"Aku harus apa lagi?" batin Suci.
Sofyan tetap memeluknya. Mengusap bahu dan rambut gadis itu.
Suci terus mengeluhkan kondisinya saat ini yang sedang dirundung masalah. Ibunya sudah semakin parah, hutang bekas pengobatan terus menggunung, bahkan air mata sendunya tak mampu lagi teteskan.
"Tenang, aku ada di sini buat kamu," kata Sofyan.
Tiba di sore hari, dia hendak pulang ke rumahnya dengan menyusuri jalan yang sama. Suci masih mengingat insiden saat menolong seorang nenek dan gadis kecil itu di sana. Ia berdiri sejenak lalu bayangan mereka begitu terngiang-ngiang, apalagi jurus silat yang ia keluarkan saat melawan para begal.
"Berkesan juga, ya. Kok aku bisa sekuat itu? kenapa aku gak kuat ketika ibuku sakit, ya."
Suci pun melanjutkan perjalanannya sendirian. Meski berat dirasa tapi terpaksa harus ia lakukan demi kesembuhan ibunya.
"Suci," teriak seorang wanita menghampirinya.
"Iya, Reni. Ada apa?"
"Barusan aku dapat kabar, kamu tahu kan ibu Shella? dia titip pesan sama aku katanya mau nagih hutang, pengennya dia minggu ini dibayar, tapi semuanya terserah kamu, deh. Aku cuma menyampaikan saja," ungkapnya.
"Iya, pasti aku ingat. Aku mau pulang dulu, gak bisa lama-lama," pamitnya.
Batin Suci semakin terpuruk. Tapi, dia masih bisa semangat, air mata kegelisahannya sudah sirna, saat ini harus lebih tegar lagi. Dan kini dia sedang berdiri di depan rumahnya yang cukup besar itu. Rumah dua lantai hasil kerja keras orang tuanya harus dijual untuk melunasi hutangnya, sejenak ia menghela napas agar lebih tenang.
"Aku dan ibu sudah sepakat menjual rumah ini, mudah-mudahan jadi keputusan terbaik buat semuanya," gumamnya.
Dan orang yang hendak membeli rumahnya telah datang. Seorang pria dewasa turun dari mobilnya. Ia lantas melirik rumah itu, memegang pagarnya lalu memotret setiap sudut rumah tersebut. Suci keheranan, mengapa dia tak juga menyapa? padahal dirinya yang mau jual rumahnya.
Suci mendekat lalu menyapa, seraya bertanya," maaf, pak. Gimana rumah saya ini? ibu saya sudah sepakat jual rumah ini. Apa bapak keberatan dengan harga yang kami tawarkan?"
Pria itu malah menunjukkan sebuah pesan.
"Ini pesan dari ibu kamu, ini harga yang dia kasih ke saya. Gimana? kamu keberatan?"
Suci tercekat, rumah besar berlantai dua itu hanya dihargai empat ratus juta rupiah. Seolah tak percaya dengan sikap ibunya yang memberikan harga murah, padahal untuk melunasi hutang dan biaya pengobatan saja tidaklah cukup.
"Gak mungkin, pak! rumah saya ini lebih dari delapan ratus juta, mana mungkin ibu saya menawarkan harga murah begini?" keluhnya.
"Kalau kamu gak mau ya sudah," sahutnya. "Kita batalkan sekarang juga. Ingat! Pengobatan ibu kamu kan masih lanjut, belum pemulihannya, belum lagi hutang kesana kesitu. Emang kamu gak tega sama nasib? sudah gitu dulu ibu kamu nolak lamaran saya, sekarang lagi sakit baru hubungi saya buat beli rumahnya."
Suci lantas menghubungi Sofyan, teman baiknya untuk meminta bantuan. Namun, ponselnya tidak aktif, ia semakin bingung, hatinya hampir hancur, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menyerahkan rumahnya yang besar terjual murah meriah demi pengobatan ibu. Itu pun belum bisa melunasi hutangnya yang lain.
"Suci, ibu kamu kan dosen, rekan kerja saya juga, dia juga sempat pinjam uang seratus juta untuk biaya pengobatan kankernya ke Singapore tahun lalu, jadi saya datang ke sini bukan hanya mau beli rumahnya tapi juga menagih hutang," tukas beliau.
Karena rekan kerjanya itu sudah menerima pesan dari ibunya. Maka dengan berat hati dia harus menjual rumah itu sekarang juga. Suci lantas membawa barang-barang miliknya dan milik ibunya. Lalu, ia pergi ke sebuah kontrakan di dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Dan kini menjadi gadis miskin harus ia hadapi.
Uang hasil menjual rumah itu dia transfer ke rumah sakit, lalu ke orang yang sempat menagih hutangnya. Kekalutan hatinya belum selesai ketika mengingat sisa hutangnya belum lunas. Masih ada yang harus ia bayar namun itu semua belum cukup.
Setelah menyelesaikan satu persatu masalahnya, kemudian ia menemui ibunya yang masih terkapar di ruang ICU. Betapa paniknya ketika mendapati beberapa orang perawat dan dokter sedang mengerumuni ibunya.
