“Fungsinya kondom apa, sih?” tanya Renjana berbisik pada Mbak G****e.
Sebenarnya Renjana sudah tahu fungsinya apa. Ia hanya ingin memperjelas lagi untuk menguatkan prasangka buruknya terhadap Bumi. “Menurunkan resiko tertular penyakit s3ksual,” sahut Mbak G****e. “Anjiiir!” Refleks Renjana mengumpat. “Om Bumi yang aku pikir cowok terjaga dan nggak pernah tersentuh sama tangan-tangan cewek, ternyata aslinya pemain handal ... gilaaa!” Di sisi lain, Bumi yang sudah berada di luar kamar menghampiri mama dan papanya yang sedang duduk bersisian di ruang keluarga. Tampak kedua sosok lanjut usia itu sedang terlibat pembicaraan serius. Endah, mamanya Bumi yang menyadari kedatangan putranya, mendadak berhenti berbicara. Hal itu membuat Harja mengikuti ke mana arah pusat pandangan istrinya. “Sendirian saja? Jana mana, Nak?” tanya Harja menyambut putranya dengan senyum ramah. Bumi langsung mengambil posisi duduk di depan mereka. “Halah, palingan bocah bau kencur itu masih asyik ngebo,” sahut Endah mencebik. “Bau kencur apa, sih, Ma? Jana itu sudah dewasa. Hati-hati kalau bicara. Nanti Jana dengar,” protes Harja tak terima dengan perkataan istrinya. “Lho, kan, faktanya memang begitu! Dia itu tidak bisa masak, beres-beres, dan mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Mama masih tidak habis pikir, dari sekian banyaknya wanita yang seumuran dengannya, tapi putra kita malah memilih menikahi bocah,” ungkap Endah menggebu-gebu, kemudian menatap Bumi. “Kamu rugi Bumi karena sudah salah pilih istri!” Bukan hanya membenci Renjana. Namun, Endah juga memang membenci Amaris dari sejak berhubungan dengan putranya. Alasannya karena Endah ingin mempunyai menantu yang kasta derajatnya sama. Bukan yang rendah. “Tante ngatain aku apa tadi? Oh ... bocah bau kencur, ya?” Renjana tiba-tiba melangkah menghampiri. Sesampainya di sana, Renjana yang mendadak kehilangan sopan santun berdiri sembari bersedekap dan menatap Endah dengan sorot tajam seolah sedang menciptakan tali permusuhan. “Iya! Kenapa? Kamu tidak terima dengan fakta yang saya katakan?!” Endah berdiri. Ia berkacak pinggang. Menatap Renjana sama tajamnya. “Tante juga sebenarnya udah bau tanah!” ucap Renjana nyelekit. “Kalau sadar diri udah peot, harus dikurang-kurangin juga mencela kekurangan orang, biar nggak berat timbangan amal buruknya!” Perkataan itu berhasil menyulut amarah Endah. Hendak ia hampiri Renjana, berniat untuk memberi tamparan. Namun, Harja bergerak lebih dulu langsung menahannya. “Bumi, bawa istri kamu pergi.” Perintah Harja. Bumi yang sudah berdiri bergegas mencekal pergelangan tangan kanan Renjana, kemudian menariknya melangkah menuju ke garasi. Setelah berada di sana ia dorong dengan kasar Renjana masuk mobil. “Aw! Pelan-pelan, dong! Aku bisa, kok, masuk sendiri! Nggak ikhlas banget! Gimana kalau kepalaku bermasalah dan berujung aku geger otak?” protes Renjana meringis karena kepalanya membentur jendela mobil di ujung. “Mama bukan lawan kamu. Tidak sepatutnya kamu membalas beliau dengan perkataan nyelekit seperti itu.” “Aku nggak suka kekurangan aku dicela. Kayak mama om udah jadi manusia paling sempurna aja.” “Cukup sekali, Jana. Ke depannya jangan ulangi lagi tindakan tidak beradab seperti tadi.” “Terus om maunya aku jadi patung maneken aja kalau kekuranganku dicela seenaknya? Iya? Mau nyuruh aku sabar? Yakali! Rugi, dong! Mumpung tenaga masih kuat, nggak peduli siapa, bakal aku pukul sampai babak belur kalau berani ngata-ngatain aku lagi!” “Ingat, beliau itu mertua kamu. Yang usianya jauh di atas kamu, Jana.” “Nggak! Aku nggak sudi punya mertua mulut lemes!” Bumi mengalihkan pandangan. Menghela napas lelah. Semakin diladeni, maka tenaga juga akan terkuras. Tak ingin perdebatan mereka berujung semakin tak terkendalikan, ia tutup pintu mobil dan masuk kembali ke rumah untuk mengambil barang bawaan. *** Selama dalam perjalanan, Renjana hanya diam dengan wajah kusut dan cemberut. Bumi yang sedang menyetir sesekali menoleh karena merasa aneh dengan sang istri