“Saya tidak ingin menyentuh kamu sekarang.”
Selepas mengatakan kalimat tegas itu, Bumi mengubah posisi menjadi berbaring telentang. Kedua tangannya turun ingin menyingkirkan kaki Renjana yang masih mengurung pinggang. Namun, tangannya lebih dulu ditahan. Lebih tepatnya dicengkram Renjana. “Kenapa nggak pengen?” tanya Renjana semakin merapat, bahkan ia sengaja menempelkan dada di lengan Bumi. Bumi mengeraskan rahang. Ia resah dengan tindakan Renjana yang semakin berani menggoda. Tak ingin meladeni lagi, Bumi bersedekap, kemudian menutup mata. “Ih, Om Bumi, kok, gitu? Nggak sopan banget, aku masih pengen ngomong malah ditinggal tidur!” “Kenapa om nggak mau nyentuh aku? Bukannya om pengen aku hamil?” Pantang menyerah, Renjana mengguncang-guncang kuat lengan itu. “Oh ... atau jangan-jangan ternyata Om Bumi sebenarnya nggak normal?!” “Jangan berisik!” Bumi mendengkus. “Suara kamu menganggu kenyamanan telinga. Saya ingin istirahat.” Renjana mengembuskan napas kasar. Wanita itu melepas cengkramannya dari lengan Bumi, kemudian mengubah posisi berbaring menjadi telentang. Menatap langit-langit kamar dengan wajah kusut. ‘Gimana bisa hamil kalau Om Bumi aja sok jual mahal gini!’ batinnya mendumel. ‘Kalau terus-terusan kayak gini, bisa-bisa aku bakal berbulan-bulan hidup seatap sama dia. Huwaaa! Aku pengen cepat diceraiin! Tuhan, bantulah hambamu yang pengen kebebasan ini.’ Renjana semakin cemberut. Di saat sedang serius melamun tentang kesukaran hidupnya yang ditimpa kemalangan, tiba-tiba saja ide cemerlang melintas. Wajah yang semula kusut itu berubah. Matanya bahkan berbinar. Renjana sudah tak cemberut lagi. Kini ia tersenyum. Senyum jahat lebih tepatnya karena ide ini terbilang gila dan sangat menantang adrenalin jiwa perempuannya yang bar-bar. Renjana kemudian menoleh, menatap wajah Bumi sejenak. ‘Mungkin Om Bumi lebih suka diserang daripada menyerang lebih dulu.’ ‘Ide kali ini pokoknya nggak boleh gagal.’ Setelah bertekad penuh, Renjana bangun, lalu bergegas ia mengubah posisi menjadi di atas tubuh suaminya. Wajah ayu itu perlahan turun merapat. Berhenti tepat di depan bibir suaminya yang terkatup. Kemudian dengan hati-hati Renjana mempertemukan bibir mereka. Bumi yang merasakan sentuhan demi sentuhan lembut di permukaan bibirnya lekas membuka mata. Ia melotot melihat posisi Renjana di atas. Tak menyangka jika perempuan itu bisa berbuat nekat. Bumi dengan kesadarannya pun membalik Renjana sampai posisi mereka berubah. Ia di atas dan Renjana di bawah. “Apa-apaan kamu?!” “Aku? Ya, cium Om Bumi, lah, gitu aja masih ditanya,” sahut Renjana dengan santai. “Apa yang kamu lakukan itu sudah lancang, Jana!” “Makanya jangan jual mahal biar aku juga nggak terdorong buat ngelakuin segala cara.” Percuma saja meladeni. Perempuan seperti Renjana hanya akan membuat kesal setengah mati. Buktinya Bumi yang sedang tersulut amarahnya, tapi bisa-bisanya malah ditanggapi sesantai itu. Bumi segera mengubah posisi. Ia duduk, mengusap wajah dengan kasar. Pikiran dan hatinya kacau. Kepalanya terasa ingin meledak sekarang. Padahal belum juga terhitung sehari memperistri putri dari mantan calon istrinya itu, tapi sudah siksa batin yang ia dapatkan. “Saya cape, Jana ... kerjaan saya hari ini banyak,” jelas Bumi berharap agar Renjana mengerti dan tak mendesak lagi untuk disentuh. “Jadi, kapan bisanya?” “Kamu bisa sabar sedikit?” “Oke ... tapi awas aja kalau om sengaja mau ngulur waktu terus ... aku paling nggak suka nunggu.” Ucapan Renjana tak berbalas karena Bumi memang sengaja tak ingin terlalu lama terlibat bicara. Pria itu turun dari ranjang, kemudian keluar dari kamar untuk menenangkan diri. “Payah banget ... masih segelan gini malah di anggurin,” celetuk Renjana mencebik kesal. “Apa Om Bumi jijik kali, ya, nyentuh aku karena sebelumnya aku ngaku-ngaku udah tidur sama sepuluh cowok?” *** Pagi harinya Renjana bangun lebih awal. Tentu saja bangunnya kali ini atas paksaan Bumi karena wanita itu yang tidur sudah seperti mayat. Renjana tak ada mata kuliah pagi. Jadi, Bumi