Matanya mendelik, seraya bergumam," ada apa ini?"
Suci lantas masuk ke ruang tersebut. Dengan kepanikan melanda dan air mata yang tak terbendung lagi, ia berteriak memanggil ibunya. Beliau sudah tak sadarkan diri, kembang kempis dadanya sudah tak tampak lagi. Rekaman detak jantungnya sudah melurus, selang oksigen sudah tak terpasang lagi, infusan tak lagi menetes.
Beliau sudah pucat pasi. Mulutnya agak terbuka, ketika disentuhnya kulit yang mulai keriput itu sudah dingin. Ibu Kana sudah tak berekspresi lagi. Lalu seorang perawat menutupnya dengan kain putih.
"Ibu," lirih Suci sembari menangis di pangkuan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.
Kini dia hanya hidup sebatang kara. Rasa resah dan gelisah melanda ketika harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan rasa bahagia dan cerianya. Rumahnya yang besar harus dijual, uang sisanya hanya cukup untuk menghidupinya satu bulan ke depan. Hutang bekas pengobatan belum bisa ia lunasi.
Suci bukan tipe orang yang mudah bergantung pada orang lain. Ia hanya tak mau merepotkan atau menjadi beban bagi yang lain. Ketika mengantarkan jenazah ibunya saja dia hanya mendapati sebuah lahan kosong sumbangan warga untuk menguburkan ibunya.
Air matanya kembali menetes. Lalu seulas senyuman di bibirnya terlukis bahwa ia sudah ikhlas atas kepergian ibunya. Batu nisan itu ia sentuh yang bertuliskan 'Kana Kayla'. Dan seraya berkata," ibu yang tenang di sana. Jangan khawatir, Suci pasti bisa berjuang, aku pasti bakal rindu sama ibu. Suci pulang dulu, bu. Pasti aku tengok lagi ke sini."
Ia hendak pulang sembari membawa luka yang amat dalam. Air mata pilunya tak terbendung lagi.
"Selama beberapa tahun aku hidup susah dengan ibu, dan kini aku mungkin lebih sudah lagi. Apa? belum tentu, ada Tuhan yang mau menolongku," batin Suci.
Setelah kematian ibunya, Suci menikmati kehidupannya sendiri, ia melakukan dua macam pekerjaan sekaligus demi melunasi sisa hutangnya yang masih menggunung. Pagi hari dia pergi mengajar dan menjelang sore hingga malam ia bekerja di salah satu restoran sebagai juru masak.
Semua itu ia lakukan demi melupakan kesedihannya. Teman yang selalu ada untuknya saat ini sedang sibuk untuk mengungkap kasus kejahatan yang sulit terbongkar, sehingga tak bisa lagi ia hubungi seenaknya.
"Suci," sapa seorang wanita yang menghampiri. "Ada pesanan nasi kotak sebanyak dua ratus buah, tolong siapkan ya, kebetulan pekerja yang lain lagi sakit, dia belum bisa kerja. Untuk sementara kamu saja dulu yang kerjakan."
"Dua ratus, ya. iya boleh, bu. Saya kerjakan sekarang juga," sahutnya.
Ketika hendak melipat kertas nasi dan kotaknya. Suci teringat pada seorang pria tampan dan arogan yang sudah merobek berkas penting saat di rumah sakit. Berusaha untuk melupakan namun bayangan itu terngiang-ngiang dalam pikirannya.
"Aku akan cari orang itu sampai dapat, awas kamu, Andhika!"
Andhika menghela napas saat mendapati putrinya tak juga berangkat sekolah. Seragam lucunya sudah ia kenakan namun masih saja bermain-main di dalam rumah dengan skuter kesayangannya."Putri," sapanya. "Putri, papa punya makanan kesukaan kamu, nih. Ada coklat, kue dan strawberry juga."Makanan itu ia berikan. Andhika menatap fokus pada gadis kecilnya yang tak mau merespon sapaannya. Dan Putri hanya mengambil satu buah strawberry lalu ia malah menjauhi ayahnya."Kenapa dia gak mau sekolah?" gumam Andhika.Makanan itu ia simpan di atas meja makan. Dan Andhika hanya menikmati beberapa masakan yang tersaji. Neneknya baru saja muncul, dia membawa sebuah tas, dari pakaiannya saja sudah menunjukan bahwa beliau hendak berpergian."Nek, kok Putri gak mau sekolah? apa dia lagi males saja ya?" tanya Andhika."Ya namanya juga anak, kita gak bisa paksa dia seenaknya,
Nenek Diana tidak tahu kalau Suci sebenarnya sudah keluar dari rumah sakit. Ia bersikeras menyuruh supirnya untuk menghentikan mobilnya di depan RS. Namun, beliau agak ragu ketika hendak keluar dari mobilnya. "Benar di sini ada orangnya, bu?" Tanya Pak Rustam. "Apa kita cari saja dulu di sana. Kalau gak ketemu juga mungkin bisa cari Indah. Tapi, kok hati saya kurang enak, ya? Mau ada apa ini?" Gumam beliau sembari mengusap tangannya. Tapi, takdir baik berpihak padanya. Nenek Diana melihat Suci sedang berjalan sendirian di seberang. Matanya mendelik, batinnya sudah tidak sabar lagi untuk segera berpapasan dengan gadis yang telah menolongnya itu. "Pak, itu dia anaknya," ucapnya sambil menunjuk ke seberang jalan. "Iya, harus nyebrang dulu, bu. Nanti, sabar, ya?"
