurus silat yang ia keluarkan saat melawan para begal."Berkesan juga, ya. Kok aku bisa sekuat itu? kenapa aku gak kuat ketika ibuku sakit, ya."Suci pun melanjutkan perjalanannya sendirian. Meski berat dirasa tapi terpaksa harus ia lakukan demi kesembuhan ibunya."
Andhika menghela napas saat mendapati putrinya tak juga berangkat sekolah. Seragam lucunya sudah ia kenakan namun masih saja bermain-main di dalam rumah dengan skuter kesayangannya."Putri," sapanya. "Putri, papa punya makanan kesukaan kamu, nih. Ada coklat, kue dan strawberry juga."Makanan itu ia berikan. Andhika menatap fokus pada gadis kecilnya yang tak mau merespon sapaannya. Dan Putri hanya mengambil satu buah strawberry lalu ia malah menjauhi ayahnya."Kenapa dia gak mau sekolah?" gumam Andhika.Makanan itu ia simpan di atas meja makan. Dan Andhika hanya menikmati beberapa masakan yang tersaji. Neneknya baru saja muncul, dia membawa sebuah tas, dari pakaiannya saja sudah menunjukan bahwa beliau hendak berpergian."Nek, kok Putri gak mau sekolah? apa dia lagi males saja ya?" tanya Andhika."Ya namanya juga anak, kita gak bisa paksa dia seenaknya,
Nenek Diana tidak tahu kalau Suci sebenarnya sudah keluar dari rumah sakit. Ia bersikeras menyuruh supirnya untuk menghentikan mobilnya di depan RS. Namun, beliau agak ragu ketika hendak keluar dari mobilnya. "Benar di sini ada orangnya, bu?" Tanya Pak Rustam. "Apa kita cari saja dulu di sana. Kalau gak ketemu juga mungkin bisa cari Indah. Tapi, kok hati saya kurang enak, ya? Mau ada apa ini?" Gumam beliau sembari mengusap tangannya. Tapi, takdir baik berpihak padanya. Nenek Diana melihat Suci sedang berjalan sendirian di seberang. Matanya mendelik, batinnya sudah tidak sabar lagi untuk segera berpapasan dengan gadis yang telah menolongnya itu. "Pak, itu dia anaknya," ucapnya sambil menunjuk ke seberang jalan. "Iya, harus nyebrang dulu, bu. Nanti, sabar, ya?"
Motor yang baru saja melintas telah menabrak beliau. Pelaku terpental ke tengah jalan tapi nenek Diana tergeletak di samping mobilnya, pintu mobil agak retak pula. Banyak orang mengerumuni tempat itu, lantas Suci bergegas menghampiri, ia bertekuk lutut sembari memeluk badan nenek Diana yang sudah berlumuran darah. Rasa paniknya mulai melanda tak terbendung lagi untuk menangis meratapi insiden kecelakaan ini "Nenek!" Dan orang yang mengerumuni mereka bertanya-tanya. "Bu, dia nenekmu ya?" "Punya nenek kok dibiarkan sendirian?" "Panggil ambulans saja. Rumah sakit dekat! Cepat!"
Dengan emosi yang naik pitam Andhika mendekat pada gadis yang tengah menyaksikan kesedihan mereka. Matanya terbelalak kala mata coklatnya melihat Suci yang tampak anggun dan berwajah lembut, ia dekati dengan bahasa tubuh yang amat ditakuti. "Oh, jadi wanita ini yang ditemui nenek," batinnya. "Gadis kampung pasti hidupnya susah, kenapa nenek ambisius ingin ketemu dia?" Dan Andhika pun berdiri dengan menyedekapkan tangan tepat di hadapan Suci. "Siapa kamu?" Tanya Andhika. "Katanya dia yang baru saja ditemui nenek," sahut Indah. "Oh jadi kamu yang sudah me
"Beneran, kamu masih ingat sama tante?" "Benar, tante. Aku ingat waktu tante melawan orang jahat itu, kan? Yang pakai silat," ucapnya dari bibir mungilnya. Suci tertawa geli mendengar celotehan kecil dari gadis imut di hadapannya itu. "Terus om ini siapa? Pacar tante, ya?" "Oh, dia teman tante, sayang. Om Sofyan, dia detektif. Tahu gak detektif itu apa? Ayo, coba tebak?" "Mana aku tahu, tante. Tapi, sekarang nenek sudah meninggal, dia katanya mau ke surga, nanti aku sama siapa? Sama omah saja gak rame." Wajah gadis kecil itu mendadak suram, menunduk dan tampak cemberut. Suci tetap membalas dengan senyuman hangatnya. Dan menjawab dengan singkat. "Iya, sayang. Nenek mau ke surga." Tiba-tiba Andhika muncul
Satu minggu setelah kematian nenek Diana, pihak kepolisian menghubungi Sofyan untuk menindak lanjuti kasus penyebab kecelakaan. Pelaku sama sekali belum ditemukan, apalagi sudah beredar kabar di media bahwa kasus ini adalah kecelakaan misterius. "Bagaimana ini? Aku belum bisa berbuat banyak. Aku terlalu fokus sama penagih hutang, hampir gak punya waktu buat urus ini urus itu, mana berat badanku makin hari makin berkurang," keluh Suci. "Pasti ada jalannya. Suatu hari pasti ketemu siapa pelakunya, aku kan detektif, masa gak percaya," kata Sofyan. Tentunya Suci belum mampu ikhtiar sendiri. Kekalutan hatinya masih menyerang dirinya, namun karena semangatnya dia mampu menghadapi yang terjadi saat ini.
ketika Suci duduk kursi panjang di luar ruangan itu. Ia membuka botol minuman kemudian diteguknya hingga habis. "Segarnya. Aku sekarang udah lega. Sidang ini masih lanjut?" "Sampai tuntas mungkin dua atau tiga kali lagi," jawab Sofyan. "Sofyan. Doakan aku, ya. Semoga bisa bayar semua hutang aku yang segunung, mungkin dalam waktu dekat ini aku mau berangkat buat kerja di luar negeri," kata Suci. "Serius? Kerja di sana perlu tenaga besar, mental juga siap sedia. Kamu sanggup?" "Ya sanggup, dong. Siapa yang mau bayar hutang aku yang banyak itu coba? Daripada aku stress lebih baik kerja, kan? Memang berat tapi mau giman