"Saya terima nikah dan kawinnya Amaris Meshazara binti Abirama dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai!"
Bumi mulai membuka kelopak mata perlahan saat merasa ada beban berat yang menindih hidungnya. Pria rupawan itu mengedip-ngedip. Ternyata ia memimpikan melangsungkan akad nikah dengan Amaris. Setelah kesadaran benar-benar terkumpul, Bumi memindahkan kaki jenjang Renjana yang semula menindih kuat hidungnya. Nasib baik Bumi tak kehabisan napas dan tulang hidungnya juga tak patah, karena meski kaki Renjana kecil, tapi beratnya setara dengan kaki berotot pria. Lekas ia perbaiki cara tidur Renjana yang super berantakan sekali. Kepala sudah terpisah dari bantal, guling yang tergeletak sembarangan di lantai, bahkan selimut pun tak lagi menutup tubuhnya. Setelah terlihat sedikit rapi, Bumi menarik selimut sampai sebatas dada. Ia tatap sejenak wajah Renjana yang tertutup beberapa helai rambut. Bumi baru akan mengulurkan jari dan berniat menyingkirkan helai-helai rambut di wajah itu. Namun, mendadak urung, tangannya hanya mengambang di udara saat teringat apa yang terjadi di antara mereka semalam. "Om Bumi nggak boleh nyentuh aku selama belum jujur tentang masa lalu!" ucap Renjana dengan tatapan tajam usai mengigit bibir Bumi yang mencium bibirnya sepihak. "Apa yang kamu ragukan dari saya?" Bumi bertanya pelan sembari menekan bibirnya yang perih dengan jari jempol. Renjana mendorong sekuat tenaga dada pria itu agar segera menyingkir dari atas tubuhnya. "Awas dulu! Nggak usah nindih-nindih!" "Kalau saya lepas, apa ada jaminan kamu tidak akan lari setelah ini?" 'Sialan! Tau aja dia kalau aku berencana mau kabur!' batin Renjana meringis. "Om nggak malu kalau ada yang liat posisi kita kayak gini?" "Kita cuma tinggal berdua di sini. Siapa yang akan melihat?" Kehabisan akal, Renjana pun dengan entengnya menunjuk dua cicak di dinding dengan tampang songong. "Tuh liat, ada dua cicak di belakang lagi merhatiin kita dari tadi." Dan bodohnya, Bumi pun terperdaya. Ia menenggok ke belakang untuk memastikan cicak yang Renjana katakan. "Bener kan? Mereka lagi merhatiin kita? Nanti dua cicak itu pasti bakal gosip sama temen-temennya yang lain karena ngeliat adegan intim," cerocos Renjana lagi berusaha membodohi suaminya. "Nggak boleh mempertontonkan yang nggak baik, Om. Mana tau mereka masih di bawah umur. Iya kan?" Bumi hanya menghela napas. Keheranan sendiri dengan tingkah aneh istrinya. Kembali ia menatap Renjana dan mengenggam jari telunjuk yang masih mengarah pada dua cicak tadi. "Apa yang kamu ragukan dari saya?" Karena sudah dalam keadaan terhimpit dan kebetulan yang tak disangka otaknya malah kehilangan fungsi berpikir mendadak, Renjana pun tak punya pilihan selain harus ekstra mengeluarkan tenaga lebih banyak untuk meladeni Bumi. "Keperjakaan," balasnya to the point. "Itu yang aku ragukan." "Kamu curiga saya sudah menyentuh wanita lain?" "Dan bukan cuma itu, aku juga curiga om sama mama udah-" "Tidur bersama?" Renjana langsung mengangguk. "Bener kan?" "Kamu mempermasalahkan itu?" "Oh, jelas dong! Aku nggak mau disentuh sama pria bekas pakai orang lain." "Lalu bagaimana dengan kamu yang sebelumnya mengaku sering jual diri dan sudah tidur dengan sepuluh cowok? Bukankah itu