Desta menoleh ke kanan dan kiri untuk mencari keberadaan Diana. Namun sepertinya gadis itu menghilang entah kemana, hingga nalurinya menuntun untuk berjalan ke samping rumah. Sepasang mata kelamnya membelalak saat mengetahui sosok gadis yang membuatnya kehilangan kekasih tergeletak di depan pintu rumah belakang.
Dengan cepat ia melangkah menuju gadis itu. Hampir saja dia mengulurkan tangan untuk memastikan apakah gadis itu pingsan atau sekadar tertidur di sana. Namun egonya sebagai lelaki melarangnya untuk berbuat demikian. Akhirnya dia memilih berbalik dan melangkah meninggalkan gadis itu. baru beberapa langkah ia berjalan, telinganya mendengar rintihan Diana hingga memaksanya untuk menghentikan langkah dan berbalik menatapnya.
Diana merasakan pening yang luar biasa. Badannya kembali menggigil. Sepertinya ia benar-benar sakit sekarang. Secepatnya ia harus masuk sebelum dia pingsan di sini. Dengan berpegangan pada dinding, gadis itu berjalan menuju pintu depan. Ia tak menyadari jika mobil Desta masih terparkir manis di samping motornya.
Dengan kaki tertatih, ia mencoba masuk. Namun tiba-tiba langkahnya oleng di di depan pintu, hingga semuanya menjadi gelap. Ia tumbang bersamaan dengan sorot mata tajam yang menembus dirinya.
"Sh*t! Kenapa gadis ini lemah sekali?" ucap Desta yang tergesa melangkah menuju sosok Diana tergeletak di lantai.
Tanpa pikir panjang, pria itu langsung meraih kepala Diana dan meletakkan di pangkuannya. Sementara satu tangannya menyentuh nadi gadis itu. Lalu berpindah pada kening yang terasa menyengat kulitnya. Sangat panas.
Profesi sebagai dokter, membuatnya begitu cekatan dalam menangani pasien. Ia memperlakukan Diana seperti pasien lainnya tanpa berpikir akan masalah yang sedang menderanya. Sesaat ia melupakan siapa gadis itu. Hingga ia tak menyadari ada sorot mata terluka yang mengawasinya dari balik korden.
Tadi saat ada suara benda jatuh yang tak lain adalah Diana, Meta langsung berlari menuju ruang tamu. Ia berpikir Desta melakukan sesuatu yang nekat. Nyatanya justru pemandangan menyakitkan yang ia dapat. Raut khawatir tercetak jelas dari sosok yang ia cintai.
Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat seorang yang namanya masih terukir indah dalam sanubarinya begitu tulus merawat kakaknya. Seseorang yang telah membuat pernikahannya gagal. Pria itu mengangkat Diana dan menidurkan di atas sofa. Setelahnya ia berlari ke mobil, dan kembali lagi dengan membawa alat medis yang selalu tersimpan di dalam mobil.
Pria itu begitu telaten memeriksa Diana tanpa memerhatikan sekitar. Mengecek suhu dan tekanan darah. Dengan sabar ia menunggu termometer berbunyi, menandakan hasil telah terbaca.
"Katanya membencinya, tapi kamu begitu perhatian padanya. Cih, dasar laki-laki, lain di mulut lain di hati!" ucap Meta ketus membuat Desta berjingkat.
Wajahnya tetap tenang meski gadis yang dicintainya terlihat cemburu. Apalagi yang akan ia jelaskan? Faktanya ia hanya menolong seseorang yang butuh pertolongannya. Ia telah mengucapkan sumpah dokter untuk menolong siapa pun tanpa pandang bulu. Dan itu memang bagian dari pekerjaannya.
"Meta sayang, tak lihatkah kamu dia sedang pingsan? Dia sakit, dan aku harus menolongnya."
"Kamu yakin dia beneran sakit? Paling hanya pura-pura untuk mencari perhatianmu saja. Dasar kakak tidak tahu diri!"
Ucapan Meta yang keras mengundang kedua orang tuanya untuk datang. Mereka berkumpul di ruang tamu untuk melihat apa yang terjadi. Netra Bapak melotot sempurna melihat Desta sedang merawat Diana.
"Drama apa lagi yang dibuatnya?" ucap Bapak dingin.
Sementara ibu menatap mereka tanpa ekspresi. Tak ada kesedihan melihat Diana yang tergolek lemah. Ia menoleh pada putri bungsunya yang terlihat nemerah akibat marah.
