Kedua mata Rama menatap tak sopan kearah sang majikan. Bagaimana tidak, majikannya itu kali ini nampak begitu kerepotan saat memasuki ruang kerjanya.
Si kembar yang masih merengek di pangkuan Adrian membuat Rama melihatnya dengan iba. Duda dua anak itu sungguh benar-benar terlihat berantakan malam ini.
"Pak, kok si kembar di bawa? Sudah malam loh" ucap Rama heran dengan cepat mengambil alih Ratu kepangkuannya. Sementara Raja masih saja asik di punggung Adrian.
"Saya mau ajak anak-anak keluar kota. Ibu sudah gak mau lagi ngurus mereka Ram" curhat Adrian dengan menidurkan Raja di sofa ruangan kerjanya.
"Hemm ... Bapak berantem ya sama ibu?" tebak Rama. Adrian mengangguk mantap, sepertinya Rama memang sudah benar-benar mengerti dirinya.
"Begitulah Ram,namanya juga ngurus dua cucu. Mana mungkin ibu terus-terusan sabar menghadapi mereka, apalagi di tahun ketiga ini mereka lagi aktif-aktifnya" Adrian menceritakan semua perasaannya pada Rama. Bagi Adrian, Rama bukan hanya sekedar tangan kanannya saja melainkan juga sebagai tempat curhatnya.
Meski Rama lebih muda darinya, tapi pemikiran Rama yang dewasa sungguh membuat dirinya nyaman untuk dijadikan tempat berkeluh-kesah.
"Tapi maaf nih ya pak. Namanya juga seorang ibu, selelah-lelahnya ia mengurus dua anak pasti hatinya tidak akan pernah membenci. Ibu, bapak marah mungkin karena kecapean aja. Udahlah pak, jangan di ambil hati"
"Tapi Ram, ibu gak biasanya kaya gitu. Kemarahan ibu kali ini benar-benar kelewatan, bukan hanya ibu saja yang capek tapi juga saya, Ram! Sudah di pusingkan dengan masalah pekerjaan eh malah di tambah beban dengan keluhan-keluhan anak-anak di rumah. Di rumah bukannya istirahat malam tambah stres" ucap Adrian menggebu-gebu. Sesak rasanya mengingat penderitaan yang ia alami tahun ini begitu sungguh berat.
"Bapak minum dulu gih, tenangin hatinya. Biar Raja sama Ratu Rama yang urus. Semua berkas yang harus di tandatangani telah Rama siapkan di atas meja" ucap Rama mengalihkan pembicaraan. Untuk kali ini, dirinya sungguh tak siap mendengarkan curhatan pilu bosnya itu. Bukan apa, ia hanya saja takut jika yang di alami bosnya sekarang menjadi mimpi buruknya di masa depan. Ah, membayangkannya saja sudah membuat dirinya bergidik ngeri.
"Baiklah, tolong jagain mereka ya Ram. Biar saya fokus untuk menghafal presentasi buat besok," pinta Adrian seraya berjalan menuju meja kerjanya.
"Baik pak,"
Setelah menyelesaikan semua berkas yang harus Adrian tandatangani kini dengan sangat terpaksa si kembar ia bangunkan. Agar bisa bersiap untuk pergi keluar kota malam ini juga.
"Apa bapak yakin mau membawa mereka?" tanya Rama. Kedua bola matanya tak lepas menatap Raja dan Ratu yang kini tengah siap menaiki mobil fajero sport milik Adrian.
"Saya yakin, lagi pula disana juga ada om Darius dan tante Murni yang bersedia menampung mereka Ram. Kamu gak usah khawatir, projek besar kita akan berhasil" ucap Adrian meyakinkan.
Rama mengangguk, membukakan pintu mobil untuk Adrian serta si kembar yang begitu terlihat gembira saat menaiki mobil tersebut.
"Om kita mau kemana? Mau jemput ibu ya?" dengan polosnya si kecil Ratu bertanya pada Rama.
