Share

Bab 2 Arogansi Sang CEO

Ketika tiba di rumah sakit, Suci tak lagi menemukan ibunya di ruang rawat inap biasa. Tabung oksigen dan selang yang menjuntai disertai ranjang pasien dengan selimut yang menggulung dibiarkan begitu saja. Pikiran buruk sudah menghantuinya, batinnya mulai merasa ada sesuatu yang terjadi pada orang tua satu-satunya itu.

"Di mana ibu?" keluhnya.

Kemudian seorang perawat menyambanginya lalu menyapanya.

"Ini dengan ibu Suci, kan? saya mau kasih kabar kalau ibu Kana baru saja dipindahkan ke ruang ICU untuk perawatan lebih intensif karena kemo sore nanti kemungkinan kami batalkan."

Suci tercekat. Terbesit pertanyaan dalam benaknya, rasa gundah mulai meliputi dirinya.

"Kenapa memang? saya pasti bayar biayanya, sudah kompromi dulu sama dokter," sangkal Suci agak naik pitam.

"Kondisi ibu Kana saat ini mungkin hanya Tuhan yang menentukan. Tapi, kita masih bisa tengok dia dari dinding kaca, ayo ikut saya ke ruang ICU," ajak perawat itu.

Sofyan memeluknya, isak tangis Suci membasahi dada pria yang tengah mencintainya itu. Dibiarkan menangis dalam dekapannya. 

"Kita tengok ibu, jangan cemas, kalau ada apa-apa biar aku bantu," kata Sofyan meredakan kesedihan wanita itu.

Dari dinding kaca itu tampak seorang ibu yang dulu melahirkan dan juga membesarkan dirinya. Batinnya hancur saat selang oksigen, alat infusan, juga alat medis lain melingkar di badannya. Beliau tampak berat untuk bernapas, kembang kempis dadanya menandakan ada kepedihan luka yang teramat sakit. 

Isak tangis Suci tak mampu ia bendung lagi. Ia menyandarkan punggungnya di dinding kaca itu.

"Harus apa lagi aku? biaya rumah sakit besar, hutangku udah banyak," keluhnya. "Sofyan, mau pinjamkan aku uang, gak? aku pasti lunasi hutangku sama kamu."

"Iya, ada. Biar aku ambil nanti langsung transfer ke rekening rumah sakit ini. Yang penting ibu kamu tertangani dulu," kata Sofyan mencoba menenangkan Suci yang tengah berurai air mata.

Suci mencoba duduk di kursi tunggu. Sofyan merangkul gadis itu dengan erat hanya sekedar ingin membuatnya tenang. Seolah tak rela kehilangan keceriaan darinya. Biasa tersenyum manis tapi kali ini ia menangis sejadi-jadinya.

Ponselnya berbunyi. Sofyan terkejut ketika membuka sebuah pesan bahwa dirinya harus segera bertugas dengan pihak kepolisian. Dengan berat hati dia hendak meninggalkan Suci yang masih perlu perhatian darinya. 

"Aku gak bisa nemenin kamu lama-lama di sini. Maaf ya Suci, ada tugas negara yang mesti aku kerjakan hari ini," ucapnya dengan wajah memelas. 

"Iya, itu tugas negara yang mesti kamu kerjakan, jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini," sahut Suci dengan lembut.

Sofyan merangkulnya kemudian mencium kening gadis itu. Raut wajahnya tersirat bahwa dia amat berat hati harus meninggalkan Suci sendirian.

 "Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Pasti aku bantu," tukas Sofyan. Dan ia pun pamit pergi. "Aku pergi dulu, ya. Jaga diri kamu."

Sofyan berlalu darinya. Dalam benaknya, sebenarnya Suci ingin sekali membongkar pintu ruang ICU tersebut hanya untuk menghadap ibunya. Tapi, apa daya tangan tak sampai. Untuk kali ini dia bersikap cengeng karena menyaksikan ibunya yang belum sadarkan diri juga.

"Maaf, kamu masih di sini?" sapa dokter wanita itu. 

"Saya lagi tunggu ibu saya yang di sana, lihat saja dia belum sadarkan diri juga. Ingin rasanya segera mendekat, saya takut kehilangan beliau dalam waktu dekat ini," lirihnya.

Terlihat jelas dokter tersebut bernama Indah Kharisma sesuai yang tertera di seragam putih yang ia kenakan. Parasnya anggun, postur badannya tinggi dan langsing juga kulitnya bersih dan mulus. Dari wajahnya saja menunjukan bahwa dia orang yang baik. 

 "Maaf, dokter ini yang juga menangani ibu saya, kan?" tanya Suci.

 "Bukan, saya bukan spesialis penyakit dalam. Saya ini dokter anak, tapi daripada kamu tunggu di sini lebih baik di ruang lain saja biar bisa istirahat," ucap dokter Indah.

"Enggak, makasih. Saya mau tunggu beliau saja di sini. Terima kasih atas tawarannya," ucap Suci. 

"Ya sudah, saya tinggal dulu," pamit dokter Indah, ia pun pergi ke koridor lain.

Suci bersikeras ingin menunggu ibunya yang terkapar di ranjang itu. Dia hanya ingin menghadap ibunya meski hanya lima menit saja. Namun, sesuai anjuran dokter, terpaksa harus menunggu waktu agar bisa memasuki ruang ICU itu.

