Share

Dinikahi Guru Tampan Putraku
Dinikahi Guru Tampan Putraku
Penulis: Arrafina

Kecelakaan Hampir Merenggut Nyawa

“Ibu, tadi aku diajari cara menggambar pemandangan yang indah oleh Bu Guru,” celoteh Athar kepada sang ibu yang menjemputnya di sekolah.

Ibu Athar, Inayah, tersenyum lebar. “Benarkah?”

Athar menganggukkan kepalanya dengan antusias.

Inayah terkekeh. “Kalau begitu, nanti kamu harus mengajari ibu juga, ya?” tanya Inayah yang dibalas Athar dengan anggukan kepala.

Siang itu, terik matahari membakar kulit wanita berhijab tersebut. Setelah mengambil alih tas punggung putranya dan meletakkannya di kaitan depan sepeda motornya, Inayah menyalakan mesin sepeda motornya. Wanita itu lantas menyuruh Athar untuk naik ke atas sepeda motor. Kalau mereka tidak buru-buru pulang, bisa-bisa panas matahari akan semakin menyengat nantinya.

Ketika Athar baru saja naik ke atas sepeda motor, dari arah kanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Pengendara mobil yang saat itu sedang berusaha meraih ponselnya yang jatuh ke bawah jok mobil tak tahu jika di depannya ada sebuah sepeda motor yang hendak melaju.

Ketika dia sudah berhasil meraih ponselnya dan kembali menatap ke depan, matanya membulat sempurna dan dia segera menginjak rem hingga terdengar suara deritan yang memekakkan telinga.

Namun naas, dia terlambat untuk menghentikan laju mobilnya. Sebuah kecelakaan pun tak dapat terelakkan lagi.

Brak!

Karena tak sempat mengerem mobilnya, benturan keras antara mobil dan sepeda motor tersebut membuat tubuh Athar terpental sejauh empat meter sementara Inayah jatuh tertimpa sepeda motornya sejauh satu meter dari tempat terjadinya kecelakaan.

Orang-orang mulai berhamburan mendekati TKP dan mengerubungi korban-korban kecelakaan. Sebagian dari mereka menyingkirkan sepeda motor Inayah dan membantu wanita itu berdiri.

Inayah mengusap-usap kakinya yang terasa nyeri. Namun, saat dia mengingat putranya, wanita itu sontak saja berlari dan menghampiri sang putra.

“Athar!!!” Inayah berteriak sambil membulatkan matanya saat melihat darah bersimbah di sekitar tubuh putranya yang terkapar tak berdaya di aspal panas depan sekolahnya.

Dengan tubuh bergetar, Inayah berlutut di samping putranya sambil berteriak, “Athar! Bangun, Nak!”

“Cepat panggil ambulans!” teriakan demi teriakan dari guru hingga orang tua murid yang juga menjemput anak mereka terdengar bersahutan sementara Inayah terduduk lemah di samping tubuh putranya yang tampak sangat mengenaskan.

“Biarkan aku yang membawanya ke rumah sakit,” ucap seorang pria yang baru saja membelah kerumunan dan mendapati kondisi korban atas kelalaiannya.

Ya, pria itu adalah pria yang mengendarai mobil yang menabrak sepeda motor Inayah. Dengan tubuh gemetar Izzan memberanikan diri untuk turun dari mobil dan menghampiri Inayah dan putranya. Meski keringat dingin terus membasahi dahinya, pria itu tetap bersikeras untuk menekan rasa takut yang menggelayuti dirinya.

Dengan bantuan orang-orang, Izzan membawa Athar masuk ke dalam mobilnya bersama dengan Inayah. Pria itu lantas melajukan mobilnya menuju ke rumah sakit terdekat supaya Athar bisa segera mendapatkan pertolongan pertama.

Sepanjang perjalanan, Inayah terus menangis dan meratapi nasib putra semata wayangnya. Wanita berjilbab itu tidak bisa membayangkan bagaimana hidupnya nanti jika Athar tidak selamat sebab Athar adalah satu-satunya harta yang dia miliki di dunia ini. Athar adalah pelita hatinya. Oleh karena itu dia terus merapal doa supaya Athar bisa selamat.

Sesampainya di rumah sakit, dokter yang berjaga di unit gawat darurat langsung menangani Athar dan membersihkan darahnya. Izzan dan Inayah harus menunggu di luar sementara dokter memeriksa kondisi Athar.

Pintu UGD terbuka. Dokter membawa keluar ranjang Athar dan membuat Izzan dan Inayah sontak berdiri dan menghampiri mereka.

