Beberapa menit setelah menerima pesan dari Alatas, Avin merasakan gelisah yang tidak kunjung hilang. Dia terpaksa menutup lapak jualannya dan pulang ke rumah.
Begitu sampai di rumah, tidak ada siapa pun. Ia teringat istri dan anaknya sedang pergi berbelanja seperti izin Dea tadi pagi. Avin pun bergegas menyusul ke minimarket yang tidak jauh dari kontrakannya itu. Ia pun berjalan menyusuri setiap rak demi rak sehingga mata tajamnya melihat sosok istrinya dari samping sedang diganggu oleh pria paruh baya yang ingin menyentuh istrinya. “Jangan coba-coba menyentuh istriku!” bentak Avin dengan geram sambil berjalan cepat mendekati istri dan anaknya. Mata elangnya menatap tajam pria paruh baya di depannya setelah membawa Deasy berlindung dibalik punggung lebarnya. Deasy diam-diam menghela napas lega dengan kedatangan suaminya yang tepat waktu. Jujur saja, ia lumayan takut dengan mata pria tua yang menatapnya seakan-akan dirinya adalah angka gemuk yang enak dimakan. “Wow, tenang, Bung! Saya tidak menyentuh istri Anda, tetapi hanya ingin menyingkirkan nyamuk yang tadi hinggap di pipinya,” kekeh Juragan Handi dengan mengangkat kedua tangannya. Avin memicingkan matanya menatap sinis alasan tidak masuk akal pria tua itu. Firasatnya sebagai laki-laki langsung waspada melihat gelagat aneh yang tersirat dari sorot mata pria baya itu. Jelas dia tidak jujur dan mempunyai niat tidak baik pada istrinya. Juragan Handi sebenarnya takut melihat sorot mata tajam Avin yang menatapnya dengan aura intimidasi yang kuat. Namun, karena tahu Avin adalah pria miskin yang kerjaannya hanya jualan sayur keliling, ia tetap meremehkannya. Beberapa orang pengunjung mendatangi tempat mereka yang bersitegang. Avin lalu menarik Dea pergi dari sana. Juragan Handi menatap kepergian mereka dengan muka kesal dan merutuki kedatangan Avin yang menggagalkan niatnya untuk mendekati Dea. “Tunggu sebentar, Neng. Aa mau telepon dulu,” pinta Avin dengan suara lembut meski amarahnya masih belum hilang. Dea hanya mengangguk sambil memeluk erat bayi kecilnya. Matanya menatap orang yang lalu lalang keluar masuk minimarket dengan jantung berdebar kencang. Dea bukan perempuan lugu yang tidak merasakan aura intimidasi yang kuat keluar dari suaminya saat berhadapan dengan pria tua tadi. Apalagi, saat ini ia mendengar dengan jelas suara tegas suaminya saat berbicara di telepon. Setelah menghubungi seseorang, saat balik badan ke arah istrinya, mata elang Avin tidak sengaja berpapasan dengan mata Juragan Handi yang mengamati mereka dari parkiran mobil terutama pada istrinya. Avin mendengus sebelum menghalangi pandangan tua bangka itu dengan tubuhnya sehingga dari kejauhan Juragan Handi mengumpat kesal. Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan mereka berdua lalu seorang pria memakai jas yang rapi keluar dari mobil tersebut dan membukakan pintu belakang mobil. “Tuan Muda, Nyonya Muda, silakan masuk!” ucap pria itu dengan menunduk sopan kepada Avin dan Dea. Mulut Dea menganga sempurna melihat sikap pria itu yang memanggil ia dengan suaminya seperti itu. Dea menatap lekat suaminya yang terlihat santai dan tidak canggung sama sekali. Dea beringsut menempel pada suaminya seraya berbisik. “A’, pria ini siapa? Apa dia salah orang? Kok mobilnya berhenti di depan kita?” bisik Dea dengan mata celingak-celinguk melihat