Ada bara yang menyala di kedua mata Mika setelah mendengar apa saja yang dialami Kanya kemarin. Keningnya berkerut marah, rahangnya mengeras. Bahkan, es krim jumbo di pangkuannya rasanya jadi tak cukup dingin untuk meredakan api di hatinya.
Mika berulang kali mengumpat saat Kanya bercerita tentang datangnya tiga teman SMA dan omongan nyinyir mereka. Meski begitu, umpatan itu masih keluar dari mulutnya dengan suara tertahan.
Namun, ketika Kanya menceritakan tentang bingkisan teror yang ternyata kiriman Jingga, Mika sungguh tak bisa menahan diri. Berbagai makian terlontar lancar dari bibirnya.
“Sialan!”
“Bukan kamu, tapi dia yang jalang!”
“Bangsat!”
“Sena gimana? Emangnya dia mau menceraikan kamu?”Mika telah mengurai pelukannya. Namun, kedua tangannya masih menggenggam jemari Kanya. Meski barangkali tak seberapa banyak, ia berharap genggamannya dapat menghantarkan energi baik untuk sahabatnya.Kanya menggeleng lemah. Helaan napasnya kemudian terdengar penuh rasa putus asa.“Tapi aku bakal terus minta cerai sampai dia mau,” ungkap Kanya tanpa ragu.Sayangnya, di mata Mika yang telah berteman dengan Kanya sejak mereka remaja, keraguan yang coba disembunyikan tetap terbaca jelas.“Kenapa, sih, Sena nggak mau cerai?” Mika hati-hati bertanya. “Bukannya dia nggak akan kehilangan apa-apa, ya?”Kanya kembali menggelengkan kepala. Dia juga bingung dengan sikap Sena padanya.‘Tugasku adalah menjagamu seumur hidup, Kanya. Sampai kapan pun, perceraian jelas bukan pilihan.’Pernyataan yang Sena ucapkan dini hari tadi kembali terngiang di benak Kanya.“Katanya, tugas dia adalah menjagaku seumur hidup.”Satu alis Mika refleks terangkat. “Tugas
Suasana canggung jelas sekali menyelimuti meja makan. Namun, Andi merasa hanya dirinya yang tidak nyaman dengan kecanggungan itu.Zidan yang duduk di sampingnya terlihat enak saja menyantap spageti bolognese bikinan Sena. Begitu pula dengan Mika yang sedang menikmati suapan pertama tanpa bersuara.Perhatian Andi perlahan tertuju pada Sena yang duduk di ujung meja layaknya kepala keluarga. Sena sama sekali belum menyentuh makanannya sebab ada hal lain yang lebih penting bagi sang bos.Kanya?Iya, tentu saja.Memangnya, siapa lagi kalau bukan Kanya?Sena memerhatikan Kanya dengan tatapan mata yang seolah tak mau berkedip. Sena tampak begitu fokus hingga Andi curiga bosnya mungkin tanpa sadar lupa bernapas.Di sisi lain, Kanya terlihat tak selera makan. Dia hanya memainkan spageti dengan garpu tanpa berniat menyantapnya sedikit pun.“Coba dulu sesuap. Kalau rasanya nggak cocok atau bikin kamu mual lagi, ya, udah. Nggak usah diterusin, nggak apa-apa.”Sena bicara dengan nada yang sangat l
Lewat somasi, tim legal akan meminta sejumlah akun gosip untuk segera menghapus setiap unggahan yang memuat informasi tidak benar tentang Sena dan Kanya. Jika tidak diindahkan dalam waktu 1x24 jam, perusahaan akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan mereka atas dugaan tindak pidana penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik.“Lebih baik atas nama pribadi, bukan perusahaan.”Sena menyadari bahwa citra buruknya bisa merugikan perusahaan. Bisnis mereka mungkin saja bakal terganggu. Namun, sejauh ini dia belum merasa perusahaan perlu turun tangan dalam masalah pribadinya.“Pak Sena bisa mengajukannya secara pribadi, tetapi perusahaan juga tetap bertindak.”Andi tahu, apa yang dia ucapkan barusan membuat Sena tidak senang. Namun, dia sudah menyiapkan penjelasan lanjutan yang semestinya tak bakal dibantah.“Kata Pak Indra, perusahaan tidak bisa tinggal diam,” ungkap Andi. “Meski sentimen pasar saat ini masih aman, situasinya sangat mungkin berubah sewaktu-waktu, terlebih karen