namanya bekas pakai juga? Apa dari awal pernah kamu dengar saya mempermasalahkan itu?" Skakmat! Tak disangka Bumi malah mengungkit kembali kebohongannya di malam pertama mereka. Renjana mendadak terdiam dengan perasaan campur aduk. "I-iya ... itu emang bener kok ... a-aku emang udah tidur sama sepuluh cowok ... tapi kan-" "Saya ingin membuktikannya langsung, Jana ... karena pengakuan kamu kurang akurat ...." *** "Jadi ... kami benar-benar sudah melakukannya semalam?" Bumi menunduk resah, memijat kepalanya yang mendadak pening setelah teringat ternyata menyentuh Renjana semalam. Kembali ia tatap Renjana yang masih pulas. Ada rasa sesal yang menghinggap dalam dirinya. Bukan lagi tentang persoalan menyentuh Renjana sepihak. Namun, karena semalam ia malah dengan tak tahu diri membayangkan yang ia sentuh adalah Amaris. Bumi mengusap wajah dengan kasar. Kemudian keluar dari kamar. Tak ingin kewarasannya terganggu terus-menerus karena masih memikirkan wanita yang seharusnya cepat ia singkirkan dari hatinya. Yang sudah sepatutnya tak ia beri celah masuk lagi. Setibanya di dapur, Bumi membuka kulkas, mengambil minum, kemudian duduk dan meneguk minum itu dengan pelan. Selesai mengenyahkan semua hal yang menyangkut tentang Amaris, kini ia malah tak diberi ketenangan lagi saat teringat Renjana. Bagaimana penolakan keras wanita itu, bahkan sampai menangis saat peraduan surga dunia mereka semalam masih terekam jelas di ingatan Bumi. Satu yang ia dapati. Renjana ternyata masih perawan. Tentu membuat Bumi semakin tak menyangka mengapa wanita itu memberikan pengakuan yang tak benar sejak awal? Dan setelah apa yang terjadi di antara mereka semalam, mungkinkah Renjana akan membencinya setelah ini? Beberapa menit lamanya sudah berlalu dan Bumi hanya menutup mata dengan tangan yang menyangga di meja. Berusaha meredakan kepalanya yang riuh. Ia tersentak saat merasakan benda dingin tiba-tiba menyentuh permukaan kulit. Lekas tangannya turun. Ternyata sang pelaku adalah Renjana yang memang sengaja meletakkan pisau buah tepat di lengan kirinya. Wanita itu sudah berpakaian rapi dan wangi. "Aku mau bunuh Om Bumi!" katanya dengan cemberut. Bumi mengangkat satu alisnya. Mengamati sejenak wajah istrinya yang sudah kusut padahal masih pagi. Lantas ia bawa tangan Renjana yang memegang pisau ke leher. "Kalau mau bunuh dengan cara instan di sini ... ayo, gorok leher saya." Kesal karena Bumi malah serius meladeninya, Renjana pun menarik kembali tangannya dengan delikan. "Nggak! Aku nggak mau nanti diseret ke penjara! Aku tuh lagi kesel! Kesel sama Om Bumi!" Tahu Renjana marah karena kejadian semalam, Bumi segera menegakan badannya untuk meluruskan sesuatu. "Soal semalam saya-" "Bukaaan!" "Lalu?" "Kenapa nggak bangunin aku?" "Memangnya dari awal kamu minta dibangunkan? Tidak kan?" Plak! Tanpa ada rasa segan sama sekali telapak tangan Renjana mendarat cukup keras di lengan itu. "Nyebeeelin banget sih! Emang harus diminta dulu? Inisiatif dikit kek jadi suami! Aku udah telat sepuluh menit tau ngampusnya! Gara-gara Om Bumi ngajak begadang semalam!" "Saya minta maaf. Saya pikir kamu kelasnya siang." Renjana menarik kursi dan duduk di sana dengan wajah masih cemberut, tapi amarahnya sudah mulai mereda. Ia bersedekap