“Kak Jingga!”Baru saja hendak menanggapi tawaran Andi, suara teriakan Chacha mengalihkan perhatian Jingga. “Kak Jingga kenapa pagi-pagi bikin orang khawatir setengah mati, sih?!”Chacha bicara sambil berjalan cepat menghampiri Jingga. Kecemasan yang begitu nyata terlihat di parasnya. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya berdiri di depan Jingga, mengisi ruang yang tadinya ditempati Andi.“Cuma mau ke pantai, Cha,” tutur Jingga.“Pantai …?”Chacha cepat-cepat memeluk Jingga. Kejadian menyeramkan dari mimpi buruk gadis itu seketika kembali terbayang, membuat air matanya jatuh begitu saja.“Ngapain ke pantai? Nggak usah, Kak! Jangan ke sana! Jangan pergi sebelum waktunya …!”Chacha sungguh tak ingin Jingga pergi meninggalkannya untuk selamanya seperti apa yang dia lihat dalam mimpi buruknya.“Jangan mati …!”***Sejak bekerja untuk pewaris Pandega Group, Andi memaksa dirinya untuk rajin olahraga. Tak peduli sesibuk apa pun, dia harus berusaha menyempatkan waktu untuk latihan fisik agar
Sena menyukai cara Kanya membalas setiap pagutan dan lumatan yang membawa mereka tenggelam bersama dalam cumbuan mesra.Sambutan Kanya membikin Sena tersenyum di sela pertarungan bibir dan lidah mereka. Sesekali ia menggigit kecil bibir bawah Kanya, membuat sang istri melenguh dan tanpa sadar menjambak rambut belakangnya.Sena nyaris membikin Kanya lupa diri saat satu tangannya mulai menyusup masuk ke dalam piyama yang dikenakan perempuan tersebut. Jemarinya merayap naik, memberikan sensasi elektrik yang terlalu sulit ditampik.Hanya butuh satu gerakan untuk melepas pengait bra yang dikenakan Kanya. Namun, sebelum Sena sungguh melakukan itu, Kanya berhasil menarik diri dengan sisa-sisa akal sehatnya.“Maaf, Mas, tapi …”Kanya meraup oksigen sebanyak-banyaknya di tengah napas yang terengah-engah. Dia pun melihat Sena melakukan hal serupa sambil terus menatap intens bibirnya.“Mas nggak lupa kalau aku lagi merah, kan …?”Jika diteruskan, Kanya tahu ke mana hasrat mereka akan berlabuh. S
Tidak ada gunanya tinggal lebih lama. Jingga bahkan tak ingin menunggu sampai esok hari. Persetan meski malam sudah larut, dia ingin secepatnya meninggalkan hotel milik Pandega Group ini.Jingga pun tak peduli dengan Chacha yang panik dan kebingungan karena melihatnya buru-buru berkemas. Dia mau pergi malam ini juga. Titik.“Kalian mau tanggung jawab misal terjadi sesuatu yang nggak diharapkan? Jangan sampai—”Sayup-sayup terdengar suara Chacha yang tengah bertelepon dengan seseorang di balkon. Kata-kata bernada emosional itu teredam gemuruh angin dan ombak lantaran pintu yang dibiarkan terbuka.Saat Chacha kembali masuk ke kamar, helaan napas frustasi perempuan itu membuat gelisah Jingga yang duduk di tepi ranjang. Kedua tangannya perlahan terkepal di sisi tubuhnya.“Maaf …”Jingga mengeratkan kepalan tangannya begitu mendengar permintaan maaf Chacha. “Nggak bisa sekarang, Kak. Ini udah malam banget, jadi kata sekretarisnya …”“Nggak, Cha,” potong Jingga dengan suara tertahan. “Poko
Cuma Kanya yang bisa menyuruh Sena melakukan ini-itu kapan pun. Bahkan, tak peduli meski malam sudah terbilang larut, jika Kanya bilang ingin makan masakan suaminya, Sena nyaris mustahil tidak mewujudkannya.Itulah yang terjadi malam ini.Demi menuruti kemauan istrinya, Sena santai saja masuk dapur, tetapi tidak dengan setiap pegawai hotel yang melihatnya. Bagaimanapun, Sena adalah bos mereka semua. Jadi, bukankah Sena mestinya hanya perlu menyuruh koki yang bertugas untuk menyiapkan makanan pesanan Kanya? Kenapa harus dia yang memasaknya sendiri?"Istri saya maunya makan masakan saya," kata Sena santai sembari melepas jam tangan mewah di pergelangan kirinya.Sebelum aksesori seharga miliaran rupiah itu berakhir asal-asalan ditaruh di meja dapur, Andi buru-buru mengulurkan tangan pada bosnya.Melihat gestur Andi, Sena yang sungguh berniat meletakkan jam tangannya sembarangan, tersenyum sekilas. “Saya bisa minta tolong rebus daging ayamnya? Setelah itu, tolong suwir sekalian.”Sambil
