Share

Bab 4 Kehilangan Sosok Ibu

  "Aku harus apa lagi?" batin Suci. 

Sofyan tetap memeluknya. Mengusap bahu dan rambut gadis itu.

Suci terus mengeluhkan kondisinya saat ini yang sedang dirundung masalah. Ibunya sudah semakin parah, hutang bekas pengobatan terus menggunung, bahkan air mata sendunya tak mampu lagi teteskan. 

"Tenang, aku ada di sini buat kamu," kata Sofyan.

Tiba di sore hari, dia hendak pulang ke rumahnya dengan menyusuri jalan yang sama. Suci masih mengingat insiden saat menolong seorang nenek dan gadis kecil itu di sana. Ia berdiri sejenak lalu bayangan mereka begitu terngiang-ngiang, apalagi jurus silat yang ia keluarkan saat melawan para begal.

 "Berkesan juga, ya. Kok aku bisa sekuat itu? kenapa aku gak kuat ketika ibuku sakit, ya."

Suci pun melanjutkan perjalanannya sendirian. Meski berat dirasa tapi terpaksa harus ia lakukan demi kesembuhan ibunya.

 "Suci," teriak seorang wanita menghampirinya.

"Iya, Reni. Ada apa?" 

 "Barusan aku dapat kabar, kamu tahu kan ibu Shella? dia titip pesan sama aku katanya mau nagih hutang, pengennya dia minggu ini dibayar, tapi semuanya terserah kamu, deh. Aku cuma menyampaikan saja," ungkapnya.

  "Iya, pasti aku ingat. Aku mau pulang dulu, gak bisa lama-lama," pamitnya.

Batin Suci semakin terpuruk. Tapi, dia masih bisa semangat, air mata kegelisahannya sudah sirna, saat ini harus lebih tegar lagi. Dan kini dia sedang berdiri di depan rumahnya yang cukup besar itu. Rumah dua lantai hasil kerja keras orang tuanya harus dijual untuk melunasi hutangnya, sejenak ia menghela napas agar lebih tenang.

"Aku dan ibu sudah sepakat menjual rumah ini, mudah-mudahan jadi keputusan terbaik buat semuanya," gumamnya.

Dan orang yang hendak membeli rumahnya telah datang. Seorang pria dewasa turun dari mobilnya. Ia lantas melirik rumah itu, memegang pagarnya lalu memotret setiap sudut rumah tersebut. Suci keheranan, mengapa dia tak juga menyapa? padahal dirinya yang mau jual rumahnya.

Suci mendekat lalu menyapa, seraya bertanya," maaf, pak. Gimana rumah saya ini? ibu saya sudah sepakat jual rumah ini. Apa bapak keberatan dengan harga yang kami tawarkan?"

Pria itu malah menunjukkan sebuah pesan.

"Ini pesan dari ibu kamu, ini harga yang dia kasih ke saya. Gimana? kamu keberatan?"

Suci tercekat, rumah besar berlantai dua itu hanya dihargai empat ratus juta rupiah. Seolah tak percaya dengan sikap ibunya yang memberikan harga murah, padahal untuk melunasi hutang dan biaya pengobatan saja tidaklah cukup. 

 "Gak mungkin, pak! rumah saya ini lebih dari delapan ratus juta, mana mungkin ibu saya menawarkan harga murah begini?" keluhnya.

 "Kalau kamu gak mau ya sudah," sahutnya.  "Kita batalkan sekarang juga. Ingat! Pengobatan ibu kamu kan masih lanjut, belum pemulihannya, belum lagi hutang kesana kesitu. Emang kamu gak tega sama nasib? sudah gitu dulu ibu kamu nolak lamaran saya, sekarang lagi sakit baru hubungi saya buat beli rumahnya."

Suci lantas menghubungi Sofyan, teman baiknya untuk meminta bantuan. Namun, ponselnya tidak aktif, ia semakin bingung, hatinya hampir hancur, tak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menyerahkan rumahnya yang besar terjual murah meriah demi pengobatan ibu. Itu pun belum bisa melunasi hutangnya yang lain.

"Suci, ibu kamu kan dosen, rekan kerja saya juga, dia juga sempat pinjam uang seratus juta untuk biaya pengobatan kankernya ke Singapore tahun lalu, jadi saya datang ke sini bukan hanya mau beli rumahnya tapi juga menagih hutang," tukas beliau.