dengan mata mulai berkaca-kaca. "Uang SPP yang aku bayar per semester di kampus itu mahal banget. Aku ngandelin uang dari transferan mama aja, tapi sekarang mama udah nggak ada, sementara tabungan aku mulai menipis. Rasanya aku bakal rugi banget kalau nggak masuk satu mata kuliah." Bumi tersentil mendengarnya. Entah, ada apa dengan hatinya yang aneh. "Kamu tetap bisa masuk hari ini." "Gimana caranya?" Renjana langsung menatap Bumi dengan lekat. Cepat ia usap air mata yang luruh dari sudut mata. Merasa masih ada secercah harapan. Menunggu lama karena Bumi hanya diam saja, air mata Renjana kembali luruh dengan deras membasahi pipi. "Dosennya juga killer, nggak nerima alasan apa pun. Jadi, percuma aja kalau aku tetap maksa masuk,” lanjut Renjana sesenggukan.Setelah Renjana terlelap dengan tenang di pelukannya, kini gantian Bumi yang tak bisa terlelap kembali, meskipun beberapa kali sudah berusaha mencoba.Ia yang awalnya tak tahu harus melakukan apa, akhirnya mengambil ponsel.Sudah satu jam berlalu fokus pandangannya belum juga berpindah dari layar benda pipih yang menampilkan sederet panggilan tak terjawab dan pesan belum terbaca dari Amaris, mamanya Renjana, di WhatsApp.+6282349xxxxxx:[Mas Bumi.][Ini aku, Amaris. Pakai kartu baru. Kartu lama terblokir waktu itu.][Maaf, baru bisa kirim pesan sekarang.][Mas di mana sekarang?][Sibuk ya? Kok di telfon dari semalam nggak diangkat.][Bisa kita bertemu?][Ah tidak ... bisakah mas jemput aku di bandara sore ini?][Balas pesan ini kalau mas udah baca.]Bumi memijat kening dengan resah. Bibirnya boleh berkata tak ingin peduli lagi apa pun yang menyangkut tentang Amaris. Namun, lain hal dengan hatinya yang entah mengapa masih saja menyisakkan rasa untuk wanita yang menorehkan kecewa di hat
Bumi langsung menoleh mendengar suara tanya Renjana. Tampak jelas sekali ada keresahan dari raut wajahnya yang berusaha ia sembunyikan. “Teman kerja. Saya keluar sebentar ya.”Anggukan beruntun Renjana berikan sebagai balasan. Sepeninggal Bumi, wanita itu langsung duduk kembali dengan gerakan kaku. Jemarinya terangkat menyentuh bibir. Disusul matanya mengedip beberapa kali.Untuk sejenak debar di dada Renjana kembali berdetak kencang, bahkan napasnya ikut tertahan saat mengingat kembali apa yang terjadi di antara dirinya dan Bumi tadi.Renjana bingung. Ada apa dengan dirinya yang malah ikut membalas perlakuan Bumi. Namun, sejujurnya ia memang tak bisa mengelak lagi, jika menyukai sentuhan Bumi di bibirnya.“Om Bumi dulu sering cium mama kayak gitu juga nggak ya?” gumamnya tiba-tiba berpikiran lebih. Entah, mengapa ada rasa sedikit tak suka. Lebih tepatnya, Renjana hanya ingin ialah satu-satunya wanita yang diperlakukan oleh Bumi seperti tadi.Kesal dengan pikirannya yang semakin menja
“Saya tidak bermaksud menyebut kamu sebagai pelacur, Jana ....” Bumi bersuara pelan untuk membujuk Renjana yang masih menangis. Ia sentuh pelan tangan yang sedang menutup wajah itu. “Selama ini yang selalu saya lihat, kamu tidak pernah pakai pakaian seksi seperti ini. Mama kamu juga pernah bilang kalau kamu bukan tipe cewek yang suka berpakaian seperti itu. Jadi, saya heran saja kenapa kamu tiba-tiba mau pergi dengan alasan nonton dan makan bersama Zizi, tapi penampilannya kurang enak dipandang ....”