orang-orang di sekitar minimarket tersebut. “Ekhem, dia tidak salah orang, Neng! Ayo, masuk, kasihan si gemoy udah kepanasan,” jawab Avin dengan sedikit gugup. “Hah?” sahut Dea dengan muka terkejut. Namun ia tidak bisa berkata apa-apa lagi karena Avin sudah mendorongnya memasuki mobil mewah tersebut. Dari dalam mobilnya, Juragan Handi terkejut dengan kedatangan mobil mewah di depan Dea dan Avin. Ia semakin syok melihat keduanya memasuki mobil tak lama setelah itu. “Ah, sial! Mobil siapa itu? Bagaimana bisa si miskin itu membawa Dea menaiki mobil tersebut? Apa jangan-jangan dia sengaja menyewa mobil itu hanya untuk memanas-manasi aku?” rutuk Juragan Handi kesal sambil memukuli stir mobilnya. Bersambung...Kediaman Juragan Handi di kampung sebelah.. “Kayaknya si Juragan sudah gak terlalu ngebet lagi sama Mbak Dea semenjak terkuak jika suaminya itu ternyata orang kaya,” ucap Joko pelan pada rekannya sambil duduk santai di bawah pohon Mangga. “Masa sih, Jon? Kalau memang sudah gak ngebet lagi kenapa Juragan masih nyuruh kita nyari perempuan yang mirip sama Mbak Dea, sampai-sampai biniku marahin aku katanya jangan-jangan aku yang mau nyari daun muda,” sahut Darman dengan wajah tidak percaya. Dua bawahan Juragan Handi baru saja selesai kerja di lumbung padi milik pria tua itu setelah beberapa hari lalu berkelana mencari perempuan yang mirip dengan Dea tanpa seorang pun yang tahu yang mereka berdua lakukan. Istrinya Darman langsung marah-marah karena gara-gara hal itu ia dan anaknya kesulitan ke mana-mana karena kendaraan mereka satu-satunya di bawa Darman. “Iya, ya, baru kepikiran aku, Man. Memangnya si Juragan mau cari yang gimana lagi sih? Istri aja sudah dua, masa gak pernah pu
Tidak hanya Bu Maisarah yang kaget, Siska dan Raisa ikutan kaget sehingga pelukan Raisa pada lengan suaminya terlepas. “Bang, kamu gak lagi nge-prank kami kan?” tanya Raisa dengan wajah tidak percaya. Siska ikutan mengangguk tanpa suara membenarkan pertanyaan Raisa. “Raisa benar, Nak! Kamu tidak lagi mempermainkan kami semua kan? Kapan pria tua itu menghubungimu? Dan apa alasan pria itu tiba-tiba menarik uang yang ia berikan waktu itu?” cerca Bu Maisarah sambil menahan gemuruh di dadanya. Ghufron memasang raut gusar sembari membuang kasar napasnya. “Ini bukan permainan atau candaan, Bu. Juragan Handi mengirim pengacaranya mendatangi tempat aku kunjungan kerja sehingga membuat aku kaget akan kedatangannya. Karena tidak ingin ada yang mencurigai, aku membawanya ke Cafe terdekat. Dari situ aku tahu jika Juragan Handi sengaja mengikutiku keluar agar bisa menemuiku dengan leluasa. Pengacaranya meminta agar aku mengembalikan bantuan dana yang Juragan Handi berikan saat pilkada kem
Alatas kembali ke rumah pada pagi harinya setelah mampir sebentar ke rumah sakit melihat keadaan ayahnya. Ia menginap di hotel setelah pesta bersama sepupunya Avin, Syailendra. Karena sama-sama masih kuliah, keduanya cepat akrab. Meskipun dengan yang lainnya juga dekat, ia paling dekat dengan Syailendra karena mempunyai hobi dan umur yang sama. “Tahu pulang juga kamu!” semprot Bu Maisarah di depan pintu begitu melihat putra bungsunya pulang ke rumah. Alatas diam saja dan menatap malas dengan sorot matanya sambil memasang wajah datar saat melepaskan sepatunya. Wanita tua itu sengaja menunggu putra bungsunya pulang karena semalaman ia tidak bisa tidur hanya karena menunggu Alatas pulang. “Ibu bukannya tahu kalau pestanya baru dimulai sore hari? Tentu saja selesainya malam, karena itu pesta orang kaya yang dibagi dengan beberapa sesi,” jawab Alatas dengan sindiran. Ia menyindir ibunya yang datang bersama para iparnya di pesta tadi dan membuat keributan. Wajah Bu Maisarah m
