Menikah dengan tukang sayur keliling membuat Deasy dimusuhi keluarganya. Kehidupan rumah tangganya terancam karena ibunya bersikeras ingin menikahkan ia dengan juragan kampung tua yang sudah punya dua istri. Tapi, tak disangka suaminya menyimpan identitas tidak terduga... Bagaimana reaksi Deasy saat mengetahui jika suaminya bukanlah tukang sayur yang selama ini ia kenal? Akankah Deasy bisa menerima kenyataan itu dan menjalani hidup yang berbeda?
View MoreTok! Tok! Tok!
Sebuah kontrakan diketuk pintunya dari luar oleh seorang Ibu bersama dua perempuan muda. “Bu, kencang aja ketukannya? Siapa tahu si Dea lagi tidur jam segini,” ucap Raisa, menantu pertama Ibu Maisarah, sembari mengipasi lehernya dengan tangan. “Iya, Bu. Mana panas lagi, bikin kulit aku jadi gosong,” sahut Siska, menantu kedua, sok banget sambil mengusap lengannya yang memang tampak kemerahan. Ibu Maisarah mendengkus kesal pada kedua menantunya yang cerewet seraya mengetuk lagi pintu kontrakan tersebut agak kencang dari yang pertama. “Dea, buka pintunya! Buka pintunya, Dea!” teriak Bu Maisarah saking kesalnya menunggu lama di luar. Untung saja kontrakan dengan tiga pintu itu terlihat sepi yang kemungkinan besar penghuninya sedang tidak ada di rumah sehingga teriakannya tidak mengganggu penghuni kontrakan. Deasy yang sedang menyusui bayinya yang baru berumur lima bulan terpaksa menghentikan anaknya yang menyusu saat telinganya mendengar suara yang sangat ia kenal. “Anak pintar, sabar ya, Nak! Nenekmu sepertinya datang berkunjung, dan sekarang kita lihat apa lagi maksud kedatangannya kali ini,” gumam Deasy berbicara pada anaknya sambil menggendong bayi cantik berjalan ke ruang depan. Ceklek! Saat pintu terbuka, Dea melihat muka kesal ibunya dan muka sombong kedua iparnya yang berdiri tegak bak penagih hutang di depan pintu. “Ibu, Mbak Siska, Mbak Raisa, mari silakan masuk!” sapa Dea dengan tersenyum ramah pada ketiga wanita beda usia itu. Siska masuk terlebih dahulu dengan raut muka jijik seakan-akan ia masuk ke kandang hewan. Sedangkan Bu Maisarah masuk belakangan setelah Raisa dengan mengamati secara detail kontrakan yang mungkin saja ada perubahan yang ia lihat. “Duduk dulu semuanya, saya mau ambilkan minum dulu di belakang,” ucap Dea berusaha ramah kepada mereka semua. “Tidak usah, saya tidak haus! Duduk saja kamu di sana!” tolak Bu Maisarah dengan menunjuk kursi di hadapan Raisa menantu keduanya. “Iya, De. Kami semua gak haus dan kamu gak perlu repot-repot sambil bawa-bawa bayi segala,” sahut Raisa ikut menimpali ucapan mertuanya. Dea hanya mengangguk kecil dan memilih duduk di kursi yang kosong. “Dea, Ibu sudah putuskan untuk menikahkan kamu dengan laki-laki baik pilihan kami. Kamu harus menceraikan laki-laki miskin itu untuk masa depan kamu nanti. Mau sampai kapan kamu hidup susah dan tinggal di tempat kumuh seperti ini?” ucap Bu Maisarah tanpa basa basi lagi. Dea mengangkat mukanya sembari menggigit bibirnya yang kelu mendengar kembali hinaan sang ibu pada suaminya. Apa salahnya menikah dengan laki-laki sederhana seperti suaminya? Ia sangat bahagia selama pernikahan mereka yang masih seumur jagung tersebut. “Bu, Aa Avin laki-laki bertanggungjawab. Meskipun ia tidak punya banyak harta, Dea dan Audrey hidup bahagia bersamanya. Dea gak mau menceraikan Aa Avin karena istri yang meminta cerai itu hukumnya dosa besar,” jawab Dea dengan lembut berusaha membuka hati ibunya. “Apalagi Aa Avin gak punya kesalahan fatal yang bisa membuat Dea menggugat cerai. Dea mohon sama ibu, tolong biarkan keluarga kecil kami hidup damai tanpa ada perselisihan hanya karena Aa Avin bukan orang kaya,” tambah Dea lagi meminta belas kasihan ibunya dengan mata berkaca-kaca. Bukannya luluh mendengar keluh kesah Dea, Bu Maisarah semakin marah karena menganggap penolakan Dea sebagai sikap durhaka perempuan itu padanya. “Dasar anak durhaka kamu, Dea! Beraninya kamu bicara seperti itu sama Ibu kamu sendiri? Semua yang ibu lakukan hanya untuk kebahagiaan kamu! Tinggalkan anak ini bersama laki-laki miskin itu dan ikut ibu pulang! Lama-lama tinggal disini membuat kamu semakin pintar bicara dan pintar melawan ibumu sendiri,” bentak Bu Maisarah dengan kencang tanpa memikirkan jika suara kencangnya mengejutkan bayi Dea. Oek...oek...oek... Bayi berumur lima bulan dalam dekapan Dea menangis