“Perhatikan ke mana mata kalian memandang,” ucap Zavian.
Setelahnya, tidak ada yang melihat ke arah mereka, meski beberapa masih mencuri-curi pandang ke arah meja mereka.
“Makan makananmu dengan tenang dan jangan pedulikan mereka,” ucap Zavian lembut. Sementara Elive hanya mengangguk kecil.
Bagaimana bisa Elive bersikap tenang dan biasa saja saat yang tengah makan bersamanya adalah eksekutif muda, baru, dan keturunan langsung pemilik Lee Corporation. Siapa pun pasti mendambakan hal itu. Duduk satu meja dengan pria yang diimpikan semua orang.
Namun, bukannya bangga, Elive justru takut. Ia takut kejadian hari ini akan menjadi rumor yang membuat keberadaan dan keselamatannya terancam. Ia tidak mau mengambil masalah di tempat kerja dan berita ini pasti akan keluar dengan cepat kalau sampai ada yang menuliskannya di internet.
Setelah melewati makan siang yang begitu menegangkan dan tidak habis, Elive memilih berpamitan lebih dulu kepada Zavian dan sekretarisnya. Gadis itu membungkuk sopan dan segera mengembalikan mangkuk makanannya sebelum berjalan cepat menuju ruangannya.
Gadis itu berbelok saat melihat beberapa gadis yang makan siang di kantin yang sama dengannya tadi. Elive akhirnya menuju taman yang ada di lantai tersebut. menghirup udara segar, berharap pikirannya dapat dijernihkan kembali.
Memejamkan mata, Elive menikmati angin yag menerpa wajahnya.
“Apa di sini menyenangkan?”
Suara tersebut membuyarkan kegiatan Elive. Gadis itu mundur dua langkah saat melihat Zavian berdiri di sampingya dengan wajah datar miliknya.
“Tuan Zavian, Anda di sini. Ah, iya, benar, suasana di sini menyenangkan dan udaranya segar,” jawab Elive setengah guggup. Ia tidak berani memandang Zavian dan memilih mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
“Maaf kalau makan siangmu jadi terganggu,” ucap Zavian tulus.
“Tidak, terima kasih karena sudah memberikan saya tempat duduk,” jawab Elive.
Zavian kembali diam dan hanya memperhatikan wajah Elive. Pria itu menikmati tiap ekspresi yang diberikan Elive. Dari cara gadis itu menatapnya, menautkan dua alisnya, hingga warna pipinya yang sesekali merona. Zavian terhipnotis dengan pesona gadis di sampingnya itu dan ia rela menghabiskan banyak waktu hanya untuk memandangi Elive.
“Tuan, maaf, saya harus segera kembali ke ruangan,” ucap Elive setelah melihat jam di pergelangan tangannya.
Zavian yang menyadari hal itu, ikut melirik ke arah arloji mahal yang ada di tanganya. Jam istirahat memang sudah selesai dan entah mengapa Zavian tidak suka. Ia masih ingin bersama Elive dan melewati lebih banyak waktu dengan gadis itu.
Menghela napas panjang, Zavian mengangguk kecil, mempersilakan Elive untuk kembali ke ruangannya.
Elive langsung beranjak dari tempatnya namun langkahnya tiba-tiba berhenti begitu mendengar kalimat yang Zavian sampaikan, “Elive bisakah kau percaya padaku?”
Elive menoleh, menatap pada atasannya tersebut dengan pandangan yang sulit diartikan. Gadis itu masih tidak menjawab dan akhirnya memilih membungkuk singkat, lantas melanjutkan perjalanannya yang tertunda untuk kembali ke ruangannya.
Begitu tiba di ruangannya, Elive mencoba fokus dengan pekerjaannya. Namun, pertanyaan Zavian mengusik isi kepalanya. Ia tidak ingin mempercayai apa pun, sebab khawatir bahwa kepercayaaan dan harapannya hanya akan dipatahkan. Gadis itu sendiri belum tahu dengan niat Zavian mendekatinya. Apa benar maksud Zavian mendekatinya karena menyukainya.
Elive tidak bisa dengan mudah mempercayai hal itu karena menurutnya tidak ada perasaan yang tumbuh secepat itu. Menurutnya, Zavian hanya penasaran dengan dirinya. Ditamba rasa bersalah dan berhutang budi sebab ia sudah menyelamatkan keponakannya.