"Diana sakit, Pak. Dia pingsan di depan pintu tadi. Jadi saya mencoba memeriksanya. Suhu badannya sangat panas. Tekanan darahnya juga sangat rendah."
"Kamu takin dia beneran sakit?"
"Iya, Pak."
Desta merapikan kembali alat medisnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Lalu menuliskan resep untuk ditebus dan menyerahkannya pada Meta.
"Tolong tebus obat ini, ya. Kalau sudah siuman nanti langsung buatkan teh manis dan beri dia makan. Sepertinya dia juga terserang magh."
"Apa? Kamu menyuruhku untuk melakukan itu? Kamu pikir aku mau? Dia telah menghuanatiku, kalau kamu lupa!"
Desta menghembuskan napas lelah. Gadis pujaannya ini memang memiliki sifat yang egois dan manja. Sering mereka bertengkar hanya karena masalah sepele. Sikapnya yang over protective dan cemburuan membuatnya sering mengalah. Namun entah mengapa ia begitu cinta padanya meski sering kali ia harus mengalah dan menurunkan egonya. Namun kali ini sudah sangat keterlaluan. Kakaknya sedang sakit, bahkan belum sadar, tapi ia menolak sekadar menebus obat ke apotek.
Lalu ia beralih pada ibu. Berniat meminta tolong padanya untuk menebuskan obatnya. Namun lagi-lagi menolak. Ia tak habis pikir dengan sikap mereka. Apa kecewa bisa menghilangkan belas kasih dan merenggut rasa kemanusiaan?
Melihat Diana yang masih tenang dan tak ada tanda-tanda siuman, Desta makin gelisah. Ia kembali menyentuh keningnya. Kali ini ia merasa suhunya semakin panas. Tatapannya beralih pada calon mertuanya dan gadis yang entah bisa disebut apa? Mantan tunangan atau calon ipar? Mereka semua menampilkan ekspresi datar.
Tanpa aba-aba, ia mengangkat Diana dan memasukkan dalam mobilnya. Ia tak memedulikan ekspresi terkejut dari sekua orang. Setelah kembali mengambil tasnya, ia berlalu begitu saja tanpa sepatah kata pun.
Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Gadis ini harus segera mendapat penanganan medis. Tak bisa dibiarkan begiti saja.
***
"Ibu lihat tadi? Betapa khawatirnya Desta pada kak Diana? Bahkan ia berani menyuruhku untuk menebuskan obatnya, Bu, ini sangat keterlaluan!"
Meta tergugu di sofa bekas Diana dibaringkan tadi. Bayangan Desta yang merawat kakaknya dengan begitu telaten membuat hatinya kembali nyeri. Padahal tadinya ia akan mempertimbangkan kembali hubungannya meski Bapak pasti akan menentangnya. Ia sadar bahwa cintanya begitu dalam pada Desta.
Namun kenyataan pahit justru menamparnya. Ia mengira bahwa Desta dan Diana memang memiliki hubungan khusus di belakangnya.
"Kenapa kak Diana selalu saja merebut milikku, Bu? Apa salahku?" Gadis itu menenggelamkan kepalanya dalam dekapan hangat sang ibu.
"Dia pasti akan mendapatkan balasannya, sayang. Sudahlah jangan ditangisi. Kalau Desta masih cinta sama kamu, pasti nanti akan kembali padamu. Lihat saja, dia pasti akan mengemis cinta padamu."
Ibu mengelus lembut rambut putrinya. Ada senyum misterius tersemat tanpa di sadari siapapun. Pikirannya melayang pada masa belasan tahun silam. Dadanya nyeri mengingat masa-masa itu.
"Tapi sebentar lagi mereka akan menikah, Bu. Kak Diana telah merebut posisiku. Aku tak lagi punya harapan," ucapnya sambil terisak.
"Hanya sementara, sayang. Kamu akan mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikmu suatu hari nanti. Bersabarlah dulu."
Ucapan Ibu membuat Meta berpikir keras. Ia tak mampu mencerna kalimat itu. Seperti terselip makna terselubung yang tidak ia ketahui. 'Bagaimana mungkin aku bisa memiliki Desta lagi kalau sebentar lagi dia akan menjadi milik kakanya?'
Batin perempuan berumur 23 tahun itu berkecamuk. Tak rela jika kekasih tercintanya menikah dengan perempuan lain. Tiga tahun ia terus menunggu kekasihnya melamar. Namun saat hari bahagia itu tinggal menghitung hari, kakaknya menggagalkannya. Bahkan dialah yang akan memiliki apa yang seharusnya jadi milikmya.
"Maksud Ibu apa?"