“Om Bumi aja yang noraknya kebangetan!” teriaknya kesal, kemudian langsung menggeser duduknya agar jauh dari jangkauan Bumi.Ternyata benar. Menaklukan Renjana tak semudah menaklukan Amaris. Bumi berdehem sejenak saat menggaruk bawah matanya yang tak gatal. Lalu pria itu ikut menggeser duduk juga sampai berada di dekat sang istri.“Maaf, saya salah. Tadinya cuma berniat mau iseng ke kamu, tapi kamu–”“Om pikir yang kayak gitu bagus dijadiin bahan bercandaan?! Lucu?!”Helaan napas samar be
“Mau sampai kapan kamu nangis terus?”Bumi menghampiri Renjana setelah menelpon temannya yang menjadi dosen di tempat Renjana kuliah.Ia menanyakan perihal konsekuensi apa yang akan diterima oleh mahasiswa jika terlambat masuk, dan ternyata tak ada keringanan sama sekali. Mahasiswa terlambat tetaplah terlambat. Tak bisa mengikuti mata kuliah sampai jamnya selesai.Kasihan dengan nasib Renjana, Bumi pun berpikir keras untuk menemukan cara, dan akhirnya ia mendapatkan solusi bagaimana agar Renjana tetap bisa mengikuti mata kuliah.Tentu ujung-ujungnya tetap mengandalkan yang namanya uang. Ia bayar dosen itu untuk mengajari Renjana ulang materi mata kuliah secara mandiri.Tadi, sebelum sempat berbicara, Renjana yang dalam mode ngambek langsung meninggalkannya begitu saja di meja makan, dan kini wanita itu sedang meringkuk di sofa dengan tangis belum mereda.“Kamu belum sarapan,” ucap Bumi sekali lagi karena ucapannya yang tadi tak mendapat respon. Ia sentuh bahu Renjana dengan pelan. Nam
"Saya terima nikah dan kawinnya Amaris Meshazara binti Abirama dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai!" Bumi mulai membuka kelopak mata perlahan saat merasa ada beban berat yang menindih hidungnya. Pria rupawan itu mengedip-ngedip. Ternyata ia memimpikan melangsungkan akad nikah dengan Amaris. Setelah kesadaran benar-benar terkumpul, Bumi memindahkan kaki jenjang Renjana yang semula menindih kuat hidungnya. Nasib baik Bumi tak kehabisan napas dan tulang hidungnya juga tak patah, karena meski kaki Renjana kecil, tapi beratnya setara dengan kaki berotot pria. Lekas ia perbaiki cara tidur Renjana yang super berantakan sekali. Kepala sudah terpisah dari bantal, guling yang tergeletak sembarangan di lantai, bahkan selimut pun tak lagi menutup tubuhnya. Setelah terlihat sedikit rapi, Bumi menarik selimut sampai sebatas dada. Ia tatap sejenak wajah Renjana yang tertutup beberapa helai rambut. Bumi baru akan mengulurkan jari dan berniat menyingkirkan helai-helai rambut di waj
“Kamu suka bibir saya, Jana?” Bumi melengkungkan sudut bibirnya.“Sepertinya kamu memang tertarik dengan bibir saya atau sebenarnya sudah candu sampai berkeinginan untuk mencium saya lagi?” Untuk pertama kalinya ia tersenyum pada Renjana. Namun, bukan senyum tulus, melainkan senyum meledek.Renjana langsung mencebik kesal. Sudah pertanyaannya tadi diabaikan, sekarang Bumi pun seolah sengaja malah menyudutkan atas penawaran cium bibir itu. “Dih! Aku kasih penawaran ciuman semata-mata sebagai bentuk pancingan aja, biar om terdorong mau jawab jujur. Nggak usah kegeeran deh. Lagian siapa juga yang doyan sama bibir murahan. Yang kerjaannya nemplok sana-sini.”Tak marah dengan kalimat blak-blakan yang diucapkan istrinya, Bumi justru semakin tersenyum meledek. “Apa salahnya jujur saja?”“Ih! Ayo jawab jujur pertanyaan aku tadi! Jangan mengalihkan ke topik lain. Om sebenarnya udah nidurin berapa cewek selama ini?”“Bukannya sudah saya bilang sebelumnya? Kamu tidak berhak mencampuri privasi sa
