Andhika menghela napas saat mendapati putrinya tak juga berangkat sekolah. Seragam lucunya sudah ia kenakan namun masih saja bermain-main di dalam rumah dengan skuter kesayangannya.
"Putri," sapanya. "Putri, papa punya makanan kesukaan kamu, nih. Ada coklat, kue dan strawberry juga."
Makanan itu ia berikan. Andhika menatap fokus pada gadis kecilnya yang tak mau merespon sapaannya. Dan Putri hanya mengambil satu buah strawberry lalu ia malah menjauhi ayahnya.
"Kenapa dia gak mau sekolah?" gumam Andhika.
Makanan itu ia simpan di atas meja makan. Dan Andhika hanya menikmati beberapa masakan yang tersaji. Neneknya baru saja muncul, dia membawa sebuah tas, dari pakaiannya saja sudah menunjukan bahwa beliau hendak berpergian.
"Nek, kok Putri gak mau sekolah? apa dia lagi males saja ya?" tanya Andhika.
"Ya namanya juga anak, kita gak bisa paksa dia seenaknya, semuanya harus terserah dia, ya sudah kita orang tuanya mengalah saja," sahutnya.
Andhika melirik-lirik wajah neneknya yang tampak pucat tapi bercahaya. Dalam hatinya bergumam tak seperti biasanya beliau terlihat seperti itu. Rasa cemasnya mulai melanda, ada rasa takut akan kehilangan nenek tercinta.
"Sudah satu minggu nenek gak nafsu makan, mungkin hari ini mau ke dokter Indah lagi, tapi pengen juga ketemu sama gadis yang sudah menolong nenek minggu lalu, soalnya gak sempet bilang terima kasih sama dia," kata beliau dengan suara agak lirih.
"Nenek tahu dia ada di mana?"
"Ya, di rumah sakit itu. Dia bilang kalau ibunya juga lagi sakit dirawat juga di sana. Siapa tahu masih ada. Tapi, gimana hubungan kamu sama Indah? ada niat ke pelaminan?" tanya nenek, pertanyaan itu membuat Andhika bingung.
"Aku gak pernah ada hubungan apapun sama dia, lagian gak pernah nyaman. Dianya aja yang suka kepedean, mungkin pengennya dia, aku ini jadi suaminya. Kita cuma berteman sejak sekolah dulu," tandas Andhika.
"Ya nenek juga gak suka. Indah memang cantik, lembut, juga keturunan dari keluarga terhormat, tapi nenek gak suka sama dia, entah kenapa, ya? Begitu juga mama kamu itu," kata nenek.
Andhika hanya merespon sewajarnya. Dalam benaknya tak terbesit rasa cinta atau suka sedikitpun pada wanita yang berprofesi sebagai dokter itu.
"Nenek benar mau pergi sekarang? tapi jangan lagi lewat gang sempit atau kecil yang rawan begal, ya. Jangan lagi kayak kemarin," kata Andhika.
"Tenang, nenek merasa baik-baik saja," tukasnya. Kemudian beliau menghabiskan sarapannya.
Sebelum berangkat, orang tua itu menemui cucu buyutnya. Beliau memeluk, mencium keningnya lalu memeluknya. Entah mengapa gadis kecil itu tak mau lepas dari dekapan nenek yang selalu ada untuknya. Bahkan sempat menangis dan meronta-ronta ingin ikut dengannya.
"Aku pengen ikut nenek, pah! Boleh, kan?" lirihnya.
Andhika, ayahnya mencoba merangkul dan menggendong Putri dan bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Beruntung ada mama Marlina yang segera menggendong gadis kecil yang sedang merengek itu.
"Kenapa cucu oma? nangis? ih, cantiknya hilang, dong," ucapnya sembari mengusap air mata cucunya itu.
"Pengen ikut nenek," lirihnya. "Habisnya papa sukanya marah-marah."
Andhika tertegun dengan ucapan polos putrinya. Ada rasa malu bahkan terkesan jaim.
"Putri sayang, tenang suatu saat papa gak bakal marah lagi, asalkan kamu mau berangkat sekolah, ya?"