Perasaan yang Zavian sampaikan kepadanya tentang perasaan yang tulus belum bisa Elive terima. Bagaimana seorang Zavian Lee menyukai gadis biasa-biasa saja sepertinya. Pria itu pasti memiliki maksud lain yang tidak Elive ketahui.
Menggeleng kecil, Elive memilih kembali fokus dengan map di tangannya. Mengabaikan tebakan-tebakan yang muncul di kepalanya tentang Zavian. Walaupun tidak bisa dipungkiri bahwa sesekali Elive merasa hangat dan malu saat diperlakukan begitu manis oleh Zavian. Lagipula, siapa yan tidak akan luluh pada pria sesempurna Zavian?
***
Waktu berlalu begitu cepat, hingga tanpa sadar jam kerja telah berakhir. Dengan semangat, Elive memasukkan barang-barangnya, membayangkan kasur di rumahya. Besok akhir pekan, jadi Elive bisa bersantai sembari menonton serial kesukaannya. Berbelanja ke supermarket dan berjalan-jalan ke taman saat sore.
Membayangkannya membuat Elive tersenyum senang. Minggu lalu cukup padat dan menguras isi kepalanya, sehingga gadis itu ingin menikmati liburannya akhir pekan ini. Ia benar-benar berharap tidak ada hal yag mengganggunya seperti tiba-tiba diminta mengirim laporan mingguan atau yang lainnya.
Begitu hendak keluar dari kantor, Elive dikejutkan dengan teriakkan tiba-tiba dari ujung koridor.
“Kakak Cantik!”
Elive menatap wanita di depannya dengan berani, tidak gentar meski tatapan tajam seolah menghunus dadanya.“Sombong sekali kamu. Awas saja, aku pastikan kamu menangis darah, menyesal karena sudah melawanku hari ini.” Wanita itu meninggalkan kursinya, termasuk Elive yang hanya menatap punggungnya.Jika boleh jujur, badan Elive sekarang bergetar takut. Ia tidak seberani itu melawan orang-orang kaya. Elive jelas tau kekuatan orang-orang berada itu.Berkali-kali menghembuskan napas, Elive meremat kedua tangannya, meninggalkan kafetaria. Sengaja berjalan perlahan, menikmati suasana sore. Isi kepala Elive kembali teringat ucapan wanita berambut pendek yang masih belum ia ketahui namanya. Jika benar Zavian dan wanita itu akan menikah, seharusnya Zavian tidak masuk dan memaksa membuka pintu yang Elive tutup sejak lama.Menatap langit sore, Elive mengeratkan genggaman tangannya pada tas tangan miliknya. Elive merasa tidak
Elive menghela napas lelah. Emosinya benar-benar diuji, ia tetap harus menjaga batasannya atau nama baiknya akan semakin dipertaruhkan. Belum lagi statusnya sebagai kepala divisi menambah beban tersendiri untuknya. Rasanya, Elive ingin berteriak kencang, mengumpati seluruh karyawan yang berbicara dibelakang soal dirinya. Namun, Elive cukup sadar bahwa tindakan itu akan menjadi hal bodoh yang menyerangnya di masa depan.Memejamkan mata sejenak, Elive menarik dan menghembuskan napas, kemudian berlalu menuju rest room untuk membuat kopi. Tidak peduli kalau asam lambungnya akan naik, Elive butuh sesuatu untuk menenangkannya.Melamun, Elive tidak sadar jika air dalam gelasnya tumpah dan berhasil mengenai tangannya, menyadarkan Elive dari lamunannya. Ia meringis kecil, dalam hati berteriak kesal pada dirinya sendiri. Akhirnya, Elive batal menikmati secangkir kopi panas, ia memilih mengambil minuman bersoda dari lemari pendingin.Wanita itu duduk sambil menyesap soda di tangannya, mengabaika