Saat pekerjaan sedang banyak-banyaknya dan terlalu menguras energi, Mika memang cenderung enggan membawa kendaraan sendiri. Rasanya dia tak punya cukup tenaga untuk menyetir sendiri, jadi lebih baik mengandalkan taksi atau nebeng sana-sini.Hari ini pun begitu. Mika mengandalkan ojek daring, termasuk ketika dirinya pergi ke rumah Kanya selepas jam kerja.Pulangnya, Mika juga mestinya naik taksi. Namun, baru saja membuka aplikasi andalannya, ponsel Mika tiba-tiba direbut Zidan dan akhirnya sudah bisa ditebak. Mika pulang bersama mantan kekasihnya.Sepanjang perjalanan, Mika melampiaskan emosi pada pria yang pernah mewarnai hari-harinya itu. Apa pun yang terasa mengganjal, dia lontarkan saja tanpa berpikir panjang. Sebagian dirinya tanpa sadar yakin bahwa Zidan pasti akan menjadi pendengar yang baik, seperti saat mereka masih bersama dulu.“Pantas kalian temenan bisa awet banget. Ternyata setipe, sama-sama nggak bisa tegas sama mantan!”Mika awalnya cuma mau mengomel soal Sena, tetapi t
Sena hanya tidur ayam. Meski matanya terpejam, sesungguhnya dia tidak benar-benar terlelap, apalagi sampai bermimpi.Dia gampang sekali terbangun. Sedikit saja gangguan bisa membuatnya terjaga tiba-tiba dan itulah yang terjadi padanya beberapa saat lalu.Kedua mata Sena terbuka sempurna saat terdengar suara langkah kaki di luar kamarnya. Irama langkahnya tak seperti milik Kanya. Setahunya, Kanya bukan seseorang yang suka berjalan dengan menyeret kakinya begitu.Kewaspadaan Sena meningkat ketika suara tersebut menghilang perlahan. Saat mulai beranjak dari ranjang, Sena kembali mendengar hal mencurigakan. Kali ini bukan langkah kaki, tetapi seperti bunyi kursi yang diseret.Sena memutuskan untuk mengecek ke luar kamar. Dia berjalan perlahan menuruni tangga sambil memeriksa situasi di sekelilingnya.Perhatian Sena jatuh ke arah dapur yang lampunya tampak menyala. Dilihat dari pendarnya yang redup, Sena tahu bahwa itu adalah lampu gantung di atas meja makan.Sena mempercepat langkahnya, l
Perceraian tidak serta-merta membuat hidup Kanya menjadi lebih baik. Pasti ada saja omongan sumbang tentang statusnya sebagai janda kembang. Dia mungkin saja juga bakal jadi incaran pria hidung belang dan pikiran sempit mereka soal perempuan yang pernah menikah.Misal Kanya kebetulan kembali menemukan tambatan hati, kemungkinan bakal serba salah juga. Jika si pria masih bujang, orang-orang mungkin bakal menyayangkan keputusannya yang malah menjalin hubungan dengan janda. Sebaliknya, jika pria itu pernah menikah, selalu ada kemungkinan Kanya dicap sebagai perusak rumah tangga.Belum lagi jika Kanya berniat menulis tentang cinta, mungkin akan banyak orang yang langsung meremehkannya. Perempuan yang menjanda setelah menjalani pernikahan bisnis, memangnya tahu apa soal cinta?Ke mana saja Kanya pergi dan apa pun yang dia lakukan, situasinya mungkin akan lebih sering jadi terasa tak menyenangkan. Belum lagi perihal kelanjutan bisnis keluarganya. Sungguh akan banyak hal tidak baik yang mun
Indra mengetuk papan catur dengan ujung jari, menghasilkan suara yang cukup menguji konsentrasi Sena, lawan mainnya. “Mantanmu mau dibiarkan berulah sampai kapan?” tanya Indra sambil memainkan pionnya perlahan.Sena yang duduk di depan ayahnya terdiam sejenak. Matanya tertuju pada ratu hitam di sudut papan.“Papa minta aku ke kantor sepagi ini cuma karena penasaran soal masalah itu?” Sena balik bertanya tanpa melihat ke arah ayahnya.Sang ayah tersenyum miring, lalu kembali menggerakkan pionnya. Tak berniat membalas tanggapan sinis anaknya, Indra kemudian berkata, "Bisa-bisanya kamu membiarkan perempuan itu menyakiti menantu kesayangan Papa.”Kecuali memang ada agenda pagi, jarang-jarang Sena sampai kantor pukul tujuh. Kalau bukan karena ayahnya, sekarang dia pasti sedang sarapan bersama Kanya, bukannya malah mendadak main catur begini.“Mantanmu udah berulah lumayan lama, kan? Kalau jadi istrimu, Papa minimal udah minta cerai tiga kali.”Sena cuma diam. Sama sekali tidak ada niat me