"Emm ..." nampak cukup lama Rama berpikir. Hatinya mencelos saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir mungilnya.
"Ah Om jawabnya lama, ayo Om cepetan jalan. Nanti ibu di sana kedinginan," timpal Raja.
Lagi, hatinya tersayat pilu. Perih, sesak, Adrian rasakan. Entah sampai kapan ia harus menyembunyikan rahasia ini dari kedua anaknya, ia sungguh tak tega jika harus memberikan kenyataan pahit pada kedua anak kembarnya itu.
"Jalan aja Ram, gak usah dengarin mereka" ucap Adrian datar. Rama mengangguk, ia mulai menyalakan mesin mobilnya dan segera menancapkan gas keluar dari kota yang telah lama ini ia tempati.
"Om nanti kalau udah dekat, kita turun di mini market dulu ya" pinta Raja dengan menoel punggung Rama dari belakang.
"Mau ngapain sayang? Kan Om Rama sudah siapkan banyak cemilan di belakang?"
"Ih Om, Raja mau beliin eskrim buat mamah. Biar nanti mamah senang ketemu aku dan ratu"
Entah siapa yang mengajari Raja seperti itu yang jelas kini Rama dan Adrian saling tatap. Tak habis pikir dengan pemikiran anak yang baru saja menginjak usia tiga tahun tersebut. Benar-benar di luar nalar.
"Iya sayang, nanti ya. Nanti biar Ayah yang suruh om Rama buat berhenti di mini market"
"Janji ya ayah?" pinta Raja. Adrian mengangguk pilu.
"Iya sayang, ayah janji. Bobo lagi ya, perjalanan kita masih jauh. Tuh Ratu aja udah bobo, bobo ya. Sini, biar ayah kelonin" kembali Adrian meminta Raja untuk tidur di pangkuannya. Raja mengangguk dengan senang hati dirinya duduk di pangkuan sang Ayah. Kembali berceloteh ria hingga tertidur pulas di pangkuannya.
"Pak?" panggil Rama ketika suasana sudah benar-benar hening. Dirinya menatap sang majikan yang masih tetap terjaga dari kaca mobil.
"Iya Ram, kenapa?" tanya Adrian.
"Apa bapak tidak ada niatan untuk mencari ibu sambung bagi mereka?" Begitu hati-hati Rama bertanya, takut jika pertanyaan yang ia lontarkan menyinggung perasaannya.
"Kamu ini Ram, persis seperti ibuku saja" kekeh Adrian yang mampu membuat Rama bernapas lega akan pertanyaan yang ia lontarkan pada Adrian tak begitu menyinggung perasaannya.
"Maaf pak jika pertanyaan saya lancang" ucap Rama tak enak hati.
"Tidak Ram, gak usah tegang gitu. Saya ngerti kok, lagi pula pria mana coba yang tahan melihat drama keluarga seperti ini? Haha" ucap Adrian tertawa sumbang. Lebih tepanya ia menertawakan kehidupannya yang begitu berat akhir-akhir ini. Tanpa Zahra, dirinya bukanlah apa-apa.
"Lantas, kenapa bapak masih saja bertahan dengan segala drama keluarga ini? Apa bapak tidak ingin memiliki pendamping hidup kembali? Merasakan kebahagian dengan keluarga utuh, seperti kebanyakan? Apa bapak tidak menginginkan itu? Setidaknya demi si kembar pak" kembali Rama bertanya, kali ini dirinya tak lagi merasakan canggung apalagi menatap dari kaca mobil Adrian merespon pertanyaan darinya dengan senyum ramah.