Kata-kata yang baru saja diucapkan Zidan membuat Andi waswas. Berjalan paling depan, pria itu bahkan sempat refleks menoleh ke belakang, kilat memeriksa kondisi Kanya yang tampak tetap fokus melangkah sambil menunduk.Kecemasan serupa juga dirasakan Mika yang berjalan di belakang Kanya. Mika bahkan sampai menghentikan langkahnya untuk menegur Zidan dengan sebuah tatapan tajam.Namun, orang yang dikhawatirkan ternyata malah terkesan santai-santai saja menanggapi omongan Zidan.“Perintah kayak apa, tuh, misalnya?”Zidan tersenyum mendengar pertanyaan Kanya. Sambil membimbing Mika untuk kembali melangkah, dia berkata, “Misalnya, karena kamu bilang mau ngobrol sama Jingga di balkon kamar, Sena minta area di bawahnya dikosongkan sementara.”“Sayangnya, kami kecolongan. Ternyata masih ada beberapa orang yang nggak sengaja menyaksikan insiden tadi. Bukan karena mereka memasuki area yang mestinya kosong, tapi kami luput soal para tamu yang bisa aja melihat ke arah balkon kamarnya Jingga saat
“Oh, jadi itu yang kamu lakuin sama mantanmu? Ngobrol dari ke hati-hati setelah berhubungan badan. Pantes hari ini kalian bisa kelihatan akur banget.”Usai bilang begitu, Kanya sudah siap dengan apa pun yang bakal dia dengar selanjutnya dari Mika. Walau demikian, ternyata dia tetap agak syok dengan betapa gamblangnya Mika bicara soal kehidupan ranjang.“Kami kemarin nggak ada pillow talk,” kata Mika sambil tersenyum pada Zidan, meminta pria itu berhenti melangkah dengan isyarat tangan.Tanpa mengalihkan pandangannya dari Zidan, Mika lantas berbisik, “Habis begituan, aku pilih buru-buru tidur. Soalnya kalau nggak tidur, bisa ada sesi kedua, ketiga, dan seterusnya. Staminanya dia jempolan banget, sumpah! Takut pingsan kalau aku iyain terus.”Kanya berusaha memasang wajah datar, tetapi pipinya sudah keburu memanas. Dia bahkan yakin telinganya sudah ikut memerah.“Kamu belum pernah begituan sama Sena, kan? Mending buruan coba biar lebih paham maksudku. Soalnya cuma orang yang udah pernah
Soal mengumpati orang, Mika memang jauh lebih jago ketimbang Kanya. Bukan hanya mengabsen berbagai nama penghuni kebun binatang, pengetahuan Mika tentang variasi kata makian juga terbilang jempolan.Di antara begitu banyak kata kasar yang Mika tahu, sebagian besar sudah dia gunakan untuk memaki Sena. Sebenarnya tidak enak didengar, tetapi anehnya Kanya jadi merasa lebih baik karenanya.Karena tidak pintar melakukannya sendiri, ternyata menyenangkan punya teman yang ahli mengumpat seperti Mika. Puas mendengar Sena dimaki-maki sebegitunya.Setelah semua umpatan itu, Kanya pikir Mika bakal sepenuhnya antipati lagi dengan Sena. Setidaknya Kanya bakal disuruh jaga jarak sementara dengan suaminya tersebut.Namun, barusan Mika malah dengan entengnya menyuruh Kanya dipeluk Sena. Mungkin cuma asbun karena obrolan mereka sudah tidak seserius sebelumnya, tapi Kanya tetap tak bisa menahan dirinya untuk tidak memicingkan mata.“Kamu tim siapa, sih, sebenarnya, Mik? Sena atau aku?”Tatapan Kanya ya
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d