“Om Bumi mesum, iiih!” teriak Renjana dengan secepat kilat turun dari ranjang. Pupil matanya masih melebar saking terkejut dengan sentuhan tiba-tiba beberapa detik yang lalu.“Lah, kok, saya mesum? Memangnya di mana letak mesum dari perbuatan saya yang tadi?” Bumi menyandarkan punggung di ujung ranjang dan bersedekap santai.“Pokoknya om mesum! Nyentuh-nyentuh punya aku tanpa izin dulu!” bentak Renjana tak mau dibantah. Lalu ia tarik kursi yang terletak di depan meja rias, kemudian duduk di sana dengan raut wajah kesal.Bumi sedikit melengkungkan sudut bibirnya. “Paham dari arti kata mesum?”“Paham, lah!” sahut Renjana cepat. “Emangnya aku ini masih anak TK?” sambungnya dengan gaya congkak.“Coba kamu jelaskan mesum itu apa.”Renjana mengangkat dagu agar lebih terlihat kemampuannya menjawab karena tak suka dengan Bumi yang bersikap seperti sedang memandangnya rendah. “Itu, doang, mah, gampang! Mesum adalah tindakan yang nggak senonoh, kotor, dan cabul.”“Itu saja?”“Terus om maunya ak
“Fungsinya kondom apa, sih?” tanya Renjana berbisik pada Mbak Google.Sebenarnya Renjana sudah tahu fungsinya apa. Ia hanya ingin memperjelas lagi untuk menguatkan prasangka buruknya terhadap Bumi.“Menurunkan resiko tertular penyakit s3ksual,” sahut Mbak Google.“Anjiiir!” Refleks Renjana mengumpat.“Om Bumi yang aku pikir cowok terjaga dan nggak pernah tersentuh sama tangan-tangan cewek, ternyata aslinya pemain handal ... gilaaa!”Di sisi lain, Bumi yang sudah berada di luar kamar menghampiri mama dan papanya yang sedang duduk bersisian di ruang keluarga. Tampak kedua sosok lanjut usia itu sedang terlibat pembicaraan serius.Endah, mamanya Bumi yang menyadari kedatangan putranya, mendadak berhenti berbicara. Hal itu membuat Harja mengikuti ke mana arah pusat pandangan istrinya.“Sendirian saja? Jana mana, Nak?” tanya Harja menyambut putranya dengan senyum ramah.Bumi langsung mengambil posisi duduk di depan mereka.“Halah, palingan bocah bau kencur itu masih asyik ngebo,” sahut Enda
“Saya tidak ingin menyentuh kamu sekarang.”Selepas mengatakan kalimat tegas itu, Bumi mengubah posisi menjadi berbaring telentang. Kedua tangannya turun ingin menyingkirkan kaki Renjana yang masih mengurung pinggang. Namun, tangannya lebih dulu ditahan. Lebih tepatnya dicengkram Renjana.“Kenapa nggak pengen?” tanya Renjana semakin merapat, bahkan ia sengaja menempelkan dada di lengan Bumi.Bumi mengeraskan rahang. Ia resah dengan tindakan Renjana yang semakin berani menggoda.Tak ingin meladeni lagi, Bumi bersedekap, kemudian menutup mata.“Ih, Om Bumi, kok, gitu? Nggak sopan banget, aku masih pengen ngomong malah ditinggal tidur!”“Kenapa om nggak mau nyentuh aku? Bukannya om pengen aku hamil?” Pantang menyerah, Renjana mengguncang-guncang kuat lengan itu.“Oh ... atau jangan-jangan ternyata Om Bumi sebenarnya nggak normal?!”“Jangan berisik!” Bumi mendengkus. “Suara kamu menganggu kenyamanan telinga. Saya ingin istirahat.”Renjana mengembuskan napas kasar. Wanita itu melepas cengk