"Kamu akan tahu nanti," ucap Ibu dengan senyum misteriusnya.
DiabaikanDesta tampak kacau. Pikirannya terbagi antara masalahnya dengan Meta dan juga gadis yang sedang terbaring lemah di brankar ini. Kilas balik kejadian saat ia berusaha melecehkannya kembali membuat otaknya mendidih. Dia memang bersalah, tapi tak bisakah semuanya diperbaiki? Kenapa semua orang tak mau mendengarkan penjelasannya? Meta, gadis yang selalu membuat hari-harinya hidup, terlihat sangat terluka akibat perbuatannya. Pergerakan kecil dari pasien di hadapannya mengalihkan pandangan. Netranya menatap tajam gadis itu."Akhirnya bangun juga kamu. Ck, menyusahkan saja!" ucapnya ketus membuat Diana langsung sadar. Netra mereka bertemu. Untuk sesaat semuanya hening. Diana yang baru saja tersadar merasa aneh dengan keberadaan Desta di dekatnya. "Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar. Tak bisa dipungkiri, aura dingin pria ini membuat Diana gemetar ketakutan. Ucapan pria
"I--ibu!" Senyum Diana langsung mengembang. Ia maju selangkah, hendak merengkuh tubuh sang Ibu. Di luar dugaan, wanita paruh baya itu justru mundur dan mengangkat tangannya sebagai tanda "jangan mendekat". Meski begitu, senyum Diana tak pernah luntur. Ia berpikir Ibu bersikap demikian karena masih kecewa padanya. Buktinya ia masih saja membayar biaya rumah sakitnya. "Makasih ya, Bu. Ibu sudah sangat baik padaku. Kalau bukan karena Ibu yang membayar biaya pengobatanku, mungkin sekarang aku masih terbaring dia rumah sakit.Wanita yang dipanggil ibu itu tak menyahut. Hanya menatap Diana sekilas lalu oergi meninggalkannya. Namun bagi Diana itu lebih dari cukup. Ia tak peduli meski ibunya masih bersikap cuek. Langkah kakinya membawa ia ke lantai dua. Kamar yang semalam tak ia sambangi karena harus bermalam di rumah sakit. Ia juga tersenyum melihat Desta yang sedang mengobrol dengan adik dan bapaknya. Itu artinya masalah mereka sudah selesai.
"Halo,"[Bisa datang ke rumah. Ada hal penting yang mau bapak bicarakan]"Sekarang?"[Ya. Kalau kamu nggak sibuk]"Oh, nggak kok, sayang. Aku langsung ke sana."Desta tersenyum. Akhirnya Meta mau berbicara lagi dengannya. Ia berharap bapaknya membatalkan rencana untuk menikahkan dirinya dengan Diana dan kembali menikahkannya dengan Meta. Gadis pujaannya. Dengan senyum mengembang, pria berprofesi dokter itu melangkah cepat menuju parkiran. Mengabaikan setiap sapaan yang mampir padanya. Hatinya diliputi kebahagiaan saat ini. Sambil membuka pintu mobil, ia mengetik oesan untuk membatalkan janji dengan sahabatnya yang baru saja sampai dari luar negeri. Ia tak peduli jika sahabatnya nanti marah. Yang penting sekarang urusannya dengan Meta selesai.Dua puluh lima menit perjalanan yang ia tempuh dari rumah sakit ke rumah kekasihnya. Di ruang tamu ternyata mereka sudah menunggu kehadirannya. "Duduklah!" perintah
Desta mengacak rambutnya frustasi. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Mungkin kalau laki-laki lain akan dengan senang hati menerima tawarannya. Menikahi dua wanita cantik dalam waktu berdekatan. Tapi tidak baginya. Ia mencintai Meta, bukan Diana. Bahkan ia sangat membenci Diana."Pak, tapi saya tidak bisa. Diana nggak bakal hamil, karena saya tak sampai melak--" ucapannya terjeda oleh kalimat bapak selanjutnya. "Cukup, Nak Desta. Keputusan saya sudah bulat. Kamu nikahi Diana. Setelahnya kamu ceraikan seperti kata saya tadi. Nggak ada tawar menawar lagi."Desta hanya menghembuskan napas pasrah. Tak bisa lagi bernegosiasi dengan orang tua ini. Mungkin sebaiknya ia terima saja permintaannya. Cuma satu tahun. Ia pasti bisa melewatinya. Daripada kehilangan Meta selamanya, lebih baik bersabar selama setahun lagi untuk menggapai impiannya mengarungi hidup bersama gadis pujaannya."Baiklah, Pak. Kalau itu memang sudah jadi keputusan Bapak," ucap De