“Dokter, bagaimana kondisi anak saya?” tanya Inayah sambil menangis sesenggukan.

“Kami harus melakukan CT-SCAN terhadap pasien sebelum memutuskan tindakan, Bu. Kami akan membawa putra Anda ke ruang radiasi terlebih dahulu,” ucap dokter lalu membawa Athar menuju ke ruang radiasi untuk melakukan pemeriksaan keseluruhan terhadap organ dalam Athar.

Butuh waktu kurang lebih satu jam hingga akhirnya hasil CT-SCAN Athar keluar dan dokter kembali membawa Athar ke ruang UGD.

“Bu, saya ingin Anda pergi ke ruang administrasi sekarang dan menandatangani surat persetujuan untuk operasi putra Anda,” jelas sang dokter.

“Operasi, Dok?” sahut Izzan, terkejut dengan ungkapan dokter yang memeriksa Athar.

“Benar, Pak.” Dokter tadi mengangguk. “Ada perdarahan di otak Athar. Kita harus segera mengoperasi kepala Athar untuk menghentikan perdarahannya sebab perdarahannya cukup besar,” jelas sang dokter.

“Baik, Dok. Aku akan melakukan apa saja asal putraku segera diselamatkan,” ucap Inayah.

Setelah Inayah menandatangani surat persetujuan, dua jam kemudian operasi pun dimulai. Inayah duduk dengan gelisah di ruang tunggu operasi, harap-harap cemas dengan keadaan putranya. Sementara Izzan terus mendampinginya.

Izzan mengajak Inayah untuk mengobrol dan berdzikir bersama untuk mendoakan kelancaran proses operasi Athar. Rasa bersalah tentu membuat Izzan pusing bukan kepayang. Bagaimana pun juga, kecelakaan itu bisa terjadi akibat kelalaiannya dalam berkendara.

Sementara itu, kekasih Izzan—Halwa—yang tak lain adalah seorang dokter anak yang bertugas di rumah sakit ini menatap Izzan dan Inayah dari kejauhan. Dia mengerutkan keningnya, bingung sebab tidak biasanya Izzan tampak begitu peduli dengan orang yang bukan kerabat atau pun orang terdekatnya.

Karena penasaran, Halwa pun berjalan menghampiri mereka. Dia lantas menyapa Izzan.

“Izzan, sedang apa kau ada di sini?” tanya Halwa keheranan. Dia yakin sekali kalau Inayah bukanlah kerabat Izzan sebab Halwa sudah mengenal keluarga besar Izzan. Namun, kenapa Izzan berada di ruang tunggu operasi dengan Inayah?

Izzan bangkit berdiri, lalu dia memberikan isyarat kepada Inayah kalau dia akan pergi sebentar. Izzan pun mengajak Halwa untuk mengobrol di tempat yang agak jauh dari Inayah. Pria itu sudah tidak sabar untuk mencurahkan kegelisahan hatinya tentang apa yang baru saja dia sebabkan.

“Wanita itu dan putranya baru saja mengalami kecelakaan di depan sekolah milik yayasan kakekku. Sekarang, putranya sedang dioperasi karena ada perdarahan di otaknya,” jelas Izzan sambil mengusap wajahnya dengan gusar.

“Jadi, karena itu kau mendampinginya?” tanya Halwa.

Bukan, bukannya Halwa merasa cemburu atau apa. Namun, dia hanya merasa aneh karena Izzan sangat perhatian dengan wanita tadi. Sosok Izzan bukanlah sosok pria yang terbuka. Pria itu bahkan kerap kali menutup diri dari wanita di sekitarnya kecuali jika dia benar-benar sudah akrab dengan mereka.

“Bukan itu saja, Halwa. Tapi, aku adalah penyebab kecelakaan itu,” ujar Izzan, membuat Halwa terkejut.

Halwa membulatkan matanya dengan sempurna, mulutnya menganga saat mendengar pengakuan Izzan. Jika melihat fakta bahwa putra Inayah harus dioperasi, Halwa jadi berpikir kalau kecelakaan itu bukanlah kecelakaan sepele. Namun, kecelakaan yang cukup besar. Lantas, kenapa bisa Izzan menjadi penyebab dari kecelakaan tersebut?

“Izzan, apa maksudmu? Aku tidak mengerti. Bisakah kau menjelaskannya secara lebih detail?” tanya Halwa yang ingin tahu mengenai kronologi kecelakaan tersebut.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dhaniel Putra Mdr
Aku sangat suka dengan isi novel ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status