Diabaikan
Desta tampak kacau. Pikirannya terbagi antara masalahnya dengan Meta dan juga gadis yang sedang terbaring lemah di brankar ini. Kilas balik kejadian saat ia berusaha melecehkannya kembali membuat otaknya mendidih.Dia memang bersalah, tapi tak bisakah semuanya diperbaiki? Kenapa semua orang tak mau mendengarkan penjelasannya? Meta, gadis yang selalu membuat hari-harinya hidup, terlihat sangat terluka akibat perbuatannya.Pergerakan kecil dari pasien di hadapannya mengalihkan pandangan. Netranya menatap tajam gadis itu."Akhirnya bangun juga kamu. Ck, menyusahkan saja!" ucapnya ketus membuat Diana langsung sadar.Netra mereka bertemu. Untuk sesaat semuanya hening. Diana yang baru saja tersadar merasa aneh dengan keberadaan Desta di dekatnya."Kenapa kamu bisa ada di sini? Apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara bergetar.Tak bisa dipungkiri, aura dingin pria ini membuat Diana gemetar ketakutan. Ucapan pria ini yang selalu ketus padanya menambah gentar gadis itu. Lalu netranya memindai seluruh ruangan. Rupanya ia berada di rumah sakit. Sebelah tangannya tertancap selang infus."Ck, bukannya terimakasih sudah ditolong, malah banyak tanya!"Pria itu bangkit dan melangkah menuju nakas. Mengambil bubur yang sudah agak dingin dan menyerahkan pada Diana. Meski sikapnya dingin seperti gunung es, ia tetap punya hati untuk tidak membiarkan pasiennya begitu saja.Seharusnya ia bisa memerintahkan perawat untuk melakukannya. Namun alih-alih meninggalkannya, Desta justru menungguinya sampai siuman. Dan sekarang, ia justru memberinya makan. Entah apa yang membuatnya bersikap begitu.Diana menatap Desta dengan tatapan yang sulit diartikan. Gadis itu bergeming."Ck, kamu mau menguji kesabaran saya? Cepat makan! Lalu minum obat ini," ucap bubur di tangan kanan dan obat di tangan kiri.Meski ragu, Diana menerima obat itu terlebih dahulu dan meletakkannya di samping ia berbaring. Lalu mengubah posisi menjadi duduk dan menerima bubur itu. Seuntai senyum tipis ia berikan sebagai tanda terimakasih.Untuk sesaat, Desta terpaku menatap senyum itu. Senyum yang baru pertama ia lihat. Senyum tulus yang tidak dibuat-buat. Sangat manis, batinnya berkata. Namun secepatnya ia menepis pikiran itu.Setelah memastikan perempuan yang berprofesi guru itu memakan buburnya, ia berjalan menuju pintu. Meninggalkannya tanpa sepatah kata pun.Diana melahap bubur itu dengan perasaan menghangat. Lelaki itu, meski kaku dan dingin, memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi. Wajar jika Meta tergila-gila padanya. Mengingat nama Meta, seketika dadanya sesak. Adiknya masih belum mau percaya padanya. Ibu dan Bapak juga belum mau bertegur sapa dengannya. Ia telah kehilangan kehangatan keluarga.Perlahan kunyahannya melambat. Bubur yang semula terasa lezat mendadak bagai dipenuhi duri yang sangat sulit untuk ditelan. Kedua netranya sudah basah bersimbah air mata."Apa yang harus kulakukan agar keluargaku percaya, ya Allah. Tolong beri petunjuk-Mu," ucap Diana di sela tangisnya.***Semalaman menginap di rumah sakit, pagi ini ia sudah diperbolehkan pulang. Suhu tubuhnya sudah stabil. Pun dengan tekanan darahnya.Perlahan Diana berjalan menuju kasir. Hendak menanyakan biaya rawat inapnya. Tadi sebelum keluar, ia menemukan sling bag-nya di atas nakas. Entah siapa yang membawanya ke sini. Mungkin saat ia pingsan kemarin tas itu masih menyilang di pundaknya. Sehingga ikut terbawa ke sini.Ia mengeluarkan dompet dan bertanya pada kasir. Namun siapa sangka biaya perawatan sudah ada yang melunasi."Apa saya boleh tahu siapa yang membayar biaya pengobatan saya, Mbak?""Maaf, Bu, dia tak menyebutkan nama. Dia hanya bilang untuk tidak mengatakan apapun pada Ibu.""Baik, terimakasih Mbak. Saya permisi."Perempuan berseragam hijau itu mengangguk singkat. Lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Dalam hati, Diana terus bertanya. Siapa gerangan yang membayar biaya perawatannya. Apa orang tuanya? Mengingat hal itu, tiba-tiba rasa haru menyeruak. Ia memilih untuk menduga bahwa orang tuanyalah yang melunasi semua biaya rumah sakit."Ah, ternyata mereka masih peduli. Mereka tak benar-benar