"Gak mau! Gak mau sekolah!" Sahutnya dengan suara keras, dia semakin merengek.
"An, lebih baik kamu berangkat kerja, nanti siang katanya ayah kamu mau pulang dari China. Mama udah kangen dia," kata beliau.
"Bukannya masih satu minggu lagi? kok, sudah mau pulang?" batin Andhika.
Andhika tak mampu menaklukan sikap putrinya yang sedang tantrum. Ia memilih untuk mengalah saja daripada suara tangisnya semakin keras. Kemudian dia pamit pergi ke kantor dan bergegas menyetir mobilnya.
Tiba di kantor yang ia pimpin. Empat orang bodyguard menyambutnya untuk mengawal beliau. Semua orang menyambutnya dengan baik bahkan menunduk ketika atasannya melintas di depan mereka. Andhika memang CEO yang tegas bahkan keras kepala.
Ketika menuju lantai dua di mana ada ruang kerjanya, ada seorang lelaki yang menyambanginya. Menatapnya dengan tajam lalu melemparkan sepatunya pada sang CEO tampan itu.
"Eh brengsek! gue gak terima keputusan elo yang pecat gue seenaknya, sudah gue bilang insiden korupsi uang bukan salah gue!"
Lelaki itu memarahi Andhika sambil berteriak hingga suaranya mengundang perhatian orang di sekitarnya. Para bodyguard berusaha memaksanya agar keluar dari kantor tersebut.
"Keluarkan dia dari sini! sekarang juga! najis, kalau masih ada koruptor seperti dia!" tegasnya.
Lelaki itu terus meronta meminta pekerjaannya dikembalikan. Namun semua orang tak mampu menaklukan sikap keras kepala sang CEO. Sikap teganya memang sudah dikenal oleh semua pekerja.
Dia memang penerus dari perusahaan Sanjaya Group yang mengelola keuangan, perdagangan tingkat Asia dan sejumlah pertanian. Auranya semakin berwibawa ketika ia menduduki kursi jabatannya.
"Selamat pagi, Pak Presdir," ucap Pak Yudi, sekretaris pribadi sekaligus penasehatnya.
Andhika malah membuka sebuah dokumen. Tak mau menjawab ucapan salam dari sekretaris berusia 57 tahun itu.
"Barusan ada mantan karyawan kita muncul lagi di kantor ini. Kenapa bisa begitu? pesangon dia lumayan, kan?"
"Begini, sebenarnya kita masih mencari siapa saja yang terlibat dengan kasus korupsi di perusahaan, pastinya kita tidak tinggal diam. Semoga saja bulan depan atau berikutnya bisa ditemukan siapa pelakunya," sahut Pak Yudi.
Bel berbunyi, Pak Yudi bergegas membuka pintunya dan muncul sosok wanita yang berprofesi sebagai dokter itu.
"Indah? kenapa datang ke sini?" tanya Andhika.
"Aku bawakan ini buat Putri," ucapnya sembari membuka sebuah kotak berisi boneka, ia tunjukan ada sebuah kalimat yang tertera. "Tuh, untuk Putri Intan Sanjaya."
"Berapa kali lagi kamu hobi kasih hadiah buat Putri?" Andhika berkilah.
Indah menghela napas. Ia menyimpan kembali boneka itu di kursi sofa.
"Kamu gak suka? ya sudah kalau gak suka aku buang saja," ucapnya kesal.
Andhika melihat Indah yang tampak gusar karena telah menolak hadiahnya secara halus. Ia lalu mendekati wanita itu.
"Kamu harusnya praktek, kan?"
"Nanti siang aku baru praktek ke rumah sakit," sahut Indah.
"Nenekku katanya mau ke sana, menemui wanita yang sudah menolongnya minggu lalu, katanya dia mau ketemu kamu juga," ungkap Andhika.
Indah keheranan. Dahinya mengernyit. "Ketemu? sama aku?"
Andhika mengangguk pelan. Indah membawa tasnya lagi kemudian berpamitan. Ia hendak memeluk Andhika namun ditolaknya dengan halus.