yang tumben sekali tak banyak tingkah. “Kalau dikasih tau yang benar jangan balas ngambek. Kamu ini kekanak-kanakan sekali, Jana,” ujar Bumi mencairkan suasana mereka yang hening. “Sebenarnya istri om, tuh, siapa? Aku atau Tante Endah?” “Kamu.” “Nah, berarti harusnya?” “Harusnya apa?” “Ish! Udah jelmaan es balok! Nggak peka lagi! Nyebelin banget!” Renjana bersedekap dan langsung menyandarkan kepala dengan lesu di jendela mobil. Tambah merajuk karena Bumi tak paham dengan arah pembicaraannya. Renjana kurang suka karena Bumi malah membela Endah, daripada ia yang statusnya adalah istri sah. Tak butuh waktu lama tibalah mereka di sebuah bangunan bergaya minimalis dua tingkat. Yang di sisi kiri dan kanannya tampak menjulang beberapa pohon hias. Lokasinya juga strategis, bersisian dengan bangunan-bangunan lain. Tanpa mengucap sepatah kata, Renjana keluar dan melangkah lebih dulu. Sedangkan Bumi di tempatnya mengerutkan dahi, bingung dengan tingkah aneh Renjana. Ia hanya mengedikkan bahu, tak mau ambil pusing, lalu menuju bagasi untuk mengambil barang. Keanehan Renjana berlangsung sampai malam. Perempuan itu tak pernah bicara selama mereka bersama, bahkan ia terkesan sangat menjaga jarak dan kontak mata. Bumi yang memang dasarnya kurang peka merasa semakin bingung. Selepas melaksanakan makan malam, Renjana langsung masuk kamar. Tiba di sana mendadak ia ingin buang air, alhasil ia pun buru-buru ke kamar mandi. “Saya buatkan coklat hangat untuk kamu.” Bumi meletakkan cangkir di meja kecil. Renjana yang tadinya terdiam di ambang pintu kamar mandi, dengan cemberut menghampiri. Setelah sampai di sana, ia ambil cangkir itu dan hanya dengan sekali teguk secangkir coklat tandas. Walaupun sampai saat ini Renjana masih kesal setengah mati, tapi rugi baginya jika menolak. Kemudian ia naik ke ranjang. Langsung berbaring memunggungi Bumi. Menutup mata dengan perasaan panas membara. “Kamu kenapa?” Bumi tiba-tiba bersuara di samping daun telinga. Membuat Renjana semakin kesal karena ditanya seperti itu. “Cape? Mata kuliahnya susah, ya, tadi?” tanyanya memijat pundak Renjana dengan pelan. “Nggak!” “Lalu?” Tak mendapat respon, Bumi menurunkan tangan, ia peluk pinggang ramping itu. Bahkan tak sungkan meletakkan dagunya di pundak Renjana. “Saya ingin,” bisiknya. ‘Oh, pantas aja tiba-tiba perhatian, ternyata ada maunya.’ Renjana membatin. “Aku lagi mens,” sahut Renjana tanpa membuka mata. “Mens?” “Datang bulan.” Satu detik, dua detik, sampai beberapa lamanya tak ada sahutan lagi. “Itu, loh, haid namanya ... ish, masa om nggak tau, sih!” Renjana mencak-mencak. “Iya, saya tau, Jana.” “Terus kenapa masih nanya?” “Hanya memperjelas benar atau tidak.” “Om curiga aku bohong?” “Bisa saja, kan?” Renjana terdiam karena tebakan Bumi memang benar. Ia berbohong. Teringat kondom, entah mengapa keinginan Renjana untuk hamil anak Bumi perlahan mulai meredup. “Kamu ternyata mencoba membohongi saya ....” ‘Eh, tau dari mana dia?’ Lalu, tak lama kemudian tiba-tiba saja Renjana melebarkan pupil mata. “OM BUMIII!!!”“Om Bumi mesum, iiih!” teriak Renjana dengan secepat kilat turun dari ranjang. Pupil matanya masih melebar saking terkejut dengan sentuhan tiba-tiba beberapa detik yang lalu.“Lah, kok, saya mesum? Memangnya di mana letak mesum dari perbuatan saya yang tadi?” Bumi menyandarkan punggung di ujung ranjang dan bersedekap santai.“Pokoknya om mesum! Nyentuh-nyentuh punya aku tanpa izin dulu!” bentak Renjana tak mau dibantah. Lalu ia tarik kursi yang terletak di depan meja rias, kemudian duduk di sana dengan raut wajah kesal.Bumi sedikit melengkungkan sudut bibirnya. “Paham dari arti kata mesum?”“Paham, lah!” sahut Renjana cepat. “Emangnya aku ini masih anak TK?” sambungnya dengan gaya congkak.“Coba kamu jelaskan mesum itu apa.”Renjana mengangkat dagu agar lebih terlihat kemampuannya menjawab karena tak suka dengan Bumi yang bersikap seperti sedang memandangnya rendah. “Itu, doang, mah, gampang! Mesum adalah tindakan yang nggak senonoh, kotor, dan cabul.”“Itu saja?”“Terus om maunya ak