"Semua demi cinta saya pada mendiang Zahra, Ram. Untuk saat ini saya masih bisa bertahan deminya tapi entah sampai kapan. Memang ada sih niatan untuk kembali membina rumah tangga, tapi saya tidak ingin buru-buru, saya ingin benar-benar mencari perempuan yang bisa menerima saya dan anak saya apa adanya. Saya ingin mencari perempuan yang mampu menerima masalalu saya, serta rasa cinta saya yang tidak akan pernah pudar pada mendiang Zahra dengan tulus"
Rama mengangguk, kini ia paham. Dari nada bicara Adrian yang bergetar, menandakan rasa kehilangan itu masih menjadi luka terbesar dalam hidupnya. Cinta yang besar memang tidak akan bisa digantikan oleh seseorang, meski penggantinya tulus mencintai sebab rasa cinta itu akan ia simpan dilubuk hatinya terdalam tanpa mengubur semua kenangannya meski telah di gantikan oleh orang baru.
Suara kumandang adzan subuh terdengar saling bersahutan dibeberapa mesjid yang tak jauh dari kediaman rumah megah tiga lantai itu yang mereka sebut dengan mansion itu berdiri paling mewah disekitaran perumahan warga. Didalamnya, gemericik suara air keran berjatuhan membelah kesunyian. Nampak, seorang wanita yang sudah mengenakan mukena berwarna putih itu bersandar di ambang pintu. Menatap remang-remang cahaya dihadapannya, menunggu kehadiran sang suami yang sepertinya tengah berwudhu.Seorang pria dewasa, berkoko putih lengkap dengan sarung hitamnya keluar dari kamar mandi dengan pandangan menunduk membuat rambutnya yang basah terkena air wudhu itu menetes. Tangannya cukup sibuk menurunkan lengan baju kokonya yang tersingkap. Matanya memindai kearah lemari, hendak mencari kopiah yang akan dikenakannya untuk shalat subuh hari ini. Setelah menemukannya, ia kenakan rapih kopiah ke kepalanya dengan sedikit menunduk, ia mendongak. Lantas terperanjat kaget saat melihat siluet berwarna puti
"Assalamualaikum, bu. Saya MUA yang dipesan bapak Adrian, bolehkah saya masuk"Anna menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kebingungannya. "Waalaikumsalam," jawabnya akhirnya, sambil membuka pintu untuk MUA yang datang.Seorang wanita muda dengan riasan wajah profesional dan perlengkapan lengkap memasuki kamar. "Selamat pagi, Bu Anna. Kita akan mulai dengan riasan dan hijab stylish. Bapak Adrian sudah memesan semua perlengkapan yang dibutuhkan."Anna mengangguk, berusaha tenang. "Silakan, mari kita mulai."Selama proses riasan, hai Anna mulai tidak enak pasalnya riasan yang sedang MUA itu lakukan padanya seperi riasan untuk seorang pengantin dan itu membuat Anna terus-menerus memikirkan apa yang akan terjadi. Masa iya Anna akan menjadi pengantin lagi? Ia kan hanya mengajukan syarat agar Adrian melakukan ijab kabul saja didepan orang tua dan saksi. Udah itu aja, bukan meminta mengadakan pesta besar-besaran. Saat MUA menyelesaikan riasan dan Anna berdiri di
Seminggu telah berlalu, Adrian kini masih berada di kediamannya Anna. Ia masih dalam proses penyembuhan, dan dalam seminggu ini Adrian hanya tidur sendiri di ranjang besar milik istrinya itu. Sementara Anna memilih untuk tidur disofa yang lumayan besar disudut kamarnya. Cukup nyamanlah untuk dipakai tidur. Seperti malam ini, Anna baru saja memasuki kamarnya dan terkejut saat menoleh pada Adrian yang kini tengah merebahkan tubuhnya disofa yang biasa Anna tempati sembari menonton beberapa siaran berita seputaran bisnis minggu ini. "Awas," usir Anna dengan cepat. Adrian mendongak, "mau tidur sekarang?" tanyanya bangkit dari pembaringan. Anna mengangguk, berjalan mengambil bantal dan selimut didalam lemari. "Jangan tidur dulu ya, mas mau ngobrol." pinta Adrian lembut. Anna mendengus sebal, ia meletakan bantal yang dibawanya keatas sofa. "Ngapain? Udah malam, aku ngantuk" tolak Anna halus.Anna malah merebahkan tubuhnya diatas sofa, padahal Adrian masih duduk disana.Adrian melihat ra