"Sorry, Bro, mendadak ada urusan penting tadi," ucap Desta sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan Daniel. Setelah meyakinkan Meta, pria bertinggi 182 cm itu langsung meluncur ke kafe Laut Biru untuk bertemu dengan sahabatnya yang baru pulang dari luar negeri. Akibat panggilan mendadak calon mertua, ia membatalkan janji temunya padahal Daniel sudah di jalan menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Dan di sinilah mereka sekarang. Saling mengobrol mengusir jenuh. "Gimana hubungan Lo sama Meta? Sudah ada tanda-tanda mau ke jenjang yang lebih serius?" Daniel memang belum mendengar kabar tentang dirinya. Karena selama laki-laki itu di Sidney, jarang sekali mereka bertukar kabar. Selain kesibukan masing-masing, gaya hidup pria yang lama tinggal di luar negeri itu sangat bebas. Desta tak nyaman untuk sekadar menceritakan hubungan percintaannya pada Daniel. Bukan mendapatkan solusi, yang ada malah dibully. Desta menarik napas panjang sebe
Daniel sibuk dengan pemikirannya tentang Diana yang belum pernah dilihatnya. Namun entah mengapa dia begitu benci pada muslimah berhijab. Terlebih pikirannya sudah terkontaminasi oleh pemikiran liberal hingga menciptakan dendam tersendiri pada makhluk bernama wanita. Terlebih jika wanita itu mengenakan hijab. Pemikiran liberal lah yang membawa pengaruh buruk dan opini negatif tentang hijab. Sehingga banyak dari kaum wanita merasa hijab tak lain hanya aksesoris semata. Sehingga bebas untuk dipakai dan dilepas kapan saja. Apalagi tanpa dibarengi dengan iman dan pemikiran yang benar. Ya seperti Daniel ini. Desta tampak terprovokasi. Ia manggut-manggut membenarkan ucapan sahabatnya. Cara berpikir pria itu memang bebas. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan liberal. Dimana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi. "Apalagi dia sudah dewasa. Seharusnya dia sudah mendapat jodoh duluan, kan? Mungkin ia tak rela kalau adiknya yang menikah duluan. Apalagi calon su
"Dia ... hilang saat aku tinggalkan membeli es krim," ucapnya penuh penyesalan. Daniel menerawang. Mengingat kejadian saat ia berumur lima tahun. Meski belum ingat sepenuhnya, tapi ia tahu kalau hilangnya sang adik karena ulah cerobohnya. Dulu saat satu keluarga pergi ke kebun raya untuk melihat beranekaragam hewan. "Daniel sayang, tolong jagain adek dulu ya. Mama mau ke toilet sebentar." Setelah mengusap pelan kepala Daniel, sang mama berlalu menuju toilet umum yang ada di kebun binatang. Namun karena sedikit antre, tiga puluh menit nggak kembali juga. Daniel kecil yang melihat es krim tak jauh dari tempatnya duduk, langsung membeli. Sebenarnya nggak bisa dikatakan membeli juga, karena ia tak bawa uang. Namanya anak kecil, ketika melihat anak-anak lain makan es krim, langsung tergiur untuk makan juga. Maka tanpa pikir panjang bocah berusia lima tahun itu meninggalkan sang adik dan ikut berkerumun mengelilingi penjual es itu."Begitul
"Biar saya saja yang bayar, Pak. Sekalian dengan punya saya." Diana menoleh. Sedikit terkejut melihat seorang pria yang tak dikenal menyelamatkan dirinya dari rasa malu. "Terima kasih. Nanti saya bayar, tolong beri nomor teleponnya," ucap Diana lembut. "Tidak usah, Nona. Saya ikhlas kok.""Tidak, tidak. Saya tetap akan membayarnya nanti. Anggap saja saya berhutang pada anda.""Baiklah kalau itu maumu." Daniel meminta HP Diana, lalu mengetikkan nomornya. "Namaku Daniel, siapa namamu Bu guru?" Setelah mengambil kembali HP-nya, ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Saya Diana. Sekali lagi terimakasih, Mas. Insyaallah saya ganti. Saya permisi."Daniel menatap punggung Diana hingga menghilang dari pandangan. Apa yang diceritakan sahabatnya tak seperti yang dilihat. Gadis itu terlihat sangat sopan dan lembut. "Sepertinya nggak mungkin kalau dia gadis seperti itu. Tapi ... Belum tentu juga kan? J