Zavian tersenyum ke arah Elive yang sedikit terkejut melihat kedatangannya. Wanita itu memiringkan kepala, tampak lugu dan lucu hingga Zavian menjerit dalam hatinya. Jika tidak ingat saat ini dirinya berada di luar ruangan, Zavian ingin berteriak kencang, mengatakan pada siapapun tentang luar biasanya perempuan yang dirinya cintai.Menghampiri Elive, Zavian menuntun wanita itu menuju mobilnya dan mereka meninggalkan pelataran rumah Elive setelahnya.Seperti biasa, tidak ada yang bersuara dari keduanya. Elive sibuk menatap ke luar jendela, sedangkan Zavian sesekali melirik, memperhatikan gerak-gerik Elive. Wanita itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi tertahan. Hingga Zavian bertanya pada Elive dan hanya hela napas panjang jawabannya.Mencoba mengingat-ingat yang terjadi, Zavian seperti melewatkan sesuatu. Pria itu menautkan dua alisnya, menciptakan kerutan dalam pada dahinya. Ia memaksa kepalanya agar mengingat kebodohan apa yang sudah dirinya lakukan.Saat mengingatnya, mata pri
“Zavian!” teriakkan Tuan Lee membuat meja makan seketika hening. Namun, Zavian tdak gentar. Ia menatap ayahnya tidak kalah datar, tidak takut sama sekali atas ancaman pria paruh baya itu.Zavian dengan sopan menyelesaikan makanannya kemudian mengajak Yuan beranjak lebih dulu dari meja makan. Sementara, Vanesia merasa harga dirinya direndahkan. Ia tidak terbiasa dengan penolakkan. Semua orang menginginkannya, tapi Zavian justru menolaknya dan Vanesia tahu hal ini karena wanita itu.Zavian masuk ke kamarnya, sibuk menunggui Yuan yang sedang bermain game dari ponselnya. Pria itu menatap kosong tembok di depannya, hingga tidak lama setelahnya, Jully ikut masuk ke dalam kamar adiknya tersebut. Ibu satu anak itu menatap adiknya kemudian menghela napas panjang.“Tempo hari, aku bertemu dengan Elive. Dia perempuan yang sangat ramah dan apa adanya. Aku suka saat dia mengeluarkan energi positif, sangat menenangkan,” ucap Jully, membuat Zavian terkejut. Ia baru tahu kalau kakaknya tersebut sudah
Zavian mengusap kepala Elive yang saat ini merebahkan tubuhnya di sofa dengan pahanya sebagai bantal. Wanita itu memejamkan mata, entah tidur atau tidak, avian hanya berusaha menenangkan wanita itu. Elive masih tidak mau bicara apapun dan Zavian tidak akan tinggal dam untuk tidak tahu menahu soal perempuan yang ia cintai.Saat merasa Elive sudah tertidur, Zavian mengangkat tubuh wanita itu perlahan dan memindahkannya ke kamar. Menutup pintu kamar kemudian merogoh saku pakaiannya. Zavian menghubungi sekretarisnya, memintanya mencari informasi yang terjadi hari ini. Begitu mendengar cerita sekretarisnya, Zavian menggenggam ponselnya erat. Ia benar-benar tidak bisa meremehkan Vanesia. Wanita itu mengincar Elive dan bukan dirinya. Vanesia pasti tahu bahwa tidak mudah mengalahkan Zavian. Jadi, wanita itu menyerang Elive yang dianggapnya lemah.“Kau salah memilih lawan, Vanes.”Zavian beranjak dari tempat duduknya saat mendengar suara dari kamar Elive. Wanita itu terbangun, menatap Zavian d
Elive berangkat ke kantor seperti biasa. Ia hendak ke ruangan miliknya saat tiba-tiba beberapa orang melihat ke arahnya. Hal itu membuat Elive heran dan segera mendekat ke arah papan pengumuman. Matanya membelalak kaget saat melihat foto-foto dirinya tampak diantar pulang oleh Zavian. Dalam foto itu terlhat seolah dirinya memaksa pria itu dan membuat semua oran melihat sinis ke arahnya.Elive mencabut foto-foto itu dengan cepat, mengabaikan para karyawan yang sudah menggunjingnya terang-terangan. Wanita itu memilih menuju ruangannya, walau ia tahu kalau hal itu tidak akan cukup membantu. Semua orang tampak menghakiminya dan Elive tidak suka. Ia bahkan belum memuai hubungannya dengan Zavian, tapi semua orang sudah ikut campur.Menghela napas panjang, Elive membiarkan karyawan lain menyindirnya. Mengatakan bahwa dirnya tidak pantas, mencurigai bahwa posisinya sekarang berkat menggoda atasan, bahkan menyimpulkan sesukanya kalau Elive masuk ke perusahaan karena bantuan orang dalam.Ia sak