Share

Ada Yang Tidak Beres

Izzan pun menjelaskan tentang bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi dan kenapa Athar bisa terluka parah. Sementara Halwa hanya bisa menyimak cerita Izzan sambil menutup mulutnya sebab dia merasa sangat terkejut dan tak percaya kalau Izzan bisa menyebabkan kecelakaan separah itu.

“Aku benar-benar merasa bersalah dan ingin menjelaskan dan meminta maaf kepada wanita itu nanti setelah anaknya selesai dioperasi,” ujar Izzan, mengakhiri ceritanya.

Halwa mengerutkan dahinya. “Izzan, apakah wanita itu tidak tahu kalau kau yang telah menyebabkan kecelakaan itu?” tanya Halwa penasaran.

“Tidak. Tadi, kerumunan yang mengelilingi mereka sangatlah banyak sehingga tidak ada yang melihat saat aku baru turun dari mobil,” jawab Izzan. “Tapi, nanti aku akan tetap menjelaskan semuanya dan meminta maaf kepada korban kelalaianku.”

Halwa yang tahu bagaimana wanita akan bereaksi terhadap seseorang yang telah mencelakai orang yang paling dia cintai pun sedikit ragu dengan keinginan Izzan untuk meminta maaf. Wanita itu takut kalau Izza justru dilaporkan ke kantor polisi.

“Izzan, bukankah sebaiknya kau tidak usah berkata jujur? Yang penting kau bertanggung jawab dan tidak kabur. Aku rasa kau tidak perlu mengatakan yang sesungguhnya kepada mereka,” ujar Halwa sambil menggigit bibir bawahnya.

Izzan terkesiap, tidak mengerti kenapa Halwa bisa menyarankan Izzan untuk berbohong. Izzan adalah seseorang yang taat dalam beragama. Dia senantiasa untuk selalu menjauhi larangan-larangan Tuhan. Apalagi, dia juga saat ini menggantikan kakeknya untuk mengurus sekolah Islam di Kota Bandung. Tentu Izzan ingin selalu menjadi contoh yang baik untuk orang-orang di sekitarnya.

“Kau tidak benar-benar memintaku untuk berbohong, ‘kan, Halwa?” tanya Izzan seraya menyipitkan matanya.

Halwa menghela napasnya, berbeda pendapat bukanlah hal yang Halwa inginkan untuk terjadi di antara dirinya dan Izzan. Namun, sepertinya ucapan Halwa bukanlah sesuatu yang diharapkan oleh Izzan.

“Izzan, aku hanya takut kalau wanita itu nantinya malah melaporkanmu kepada polisi. Apakah kau mau kalau sampai dipenjara?” tanya Halwa.

“Kenapa tidak?” balas Izzan tidak mau kalah. “Aku memang bersalah dan telah menyebabkan musibah yang menimpa mereka. Jadi, memang sudah risikonya kalau aku harus mendekam di balik jeruji besi.”

“Izzan, jangan bersikap seperti itu. Kau seharusnya juga memikirkan orang-orang di sekelilingmu. Kita semua tidak ada yang mau kau masuk ke dalam penjara,” ujar Halwa dengan tegas.

Pria berlesung pipi yang menjadi lawan bicara Halwa menggelengkan kepala, bersikukuh dengan keputusannya. “Lantas mau sampai kapan aku berbohong, Halwa? Sesuatu yang busuk meskipun dikubur dalam-dalam akan tetap tercium juga nantinya. Aku tidak mau hukumanku bertambah berat kalau aku kabur dari tanggung jawabku sekarang ini.”

Halwa lagi-lagi menghela napasnya. “Ya sudah. Kalau begitu lebih baik kita meminta saran dari kakek Fattah saja. Kakekmu pasti memiliki saran terbaik untukmu,” ucap Halwa. “Aku pergi dulu, Izzan. Aku harus segera pergi ke ruangan pasienku.”

***

Seorang pria renta yang tak lain adalah Al Fattah Shadiq memijat pelipisnya sambil menyandarkan kepalanya di sandaran sofa. Pria itu baru saja menerima telepon dari Izzan dan mendengar pengakuan Izzan tentang kecelakaan yang terjadi di depan sekolah miliknya tadi siang. Izzan meminta saran haruskah Izzan meminta maaf kepada korban atau diam saja seperti saran dari Halwa. Al Fattah tentu bingung bukan kepayang. Dia dilema, takut kalau salah mengambil keputusan sehingga dia berkata kepada Izzan kalau dia akan memikirkan semuanya secara matang-matang terlebih dahulu.