meninggalkan aku, kan?" ucapnya pada dirinya sendiri.Sepanjang jalan gadis itu terus tersenyum. Membayangkan sambutan hangat sang Ibu dan Bapak saat ia pulang. Dia akan dengan senang hati untuk berterima kasih padanya.Langkahnya kali ini sangat ringan. Seolah beban berat yang menghimpitnya beberapa hari terakhir ini telah hilang entah kemana.Diana turun dari angkot dan berjalan cepat menuju rumahnya. Ketika melihat mobil Desta terparkir di halaman ia melambatkan langkahnya. Sekali lagi ia memilih pintu belakang. Berharap kali ini tidak dikunci. Dan benar saja, saat tangan mungilnya mendorong daun pintu hingga terbuka.Matanya membelalak saat dilihatnya sosok Ibu berdiri di hadapannya."I--ibu!" Senyum Diana langsung mengembang. Ia maju selangkah, hendak merengkuh tubuh sang Ibu. Di luar dugaan, wanita paruh baya itu justru mundur dan mengangkat tangannya sebagai tanda "jangan mendekat". Meski begitu, senyum Diana tak pernah luntur. Ia berpikir Ibu bersikap demikian karena masih kecewa padanya. Buktinya ia masih saja membayar biaya rumah sakitnya. "Makasih ya, Bu. Ibu sudah sangat baik padaku. Kalau bukan karena Ibu yang membayar biaya pengobatanku, mungkin sekarang aku masih terbaring dia rumah sakit.Wanita yang dipanggil ibu itu tak menyahut. Hanya menatap Diana sekilas lalu oergi meninggalkannya. Namun bagi Diana itu lebih dari cukup. Ia tak peduli meski ibunya masih bersikap cuek. Langkah kakinya membawa ia ke lantai dua. Kamar yang semalam tak ia sambangi karena harus bermalam di rumah sakit. Ia juga tersenyum melihat Desta yang sedang mengobrol dengan adik dan bapaknya. Itu artinya masalah mereka sudah selesai.
"Halo,"[Bisa datang ke rumah. Ada hal penting yang mau bapak bicarakan]"Sekarang?"[Ya. Kalau kamu nggak sibuk]"Oh, nggak kok, sayang. Aku langsung ke sana."Desta tersenyum. Akhirnya Meta mau berbicara lagi dengannya. Ia berharap bapaknya membatalkan rencana untuk menikahkan dirinya dengan Diana dan kembali menikahkannya dengan Meta. Gadis pujaannya. Dengan senyum mengembang, pria berprofesi dokter itu melangkah cepat menuju parkiran. Mengabaikan setiap sapaan yang mampir padanya. Hatinya diliputi kebahagiaan saat ini. Sambil membuka pintu mobil, ia mengetik oesan untuk membatalkan janji dengan sahabatnya yang baru saja sampai dari luar negeri. Ia tak peduli jika sahabatnya nanti marah. Yang penting sekarang urusannya dengan Meta selesai.Dua puluh lima menit perjalanan yang ia tempuh dari rumah sakit ke rumah kekasihnya. Di ruang tamu ternyata mereka sudah menunggu kehadirannya. "Duduklah!" perintah
Desta mengacak rambutnya frustasi. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Mungkin kalau laki-laki lain akan dengan senang hati menerima tawarannya. Menikahi dua wanita cantik dalam waktu berdekatan. Tapi tidak baginya. Ia mencintai Meta, bukan Diana. Bahkan ia sangat membenci Diana."Pak, tapi saya tidak bisa. Diana nggak bakal hamil, karena saya tak sampai melak--" ucapannya terjeda oleh kalimat bapak selanjutnya. "Cukup, Nak Desta. Keputusan saya sudah bulat. Kamu nikahi Diana. Setelahnya kamu ceraikan seperti kata saya tadi. Nggak ada tawar menawar lagi."Desta hanya menghembuskan napas pasrah. Tak bisa lagi bernegosiasi dengan orang tua ini. Mungkin sebaiknya ia terima saja permintaannya. Cuma satu tahun. Ia pasti bisa melewatinya. Daripada kehilangan Meta selamanya, lebih baik bersabar selama setahun lagi untuk menggapai impiannya mengarungi hidup bersama gadis pujaannya."Baiklah, Pak. Kalau itu memang sudah jadi keputusan Bapak," ucap De
"Sorry, Bro, mendadak ada urusan penting tadi," ucap Desta sembari duduk di kursi yang berhadapan dengan Daniel. Setelah meyakinkan Meta, pria bertinggi 182 cm itu langsung meluncur ke kafe Laut Biru untuk bertemu dengan sahabatnya yang baru pulang dari luar negeri. Akibat panggilan mendadak calon mertua, ia membatalkan janji temunya padahal Daniel sudah di jalan menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Dan di sinilah mereka sekarang. Saling mengobrol mengusir jenuh. "Gimana hubungan Lo sama Meta? Sudah ada tanda-tanda mau ke jenjang yang lebih serius?" Daniel memang belum mendengar kabar tentang dirinya. Karena selama laki-laki itu di Sidney, jarang sekali mereka bertukar kabar. Selain kesibukan masing-masing, gaya hidup pria yang lama tinggal di luar negeri itu sangat bebas. Desta tak nyaman untuk sekadar menceritakan hubungan percintaannya pada Daniel. Bukan mendapatkan solusi, yang ada malah dibully. Desta menarik napas panjang sebe
