LOGINMalam itu, Alatas, anak laki-laki bungsu Bu Maisarah yang capek pulang dari kuliah datang ke rumah sakit untuk melihat keadaan ayahnya. Ia sangat terkejut mendapati ayahnya berada di ruangan ICU.
Pria muda berusia delapan belas tahun itu menangis melihat keadaan sang ayah dari luar kaca. Ia semakin sedih saat mendapati tidak ada satu pun keluarganya yang menunggu sang ayah di sana. Saat menelepon pun, keluarganya tidak ada yang mengangkat. Dia akhirnya pulang untuk memberi tahu langsung kondisi itu kepada ibu dan kakak-kakaknya. Namun, ketika sampai di rumah, ia tanpa sengaja mendengar pembicaraan ibu dan kedua iparnya yang membuat amarahnya bangkit saat itu juga. “Apa yang kalian bicarakan?!” Ia sungguh emosi mendengar pembicaraan ketiganya yang berniat jahat kepada rumah tangga kakak perempuannya. Kedatangan Alatas yang tiba-tiba membuat ketiganya melonjak kaget. Wajah Bu Maisarah pucat dengan kedatangan anak bungsunya yang begitu menyayangi dan membela Dea. “Kenapa diam saja, hah? Kemana mulut lancar yang tadi berniat memisahkan kakakku dengan suaminya? Sampai-sampai kalian ingin menggunakan sakitnya ayah untuk membuat kakakku menuruti kalian! Ayo jawab! Mana suaranya tadi!” bentak Alatas lagi sambil menendang sofa saling emosinya. Bahunya sampai naik turun akibat emosi. Matanya bertatapan dengan sang Ibu yang penuh ketakutan. Alatas tanpa sadar menangis tanpa suara dengan tubuh luruh ke lantai. Isakan pria itu awalnya tidak terdengar hingga Alatas mengangkat mukanya yang sudah bersimbah air mata. “Ka-kamu salah de-dengar, Al. Ki-kita mana mungkin te-tega dan be-berani menghancurkan ru-rumah tangga Dea,” ucap Siska terbata-bata mencoba membela diri. Prang! Vas bunga yang di atas meja langsung Alatas lemparkan ke lantai begitu mendengar suara Siska yang mencoba mengelak dan membela diri. Suara pecahannya membuat mereka semakin mengkerut di tempat. “Kamu pikir saya bodoh? Telinga saya tidak tuli untuk mendengarkan niat jahat kalian semua! Terutama kata-kata jahat yang keluar dari mulut kamu!” tuding Alatas dengan menunjuk wajah Siska. “Al,” panggil lembut Bu Maisarah mencoba menenangkan kemarahan putra bungsunya itu. “Kenapa Bu, apa Ibu mau berkilah juga seperti perempuan ini?” Bu Maisarah urung untuk berkata mendengar cibiran sang anak padanya. Dalam hatinya ia merutuki kebodohan Siska yang bersikap sembrono mengucapkan kata-kata itu. ‘Dasar menantu bodoh!’ umpat Bu Maisarah kesal dalam hatinya. “Ibu benar-benar gak punya hati! Dengarkan aku baik-baik, Bu! Meskipun aku anak kandung Ibu, yang lahir dari rahim Ibu, aku tidak akan membiarkan Ibu menyakiti hati kakakku, Dea, apalagi sampai membuat ia berpisah dengan Bang Avin dan Audrey. Aku sendiri yang akan pasang badan untuk melindungi kakakku dari penjahat licik sepertimu!” bentak Alatas dengan sangat geram sembari menatap Ibu dan kedua iparnya secara bergantian. Setelah mengatakan semua itu, Alatas langsung pergi dari rumah dengan emosi yang masih memuncak. Ia tidak ingin kelepasan dengan melakukan kekerasan pada ketiga wanita beda usia itu jika ia masih berlama-lama di sana. Alatas mengusap wajahnya yang basah oleh air mata, lalu mengeluarkan handphone-nya dari saku celana. Dia bergumam sambil terisak. “Aku harus kasih tahu Bang Avin soal ini...” --- Pagi hari, Avin mempersiapkan dagangan sayurnya di tempat biasanya ia berjualan. Tapi dia terus kepikiran dengan niat tidak masuk akal ibu mertuanya, yang diceritakan sang istri setelah mereka beradu kasih malam harinya. “Kali ini Bu Maisarah keterlaluan! Bagaimana bisa ia punya pikiran gila ingin anaknya bercerai dari suaminya dan akan menikahkan anaknya dengan tua bangka yang sudah punya istri dua?” gumam Avin dengan tangan terkepal. “Aku harus bertemu dengan Alatas guna membicarakan masalah ini! Jika Alatas tidak ada cara