Home / Romansa / Dinikahi CEO Arogan / Bab 2 Arogansi Sang CEO

Share

Bab 2 Arogansi Sang CEO

Author: Kirana Senja
last update Last Updated: 2021-05-30 11:39:16

Ketika tiba di rumah sakit, Suci tak lagi menemukan ibunya di ruang rawat inap biasa. Tabung oksigen dan selang yang menjuntai disertai ranjang pasien dengan selimut yang menggulung dibiarkan begitu saja. Pikiran buruk sudah menghantuinya, batinnya mulai merasa ada sesuatu yang terjadi pada orang tua satu-satunya itu.

"Di mana ibu?" keluhnya.

Kemudian seorang perawat menyambanginya lalu menyapanya.

"Ini dengan ibu Suci, kan? saya mau kasih kabar kalau ibu Kana baru saja dipindahkan ke ruang ICU untuk perawatan lebih intensif karena kemo sore nanti kemungkinan kami batalkan."

Suci tercekat. Terbesit pertanyaan dalam benaknya, rasa gundah mulai meliputi dirinya.

"Kenapa memang? saya pasti bayar biayanya, sudah kompromi dulu sama dokter," sangkal Suci agak naik pitam.

"Kondisi ibu Kana saat ini mungkin hanya Tuhan yang menentukan. Tapi, kita masih bisa tengok dia dari dinding kaca, ayo ikut saya ke ruang ICU," ajak perawat itu.

Sofyan memeluknya, isak tangis Suci membasahi dada pria yang tengah mencintainya itu. Dibiarkan menangis dalam dekapannya. 

"Kita tengok ibu, jangan cemas, kalau ada apa-apa biar aku bantu," kata Sofyan meredakan kesedihan wanita itu.

Dari dinding kaca itu tampak seorang ibu yang dulu melahirkan dan juga membesarkan dirinya. Batinnya hancur saat selang oksigen, alat infusan, juga alat medis lain melingkar di badannya. Beliau tampak berat untuk bernapas, kembang kempis dadanya menandakan ada kepedihan luka yang teramat sakit. 

Isak tangis Suci tak mampu ia bendung lagi. Ia menyandarkan punggungnya di dinding kaca itu.

"Harus apa lagi aku? biaya rumah sakit besar, hutangku udah banyak," keluhnya. "Sofyan, mau pinjamkan aku uang, gak? aku pasti lunasi hutangku sama kamu."

"Iya, ada. Biar aku ambil nanti langsung transfer ke rekening rumah sakit ini. Yang penting ibu kamu tertangani dulu," kata Sofyan mencoba menenangkan Suci yang tengah berurai air mata.

Suci mencoba duduk di kursi tunggu. Sofyan merangkul gadis itu dengan erat hanya sekedar ingin membuatnya tenang. Seolah tak rela kehilangan keceriaan darinya. Biasa tersenyum manis tapi kali ini ia menangis sejadi-jadinya.

Ponselnya berbunyi. Sofyan terkejut ketika membuka sebuah pesan bahwa dirinya harus segera bertugas dengan pihak kepolisian. Dengan berat hati dia hendak meninggalkan Suci yang masih perlu perhatian darinya. 

"Aku gak bisa nemenin kamu lama-lama di sini. Maaf ya Suci, ada tugas negara yang mesti aku kerjakan hari ini," ucapnya dengan wajah memelas. 

"Iya, itu tugas negara yang mesti kamu kerjakan, jangan khawatir, aku baik-baik saja di sini," sahut Suci dengan lembut.

Sofyan merangkulnya kemudian mencium kening gadis itu. Raut wajahnya tersirat bahwa dia amat berat hati harus meninggalkan Suci sendirian.

 "Kalau ada apa-apa, hubungi aku saja. Pasti aku bantu," tukas Sofyan. Dan ia pun pamit pergi. "Aku pergi dulu, ya. Jaga diri kamu."

Sofyan berlalu darinya. Dalam benaknya, sebenarnya Suci ingin sekali membongkar pintu ruang ICU tersebut hanya untuk menghadap ibunya. Tapi, apa daya tangan tak sampai. Untuk kali ini dia bersikap cengeng karena menyaksikan ibunya yang belum sadarkan diri juga.

"Maaf, kamu masih di sini?" sapa dokter wanita itu. 

"Saya lagi tunggu ibu saya yang di sana, lihat saja dia belum sadarkan diri juga. Ingin rasanya segera mendekat, saya takut kehilangan beliau dalam waktu dekat ini," lirihnya.

Terlihat jelas dokter tersebut bernama Indah Kharisma sesuai yang tertera di seragam putih yang ia kenakan. Parasnya anggun, postur badannya tinggi dan langsing juga kulitnya bersih dan mulus. Dari wajahnya saja menunjukan bahwa dia orang yang baik. 

