LOGINKanya terdiam memandangi cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Memadukan emas dan perak, two tone wedding ring tersebut tampak mewah karena juga dipercantik dengan berlian warna kuning madu.
Ironis. Pikir Kanya, dibanding kehidupan pernikahannya, cincin berhias fancy coloured diamond miliknya jauh lebih indah.
“Jangan ngelamun di depan kompor!”
Kanya tersentak karena Sena tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, mematikan kompor sambil mengomel.
“Kamu sengaja bikin singkong bakar atau gimana? Baunya udah gosong banget. Bisa-bisanya malah bengong.”
“Sorry, aku …”
Belum sempat menyelesaikan kalimat permintaan maaf, Kanya berujung cuma menghela napas karena Sena langsung balik kanan meninggalkannya.
Pria itu berpenampilan kasual, namun tetap rapi dan menawan. Entah mau pergi ke mana, mungkin ada urusan pekerjaan atau sekadar hangout bersama kawan di akhir pekan. Kanya tidak diberi tahu dan pada dasarnya memang tak mau tahu.
Setelah meratapi singkong kukus yang nyaris berubah menjadi singkong bakar, Kanya mengambil beberapa potong untuk disantap di meja makan. Untung masih layak makan, cuma warnanya memang tampak kecoklatan pada sisi tertentu dan sedikit berbau hangus.
Pada akhirnya, Kanya sarapan sendirian. Tidak ada siapapun selain dirinya di rumah sehingga otomatis Kanya tidak punya teman makan. Bahkan misal Sena tidak pergi ke mana pun, Kanya tetap akan makan sendiri.
Kanya sempat rajin menyiapkan dua porsi sarapan semenjak menikah. Namun, ternyata Sena tidak pernah sudi makan bersamanya di rumah. Pria itu tak mau menyebutkan alasannya, mungkin karena hanya terlalu muak dengan Kanya, perempuan yang terpaksa dia nikahi.
Berulang kali mendapat penolakan, Kanya mulanya tetap semangat menyiapkan sarapan setiap hari. Dia juga menjajal berbagai resep agar makanan yang disajikan lebih variatif. Hasilnya? Tak ada satu pun yang tidak berbuah penolakan.
Jadi, Kanya memilih berhenti memasak untuk Sena pada bulan ketiga pernikahan mereka. Terserah suaminya itu mau sarapan apa di luar sana. Kanya berusaha membiasakan diri untuk tidak peduli.
“Sarapan sendiri lagi? Menunya apa hari ini? Jagung? Ubi?”
“Singkong gosong.”
“Singkong gosong? Beneran? Sedih banget, sih, kehidupan istri orang. Hal-hal kayak begini, nih, yang bikin aku males nikah.”
Saat hampir selesai menikmati sarapan dalam keheningan seperti biasa, Kanya tiba-tiba menerima panggilan video dari sahabat terdekatnya, Mika.
“Nikah itu seru, asal suaminya bukan Sena,” kata Kanya setelah menghabiskan sarapannya.
“Iya, pasti seru kalau jadi nikahnya sama abangnya Sena.”
Celetukan tanpa filter yang barusan dilontarkan Mika membuat ekspresi Kanya yang tadinya tersenyum seketika berubah menjadi sendu.
“Maaf banget, Nya. Sorry, keceplosan. Maafin aku, Kanya.”
Mika buru-buru minta maaf. Dia merasa sangat bersalah karena membikin suasana hati Kanya memburuk dengan tanpa pikir panjang mengangkat topik terlarang.
“Nggak apa-apa, Mik. Lagian apa yang kamu bilang nggak salah juga,” tutur Kanya, tersenyum simpul tanpa melihat ke arah layar ponsel.
“Andai nikahnya beneran sama Mas Arga, yakin 100 persen, aku bakal jadi istri yang diratukan banget sama dia. Cuma karena akhirnya nikah sama Sena, mungkin emang harus puas jadi partner sandiwara dia aja.”
***
"Terlepas dari gue yang emang udah lama suka karyanya Kanya, kemarin gue rela dateng jauh-jauh dari Bandung ke Jogja, ya, karena mau lihat langsung momen romantis pasutri ini. Emang segemes itu ternyata! Sumpah!"
"Kanya, kok, kuat banget, ya? Gue kayaknya bisa langsung pingsan kalau dapet tatapan sepenuh cinta itu dari Sena."
"Kanya sama Sena beneran definisi pasangan yang setara. Setara status sosialnya, setara juga cintanya."
"Sena mode bucin emang nggak ada obat, tapi cinta ugal-ugalan versi Kanya is another level. Pada sadar nggak, sih? Selalu ada Sena dalam setiap buku yang ditulis Kanya."
Kanya membaca utas viral di media sosial dalam perjalanan menuju kafe miliknya. Melihat beberapa foto yang diunggah bersamaan dengan cuitan anonim via akun menfess itu, perasaan takjub menghinggapi benaknya.