mengagendakan pagi ini mereka akan pindahan ke rumah baru yang sengaja sudah dipersiapkan sejak awal, dan memang akan digunakan setelah ia menikah dengan Amaris. Namun, takdir berkata lain. Bukan Amaris yang menjadi istrinya, tapi Renjana, putri semata wayang Amaris. Effort Bumi memang sebesar itu, tapi sayangnya pernikahan dengan Amaris yang sangat ia impikan malah tak terlaksana. “Pagi, Papa,” ujar Renjana tiba-tiba memeluk dari belakang. Ia baru saja keluar dari kamar mandi dan tak sengaja melihat Bumi yang sedang berdiri diam, maka terbesitlah niat untuk mengusili pria itu. Bumi menunduk, menatap kedua tangan Renjana yang melingkar sempurna di perut. “Saya bukan papa kamu.” “Dulu, iya. Kan, om calon suami mama, berarti calon papa tiriku juga.” “Buruan sana siap-siap.” Perintah Bumi mengalihkan pembicaraan. “Mama pernah peluk om kayak gini juga nggak?” “Saya suruh kamu siap-siap, Jana.” “Selama masih pacaran kalian udah pernah ngapain aja?” “Jana!” Mendengar bentakan, bukannya takut, Renjana malah mengulum bibir. “Sensi banget, sih, kalau bahas mama. Oke, maaf, aku tau om pasti kecewa dan sakit hati ditinggal, tapi aku rasa mama punya alasan logis kenapa dia kayak gitu.” “Sok tau.” “Aku nebak aja.” “Kamu tidak berhak mencampuri privasi saya.” “Yaudah ... okeee, si paling privasi.” Renjana menarik kedua tangannya dari perut itu, kemudian melangkah menuju lemari untuk mengganti baju. Bumi menghela napas. Ia kemudian membalik badan. Untuk sejenak pandangannya memindai penampilan Renjana yang hanya menggunakan handuk dari bawah sampai atas. Sebenarnya Renjana memiliki ukuran yang sintal walau bertubuh kecil. Sadar jika terpesona dengan kemolekan tubuh istrinya, Bumi buru-buru mengalihkan pandangan. Mengenyahkan gejolak aneh yang hadir tiba-tiba. “Saya tunggu di luar,” katanya tanpa menunggu jawaban dari Renjana langsung berlalu pergi. “Bagus, deh, kalau Om Bumi kepikiran bawa aku ke rumahnya yang baru. Lagian aku nggak bakal betah lama-lama serumah sama mamanya yang nggak suka sama aku.” Renjana bergumam saat teringat tatapan tak suka mamanya Bumi di hari pernikahan mereka. Perempuan itu lalu berpakaian. Setelah selesai, ia poles sedikit wajahnya seperti biasa saat akan pergi. Renjana memang bukan tipe wanita yang suka dandan menor, tapi ia pecinta make up garis keras. Merasa semuanya sudah siap, Renjana menghampiri koper yang berisi pakaiannya. Hendak ia tarik gagang koper. Namun, pandangannya tak sengaja jatuh pada sebuah dos kecil warna merah. Gambarnya pria dan wanita. “Sutra, dua belas kondom impor untuk meningkatkan perlindungan dan kenikmatan,” ucapnya pelan saat membaca tulisan di sana. Dahi Renjana langsung berkerut. “Kondom?” “Om Bumi pakai kondom?” Renjana terdiam cukup lama. Pikirannya berkelana ke mana-mana. Mulai berprasangka buruk. “Buat apa coba?” “Berarti dia sering berhubungan badan, dong? Tapi sama siapa? Nggak mungkin mama.” Amaris wanita bermoral. Setidaknya itu yang Renjana tahu dari watak mamanya. Jadi, mustahil menurutnya jika Bumi dan mamanya sampai nekat berbuat hal jauh.“Om Bumi mesum, iiih!” teriak Renjana dengan secepat kilat turun dari ranjang. Pupil matanya masih melebar saking terkejut dengan sentuhan tiba-tiba beberapa detik yang lalu.“Lah, kok, saya mesum? Memangnya di mana letak mesum dari perbuatan saya yang tadi?” Bumi menyandarkan punggung di ujung ranjang dan bersedekap santai.“Pokoknya om mesum! Nyentuh-nyentuh punya aku tanpa izin dulu!” bentak Renjana tak mau dibantah. Lalu ia tarik kursi yang terletak di depan meja rias, kemudian duduk di sana dengan raut wajah kesal.Bumi sedikit melengkungkan sudut bibirnya. “Paham dari arti kata mesum?”“Paham, lah!” sahut Renjana cepat. “Emangnya aku ini masih anak TK?” sambungnya dengan gaya congkak.“Coba kamu jelaskan mesum itu apa.”Renjana mengangkat dagu agar lebih terlihat kemampuannya menjawab karena tak suka dengan Bumi yang bersikap seperti sedang memandangnya rendah. “Itu, doang, mah, gampang! Mesum adalah tindakan yang nggak senonoh, kotor, dan cabul.”“Itu saja?”“Terus om maunya ak