"Aku pergi dulu, siapa tahu nenek ada di sana," pamitnya.
Setelah Indah pergi, Andhika kembali duduk di kursi tapi tangannnya tidak sengaja menepak sebuah foto neneknya sampai jatuh dan pecah. Pelan-pelan ia mengambilnya lagi dan menatap foto wanita rambutnya sudah memutih itu.
"Nenek? ada apa ini?" gumamnya.
Andhika teringat pada sosok wanita yang akan ditemui neneknya. Seorang gadis yang sempat menyelamatkan nyawa neneknya.
"Katanya nenek mau ketemu sama si cewek yang sudah menolongnya dari para begal, siapa sih cewek itu? awas kalau kamu macam-macam! kalau sampai terjadi sesuatu pada nenekku akan kucari kamu sampai dapat!" gumam Andhika.
Ponsel Andhika berbunyi. Tertera nomor yang tidak dikenal memanggilnya. Dan setelah menekan tombol hijau terdengarlah suara asing yang berbicara.
"Kamu pasti akan mendapat balasan yang menyakitkan. Lihat saja nanti. Boss arogan kayak kamu harusnya mati! dan perlu kamu ingat satu hal, nenek kamu sebentar lagi mati!"
Suara itu berasal dari seorang lelaki. Entah siapa orangnya. Andhika merasa dirinya terancam dan mulai mencemaskan neneknya yang sedang pergi.
"Siapa yang baru saja memanggilku?" gumam Andhika. "Atau ada hubungannya dengan gadis itu?"
Nenek Diana tidak tahu kalau Suci sebenarnya sudah keluar dari rumah sakit. Ia bersikeras menyuruh supirnya untuk menghentikan mobilnya di depan RS. Namun, beliau agak ragu ketika hendak keluar dari mobilnya. "Benar di sini ada orangnya, bu?" Tanya Pak Rustam. "Apa kita cari saja dulu di sana. Kalau gak ketemu juga mungkin bisa cari Indah. Tapi, kok hati saya kurang enak, ya? Mau ada apa ini?" Gumam beliau sembari mengusap tangannya. Tapi, takdir baik berpihak padanya. Nenek Diana melihat Suci sedang berjalan sendirian di seberang. Matanya mendelik, batinnya sudah tidak sabar lagi untuk segera berpapasan dengan gadis yang telah menolongnya itu. "Pak, itu dia anaknya," ucapnya sambil menunjuk ke seberang jalan. "Iya, harus nyebrang dulu, bu. Nanti, sabar, ya?"
Motor yang baru saja melintas telah menabrak beliau. Pelaku terpental ke tengah jalan tapi nenek Diana tergeletak di samping mobilnya, pintu mobil agak retak pula. Banyak orang mengerumuni tempat itu, lantas Suci bergegas menghampiri, ia bertekuk lutut sembari memeluk badan nenek Diana yang sudah berlumuran darah. Rasa paniknya mulai melanda tak terbendung lagi untuk menangis meratapi insiden kecelakaan ini "Nenek!" Dan orang yang mengerumuni mereka bertanya-tanya. "Bu, dia nenekmu ya?" "Punya nenek kok dibiarkan sendirian?" "Panggil ambulans saja. Rumah sakit dekat! Cepat!"
