Share

Keputusan Sepihak

Aroma minyak kayu putih menyengat hidung. Perlahan kelopak mata Diana terbuka.

            "Sudah bangun, heh?"

            Ucapan itu membuat bulu-bulu halus Diana berdiri. Ia kira sendirian di sini. 'Kenapa pria itu masih ada di sini?', batin Diana bersenandika.

            "Kenapa, kaget aku masih disini? Cepat minum obat ini, dan pulang. Kamu sudah membuang banyak waktuku!"

            Setelah melempar Paracetamol ke pangkuan Diana, pria itu melangkah keluar meninggalkan Diana seorang diri. Meski hatinya sakit diperlakukan seperti itu, ia tetap berterimakasih karena ia masih mau peduli meski sangat jutek.

            Suara pintu terbuka, menampilkan sosok perempuan muda seumurannya. Dia adalah Alma, guru BK sekaligus teman dekatnya. Tatapan khawatir tercetak jelas di wajahnya.

            "Kamu sudah sadar? Alhamdulillah, kupikir kamu akan tidur terus sampai nanti malam. Apalagi ditungguin dokter ganteng!" celetuk gadis itu mencebik cemburu. Ia sangat iri pada sahabatnya ini karena mendapat perhatian special dari dokter yang baru pertama ditemuinya.

            "Sudahlah, Al, lebih baik kamu bantu aku berdir dan kita pulang sekarang."

            Diana sedang tak berselera untuk bercerita. Ia hanya ingin segera pulang dan tidur di kasurnya yang empuk. Badannya terasa panas tapi kedinginan. Kepalanya pening dan mata berkunang-kunang.

            "Kamu yakin mau bawa motor sendiri dalam keadaan seperti ini?"

            "Aku nggak papa, Al. Kamu tenang aja, ya."

            "Tapi, Di. Badan kamu panas banget. Gimana kalau kita ke rumah sakit aja?"

            "Nggak, Al. Aku sudah minum obat. Kalau sudah tidur nanti pasti sembuh."

            Tak mau berdebat, Alma memilih mengikuti sahabatnya dari belakang. Ia tak tega membiarkan Diana pulang sendirian dalam keadaan sakit begitu. Biarlah ia sedikit terlambat sampai rumah. Toh ia sudah izin ke orang tuanya tadi.

Sampai di depan rumah, Diana melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya parkir di halaman rumah. Hatinya ragu, apakah ia harus tetap masuk ke rumah atau menunggu pemilik mobil itu pergi dulu.

Diana melihat sebuah mobil yang sangat dikenalnya parkir di halaman rumah. Hatinya ragu, apakah ia harus tetap masuk ke rumah atau menunggu pemilik mobil itu pergi dulu. Terlebih pasca kejadian yang menimpanya di sekolah tadi memuatnya tak nyaman jika harus bertemu dengan pemilik mobil tersebut.

            Dalam kebimbangan, Diana merasa tubuhnya semakin lemas. Efek kehujanan ditambah pikiran yang kacau membuat daya tahan tubuhnya melemah. Dia tak tahu, harus pada siapa ia mengadu. Di rumah ini, ayah yang jadi panutan sudah mengharamkan dirinya menyebutnya ayah. Ibu yang selalu melimpahkan kasihnya dengan begitu lembut, tak sedikit pun meliriknya sekarang. Wanita itu berubah sikap padanya.

            Pijakan Diana hampir saja oleng. Ia sudah tak tahan berdiri di depan rumah. Akhirnya ia memilih untuk masuk lewat pintu belakang. Berharap pintu itu tak dikunci. Raga dan hatinya sangat lelah sekarang. Diana tak mampu untuk bertahan lagi meski hanya untuk berjalan mencapai pintu belakang.  

            Dengan berpegangan pada dinding, Diana melangkah hati-hati. Sialnya, ia tak dapat masuk karena terkunci. Tubuhnya luruh dan bersandar pada pintu belakang rumah. Kepala yang berdenyut nyeri menyebabkan kedua matanya susah untuk terbuka. Dengan sisa kesadaran yang dimiliki, Diana berusaha agar tetap terjaga. Namun sepertinya nasib baik tidak berpihak padanya. Perlahan kedua matanya tertutup dan akhirnya dia terlelap.

            ***

            "Meta, tolong maafkan aku. Sungguh aku tak sengaja melakukan itu. Aku dijebak oleh teman-teman meminum barang haram itu. Kupikir kakakmu adalah kamu. Please ... Meta, maafin aku, ya," ucap pria berprofesi sebagai dokter itu mengiba.

            Meta tetap bergeming. Hatinya sakit melihat kejadian itu. Siapapun yang melihat posisi tunangan dan kakaknya waktu itu, sudah pasti bisa menebak siapa yang salah. Hanya saja egonya tak mau terkalahkan.

            Selama ini Desta selalu menolak menyentuh dirinya. Alasannya agar nanti surprise di malam pertama mereka. Ia ingin menjaga kesucian calon istrinya. Namun, kenyataan bahwa Desta berani melecehkan wanita lain yang tak lain kakaknya sendiri, telah melukai egonya. Ia tak terima tatkala Kakaknya mampu mengundang has*at terpendam calon suaminya. Itulah sebabnya ia marah besar pada Diana. Wanita itu, selalu menang darinya.