 "Maaf, dokter ini yang juga menangani ibu saya, kan?" tanya Suci.

 "Bukan, saya bukan spesialis penyakit dalam. Saya ini dokter anak, tapi daripada kamu tunggu di sini lebih baik di ruang lain saja biar bisa istirahat," ucap dokter Indah.

"Enggak, makasih. Saya mau tunggu beliau saja di sini. Terima kasih atas tawarannya," ucap Suci. 

"Ya sudah, saya tinggal dulu," pamit dokter Indah, ia pun pergi ke koridor lain.

Suci bersikeras ingin menunggu ibunya yang terkapar di ranjang itu. Dia hanya ingin menghadap ibunya meski hanya lima menit saja. Namun, sesuai anjuran dokter, terpaksa harus menunggu waktu agar bisa memasuki ruang ICU itu.

Dan saat itu juga ada dua orang menyambanginya. Seorang perawat dan dokter pria menyapanya.

 "Kamu Suci, anak dari ibu Kana?" tanya dokter itu.

"Iya, pak dokter, kenapa?"

"Ikut kami ke dalam," ajak mereka.

Saat pintu ruang ICU dibukakan, Suci merasakan jantungnya berdegup kencang, suara oksigen dan infusan terdengar nyaring disertai bau obat yang menyengat. Suci dibiarkan menghadap ibunya yang ternyata sudah sadarkan diri.   

 "Ibu," lirihnya.

Dokter itu berdiri di sampingnya hendak memeriksa bekas sayatan operasi di bagian perut. Suci tak kuasa menahan rasa pilunya ketika melihat darah segar berwarna merah menempel di perban yang menutupi luka itu.

"Kami sudah lakukan operasi pengangkatan kankernya, jadi beliau harus rela kehilangan separuh livernya, jangan khawatir, manusia masih bisa hidup hanya dengan setengah organ liver saja," tandas dokter.

Tangan ibunya menyentuh tangan Suci. Batinnya tertegun mendapati ibunya yang sadar dan mengalami kesulitan untuk bicara.

"Ibu pasti kuat, yang sabar ya? Suci lagi berusaha," ucapnya lembut.

"Nak, maafkan ibu ya. Selama tiga tahun kamu harus rawat ibu yang sakit ini, baik-baik ya, nak. Jaga diri kamu, ibu mau istirahat dulu," ungkapnya dengan suara parau dan lelah.

Suci mencium tangan ibunya. Sepatah dua patah kata pun ia sudah bahagia mendengar kata yang terucap dari mulut ibunya yang pucat pasi. Sayangnya, dokter hanya mengizinkannya lima menit saja di dalam ruang ICU itu meski Suci masih berat mengambil langkah untuk meninggalkan ruangan tersebut.

"Nak Suci, mari ikut saya ke ruang pribadi, ada yang harus kita bicarakan," ajak dokter.

Perasaan Suci sudah tak karuan. Pikirannya mulai kalut dan gusar. Wajahnya sudah pucat karena panik dan gemetaran. Hingga sampai di ruangan dokter tersebut, tiba-tiba saja beliau menyodorkan sebuah lembaran dan sebuah pena. 

 "Apa ini, dok?"

"Kondisi ibu kamu sebenarnya sudah stadium lanjut, kami mohon maaf saja. Bukannya kami menyerah, tapi kita tunggu saja keajaiban dari Tuhan. Kami hanya manusia biasa. Kalau tidak keberatan, silahkan tanda tangan untuk merelakan beliau," tandas dokter.

Suci membaca kalimat di sebuah lembaran kertas itu. Tertera biaya yang harus ia bayar sebesar tiga ratus juta rupiah. Ia tercekat, lalu matanya tertuju pada dokter di depannya itu. Dari raut wajahnya sepertinya pihak rumah sakit sudah menyerah dengan kondisi ibunya saat ini.

 "Dok, kasih saya waktu agar bisa mendapatkan uang sebanyak ini, ya?" ucap Suci memohon.

 "Pihak rumah sakit dan juga saya yang menangani ibu Kana memberi keringanan untuk yang mengalami kesulitan ekonomi, jadi jangan khawatir," sahutnya. "Bagaimana, kamu mau tanda tangan sekarang atau nanti saja?"

Suci menghela napas. Dadanya terasa sesak ketika harus menjawab. 

 "Sa--saya, saya gak mau tanda tangan, maaf! biar Tuhan saja yang kasih keputusan buat beliau."

Dokter pun mengangguk pelan. Beliau sebenarnya merasa iba padanya. Apa mau dikata jika kondisi pasiennya sudah dekat dengan kematian. 

"Saya tinggal dulu, ya. Mau ada perlu dulu," pamit Suci. Ia membawa berkas itu dan matanya tak henti-hentinya membaca tiap kata yang tertulis. 