lain untuk menghentikan keinginan ibunya, maka aku akan menggunakan caraku sendiri untuk menyelamatkan rumah tanggaku. Aku juga harus mencari tahu siapa Juragan Handi ini dan mencari kelemahannya,” gumamnya lagi dengan penuh pertimbangan yang matang. Avin pun mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang, tetapi dia melihat pesan yang masuk semalam dari Alatas. Avin tertegun membacanya. --- Rutinitas pagi Dea adalah berbelanja di minimarket terdekat bersama sang anak. Ia asyik memilih bahan makanan sambil mengajak bayinya bicara. Ia tidak menyadari bahaya sedang mengintainya sejak ia memasuki minimarket tersebut. Sepasang mata dengan niat tersembunyi menatap tingkah ceria Dea dengan tersenyum menyeringai dari belakang Ibu muda itu. “Deasy, tidak aku sangka bisa bertemu di sini. Meskipun sudah punya anak, tubuhnya masih sangat kencang dan terawat, melebihi tubuh seorang perawan. Sungguh nikmat yang nyata bisa mendapatkan wanita seperti itu untuk menjadi penghangat ranjangku,” gumam pria itu dengan lirih sambil menatap dalam Dea penuh nafsu. Saat Dea akan beranjak dari rak-rak barang, pria itu berjalan cepat mencegat langkah Dea sehingga Dea mundur karena terkejut. “Maaf, Tuan, kenapa Anda menghalangi jalan saya? Tolong menyingkir karena saya mau mencari barang yang lain,” tegur Dea meminta laki-laki paruh baya yang menghalangi jalannya dengan sopan sambil mundur beberapa langkah. Bukannya menyingkir, pria paruh baya itu tersenyum mesum dengan memanfaatkan suasana sepi di sekitar mereka dengan mengulurkan tangannya, mau menyentuh Dea yang terpojok. “Jangan coba-coba menyentuh istriku!” seru suara yang Dea kenal. Bersambung ...Begitu melihat anaknya datang, Maisarah langsung duduk dilantai sambil menangis kejer dengan menunjuk-nunjuk pria dan wanita yang mengaku pemilik baru rumah mereka. "Nak, mereka itu komplotan penipu! Mereka mau mengambil rumah kita, dan mengusir kita secara paksa! Suruh mereka pergi, Haidar! Usir mereka dari rumah kita! Rumah kita!" teriak Maisarah dengan memukuli pahanya agar semakin terlihat dramatis. Haidar terkejut mendengarnya, ia bergegas mendekati mereka terutama ibunya yang masih melakoni drama orang yang teraniaya. Pria itu membantu ibunya berdiri dan berhadapan langsung dengan perempuan yang ditunjuk ibunya sebagai seorang penipu. "Saya lihat kamu bukanlah laki-laki yang berpikiran sempit seperti ibu kamu ini! Ini adalah bukti jual beli yang mana saya membeli rumah ini dari pemilik asli sertifikat rumah ini!" ucap wanita itu sambil memperlihatkan kertas kuwitansi pembelian rumah. Haidar mengambil kertas tersebut dan membacanya dengan saksama. Pria itu memejamkan matan
"Tapi, kenapa Ibu juga berbeda perlakuannya pada Alatas, yang lahir dari pernikahannya dengan Ayah mertua?" tanya Siska lagi dengan heran. "Hidup Ibu kan sudah tidak menderita lagi sejak menjadi istri Ayah mertua, tapi kenapa ia juga membedakan kasih sayangnya pada Alatas yang notabene anak kandungnya dengan Ayah mertua?" lanjutnya lagi bertanya pada Haidar. "Aku juga tidak tahu! Hanya saja aku pernah dengar kalau Alatas anak yang sengaja ia kandung agar Ayah Wirata menikahinya! Dan aku mendengar itu semua waktu lulus SMA tanpa disengaja," jawab Haidar dengan nada suara yang tidak bersemangat. Siska membuang kasar napasnya begitu mendengar jawaban dari rasa penasarannya tadi. "Ya sudahlah, Bang! Sekarang hidup kita berdua tergantung sama Abang! Aku memang perempuan yang serakah dan hanya mementingkan diri sendiri, tapi aku bukan wanita yang dengan gampang berpaling hanya karena Abang hidup susah! Asalkan Abang masih mau bekerja memberikan aku nafkah dan tidak selingkuh, aku