Anna duduk di tepi tempat tidur, menatap hujan yang terus menerpa jendela kamar. Suasana di luar yang dingin dan suram mencerminkan perasaannya saat ini. Suara tetesan hujan yang monoton dan gelegar petir membuat suasana hatinya semakin berat. Ia merasa terombang-ambing antara harapan dan ketidakpastian.Hujan ini seolah memberikan penekanan pada kebingungan dan rasa sakit yang ia rasakan. Hujan diluar nampaknya mulai agak mereda, membuat Anna bangkit untuk membuka jendela sekedar untuk menghirup udara pagi ini. Ia harap bau basah tanahnya yang menguar akan mampu menenangkan pikirannya dan berharap Adrian segera pergi dari rumahnya setelah ia menolak untuk bertemu dengannya.Jujur saja, Anna masih merasakan sakit hati atas perbuatan Adrian padanya tapi ia juga merindukananya namun logika Anna kali ini sedang berjalan, ia tidak akan luluh begitu saja saat ibunya bilang jika Adrian tidak memberikan surat yang Anna maksud melainkan Adrian datang ingin memperbaiki hubungan mereka. Jujur s
Sesubuh ini, hujan deras sudah melanda kota Surabaya. Sesekali petir menyambar bumi, dan Anna kini tengah memanfaatkan keadaan, seusai shalat subuh ia masih setia duduk diatas sejadah dengan menengadah berdoa sebanyak mungkin. Anna percaya, salah satu waktu mustajabnya doa ialah diwaktu hujan turun, dan Anna yakin Allah akan mendengar segala keluh kesah serta doa-doa dirinya.Anna memejamkan matanya, membiarkan suara hujan dan petir mengisi kesunyian sekelilingnya. Dalam kegelapan pagi itu, pikirannya melayang jauh, menelusuri berbagai harapan dan impian yang belum terwujud. Ia berdoa untuk kesehatan orang-orang tercintanya, untuk ketenangan dalam hidupnya, dan untuk petunjuk yang jelas dalam menghadapi jalan hidup yang penuh ketidakpastian, terutama untuk keutuhan rumahtangganya. Anna harap, Adrian tidak sungguh-sungguh dengan perceraian itu. Tak lama setelah ia berdoa, samar-samar ia mendengar bell rumah berbunyi. Entah siapa yang bertamu sepagi ini. Anna membuka matanya perlahan d
Setelah kepergian Aruni beberapa menit yang lalu, Adrian masih setia menyandarkan tubuhnya di kursi kebesarannya dengan kepala yang menengadah, menatap langit-langit. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan sekarang. Ucapan Aruni seperti perintah baginya, namun apakah harus secepat ini? Bahkan Adrian belum memiliki persiapan untuk bertemu dengan Anna beserta mertuanya. Tiba-tiba tubuh Adrian bergidik ngeri saat mengingat wajah ayah mertuanya yang terlihat begitu tegas nan berwibawa. Ia begitu malu, jika harus menghadap Dirgantara malam itu juga. Entahlah, nyali Adrian selalu menciut jika dirinya tau sudah melakukan kesalahan. Ah, memikirkan hal itu membuat kepalanya pening. Lebih baik ia sekarang bergegas pulang, menemui anak-anaknya. Rindu sekali ia bercanda dengan mereka. Ia pun bergegas pulang, mengendarai mobilnya sendiri tanpa ditemani Rama. Sengaja beberapa minggu ini Adrian membiarkan Rama untuk menjaga Aruni, menemani adik kesayangannya itu agar traumanya cepat sembuh. Seper