Dengan emosi yang naik pitam Andhika mendekat pada gadis yang tengah menyaksikan kesedihan mereka. Matanya terbelalak kala mata coklatnya melihat Suci yang tampak anggun dan berwajah lembut, ia dekati dengan bahasa tubuh yang amat ditakuti. "Oh, jadi wanita ini yang ditemui nenek," batinnya. "Gadis kampung pasti hidupnya susah, kenapa nenek ambisius ingin ketemu dia?" Dan Andhika pun berdiri dengan menyedekapkan tangan tepat di hadapan Suci. "Siapa kamu?" Tanya Andhika. "Katanya dia yang baru saja ditemui nenek," sahut Indah. "Oh jadi kamu yang sudah me
"Beneran, kamu masih ingat sama tante?" "Benar, tante. Aku ingat waktu tante melawan orang jahat itu, kan? Yang pakai silat," ucapnya dari bibir mungilnya. Suci tertawa geli mendengar celotehan kecil dari gadis imut di hadapannya itu. "Terus om ini siapa? Pacar tante, ya?" "Oh, dia teman tante, sayang. Om Sofyan, dia detektif. Tahu gak detektif itu apa? Ayo, coba tebak?" "Mana aku tahu, tante. Tapi, sekarang nenek sudah meninggal, dia katanya mau ke surga, nanti aku sama siapa? Sama omah saja gak rame." Wajah gadis kecil itu mendadak suram, menunduk dan tampak cemberut. Suci tetap membalas dengan senyuman hangatnya. Dan menjawab dengan singkat. "Iya, sayang. Nenek mau ke surga." Tiba-tiba Andhika muncul
Satu minggu setelah kematian nenek Diana, pihak kepolisian menghubungi Sofyan untuk menindak lanjuti kasus penyebab kecelakaan. Pelaku sama sekali belum ditemukan, apalagi sudah beredar kabar di media bahwa kasus ini adalah kecelakaan misterius. "Bagaimana ini? Aku belum bisa berbuat banyak. Aku terlalu fokus sama penagih hutang, hampir gak punya waktu buat urus ini urus itu, mana berat badanku makin hari makin berkurang," keluh Suci. "Pasti ada jalannya. Suatu hari pasti ketemu siapa pelakunya, aku kan detektif, masa gak percaya," kata Sofyan. Tentunya Suci belum mampu ikhtiar sendiri. Kekalutan hatinya masih menyerang dirinya, namun karena semangatnya dia mampu menghadapi yang terjadi saat ini.
ketika Suci duduk kursi panjang di luar ruangan itu. Ia membuka botol minuman kemudian diteguknya hingga habis. "Segarnya. Aku sekarang udah lega. Sidang ini masih lanjut?" "Sampai tuntas mungkin dua atau tiga kali lagi," jawab Sofyan. "Sofyan. Doakan aku, ya. Semoga bisa bayar semua hutang aku yang segunung, mungkin dalam waktu dekat ini aku mau berangkat buat kerja di luar negeri," kata Suci. "Serius? Kerja di sana perlu tenaga besar, mental juga siap sedia. Kamu sanggup?" "Ya sanggup, dong. Siapa yang mau bayar hutang aku yang banyak itu coba? Daripada aku stress lebih baik kerja, kan? Memang berat tapi mau giman
"Bagaimana dengan fotonya? Kalian sudah ambil beberapa pose, kan?" Tanya Adhika pada bodyguard pribadinya. Salah satu bodyguard memberikan hasil potret kepada majikannya itu. Seketika wajah Andhika kembali sumringah. "Bagus!" "Kalau boleh tahu, kenapa Anda lakukan ini?" "Sebarkan ini di media sosial, aku ingin membuktikan bahwa CEO kaya raya seperti aku mampu berbuat baik pada siapapun meski pada musuhnya, kalian tahu? Namaku harus bersih! Kalian sama sekali gak merasakan sakit hati saya karena kehilangan orangtua," sahutnya. Semua bodyguard menepuk kening karena mendapati kebodohan majika
Kabar tentang gugatan seorang kaya raya pada gadis miskin itu sudah tersebar di media televisi dan jaringan sosial. Pihak wartawan dan netizen bahkan mengolok-olok sikap konyol sang penggugat yang dirasa memalukan. Tak ayal, ini membuat Andhika menjadi sangat gusar. Pada berita di televisi itu menayangkan sosok Suci sedang duduk di kursi persidangan yang tunduk setia mendengar vonis dari hakim. Sedangkan Andhika terlihat sedang bersedekap sembari menengadahkan kepala sehingga tampak angkuh. "Sialan! Siapa yang nyebarin berita ini! Dasar wartawan sialan, urusan mereka juga bukan, ngapain ikut campur masalah gue!" Keluhnya. Dan seorang reporter itu menegaskan bahwa aksi tersebut hanyal