Daniel sibuk dengan pemikirannya tentang Diana yang belum pernah dilihatnya. Namun entah mengapa dia begitu benci pada muslimah berhijab. Terlebih pikirannya sudah terkontaminasi oleh pemikiran liberal hingga menciptakan dendam tersendiri pada makhluk bernama wanita. Terlebih jika wanita itu mengenakan hijab. Pemikiran liberal lah yang membawa pengaruh buruk dan opini negatif tentang hijab. Sehingga banyak dari kaum wanita merasa hijab tak lain hanya aksesoris semata. Sehingga bebas untuk dipakai dan dilepas kapan saja. Apalagi tanpa dibarengi dengan iman dan pemikiran yang benar. Ya seperti Daniel ini. Desta tampak terprovokasi. Ia manggut-manggut membenarkan ucapan sahabatnya. Cara berpikir pria itu memang bebas. Karena terbiasa hidup dalam lingkungan liberal. Dimana kebebasan berekspresi dijunjung tinggi. "Apalagi dia sudah dewasa. Seharusnya dia sudah mendapat jodoh duluan, kan? Mungkin ia tak rela kalau adiknya yang menikah duluan. Apalagi calon su
"Dia ... hilang saat aku tinggalkan membeli es krim," ucapnya penuh penyesalan. Daniel menerawang. Mengingat kejadian saat ia berumur lima tahun. Meski belum ingat sepenuhnya, tapi ia tahu kalau hilangnya sang adik karena ulah cerobohnya. Dulu saat satu keluarga pergi ke kebun raya untuk melihat beranekaragam hewan. "Daniel sayang, tolong jagain adek dulu ya. Mama mau ke toilet sebentar." Setelah mengusap pelan kepala Daniel, sang mama berlalu menuju toilet umum yang ada di kebun binatang. Namun karena sedikit antre, tiga puluh menit nggak kembali juga. Daniel kecil yang melihat es krim tak jauh dari tempatnya duduk, langsung membeli. Sebenarnya nggak bisa dikatakan membeli juga, karena ia tak bawa uang. Namanya anak kecil, ketika melihat anak-anak lain makan es krim, langsung tergiur untuk makan juga. Maka tanpa pikir panjang bocah berusia lima tahun itu meninggalkan sang adik dan ikut berkerumun mengelilingi penjual es itu."Begitul
"Biar saya saja yang bayar, Pak. Sekalian dengan punya saya." Diana menoleh. Sedikit terkejut melihat seorang pria yang tak dikenal menyelamatkan dirinya dari rasa malu. "Terima kasih. Nanti saya bayar, tolong beri nomor teleponnya," ucap Diana lembut. "Tidak usah, Nona. Saya ikhlas kok.""Tidak, tidak. Saya tetap akan membayarnya nanti. Anggap saja saya berhutang pada anda.""Baiklah kalau itu maumu." Daniel meminta HP Diana, lalu mengetikkan nomornya. "Namaku Daniel, siapa namamu Bu guru?" Setelah mengambil kembali HP-nya, ia menangkupkan kedua telapak tangannya di depan dada. "Saya Diana. Sekali lagi terimakasih, Mas. Insyaallah saya ganti. Saya permisi."Daniel menatap punggung Diana hingga menghilang dari pandangan. Apa yang diceritakan sahabatnya tak seperti yang dilihat. Gadis itu terlihat sangat sopan dan lembut. "Sepertinya nggak mungkin kalau dia gadis seperti itu. Tapi ... Belum tentu juga kan? J
Dengan tangan gemetar dan bibir gemelutuk akibat kedinginan, Diana memegang gunting itu. Perlahan ia mengarahkan ujung runcing yang berkilat saat diterpa cahaya pada dada kirinya. Kedua matanya memejam rapat dengan napas memburu. Kilasan nasehat dari ustazah yang mengajarinya ngaji hingga ia memilih nuntuk hijrah, membayang jelas dalam ingatan. "Setiap manusia akan diuji oleh Allah sesui kadar keimanannya masing-masing. Semakin tinggi iman seseorang, akan semakin besar juga ujian yang diberikan. Jangan merasa senang jika hidup kita terlalu mudah dan datar. Karena bisa jadi iman kita belum naik. "Karena Allah sendiri yang mengatakan dalam Alquran bahwa Allah tidak akan dibiarkan saja manusia mengatakan,"Kami telah beriman", sedangkan mereka tidak diuji. Dan sesungguhnya Allah telah menguji orang-orang yang sebelumnya. Dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta." Kalimat demi kalimat nasehat t