Motor yang baru saja melintas telah menabrak beliau. Pelaku terpental ke tengah jalan tapi nenek Diana tergeletak di samping mobilnya, pintu mobil agak retak pula. Banyak orang mengerumuni tempat itu, lantas Suci bergegas menghampiri, ia bertekuk lutut sembari memeluk badan nenek Diana yang sudah berlumuran darah. Rasa paniknya mulai melanda tak terbendung lagi untuk menangis meratapi insiden kecelakaan ini "Nenek!" Dan orang yang mengerumuni mereka bertanya-tanya. "Bu, dia nenekmu ya?" "Punya nenek kok dibiarkan sendirian?" "Panggil ambulans saja. Rumah sakit dekat! Cepat!"
Dengan emosi yang naik pitam Andhika mendekat pada gadis yang tengah menyaksikan kesedihan mereka. Matanya terbelalak kala mata coklatnya melihat Suci yang tampak anggun dan berwajah lembut, ia dekati dengan bahasa tubuh yang amat ditakuti. "Oh, jadi wanita ini yang ditemui nenek," batinnya. "Gadis kampung pasti hidupnya susah, kenapa nenek ambisius ingin ketemu dia?" Dan Andhika pun berdiri dengan menyedekapkan tangan tepat di hadapan Suci. "Siapa kamu?" Tanya Andhika. "Katanya dia yang baru saja ditemui nenek," sahut Indah. "Oh jadi kamu yang sudah me
"Beneran, kamu masih ingat sama tante?" "Benar, tante. Aku ingat waktu tante melawan orang jahat itu, kan? Yang pakai silat," ucapnya dari bibir mungilnya. Suci tertawa geli mendengar celotehan kecil dari gadis imut di hadapannya itu. "Terus om ini siapa? Pacar tante, ya?" "Oh, dia teman tante, sayang. Om Sofyan, dia detektif. Tahu gak detektif itu apa? Ayo, coba tebak?" "Mana aku tahu, tante. Tapi, sekarang nenek sudah meninggal, dia katanya mau ke surga, nanti aku sama siapa? Sama omah saja gak rame." Wajah gadis kecil itu mendadak suram, menunduk dan tampak cemberut. Suci tetap membalas dengan senyuman hangatnya. Dan menjawab dengan singkat. "Iya, sayang. Nenek mau ke surga." Tiba-tiba Andhika muncul
Satu minggu setelah kematian nenek Diana, pihak kepolisian menghubungi Sofyan untuk menindak lanjuti kasus penyebab kecelakaan. Pelaku sama sekali belum ditemukan, apalagi sudah beredar kabar di media bahwa kasus ini adalah kecelakaan misterius. "Bagaimana ini? Aku belum bisa berbuat banyak. Aku terlalu fokus sama penagih hutang, hampir gak punya waktu buat urus ini urus itu, mana berat badanku makin hari makin berkurang," keluh Suci. "Pasti ada jalannya. Suatu hari pasti ketemu siapa pelakunya, aku kan detektif, masa gak percaya," kata Sofyan. Tentunya Suci belum mampu ikhtiar sendiri. Kekalutan hatinya masih menyerang dirinya, namun karena semangatnya dia mampu menghadapi yang terjadi saat ini.
ketika Suci duduk kursi panjang di luar ruangan itu. Ia membuka botol minuman kemudian diteguknya hingga habis. "Segarnya. Aku sekarang udah lega. Sidang ini masih lanjut?" "Sampai tuntas mungkin dua atau tiga kali lagi," jawab Sofyan. "Sofyan. Doakan aku, ya. Semoga bisa bayar semua hutang aku yang segunung, mungkin dalam waktu dekat ini aku mau berangkat buat kerja di luar negeri," kata Suci. "Serius? Kerja di sana perlu tenaga besar, mental juga siap sedia. Kamu sanggup?" "Ya sanggup, dong. Siapa yang mau bayar hutang aku yang banyak itu coba? Daripada aku stress lebih baik kerja, kan? Memang berat tapi mau giman
"Bagaimana dengan fotonya? Kalian sudah ambil beberapa pose, kan?" Tanya Adhika pada bodyguard pribadinya. Salah satu bodyguard memberikan hasil potret kepada majikannya itu. Seketika wajah Andhika kembali sumringah. "Bagus!" "Kalau boleh tahu, kenapa Anda lakukan ini?" "Sebarkan ini di media sosial, aku ingin membuktikan bahwa CEO kaya raya seperti aku mampu berbuat baik pada siapapun meski pada musuhnya, kalian tahu? Namaku harus bersih! Kalian sama sekali gak merasakan sakit hati saya karena kehilangan orangtua," sahutnya. Semua bodyguard menepuk kening karena mendapati kebodohan majika