Dan saat itu juga ada dua orang menyambanginya. Seorang perawat dan dokter pria menyapanya.

 "Kamu Suci, anak dari ibu Kana?" tanya dokter itu.

"Iya, pak dokter, kenapa?"

"Ikut kami ke dalam," ajak mereka.

Saat pintu ruang ICU dibukakan, Suci merasakan jantungnya berdegup kencang, suara oksigen dan infusan terdengar nyaring disertai bau obat yang menyengat. Suci dibiarkan menghadap ibunya yang ternyata sudah sadarkan diri.   

 "Ibu," lirihnya.

Dokter itu berdiri di sampingnya hendak memeriksa bekas sayatan operasi di bagian perut. Suci tak kuasa menahan rasa pilunya ketika melihat darah segar berwarna merah menempel di perban yang menutupi luka itu.

"Kami sudah lakukan operasi pengangkatan kankernya, jadi beliau harus rela kehilangan separuh livernya, jangan khawatir, manusia masih bisa hidup hanya dengan setengah organ liver saja," tandas dokter.

Tangan ibunya menyentuh tangan Suci. Batinnya tertegun mendapati ibunya yang sadar dan mengalami kesulitan untuk bicara.

"Ibu pasti kuat, yang sabar ya? Suci lagi berusaha," ucapnya lembut.

"Nak, maafkan ibu ya. Selama tiga tahun kamu harus rawat ibu yang sakit ini, baik-baik ya, nak. Jaga diri kamu, ibu mau istirahat dulu," ungkapnya dengan suara parau dan lelah.

Suci mencium tangan ibunya. Sepatah dua patah kata pun ia sudah bahagia mendengar kata yang terucap dari mulut ibunya yang pucat pasi. Sayangnya, dokter hanya mengizinkannya lima menit saja di dalam ruang ICU itu meski Suci masih berat mengambil langkah untuk meninggalkan ruangan tersebut.

"Nak Suci, mari ikut saya ke ruang pribadi, ada yang harus kita bicarakan," ajak dokter.

Perasaan Suci sudah tak karuan. Pikirannya mulai kalut dan gusar. Wajahnya sudah pucat karena panik dan gemetaran. Hingga sampai di ruangan dokter tersebut, tiba-tiba saja beliau menyodorkan sebuah lembaran dan sebuah pena. 

 "Apa ini, dok?"

"Kondisi ibu kamu sebenarnya sudah stadium lanjut, kami mohon maaf saja. Bukannya kami menyerah, tapi kita tunggu saja keajaiban dari Tuhan. Kami hanya manusia biasa. Kalau tidak keberatan, silahkan tanda tangan untuk merelakan beliau," tandas dokter.

Suci membaca kalimat di sebuah lembaran kertas itu. Tertera biaya yang harus ia bayar sebesar tiga ratus juta rupiah. Ia tercekat, lalu matanya tertuju pada dokter di depannya itu. Dari raut wajahnya sepertinya pihak rumah sakit sudah menyerah dengan kondisi ibunya saat ini.

 "Dok, kasih saya waktu agar bisa mendapatkan uang sebanyak ini, ya?" ucap Suci memohon.

 "Pihak rumah sakit dan juga saya yang menangani ibu Kana memberi keringanan untuk yang mengalami kesulitan ekonomi, jadi jangan khawatir," sahutnya. "Bagaimana, kamu mau tanda tangan sekarang atau nanti saja?"

Suci menghela napas. Dadanya terasa sesak ketika harus menjawab. 

 "Sa--saya, saya gak mau tanda tangan, maaf! biar Tuhan saja yang kasih keputusan buat beliau."

Dokter pun mengangguk pelan. Beliau sebenarnya merasa iba padanya. Apa mau dikata jika kondisi pasiennya sudah dekat dengan kematian. 

"Saya tinggal dulu, ya. Mau ada perlu dulu," pamit Suci. Ia membawa berkas itu dan matanya tak henti-hentinya membaca tiap kata yang tertulis. 

Ketika Suci mulai belok ke koridor lain. Sosok pria tampan yang berbadan kekar itu menabrak badannya sampai berkas itu bertebaran kemana-mana. 

"Kita bertemu lagi. Minggir! jangan halangi jalan saya!" hardik pria itu dengan lantang.

Berkas itu melayang dan menutupi wajah si pria arogan tersebut. Ia mengambilnya lalu merobeknya.

 "Jangan! kenapa kamu robek berkas itu, bisa anda bersikap lebih sopan?" Suci melawan dengan suara lebih keras.

"Maaf, saya tak punya waktu untuk berdebat. Orang tua saya kecelakaan, kita bisa selesaikan ini nanti saja," tegas pria itu.

Suci naik pitam ketika menghadapi pria arogan itu.

"Ingat, ya! ibu saya juga sakit, itu berkas yang harus ditanda, kenapa anda merobeknya! tidak sopan, gak ada ahlak!"

 "Suatu saat kamu akan berurusan dengan saya! Ingat itu!" balasnya dengan ketus dan berlalu bergitu saja meninggalkan Suci yang tengah kecewa atas sikap arogannya. 

Suci pun merasa terinjak bahkan tersinggung dan hanya melunglai. Ia malah memperhatikan pria itu hendak berjalan ke koridor lain. 

"Dia ganteng tapi arogannya minta ampun. Terus, kenapa dia ada di rumah sakit ini, ya?" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status