Ketika Suci mulai belok ke koridor lain. Sosok pria tampan yang berbadan kekar itu menabrak badannya sampai berkas itu bertebaran kemana-mana. 

"Kita bertemu lagi. Minggir! jangan halangi jalan saya!" hardik pria itu dengan lantang.

Berkas itu melayang dan menutupi wajah si pria arogan tersebut. Ia mengambilnya lalu merobeknya.

 "Jangan! kenapa kamu robek berkas itu, bisa anda bersikap lebih sopan?" Suci melawan dengan suara lebih keras.

"Maaf, saya tak punya waktu untuk berdebat. Orang tua saya kecelakaan, kita bisa selesaikan ini nanti saja," tegas pria itu.

Suci naik pitam ketika menghadapi pria arogan itu.

"Ingat, ya! ibu saya juga sakit, itu berkas yang harus ditanda, kenapa anda merobeknya! tidak sopan, gak ada ahlak!"

 "Suatu saat kamu akan berurusan dengan saya! Ingat itu!" balasnya dengan ketus dan berlalu bergitu saja meninggalkan Suci yang tengah kecewa atas sikap arogannya. 

Suci pun merasa terinjak bahkan tersinggung dan hanya melunglai. Ia malah memperhatikan pria itu hendak berjalan ke koridor lain. 

"Dia ganteng tapi arogannya minta ampun. Terus, kenapa dia ada di rumah sakit ini, ya?" 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dinikahi CEO Arogan   Bab 59. Menggenggam Takdir

    "Jujur saja kamu mau menyingkirkan Suci dari hidup saya," ucap Andhika. "Sayangnya, gagal!""Aaarrrghhh!" Indah berteriak. Dokter itu menutup telinganya sambil terisak-isak. "Kamu gak pernah menghargai cinta aku, Andhika!""Karena demi cinta kamu menghalalkan segala cara. Padahal masih ada pria lain yang mau menikahi kamu. Sayangnya, rencana kamu untuk menghancurkan rumah tangga saya sudah gagal. Saya terlanjur mencintai Suci," terang Andhika. "Yang kamu lakukan itu menyakitkan, saya gak pernah menyakiti kamu.""Mungkin bagi dokter Indah sangat menyakitkan, tapi waktu saya tertimpa gosip perselingkuhan itu memang benar-benar mengecewakan, perilaku kamu gak bisa dimaafkan, Indah," tegas Sofyan.Sofyan mengeluarkan sebuah borgol di hadapan Indah . Pemandangan itu tentunya membuat Indah sesak nafas dan panik."Sekarang saya tanya, apa kamu pelaku penusukan sewaktu di Monas?" Tanya Andhika. "Apa buktinya kalau aku pelakunya?" Tanya Indah."Waktu saya lap sepatu kamu dengan tissue. Saya

  • Dinikahi CEO Arogan   Bab 58. Biang Keladi Tersebarnya Gosip

    "Perlu kamu ingat, jangan sekali-kali lagi kamu sebarkan gosip mengenai saya dan istri. Akhir-akhir ini saya mendapat musibah, kenapa kamu gak sebarkan saja beritanya, biar semua orang tahu kalau orang jahat berkeliaran di sekitar," ucap Andhika. Andhika tampaknya tidak mau berlama-lama berhadapan dengan Revi. Ia menghindar dari pertemuan itu sampai Indah menyusulnya. "Katanya mau ketemuan, tapi malah kabur," protes Sofyan. "Sorry, saya harus tugas sekarang," pamit Revi. Kemudian, staf khusus kantor muncul. Seorang pria tampak geram berhadapan dengan Revi. Ia berkata," Saya sudah mendengar percakapan kamu sama dia. Revi, sejak kapan kamu jadi MC di infotainment? Acara apaan itu?" Lantas, Sofyan menunjukkan sebuah borgol besi di hadapan gadis itu dan berkata," Anda tahanan kami." Revi melunglai, dia duduk dahulu di sofa dan mulai terisak-isak. "Kenapa? Apa ada peran lain di belakang kamu? Kalau masih menutupi kasus terpaksa saya akan laporkan kamu ke pengadilan, bisa dikenai hu

