"Biarkan suamimu pergi untuk menyelesaikan urusannya." Suara Amaris yang terdengar langsung memecah suara tangis Renjana yang heboh.Begitu membawa pandangan ke sumber suara itu, didapatinya Amaris yang berpenampilan rapi tengah berdiri di ambang pintu. Tak hanya seorang diri, melainkan bersama Suriya. Hubungan mereka lumayan membaik karena Amaris sendiri yang mendatangi wanita tua itu untuk memohon supaya mengikutinya ke rumah sakit."Oma dan mamamu yang akan tinggal di sini sampai besok," tambah Suriya. "Jadi biarkan Bumi pergi dulu. Kasihan ... dia juga tidak mungkin memprioritaskan kamu terus."Ucapan dua orang berbeda usia itu berhasil menyugesti Renjana. Membuat pikirannya jadi terbuka. Ia yang merasa bersalah segera menghentikan tangis. Kemudian, bergegas mengurai pelukan."Maafin aku ...," lirihnya berusaha menyeka pipi sampai kering. "Aku udah egois.""Saya maklumi," balas Bumi. Ia tersenyum, lalu membungkuk sejenak supaya bisa sejajar dengan wajah istrinya itu. "Sama mama d
"Nanti kalau saya cium lagi, kamu kesakitan," ujar Bumi dengan nada suara berpura-pura keberatan, kemudian ia letakkan punggung ke sandaran kursi dan setelah itu bersedekap. Tanpa memutus pandangan dari wajah Renjana. Raut wajahnya memang biasa saja, tapi sejujurnya dalam hati ia senang bukan main.Kapan lagi coba, bisa menyaksikan sikap malu-malu istrinya yang menggoda seperti ini?Bumi gemas sekali rasanya. Jika saja ruangan ini adalah kamar mereka, sudah sejak tadi ia tindih perempuan itu di bawah keperkasaan tubuhnya. Tak akan ia biarkan lolos sedikit saja."Nggak bakal ngeluh sakit lagi. Janji," balas Renjana sedikit mengangkat tangannya yang terpasang infus, memberi kode dua jari tanda sebagai janji sungguh-sungguh pada sang suami."Yang tadi itu emang sakit beneran, tapi sekarang udah nggak lagi ... asal mas nggak kasar," lanjutnya antusias menyakinkan Bumi agar segera melakukan perintah itu.Tak tahan lagi, akhirnya Bumi bangkit sempurna. Ia merapat ke brankar. "Jangan menyesa
Bumi tak beranjak sama sekali dari ruangan HCU meskipun sudah memastikan Renjana berhasil terlelap. Ia masih setia duduk di samping brankar. Menunggu sesuai permintaan istrinya. Satu jam. Dua jam. Bahkan, sampai tiga jam berlalu ia masih dengan begitu sabar menanti kelopak mata sang istri membuka lagi. Pandangannya tak lepas barang sedetik pun dari wajah pucat itu, begitu juga dengan tangannya yang enggan melepas tangan kecil Renjana dari genggaman. Penat dan pening akibat pekerjaan beberapa jam lalu seolah tak terasa lagi ketika melihat wujud istrinya. Bumi merasa yang ada dalam dirinya sekarang hanya kebahagiaan. Sambil masih terus menatap, satu tangannya yang hanya menganggur itu terangkat. Mengusap pipi Renjana dengan pelan. "Pulihlah seperti sedia kala, rumah kita sunyi sekali, tidak ada lagi suara indah kamu yang menghiasinya. Saya rindu suara lembut yang selalu memanggil saya 'mas'," bisiknya tersenyum. Tak ingin tidur Renjana menjadi terganggu, Bumi menarik kembali
*** Begitu sinyal perubahan kondisi Renjana terdeteksi, dokter dan beberapa perawat berbondong-bondong mendekati ICU bed. Semuanya langsung sibuk melakukan tugas masing-masing. Sebelum memutuskan untuk extubasi, mereka memastikan dulu dengan cermat. Meskipun Renjana sudah sadar, tapi ventilator tak boleh langsung di lepas, tetap ada syarat medis yang harus dipenuhi dulu. Seperti pasien sudah bisa bernapas sendiri tanpa bantuan alat, kesadaran cukup, tak ada penyumbatan jalan napas dan tanda vital stabil. Sementara itu Amaris memilih tetap tinggal di tempat. Hanya posisinya yang bergeser. Kini ia berdiri di belakang para perawat dengan jarak lumayan jauh. Mengamati bagaimana tangan lihai mereka menindaklanjuti putrinya, sambil tak henti-hentinya ia merapal doa dalam hati. *** Bumi masih fokus berkutat dengan berkas-berkas penting ketika posisi matahari sudah menggantung tinggi di langit. Tak lama lagi waktunya untuk ke rumah sakit akan tiba dan Bumi berusaha memaksimalkan p
"Bukan keluarga jauh, tapi beliau itu papanya Jana," jelas Bumi setelah ada jeda hening di antara dirinya dan Hans. Ia kembali melanjutkan langkah, diikuti Hans dari belakang yang mendadak cengo karena mendengar penjelasan barusan. "Papa? Maksudnya gimana, Pak? Papanya Jana bukannya sudah lama meninggal ya?" tanyanya. "Yang meninggal itu bukan papanya." Bumi dengan tenang membeberkan. Ia memang sesekali suka terbuka pada Hans karena sudah menganggap lelaki tangan kanannya ini seperti saudara kandung. Hans terkesiap. "Bukan papa kandung? Jadi, berarti yang tiba-tiba menemui saya kemarin itu barulah papa kandungnya?" "Iya," balas Bumi. "Pantas saja wajah mereka mirip sekali. Saya awalnya malah langsung mikir itu om-nya, saudara papanya," tutur Hans sambil manggut-manggut. "Saya juga kaget begitu mendengar kebenaran itu dari omanya Jana." Bumi turut menjelaskan bagaimana keadaan perasaannya persis seperti yang Hans alami sekarang. "Tapi tunggu, Bu Amaris berarti punya dua suami?"
Ternyata Suriya-lah yang menjadi alasan mengapa Amaris pagi-pagi buta sudah berada di rumah sakit untuk memastikan keadaan putrinya. Saat mabuk berat semalam, ia jadi tak ingat siapa yang mengantarnya pulang. Begitu paginya langsung sadar, Kiran tiba-tiba memberi tahu tentang kedatangan Suriya ke apartemen serta memberi tahu beberapa ancaman wanita tua itu. Ia yang masih mencoba mengumpulkan kesadaran tak terlalu mencerna baik-baik ucapan Kiran. "Semalam siapa yang mengantar saya, Ran?" Itu kalimat pertama kali yang meluncur dari mulutnya, tanpa menanggapi informasi panjang lebar tentang Renjana yang Kiran sampaikan sebelumnya. "Kiran yang jemput ibu," balasnya sengaja tak memberi tahu bagaimana kejadian asli. Kiran hanya tak ingin Amaris memikirkan orang lain, selain Renjana. "Kayaknya oma pengen banget ibu ke rumah sakit, Renjana mungkin memang butuh dijenguk mamanya langsung," kata Kiran lagi. Di detik setelah itu barulah Amaris bisa mencerna yang Kiran beri tahu sebelu