Ada momen saat Sena tersenyum sambil memandangi buket bunga mawar untuk Kanya sebelum memasuki area acara, Sena yang sengaja menjadikan buket bunga tersebut sebagai tameng saat diam-diam ikut antre dalam barisan penggemar istrinya, hingga potret Kanya yang tersipu malu karena menyadari kehadiran Sena dengan hadiah ‘tak terduga’ itu.
“Suami yang profesional banget.”
Gumaman Kanya mengalihkan perhatian Mika yang tengah fokus menyetir. “Konteks?” tanyanya pada sang sahabat yang duduk di kursi sebelah kemudi.
Kanya langsung menunjukkan layar ponselnya. Kendati cuma melihatnya sekilas, Mika langsung paham. Utas yang dibaca Kanya memang terbilang paling populer sejak kemarin. Mika sendiri sudah sempat lihat tadi malam begitu utas tersebut nongol di berandanya.
“Nggak kebayang gimana jadinya misal mereka tahu kalau aku sama dia bahkan nggak tidur sekamar,” kata Kanya sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Mika mengangguk setuju. “Tapi dengan akting luar biasa kalian, selain aku sama sohibnya Sena, yakin banget nggak bakal ada yang tahu fakta mencengangkan itu,” ucapnya.
Kali ini giliran Kanya yang mengiyakan omongan temannya. “Apa aku coba meniti karir jadi aktris aja, ya? Udah latihan tiga tahun, minimal lolos casting pemeran pendamping utama,” celetuk Kanya.
Obrolan masih sangat bisa berkembang menjadi lebih nyeleneh jika ponsel Kanya tidak berdering. Namun, Kanya memilih untuk segera mengangkat telepon yang ternyata dari manajer kafe, Bastian.
“Gimana, Bas? Ada masalah apa di kafe?” Kanya bertanya demikian karena sang manajer biasanya memang cuma menelepon jika ada perkara mendesak.
Benar saja. Raut wajah Kanya yang tadinya cerah seketika berubah menjadi masam setelah menerima laporan Bastian.
“Beneran ada masalah di kafe?” Mika penasaran. “Aku ngebut, nih, nyetirnya, biar kita cepet sampai.”
Kanya diam cukup lama sambil menggigit bibir bawahnya cemas. “Mik …,” katanya dengan suara menggatung.
“Iya, kenapa?” sahut Mika secepat kilat.
“Mika ….”
“Kanya, tolong, ya. Ada masalah apa, langsung bilang aja. Nggak usah …”
“Jingga dateng ke kafe,” ungkap Kanya, membikin Mika langsung bungkam.
“Kata Bastian, dia nyariin aku,” sambung Kanya. “Mantannya Sena ini kira-kira mau ngapain, ya, Mik?”
“Emangnya kenapa, Sayang? Kamu mau kita ngapain kalau suamimu ini nggak capek?”Sena tersenyum senang saat Kanya mulai menghapus jarak di antara mereka. Matanya terpejam perlahan ketika dua bibir yang saling mendamba itu melebur dalam pagutan lembut.Sena tak buru-buru mengambil dominasi. Pria itu membiarkan istrinya memegang kendali, menikmati setiap kali Kanya melumat dan menghisap bibirnya dengan tempo yang tidak terlalu cepat.Saat kesabaran Sena menipis, ciuman yang lebih panas pun tak terelakkan. Sesekali Sena memberi Kanya kesempatan untuk bernapas dengan mengecup bagian wajah lainnya. Cukup beberapa detik saja, lalu kembali merasai bibir ranum favoritnya. Seperti itu terus hingga pakaian yang mereka kenakan terlepas satu per satu.“Mas …”Di tengah keasyikan Sena melukis tanda kepemilikan di lehernya, Kanya berusaha mengatakan sesuatu.“Mas Sen—aahh!”Kanya sebisa mungkin menahan desahannya, tetapi gagal begitu saja gara-gara bagian bawahnya mulai digoda.“Dengerin aku sebentar
Sena tergelak mendengar cerita Kanya yang gagal berprasangka baik pada hubungan Mika dan Zidan. Pria itu tertawa terbahak-bahak karena paham benar mengapa istrinya bisa menuduh sahabatnya hamil di luar nikah.“Mas Sena tahu sendiri, kan? Setelah mereka pacaran lagi, Mika itu makin sering nginep di rumahnya Zidan. Semalam aja mereka tidur bareng.”Kanya terlihat menggebu-gebu. Sena rasanya ingin menyela dengan mengecup bibir mengerucut lucu itu, tetapi sekarang dia harus jadi pendengar yang baik dulu.“Dengan gaya pacaran mereka yang kayak begitu, wajar banget kalau si Mika akhirnya kebobolan dan udah semestinya Zidan tanggung jawab dengan cara buru-buru nikahin Mika.”Sena manggut-manggut, setuju dengan apa pun yang dikatakan istrinya. Memang benar yang dibilang Kanya. Bukan hal aneh jika Mika hamil anak Zidan sebelum pasangan itu menikah, tapi untungnya belum.Setelah hari panjang yang melelahkan, Sena selalu menyukai momen seperti ini. Duduk berdua di sofa depan televisi tetapi buka