Sena tahu bahwa Mika membencinya. Sahabat istrinya itu hampir selalu bersikap defensif di depannya. Bahkan, hingga tadi malam, kebencian Mika terhadapnya masih sangat kentara.“Mungkin Kanya bakal bisa makan lebih banyak kalau dicium dulu.”Namun, ada apa dengan Mika pagi ini? Mengapa mantan kekasih Zidan ini mengatakan sesuatu yang membuat Sena seolah telah berbalik arah mendukungnya?Jadi, tidak berlebihan jika pria itu menoleh cepat ke arah Mika. Mata Sena menyipit, jelas memastikan dirinya tidak salah dengar.Reaksi serupa pun ditunjukkan Kanya. Dia yang awalnya hanya fokus mengelus perutnya pun mendongak dengan ekspresi terkejut. Aneh rasanya mendengar Mika melontarkan guyonan semacam itu kepada Sena.“Mika!” seru Kanya, suaranya tertahan antara malu dan kesal.Tersenyum jahil, Mika cuma mengangkat bahunya sambil memandang Kanya dan Sena secara bergantian.Zidan, di sisi lain, berusaha semampunya agar tidak tergelak. Diam-diam dia bangga pada Mika yang sukses membikin sejoli di h
Cuma Kanya yang bisa menyuruh Sena melakukan ini-itu kapan pun. Bahkan, tak peduli meski malam sudah terbilang larut, jika Kanya bilang ingin makan masakan suaminya, Sena nyaris mustahil tidak mewujudkannya.Itulah yang terjadi malam ini.Demi menuruti kemauan istrinya, Sena santai saja masuk dapur, tetapi tidak dengan setiap pegawai hotel yang melihatnya. Bagaimanapun, Sena adalah bos mereka semua. Jadi, bukankah Sena mestinya hanya perlu menyuruh koki yang bertugas untuk menyiapkan makanan pesanan Kanya? Kenapa harus dia yang memasaknya sendiri?"Istri saya maunya makan masakan saya," kata Sena santai sembari melepas jam tangan mewah di pergelangan kirinya.Sebelum aksesori seharga miliaran rupiah itu berakhir asal-asalan ditaruh di meja dapur, Andi buru-buru mengulurkan tangan pada bosnya.Melihat gestur Andi, Sena yang sungguh berniat meletakkan jam tangannya sembarangan, tersenyum sekilas. “Saya bisa minta tolong rebus daging ayamnya? Setelah itu, tolong suwir sekalian.”Sambil
Kata-kata yang baru saja diucapkan Zidan membuat Andi waswas. Berjalan paling depan, pria itu bahkan sempat refleks menoleh ke belakang, kilat memeriksa kondisi Kanya yang tampak tetap fokus melangkah sambil menunduk.Kecemasan serupa juga dirasakan Mika yang berjalan di belakang Kanya. Mika bahkan sampai menghentikan langkahnya untuk menegur Zidan dengan sebuah tatapan tajam.Namun, orang yang dikhawatirkan ternyata malah terkesan santai-santai saja menanggapi omongan Zidan.“Perintah kayak apa, tuh, misalnya?”Zidan tersenyum mendengar pertanyaan Kanya. Sambil membimbing Mika untuk kembali melangkah, dia berkata, “Misalnya, karena kamu bilang mau ngobrol sama Jingga di balkon kamar, Sena minta area di bawahnya dikosongkan sementara.”“Sayangnya, kami kecolongan. Ternyata masih ada beberapa orang yang nggak sengaja menyaksikan insiden tadi. Bukan karena mereka memasuki area yang mestinya kosong, tapi kami luput soal para tamu yang bisa aja melihat ke arah balkon kamarnya Jingga saat
“Oh, jadi itu yang kamu lakuin sama mantanmu? Ngobrol dari ke hati-hati setelah berhubungan badan. Pantes hari ini kalian bisa kelihatan akur banget.”Usai bilang begitu, Kanya sudah siap dengan apa pun yang bakal dia dengar selanjutnya dari Mika. Walau demikian, ternyata dia tetap agak syok dengan betapa gamblangnya Mika bicara soal kehidupan ranjang.“Kami kemarin nggak ada pillow talk,” kata Mika sambil tersenyum pada Zidan, meminta pria itu berhenti melangkah dengan isyarat tangan.Tanpa mengalihkan pandangannya dari Zidan, Mika lantas berbisik, “Habis begituan, aku pilih buru-buru tidur. Soalnya kalau nggak tidur, bisa ada sesi kedua, ketiga, dan seterusnya. Staminanya dia jempolan banget, sumpah! Takut pingsan kalau aku iyain terus.”Kanya berusaha memasang wajah datar, tetapi pipinya sudah keburu memanas. Dia bahkan yakin telinganya sudah ikut memerah.“Kamu belum pernah begituan sama Sena, kan? Mending buruan coba biar lebih paham maksudku. Soalnya cuma orang yang udah pernah
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di