“Fungsinya kondom apa, sih?” tanya Renjana berbisik pada Mbak Google.Sebenarnya Renjana sudah tahu fungsinya apa. Ia hanya ingin memperjelas lagi untuk menguatkan prasangka buruknya terhadap Bumi.“Menurunkan resiko tertular penyakit s3ksual,” sahut Mbak Google.“Anjiiir!” Refleks Renjana mengumpat.“Om Bumi yang aku pikir cowok terjaga dan nggak pernah tersentuh sama tangan-tangan cewek, ternyata aslinya pemain handal ... gilaaa!”Di sisi lain, Bumi yang sudah berada di luar kamar menghampiri mama dan papanya yang sedang duduk bersisian di ruang keluarga. Tampak kedua sosok lanjut usia itu sedang terlibat pembicaraan serius.Endah, mamanya Bumi yang menyadari kedatangan putranya, mendadak berhenti berbicara. Hal itu membuat Harja mengikuti ke mana arah pusat pandangan istrinya.“Sendirian saja? Jana mana, Nak?” tanya Harja menyambut putranya dengan senyum ramah.Bumi langsung mengambil posisi duduk di depan mereka.“Halah, palingan bocah bau kencur itu masih asyik ngebo,” sahut Enda
“Saya tidak ingin menyentuh kamu sekarang.”Selepas mengatakan kalimat tegas itu, Bumi mengubah posisi menjadi berbaring telentang. Kedua tangannya turun ingin menyingkirkan kaki Renjana yang masih mengurung pinggang. Namun, tangannya lebih dulu ditahan. Lebih tepatnya dicengkram Renjana.“Kenapa nggak pengen?” tanya Renjana semakin merapat, bahkan ia sengaja menempelkan dada di lengan Bumi.Bumi mengeraskan rahang. Ia resah dengan tindakan Renjana yang semakin berani menggoda.Tak ingin meladeni lagi, Bumi bersedekap, kemudian menutup mata.“Ih, Om Bumi, kok, gitu? Nggak sopan banget, aku masih pengen ngomong malah ditinggal tidur!”“Kenapa om nggak mau nyentuh aku? Bukannya om pengen aku hamil?” Pantang menyerah, Renjana mengguncang-guncang kuat lengan itu.“Oh ... atau jangan-jangan ternyata Om Bumi sebenarnya nggak normal?!”“Jangan berisik!” Bumi mendengkus. “Suara kamu menganggu kenyamanan telinga. Saya ingin istirahat.”Renjana mengembuskan napas kasar. Wanita itu melepas cengk
“Pokoknya Om Bumi harus nyentuh aku malam ini,” gumam Renjana dengan tekad penuh dalam dirinya.Wanita itu kemudian meletakkan kado pemberian Zizi di lantai, lalu berjongkok. Membuka pembungkusnya dengan hati-hati.“Si Zizi belum nikah, tapi udah paham aja kebutuhan pengantin baru. Tau dari mana, ya, dia?”“Apa jangan-jangan dia udah pernah pakai lingerie juga?”“Tapi buat siapa dia pakai? Pacar aja nggak punya.”“Oh ... atau selama ini Zizi punya pacar rahasia?”Renjana terdiam sejenak setelah kado itu terbuka sepenuhnya. Mulai berpikir keras.“Ah, ngapain juga aku harus repot-repot mikirin hidup orang lain? Lagian mau dia udah pernah pakai lingerie dan punya pacar rahasia, ya itu terserah dia, urusan dia.”Kemudian diangkatlah pakaian menerawang warna putih yang bahannya tipis sekali itu. Lengkap dengan dalaman atas dan bawah yang sama tipisnya.“Anjir, seksi bener!” seru Renjana melongo tak percaya. Ia merinding seketika.Selama ini mana pernah ia pakai yang seksi. Kebanyakan pakai
“Aku udah nggak perawan, Om ....”Bumi yang sedang mencari pakaian ganti di lemari mendadak menghentikan tangannya saat mendengar ucapan blak-blakan yang keluar dari bibir Renjana, perempuan muda yang baru saja resmi menjadi istrinya tadi siang.Lebih tepatnya status Renjana di sini adalah sebagai istri pengganti. Sebab, yang seharusnya menjadi istri Bumi adalah Amaris, mamanya Renjana. Namun, wanita itu pergi entah ke mana saat di mana pernikahan mereka terhitung satu minggu lagi akan dilaksanakan.Tak terima ditinggal pergi oleh mantan calon istrinya dan merasa dirugikan banyak, Bumi pun nekat meminta Renjana untuk menggantikan posisi mamanya guna sebagai bentuk tanggung jawab."Lalu?" tanya Bumi membalik badan. Lebih tepatnya ia bertanya mengenai 'apa maksud dari ucapan tadi.'Lelaki rupawan dengan handuk menggantung di pinggang itu menatap Renjana yang duduk bersandar di ranjang dengan dahi berkerut. Wajahnya tetap datar dan biasa saja. Padahal Renjana berharap, suaminya yang berl