 Karena rekan kerjanya itu sudah menerima pesan dari ibunya. Maka dengan berat hati dia harus menjual rumah itu sekarang juga.  Suci lantas membawa barang-barang miliknya dan milik ibunya. Lalu, ia pergi ke sebuah kontrakan di dekat rumah sakit tempat ibunya dirawat. Dan kini menjadi gadis miskin harus ia hadapi.

Uang hasil menjual rumah itu dia transfer ke rumah sakit, lalu ke orang yang sempat menagih hutangnya. Kekalutan hatinya belum selesai ketika mengingat sisa hutangnya belum lunas. Masih ada yang harus ia bayar namun itu semua belum cukup. 

Setelah menyelesaikan satu persatu masalahnya, kemudian ia menemui ibunya yang masih terkapar di ruang ICU. Betapa paniknya ketika mendapati beberapa orang perawat dan dokter sedang mengerumuni ibunya. 

Matanya mendelik, seraya bergumam," ada apa ini?"

Suci lantas masuk ke ruang tersebut. Dengan kepanikan melanda dan air mata yang tak terbendung lagi, ia berteriak memanggil ibunya. Beliau sudah tak sadarkan diri, kembang kempis dadanya sudah tak tampak lagi. Rekaman detak jantungnya sudah melurus, selang oksigen sudah tak terpasang lagi, infusan tak lagi menetes.

Beliau sudah pucat pasi. Mulutnya agak terbuka, ketika disentuhnya kulit yang mulai keriput itu sudah dingin. Ibu Kana sudah tak berekspresi lagi. Lalu seorang perawat menutupnya dengan kain putih.

"Ibu," lirih Suci sembari menangis di pangkuan wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. 

Kini dia hanya hidup sebatang kara. Rasa resah dan gelisah melanda ketika harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan rasa bahagia dan cerianya. Rumahnya yang besar harus dijual, uang sisanya hanya cukup untuk menghidupinya satu bulan ke depan. Hutang bekas pengobatan belum bisa ia lunasi. 

Suci bukan tipe orang yang mudah bergantung pada orang lain. Ia hanya tak mau merepotkan atau menjadi beban bagi yang lain. Ketika mengantarkan jenazah ibunya saja dia hanya mendapati sebuah lahan kosong sumbangan warga untuk menguburkan ibunya. 

Air matanya kembali menetes. Lalu seulas senyuman di bibirnya terlukis bahwa ia sudah ikhlas atas kepergian ibunya. Batu nisan itu ia sentuh yang bertuliskan 'Kana Kayla'. Dan seraya berkata," ibu yang tenang di sana. Jangan khawatir, Suci pasti bisa berjuang, aku pasti bakal rindu sama ibu. Suci pulang dulu, bu. Pasti aku tengok lagi ke sini."

Ia hendak pulang sembari membawa luka yang amat dalam. Air mata pilunya tak terbendung lagi.

"Selama beberapa tahun aku hidup susah dengan ibu, dan kini aku mungkin lebih sudah lagi. Apa? belum tentu, ada Tuhan yang mau menolongku," batin Suci. 

Setelah kematian ibunya, Suci menikmati kehidupannya sendiri, ia melakukan dua macam pekerjaan sekaligus demi melunasi sisa hutangnya yang masih menggunung. Pagi hari dia pergi mengajar dan menjelang sore hingga malam ia bekerja di salah satu restoran sebagai juru masak.

Semua itu ia lakukan demi melupakan kesedihannya. Teman yang selalu ada untuknya saat ini sedang sibuk untuk mengungkap kasus kejahatan yang sulit terbongkar, sehingga tak bisa lagi ia hubungi seenaknya. 

 "Suci," sapa seorang wanita yang menghampiri. "Ada pesanan nasi kotak sebanyak dua ratus buah, tolong siapkan ya, kebetulan pekerja yang lain lagi sakit, dia belum bisa kerja. Untuk sementara kamu saja dulu yang kerjakan."

"Dua ratus, ya. iya boleh, bu. Saya kerjakan sekarang juga," sahutnya.

Ketika hendak melipat kertas nasi dan kotaknya. Suci teringat pada seorang pria tampan dan arogan yang sudah merobek berkas penting saat di rumah sakit. Berusaha untuk melupakan namun bayangan itu terngiang-ngiang dalam pikirannya.

    "Aku akan cari orang itu sampai dapat, awas kamu, Andhika!"

    

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status