"Berarti nanti aku nggak usah KB, tapi kita sama-sama puasa batin aja, nggak ada kontak fisik apa pun biar aku nggak hamil lagi," putus Renjana sepihak.Setelah dengan mudahnya memutuskan tanpa ada diskusi dengan sang suami secara empat mata, ia menjauh begitu saja. Tangan Bumi yang semula memijat punggung itu alhasil jadi mengambang di udara."Kalau mas udah mau tidur, matiin lampu utama ya, biar nggak terlalu terang. Aku ngantuk banget." Renjana berpamitan begitu tubuhnya sudah dalam posisi sempurna berbaring di kasur.Bumi menurunkan kedua tangan, kemudian mengangguk. Perintah sang istri langsung dilakukan, ia matikan lampu utama. Dalam sekejap ruangan berubah remang-remang karena hanya lampu tidur di atas nakas saja yang menyala.Lalu, pria itu menyusul. Berbaring di sebelah Renjana yang tiba-tiba saja langsung berubah memunggunginya.Bumi menatap sejenak. Keputusan sepihak tadi masih tak bisa diterima.Karena itu, ia merapat sampai dadanya bersentuhan jelas dengan punggung peremp
"Kalau saya bilang iya, kamu mau kasih?" Bumi balik bertanya, menanggapi pertanyaan sensitif dari sang istri barusan. Raut wajahnya bahkan sudah cerah. Sangat menanti.Ditawari hal seperti itu memangnya siapa yang tak tergiur? Sambil melangkah cepat, diikuti Bumi dari belakang, Renjana langsung melipat bibir ke dalam. Ingin menertawai suaminya yang begitu cepat merespon, padahal ia saja tak serius menawari itu."Nanti Kaaya nggak kebagian dong kalau mas juga malah minat susunya," kilah Renjana.Begitu sudah masuk kamar ia segera naik ke ranjang, kemudian berbaring miring di sebelah sang bayi. Membuka kancing blus, lalu mengubah posisi Kaaya menjadi miring menghadapnya.Sambil menyusui, Renjana menatap lekat wajah polos itu. Wajah yang mirip sekali dengannya, itu kata Bumi, tapi bagi Renjana tak mirip semua.Hanya mata dan bibir saja yang mirip. Sedangkan hidung dan alis si kecil ini mengikuti punya Bumi."Kadang mama masih suka nggak percaya kalau kamu ini lahir dari rahim mama ...
"Mas nggak kesel?" tanya Renjana pelan.Masih dengan posisi belum beranjak dari paha pria itu. Ia pindai lekat-lekat wajah Bumi yang kini sedang memerah. Pada bola mata yang sedikit sayu itu, Renjana mencari sebuah jawaban.Tentang bagaimana perasaan Bumi selama ini setelah menjadi suaminya, yang sering ia buat memendam hasrat terlalu lama.Bumi lagi-lagi hanya bisa tersenyum dan menyusul terbit gelengan darinya."Kenapa?" tanya Renjana seakan belum puas sebelum Bumi membuka mulut untuk menjelaskan. "Kenapa mas nggak pernah kesel sekali aja? Padahal aku bukan cuma sekali bikin mas kayak gini."Menempatkan kedua tangan di masing-masing pinggang istrinya, Bumi membalas dengan tenang. "Selagi saya masih bisa tahan, tidak masalah sama sekali. Saya baik-baik saja dan merasa tidak perlu juga bersikap berlebihan. Cuma karena tidak dituruti nafsunya, masa saya langsung ngambek? Bukan laki-laki namanya kalau saya sampai berperilaku seperti itu."Deg.Renjana mendadak berdebar-debar. Bumi meman
Undangan makan malam dari Endah rupanya cukup membuat Suriya antusias. Sebab, selepas Magrib, ia sudah menyambangi apartemen Amaris. Dengan aroma wewangian di sekujur tubuh dan penampilan yang sudah sangat rapi dari kaki sampai kepala. Di telpon beberapa jam lalu, Bumi memang sempat mengatakan jika undangannya jam tujuh. Namun, Suriya sengaja datang lebih awal ke tempat Amaris karena ada hal penting yang ingin ia bicarakan empat mata sebelum mereka pergi bersama. Kedatangan sang mama yang terlalu tiba-tiba itu membuat Amaris kaget. Selain karena ia yang belum melakukan persiapan sama sekali, apartemennya juga dalam kondisi berantakan oleh berkas-berkas. Ia sedang mencari beberapa data penting untuk ia ajukan sebagai persyaratan kerja minggu depan. "Saya belum siap-siap. Mama di telpon tadi juga bilangnya jam tujuh kan?" Amaris mencoba memastikan lagi sambil berusaha merapikan berkas-berkas yang tercecer di lantai. Barangkali ia yang sudah salah dengar saat mereka telponan tadi.
"Iya, Ma," balas Renjana mengangguk. "Nanti Jana telpon mereka."Endah tersenyum. Selain sedang berusaha menjadi mertua yang baik untuk sang menantu, sekarang memang sudah saatnya juga ia menjalin hubungan besan yang baik dengan Amaris.Mengingat bagaimana dulu hubungan mereka pernah bersinggungan, cukup buruk. Endah sempat membenci Amaris sewaktu masih menjalin hubungan dengan Bumi, pun Amaris juga berlaku sama. Tak pernah terjadi interaksi ramah di antara mereka, meskipun beberapa kali bertemu.Ada jeda beberapa detik bagi Endah sampai ia kembali berbicara. Kali ini pandangannya tertuju pada Bumi. "Tolong kamu bawa ke kamar semua barang-barang ini," perintahnya sambil menunjuk apa saja yang terletak di meja.Lalu, pandangan itu berpindah. Endah menatap Renjana. "Ayo, mama bantu ke kamar, Nak. Kamu masih tetap perlu istirahat yang cukup."Walau jujur saja ada rasa tak enak di hati, Renjana tetap menerima uluran tangan mama mertuanya. Lebih tak enak juga jika ia sampai tega menolak ni
Setelah tiga hari dengan sabar mendekam di ruang rawat, Renjana baru diperbolehkan pulang keesokan harinya. Sempat-sempatnya ia berekspektasi hanya sehari saja akan berada di sana, tapi ternyata di hari ke empat barulah benar-benar diizinkan dokter untuk pulang.Pascakritis, keadaannya sudah pulih seperti sedia kala. Hanya saja yang masih perlu diperhatikan sekarang adalah pemulihan pasca melahirkan.Selama berada di sana, Bumi yang mengurus semua, bahkan memang dari awal ialah yang melakukan itu.Sesekali juga Bumi harus berganti peran dengan Suriya dan Amaris jika memang keadaan memaksanya untuk pergi bekerja, atau kalau Hans tiba-tiba menelpon karena ada hal mendesak yang mengharuskannya pergi.Jika tak penting-penting sekali, ia tetap menemani istrinya selama dua puluh empat jam.Bukan karena kepribadiannya yang terlalu protektif, tapi Bumi hanya patuh saja, sebab Renjana sempat berkata jika Bumi selalu berada di sisinya, maka kemungkinan untuk sembuh pasti lebih cepat.Sikap perh