“Kenapa Neng? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanya Avin dengan lembut ketika melihat Dea bengong tanpa memakan makanannya. Padahal tadi istrinya itu mengeluh kelaparan, tetapi sekarang makanannya hanya dilihat dan diaduk saja tanpa kurang sedikit pun. “A’, menurut Aa, Eneng pantas gak menjadi bagian dari keluarga ini?” tanya Dea dengan menatap dalam suaminya. Kening Avin mengerut mendengar pertanyaan istrinya yang tidak ia duga. “Kenapa bertanya seperti itu? Siapa yang bilang Eneng gak pantas menjadi bagian dari keluarga ini? Aa gak suka Eneng ngomong ngawur kayak gitu lagi,” sahut Avin, wajahnya menunjukkan tidak suka. “Kalau gitu, apa pendapat Aa jika Eneng ingin jadi perempuan yang kuat, hebat dan bermartabat sebagai pendamping hidup Aa?” tanya Dea lagi sehingga membuat ekspresi wajah Avin semakin berat. Pria tampan itu berpindah duduk dan duduk di samping Dea yang duduk di sofa kamar. Ia mendorong meja troli kecil yang menyajikan tempat makan ke ruang kosong di su
Dea dan Avin sampai di kediaman keluarga Manggala setelah menempuh tiga puluh lima menit perjalanan. “A’, bawa Audrey duluan ke kamar ya? Neng mau ambil makanan dulu di dapur, perut Neng lapar lagi, dan tadi gak bisa makan banyak karena diajak keliling sama Mami dan Oma,” pinta Dea dengan mengusap perutnya yang lapar lagi. Beberapa saat lalu, ia baru selesai mengasihi Audrey hingga bayi itu kekenyangan, nafsu makannya yang kuat saat menyusui selalu membuat ia lapar. Dea sudah tidak malu-malu lagi menyuarakan apa yang ia rasakan, berbeda dengan saat pertama kali mereka datang ke rumah ini. “Ya sudah, Aa tidurin si gemoy dulu di kamar. Nanti giliran Bubunya yang Aa tidurin,” sahut Avin dengan mengerling nakal. “Ish, dasar mesum!” balas Dea mencibir dengan suara pelan. Avin terkekeh geli sambil menggendong putrinya yang nemplok manja di dadanya. Mereka memasuki rumah dengan wajah bahagia, lalu berpisah karena beda arah, Avin naik menggunakan lift, dan Dea berbelok ke arah dap
“Sekarang jelaskan dengan jujur kenapa kalian bertiga teriak-teriak di pinggir jalan tadi? Bukannya hotel itu milik keluarga suaminya Dea?” tanya Juragan Handi dengan tatapan menyelidik. Mereka saat ini berada di Cafe Ruang Rindu yang berada di lokasi wisata danau buatan. Juragan Handi sengaja memilih ruangan tertutup agar pembicaraan mereka tidak di dengar bebas orang-orang. “Juragan, boleh pesan makan dulu gak? Perut aku sudah lapar banget,” tanya Raisa dengan tidak tahu malunya. Bu Maisarah menunduk malu karena tidak berani bicara jujur dan lepas seperti Raisa, ia juga sangat lapar dan perutnya sudah mulai pedih saat mereka diusir paksa tadi. Juragan mendengus mendengar pertanyaan Raisa. Rasa ingin tahunya menjadi tertunda karenanya. Ia terpaksa mengangguk, dan benar saja, wanita itu langsung berseru kegirangan dan tanpa malu memesan makanan sambil berdiskusi dengan kedua wanita yang duduk di kiri dan kanannya. Dengan hati yang dongkol, Juragan Handi juga ikut memesan mak