            "Apa kamu sudah buta, hah? Hingga kamu nggak bisa membedakan aku dengan Kak Diana? Penampilan kami sudah berbeda. Tolong cari alasan yang tepat jika mau membela diri agar aku bisa percaya!” ucap Meta ketus.

            Hatinya makin panas setiap kali Desta melakukan pembelaan. Rasa cinta yang begitu besar, membuat hatinya terluka terlalu dalam saat melihat penghinatan itu. Di satu sisi hati terdalamnya merasa kasihan dengan Diana yang hampir direnggut keperawanannnya, namun di sisi lain ia benci kenapa harus Diana, kakak perempuannya yang menjadi sasaran pelampiasan kekasihnya—jika benar lelaki itu dalam pengaruh alcohol dan obat perangsang.  

            "Aku mabuk, Sayang. Kamu tahu itu, kan?"

            “Sorry, Des, kamu sudah melukai harga diriku. Pernikahan kita batal. Terserah kamu mau berbuat sesukamu. Aku tak peduli."

            "Om, to--"

            "Sudahlah. Kamu memang salah. Pernikahan tetap berjalan," Ayah Meta menjeda kalimatnya. Menarik napas dalam dan menghembuskan perlahan. "Kamu harus menikah sama Diana!"

            "Apa?!"

            "Apa?!"

            Teriak Desta dan Meta bersamaan. Mereka tak habis pikir dengan apa yang diputuskan ayah Meta. Bagaimana bisa dengan mudahnya pria setengah baya itu memutuskan hal itu. Sedangkan Desta sama sekali tak mencintai Diana. Justru saat ini ia sangat membencinya. Karena dia, ia kehilangan Meta dalam hidupnya.

            "Ini sudah keputusan saya, Desta. Mau tidak mau kamu harus melakukannya. Undangan sudah tersebar. Persiapan pernikahan sudah 95%, nggak mungkin dibatalkan begitu saja. Lagipula, kamu telah melecehkannya, kamu harus bertanggung jawab atas perbuatanmu."

            "Tapi, Om. Bagaimana dengan Meta? Kami saling mencintai, Om. Mana bisa aku menikah dengan orang yang telah menghancurkan pernikahan kami? Ini tidak adil, Om!" teriak Desta emosi.

            Gila, apa tidak ada pilihan lain selain menikahi gadis culun itu? Memang, sih, kalau dilihat dari segi wajah, Diana tak kalah cantik dari Meta. Bahkan kulitnya putih alami, tanpa polesan. Namun penampilannya yang serba tertutup membuatnya ilfeell.

            "Apa kamu tidak berpikir dulu sebelum mengatakan hal itu? Dengan kamu melecehkan Diana, tandanya kamu sudah nggak adil pada Meta!" balas calon mertuanya.

            "Tenang saja. Meta gadis yang cantik dan menarik. Setelah putus denganmu, dia akan segera mendapatkan ganti yang lebih baik darimu. Sedangkan Diana, dia telah ternoda olehmu. Jika kamu nggak menikahinya, aku takut, nggak akan ada laki-laki yang mau melamarnya. Dan itu petaka bagi keluarga ini."

            Setelah mengatakan hal itu, Ayah Meta berdiri. Ia melangkah menuju kamarnya. Namun sebelum ia benar-benar hilang di balik pintu, ia kembali bersuara.

            "Untuk tanggal pernikahan tidak dirubah. Jangan sekali-kali mencoba kabur dari tanggung jawab. Atau aku akan melaporkanmu ke polisi!" ucap pria itu tajam.

            Desta tak mampu menyembunyikan kesedihannya. Tatapannya mengiba pada gadis yang sampai saat ini masih mengisi ruang hatinya. Berharap gadis itu mengerti dan menggagalkan rencana ayahnya. Namun sepertinya ia harus menelan pil pahit kekecewaan. Gadis itu justru melengos dan meninggalkannya sendiri di ruangan itu.

            "Arrgggh!"

            Desta menjambak rambutnya kesal. Dadanya naik turun. Hancur sudah harapannya membina rumah tangga dengan gadis pujaannya. Ia tahu. Dialah yang salah di sini. Namun jika saat itu Diana tak datang dalam keadaan basah kuyup, ia tak mungkin melakukan hal itu.

            Pengaruh alkohol dicampur obat perangsang telah membuatnya nekat. Untuk pertama kalinya ia mengutuk teman-temannya yang telah membuat dirinya terjebak dalam situasi seperti ini. Akibat hal itu, kini pernikahannya dengan sang kekasih terancam batal. Dia juga telah menyentuh bahkan hampir menodai gadis yang seharusnya menjadi kakak iparnya kelak.

            Dengan dada terbakar amarah, Desta meninggalkan ruangan itu. Matanya memicing kala melihat motor Diana sudah bertengger di samping mobilnya. Ia menggerakkan bola matanya. Mencari sosok yang sedang menjadi sumber perdebatan hari ini.

            ‘Kemana dia? Bukankah tadi nggak ada seorang pun yang masuk? Lalu kemana dia?’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status