Demi menjaga privasi teman karibnya itu, Kanya pun mengajak Mika duduk di halaman belakang. Tak ada orang selain mereka di sana, jadi Mika bebas cerita apa saja tanpa khawatir dihakimi siapa pun.“Kamu kenapa, Mik? Berantem sama pacarmu?”Bukannya menjawab, Mika cuma diam memandang Kanya dengan mata berkaca-kaca. Tak berapa lama, air mata pun jatuh membasahi pipinya.Mana mungkin Kanya tidak panik. Dia lekas memeluk Mika kembali, mencoba menenangkan sahabatnya tanpa mengatakan apa pun.Kendati tidak tahu apa yang membuat Mika berderai air mata, Kanya rasanya ingin menangis juga. Namun, empatinya gugur seketika begitu Mika mengungkapkan sesuatu yang ternyata tak ada sedih-sedihnya.“Zidan ngajakin aku nikah, Nya! Pas bangun tidur, tiba-tiba dia ngelamar aku. Aku masih acak-acakan di kasur, tiba-tiba jariku ada cincinnya.”Mika melepas pelukan Kanya, lalu tanpa dosa memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya.“Temenmu bakal jadi istri orang, Kanya!” kata Mika di sela isak tangisn
“Lagian, ngapain coba aku temenan sama mantan pacar suamiku? Kayak nggak ada orang lain yang bisa diajak temenan aja.”Kanya bersungut-sungut, sebegitunya tak suka dibilang berteman dengan Jingga. “Ini aku peduli sama nasib mantan pacarmu juga cuma sewajarnya perempuan yang nggak mau sesamanya jadi korban kekerasan aja.”Padahal tidak apa-apa jika Kanya dan Jingga pada akhirnya menjadi teman, tetapi Kanya sepertinya masih terlalu gengsi untuk mengakui kecocokan mereka. Bikin gemas Sena saja.Sena mendengus, menahan tawa. “Oke, Sayang. Oke. Jangan cemberut terus, dong,” ujarnya lembut.Sena lalu mencuri satu ciuman di bibir Kanya, melumatnya sebentar, sekedar cukup untuk membikin sang istri berhenti mengomel dan tak manyun melulu.“Bilang makasih sama Andi, Sayang,” kata Sena dengan suara setengah berbisik. “Kalau nggak ada dia, kita mungkin bakal ciuman sampai bibirmu mati rasa.”Bukan cuma yang Kanya merinding mendengar omongan Sena, tetapi juga Andi yang mau bagaimanapun harus teta
Sore tadi, Jingga tersenyum sinis begitu dirinya mendapati mawar oranye yang dikirim Haris untuk Kanya. Setelah sekian bulan, akhirnya dia melihat sendiri bukti kelakuan memuakkan Haris yang masih saja mengusik kehidupan Kanya.Haris memang tidak agresif mendatangi Kanya secara terang-terangan. Pernah beberapa kali coba memanfaatkan momen perjamuan bisnis, tetapi Haris selalu kalah cepat dengan Sena yang semakin protektif terhadap Kanya. Setiap kali mengetahui bahwa Haris ternyata tidak benar-benar absen, Sena pasti segera membawa Kanya meninggalkan lokasi demi mencegah interaksi sekecil apa pun.Meski begitu, ada saja ulah lain yang dilakukan Haris setiap 1-2 pekan sekali. Mirip Jingga yang dulu pernah rajin mengirimi Sena beragam paket cinta ke gedung perkantoran Pandega Group, Haris juga senang menghujani Kanya dengan berbagai bingkisan manis. Meski kebanyakan berujung hancur atau dibuang Sena sebelum sempat diterima Kanya, Haris tidak peduli. Dia tak ada kapoknya dan buktinya ter
Jingga memang pernah sangat marah dan membenci Kanya. Meski begitu, dia tak pernah mengharapkan permintaan maaf dalam bentuk apa pun.Bagi Jingga, satu-satunya hal yang mesti dilakukan Kanya adalah melepas Sena dan mengembalikan pria itu padanya. Cuma dengan begitu, kebenciannya terhadap Kanya mungkin bakal berkurang.Hanya saja, walau Sena sungguh kembali padanya sekalipun, Jingga tetap tidak akan sudi memaafkan Kanya. Perempuan itu bakal selalu menjadi sosok yang Jingga musuhi karena pernah begitu lancang merebut pria yang dia cintai.Namun, Jingga yang sekarang bukan lagi perempuan yang menjadikan Kanya samsak emosi. Kemarahannya sudah mereda, pun dengan rasa benci yang perlahan telah memudar dari hati.“Kalau jadi kamu, aku nggak akan minta maaf. Sebaliknya, aku bakal menuntut permintaan maaf yang minimal harus dilakukan sambil bersujud di depan umum.”Jingga tersenyum, lalu tertawa pelan. Secara tak langsung, dirinya baru saja mengatakan apa yang mestinya dia lakoni jika ingin me