"Lancang kamu Haidar!" teriak Maisarah yang sudah dikuasai api amarah saat mendengar protes anak pertamanya itu. Wanita paruh baya yang sudah dipenuhi emosi itu langsung mengayunkan tangan kanannya ke pipi Haidar dengan begitu keras sehingga membuat wajah Haidar tertoleh ke samping. "Ibu," cicit Haidar dengan wajah syok melihat ibunya dengan tega menampar nya dengan sangat keras. Napas Maisarah tersengal-sengal setelah melayangkan tangannya ke pipi Haidar, rasa puas menyelimuti hatinya karena berhasil melampiaskan amarahnya pada Haidar. Haidar kembali menitikkan air mata saat matanya menatap dalam mata Maisarah yang tidak sedikitpun menunjukkan penyesalan karena sudah menampar nya. Siska juga terkejut melihat suaminya di tampar oleh ibu kandungnya sendiri hanya karena protes atas ketidakadilan yang diterimanya selama ini. Ia sungguh tidak menyangka jika mertuanya begitu mengagungkan Ghufron sampai sebegitunya, dan tidak peduli dengan anak pertamanya yang selama ini selal
Alatas berniat membuntuti Haidar pulang, akan tetapi panggilan telepon dari ayahnya membuat ia mengurungkan niatnya tersebut. "Iya, Yah! Al pulang sekarang!" jawab Alatas dengan patuh dan menutup panggilan tersebut sambil bergegas menuju motornya di parkiran. "Kira-kira ada hal apa ya, sampai Ayah ngotot banget mau aku pulang cepat? Dari nada suaranya terdengar seperti ada masalah besar," gumamnya sambil memasang helm.Alatas pun menghidupkan motornya, lalu melesat cepat meninggalkan parkiran menuju tempat tinggalnya bersama sang ayah saat ini.Sementara itu, Haidar kembali ke rumah dengan hati kesal karena tidak mendapatkan apa yang sudah ia rencanakan."Gimana, Bang?" tanya Siska saat menyambut kepulangan Haidar yang memasang wajah lesu dan lecek."Iya, Dar! Apa yang dikatakan anak itu? Apa kamu berhasil membuatnya mengatakan dimana Dea sekarang?" cerca Maisarah ikutan bertanya dengan tidak sabaran.Kepala Haidar langsung pusing mendengar pertanyaan beruntun Ibu dan istrinya. R
"Panggil saya Kaisar saja, Om! Rasanya gak enak didengar kalau Om panggil saya terlalu hormat begitu," ucap Kaisar dengan muka yang tetap datar. "Tapi...," bantahan Fajar terhenti saat Kaisar menaikkan tangannya pertanda kode jika ia memang tidak menginginkan panggilan tersebut. Fajar menghela napas pasrah seraya berkata," Oke lah, karena mungkin usia kita hanya selisih beberapa tahun, saya panggil kamu Kaisar saja dan kamu panggil saya Abang! Saya juga gak tua-tua amat di panggil Om, kecuali untuk Dea dan Alatas." Kaisar mengangguk tanda setuju, Pandangan Kaisar kembali pada Wirata yang terlihat melamun seperti memikirkan sesuatu. "Kaisar, kapan orang-orangmu bisa melakukan yang kamu bilang tadi? Abang rencananya mau mendaftar gugatan cerai Bang Wira besok pagi, karena hari ini mau melengkapi syarat-syaratnya dulu," tanya Fajar dengan nada suara tidak terlalu kencang. "Kapan Abang mau! Sepulang dari sini aku akan menghubungi mereka untuk bersiap-siap! Ini kartu namaku, dan
"Om, bukannya mau menyembunyikannya, tapi aku gak mau Om menjadi emosi saat bertemu wanita itu! Yang jelas, kedua orang itu masih dalam kondisi aman!" jawab Kaisar dengan segala pertimbangannya. Wirata terdiam, menimbang baik buruknya jika ia bertemu dengan orang yang membuat anaknya menderita. "Om, Saat ini ada hal yang lebih penting dari wanita itu yaitu keadaan Dea," ucap Kaisar lagi agar membuka pikiran Wirata. "Dea? Apa yang terjadi sama Dea? Apa Dea baik-baik saja?" tanya Wirata dengan nada suara yang terdengar kencang dan wajah khawatir. "Tenang, Bang! Biarkan Tuan muda bicara dulu," ujar Fajar dengan menepuk pelan punggung tangan Wirata untuk menenangkan pria baya itu. "Dea dirawat di rumah sakit sekarang ini Om! Kita punya kabar baik dan kabar buruk untuk Om, dan aku harap Om tidak lagi mengurus masalah wanita jahat itu selain memikirkan Dea," ucapnya lagi yang membuat Wirata semakin terlihat tidak sabaran. "Katakan saja kabar baik dan buruknya! Jangan buat Om b