“Fungsinya kondom apa, sih?” tanya Renjana berbisik pada Mbak Google.Sebenarnya Renjana sudah tahu fungsinya apa. Ia hanya ingin memperjelas lagi untuk menguatkan prasangka buruknya terhadap Bumi.“Menurunkan resiko tertular penyakit s3ksual,” sahut Mbak Google.“Anjiiir!” Refleks Renjana mengumpat.“Om Bumi yang aku pikir cowok terjaga dan nggak pernah tersentuh sama tangan-tangan cewek, ternyata aslinya pemain handal ... gilaaa!”Di sisi lain, Bumi yang sudah berada di luar kamar menghampiri mama dan papanya yang sedang duduk bersisian di ruang keluarga. Tampak kedua sosok lanjut usia itu sedang terlibat pembicaraan serius.Endah, mamanya Bumi yang menyadari kedatangan putranya, mendadak berhenti berbicara. Hal itu membuat Harja mengikuti ke mana arah pusat pandangan istrinya.“Sendirian saja? Jana mana, Nak?” tanya Harja menyambut putranya dengan senyum ramah.Bumi langsung mengambil posisi duduk di depan mereka.“Halah, palingan bocah bau kencur itu masih asyik ngebo,” sahut Enda
“Saya tidak ingin menyentuh kamu sekarang.”Selepas mengatakan kalimat tegas itu, Bumi mengubah posisi menjadi berbaring telentang. Kedua tangannya turun ingin menyingkirkan kaki Renjana yang masih mengurung pinggang. Namun, tangannya lebih dulu ditahan. Lebih tepatnya dicengkram Renjana.“Kenapa nggak pengen?” tanya Renjana semakin merapat, bahkan ia sengaja menempelkan dada di lengan Bumi.Bumi mengeraskan rahang. Ia resah dengan tindakan Renjana yang semakin berani menggoda.Tak ingin meladeni lagi, Bumi bersedekap, kemudian menutup mata.“Ih, Om Bumi, kok, gitu? Nggak sopan banget, aku masih pengen ngomong malah ditinggal tidur!”“Kenapa om nggak mau nyentuh aku? Bukannya om pengen aku hamil?” Pantang menyerah, Renjana mengguncang-guncang kuat lengan itu.“Oh ... atau jangan-jangan ternyata Om Bumi sebenarnya nggak normal?!”“Jangan berisik!” Bumi mendengkus. “Suara kamu menganggu kenyamanan telinga. Saya ingin istirahat.”Renjana mengembuskan napas kasar. Wanita itu melepas cengk
“Pokoknya Om Bumi harus nyentuh aku malam ini,” gumam Renjana dengan tekad penuh dalam dirinya.Wanita itu kemudian meletakkan kado pemberian Zizi di lantai, lalu berjongkok. Membuka pembungkusnya dengan hati-hati.“Si Zizi belum nikah, tapi udah paham aja kebutuhan pengantin baru. Tau dari mana, ya, dia?”“Apa jangan-jangan dia udah pernah pakai lingerie juga?”“Tapi buat siapa dia pakai? Pacar aja nggak punya.”“Oh ... atau selama ini Zizi punya pacar rahasia?”Renjana terdiam sejenak setelah kado itu terbuka sepenuhnya. Mulai berpikir keras.“Ah, ngapain juga aku harus repot-repot mikirin hidup orang lain? Lagian mau dia udah pernah pakai lingerie dan punya pacar rahasia, ya itu terserah dia, urusan dia.”Kemudian diangkatlah pakaian menerawang warna putih yang bahannya tipis sekali itu. Lengkap dengan dalaman atas dan bawah yang sama tipisnya.“Anjir, seksi bener!” seru Renjana melongo tak percaya. Ia merinding seketika.Selama ini mana pernah ia pakai yang seksi. Kebanyakan pakai
“Aku udah nggak perawan, Om ....”Bumi yang sedang mencari pakaian ganti di lemari mendadak menghentikan tangannya saat mendengar ucapan blak-blakan yang keluar dari bibir Renjana, perempuan muda yang baru saja resmi menjadi istrinya tadi siang.Lebih tepatnya status Renjana di sini adalah sebagai istri pengganti. Sebab, yang seharusnya menjadi istri Bumi adalah Amaris, mamanya Renjana. Namun, wanita itu pergi entah ke mana saat di mana pernikahan mereka terhitung satu minggu lagi akan dilaksanakan.Tak terima ditinggal pergi oleh mantan calon istrinya dan merasa dirugikan banyak, Bumi pun nekat meminta Renjana untuk menggantikan posisi mamanya guna sebagai bentuk tanggung jawab."Lalu?" tanya Bumi membalik badan. Lebih tepatnya ia bertanya mengenai 'apa maksud dari ucapan tadi.'Lelaki rupawan dengan handuk menggantung di pinggang itu menatap Renjana yang duduk bersandar di ranjang dengan dahi berkerut. Wajahnya tetap datar dan biasa saja. Padahal Renjana berharap, suaminya yang berl