  • Dinikahi CEO Arogan   Bab 57. Bersikap Dingin

    "Kan ada aku, Mas? Aku istri kamu," ucap Suci. "Aku yang lebih berhak melayani kamu. Selama jadi istri ya aku yang harusnya layani suami.""Maaf, aku lagi gak butuh kamu," tukas Andhika. Tiga hari kemudian, Andhika pulang ke rumah. Tidak ada senyum yang tersungging di wajahnya kecuali kepada sang gadis kecilnya."Mana anak Papa?" "Ini, Papa," sahut Putri. Meskipun dalam kondisi belum pulih, Andhika tetap menggendong gadis kecilnya."Mas, hati-hati," pinta Suci."Pa, Mama bilang hati-hati tapi kok diem aja?" Tanya Putri. "Lagi berantem, ya?""Enggak, Sayangku. Malam ini kamu tidur temenin Papa ya, biar ada teman ngobrol, udah lama Papa gak masuk ke dunia kamu," ucapnya. Andhika lantas mengajak Putri ke kamarnya.Sementara itu, Suci menyambangi dapur, menyiapkan masakan untuk keluarganya. Ketika, mengiris sayuran, tiba-tiba mertuanya menyapa. "Suci, kamu masak buat kapan?" Tanya Pak Adi."Makan malam nanti, aku mau buatkan makanan yang enak buat keluarga, anggap saja ini perayaan ke

  • Dinikahi CEO Arogan   Bab 56. Mengamati Jejak

    Suci memeluk Sofyan dengan erat sambil terisak-isak. "Makasih sudah menolong Mas Andhika, ya? Kalau gak ada kamu, aku gak tahu harus minta tolong ke siapa," ucapnya. Sofyan melepas pelukan itu. Lalu menyeka air mata Suci. "Kamu udah cinta sama Andhika, ya? Syukurlah kalau begitu, pertahanan rumah tangganya ya, jangan cerai," pinta Sofyan. "Aku pergi dulu." Tak berselang lama, muncul Ibu Marlina dan Pak Adi. Kepanikan terjadi bahkan ibu kandung Andhika itu meraung-raung di depan ruang rawat. "Gimana kronologisnya?" Tanya Pak Adi. "Anak saya jadi begini, korban kriminal yang tidak tahu diri." "Saya sedang berusaha mencari pelakunya," sahut Sofyan. "Mohon doanya ya, biar kasusnya cepat selesai." "Apa semua ini gara-gara kamu, Suci! Anak saya stress karena berita kamu sama detektif ini, kalau terbukti berselingkuh silahkan kalian hengkang dari kehidupan kami!" Tegas Ibu Marlina. "Suci tidak bersalah apapun," sangkal Sofyan. "Ada pihak lain." "Pokoknya saya lagi gak mau baikan sam

  • Dinikahi CEO Arogan   Bab 55. Orang Asing Pelaku Kriminal

    "Terus, siasat kamu ke depannya mau apa?" Tanya Indah. "Kalau bisa libatkan aku juga ya biar bisa bantu kamu." Andhika tersenyum tipis. Ia menyambangi ruang tamu kemudian duduk di sofa. "Kamu bisa duduk di depan saya?" Tanya Andhika. Indah menuruti apa kata Andhika. Gadis itu tampak pasrah saja. "Saya sudah melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, tinggal mencari orangnya, siapa dalang di balik menyebarnya gosip. Reporter itu yang harus kami usut," ucap Andhika. Wajah Indah memerah, mulutnya tampak gemetaran. "Kenapa? Kamu panik?" Tanya Andhika. Ia lantas ke dapur dan kembali lagi sambil menenteng air hangat. Air hangat itu dia berikan pada Indah dan berkata," Ini buat kamu biar gak panik." Indah tercekat, melihat segelas air hangat yang masih beruap, apalagi Andhika yang tampan yang menyodorkan segelas air itu. "Kamu gak pernah lupa memperhatikan aku," ucap Indah. Lalu, dia menerima segelas air hangat dan diteguk sampai habis. Indah berurai air mata. Bulir bening itu sem

  • Dinikahi CEO Arogan   Bab 54. Kasus Semakin Rumit

    "Suci, bisa saya jelaskan dulu, itu cuma gosip," ucap Andhika. "Iya itu cuma gosip. Pastinya kamu lebih memilih menyelamatkan nama baik keluarga dibanding aku. Selama ini aku cuma jadi korban," keluh Suci. Ia mulai terisak-isak. Kemudian, Sofyan menghadap Suci yang sedang menyeka air matanya. Seraya memberikan selembar tissue dan berkata," Dari tangisnya, saya bisa menebak kamu membutuhkan kasih sayang dan perhatian. Kasus ini bisa selesai dalam waktu satu atau dua bulan ke depan, saya akan berjuang demi kamu." Mungkin, jika Suci belum menjadi istri orang lain, pasti sudah memeluk Sofyan. "Aku masih bisa menghadapi ini, makasih tawarannya, kamu gak perlu berjuang demi aku. Karena Mas Andhika sudah berjuang lebih dulu," ucap Suci. "Dengar itu, Pak Andhika," tegas Sofyan. Istri Anda ternyata sudah membela mati-matian. Sayangnya, Anda kurang tahu diri. Ingat! Kasus ini semakin rumit, mungkin saja butuh waktu untuk menemukan titik terangnya." "Saya bisa mencari detektif yang lebih

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status