Beep ... Beep ... Beep ....

Ponsel Al Fattah lagi-lagi berbunyi. Dia menoleh ke arah meja di mana ia meletakkan ponselnya dan mendapati nama Halwa tertera di layar ponselnya. Pria itu lantas mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan tersebut.

“Assalamualaikum, Kek,” sapa Halwa.

“Alaikumsalam, Halwa. Tumben sekali kau meneleponku. Ada apa?” tanya Al Fattah.

“Apakah Izzan sudah menceritakan semuanya kepada kakek tentang kecelakaan itu?”

Al Fattah menghela napasnya. “Iya. Aku pusing sekali memikirkannya. Di satu sisi aku tidak ingin dia berbohong dan menanggung dosa. Tapi, di sisi lain aku juga tidak mau melihat cucuku mendekam di penjara.”

“Kakek, menurutku kakek jangan biarkan Izzan untuk mengakui kesalahannya. Kalau Izzan sampai dipenjara, siapa yang nantinya akan mengurus sekolah islami kakek? Kakek juga sudah sering sakit-sakitan. Kalau Izzan sampai dipenjara, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib sekolah yang sudah kakek bangun dari nol,” terang Halwa, mengompori Al Fattah supaya pria itu berada di pihaknya.

Al Fattah terdiam sejenak. Dia setuju dengan ucapan Halwa yang ada benarnya. Kalau terjadi apa-apa dengan Izzan, siapa yang akan melanjutkan langkahnya nanti?

“Baiklah, Halwa. Aku akan mencari cara supaya Izzan tidak masuk ke dalam penjara,” ucap Al Fattah.

Di sisi lain, operasi Athar baru saja selesai. Namun, karena dokter menyadari jika mereka harus memantau kondisi Athar secara intensif, mereka lantas memutuskan untuk tidak membawa Athar ke ruang rawat biasa melainkan ke ruang ICU.

“Athar, kenapa kau tidak lekas sadarkan diri?” Inayah menangis sambil terduduk lemah di depan ruang ICU. Ia belum boleh menemui Athar karena kondisi Athar yang belum stabil. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah menatap sang putra dari jendela rumah sakit yang sedikit buram.

“Maaf, Bu ....”

“Inayah. Namaku adalah Inayah.”

“Bu Inayah, saran dariku sebaiknya saat ini Anda pergi ke mushola untuk menenangkan diri Anda terlebih dahulu dan berdoa untuk kesembuhan Athar. Aku akan pergi sebentar untuk membeli makanan untuk Ibu,” usul Izzan.

“Aku tidak bisa meninggalkan Athar saat ini. Aku akan tetap di sini sampai dia siuman. Tidak masalah, aku bisa berdoa dari sini,” balas Inayah. Air mata wanita itu bahkan sampai mengering karena dia menangis tanpa henti selama berjam-jam lamanya.

Izzan tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu aku akan membeli makanan untuk Anda dulu, Bu. Permisi,” ucap Izzan.

Pria itu melangkahkan kakinya menyusuri koridor rumah sakit yang sibuk. Ketika dia hendak mencapai lobi, Halwa dari kejauhan memanggilnya dan berlari menghampirinya.

“Izzan, polisi sudah menangkap pelaku kecelakaan itu,” ucap Halwa.

Izzan mengerutkan dahinya, tidak mengerti apa maksud ucapan Halwa. “Kau bercanda, ya? Aku saja masih ada di sini. Bagaimana bisa polisi sudah menangkap pelakunya?”

Halwa mengedikkan bahunya. “Yang jelas sekarang kau tidak perlu khawatir karena kau dianggap tidak terlihat dalam kecelakaan itu,” ucap Halwa sambil tersenyum lebar. “Ada orang lain yang sudah mengaku sebagai pelakunya.”

“Apakah dia gila? Bagaimana mungkin orang yang tidak bersalah tiba-tiba saja menyerahkan diri ke polisi?” tanya Izzan penuh curiga. Pria itu menatap Halwa dengan tatapan menelisik. Sepertinya ada yang tidak beres di sini.

“Ya mana aku tahu.”

“Halwa, jangan bilang kalau kau ada hubungannya dengan ini,” tuding Izzan.

“Apa maksudmu?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status