kencang karena terkejut mendengar suara kencang Bu Maisarah. “Ck, berisik banget sih! Bikin telingaku sakit saja,” celetuk Siska tanpa perasaan. Tidak hanya Siska yang merasa terganggu, Bu Maisarah juga ikut terganggu mendengar tangisan anaknya Dea. “Pokoknya Ibu gak mau tau ya, Dea. Kamu harus ikut ibu pulang ke rumah kita dan tinggalkan anak itu sama ayahnya. Kamu harus menikah dengan laki-laki pilihan ibu dan laki-laki itu akan membuat hidupmu aman dan tenteram dengan semua harta yang ia miliki!” “Tapi, Bu...” “Gak ada hidup yang tidak memikirkan harta, karena dengan memiliki harta yang banyak kamu tidak akan sudah jika mau melakukan apa saja!” potong Bu Maisarah, tidak mendengarkan perkataan Dea. “Juragan Handi pasangan yang cocok untuk kamu dan nantinya hidupmu akan bahagia diistimewakan pria seperti Juragan Handi!” “Apa?? Juragan Handi??” pekik Dea dengan wajah syok mendengar nama tersebut. Bersambung...Alatas pergi mengunjungi ayahnya yang masih terbaring di rumah sakit. Avin memindahkan ayah mertuanya ke kamar khusus meskipun masih koma agar gampang dijenguk oleh anak-anaknya. Air mata pria itu langsung menetes melihat wajah damai ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Ia masuk, lalu meletakkan semua barang-barang yang ia bawa di atas meja sudut sebelum ia tata di loker yang sudah disiapkan khusus untuk penjaga pasien. “Yah, kapan Ayah bangun dan berkumpul bersama aku dan Kak Dea? Apa Ayah gak kangen sama Audrey? Audrey sekarang bertambah gemoy dan makin pintar... Audrey pasti pengen main sama Kakungnya, Ayah bangun dong?” Suara serak Alatas yang terisak memenuhi ruangan. Tangannya memegang tangan ayahnya yang dingin karena terpapar udara pendingin. “Aku cuma punya Ayah dan Kak Dea, dan aku gak bisa hidup tanpa kalian berdua. Aku mohon, buka mata Ayah! Aku kangen suara Ayah, aku kangen ngobrol sama Ayah,” isak Alatas. Laki-laki muda itu meluapkan kesedihan
Bu Maisarah mengeluh sakit kepala tatkala Ghufron terus mendesaknya untuk menghubungi Dea. Ibu dan anak itu menggeledah semua isi rumah dengan dibantu kedua menantunya mencari sertifikat yang disembunyikan Tuan Wirata Kusuma. Pribadi Ghufron yang memang emosian langsung meledak seperti saat ia kecil dulu. Ia marah-marah sambil menunjuk ibunya karena tidak mendapatkan apa-apa saat menggeledah isi rumah. “Bu, sekarang Ibu harus hubungi Dea! Ancam dia untuk menyerahkan sertifikat rumah! Aku gak mau jabatanku hilang dan aku gak mau dipandang rendah orang-orang lagi! Kalau perlu gunakan tua bangka yang sekarat itu untuk menundukkannya!” teriak Ghufron dengan mencak-mencak sambil napas mengap-mengap. Teriakan kasar Ghufron sore itu memancing emosi Alatas yang baru saja bangun dari tidurnya. Brak! Pintu kamar belakang di banting Alatas dengan keras sehingga terdengar dan mengagetkan semua orang yang ada di rumah termasuk Ghufron dan Bu Maisarah. Bugh! “Bangsat kau! Berani kau m
Dea sedang menyuapi bayi kecilnya yang sudah mulai memakan MPASI di usianya yang baru menginjak enam bulan saat Ibu mertuanya datang menghampiri. “De, Keenan bilang kamu pengen belajar jadi perempuan anggun yang bermartabat ya?” tanya Mami Berliana tanpa basa basi. “Iya, Mi. Dea mau jadi istri yang nggak malu-maluin Aa kalau ikut pertemuan penting. Dea mau mengangkat kepala dengan tegak saat bertemu orang-orang penting, bukan menunduk karena merasa minder atau tidak percaya diri,” jawab Dea dengan mimik muka yang serius dan sungguh-sungguh. “Kalau begitu, Mami sarankan kamu belajar tentang etika perempuan bangsawan dan belajar kepribadian perempuan. Hanya saja belajar semua itu lumayan berat untuk orang yang belum pernah belajar hal itu? Mami aja dulunya sering pura-pura sakit biar bisa bolos belajar kelas etika dan kepribadian,” sahut Mami Berliana sedikit mengeluh sambil menceritakan tentang dirinya dulu. Bukannya ketakutan, Dea justru terlihat bersemangat mendengar cerita m
Kediaman Juragan Handi di kampung sebelah.. “Kayaknya si Juragan sudah gak terlalu ngebet lagi sama Mbak Dea semenjak terkuak jika suaminya itu ternyata orang kaya,” ucap Joko pelan pada rekannya sambil duduk santai di bawah pohon Mangga. “Masa sih, Jon? Kalau memang sudah gak ngebet lagi kenapa Juragan masih nyuruh kita nyari perempuan yang mirip sama Mbak Dea, sampai-sampai biniku marahin aku katanya jangan-jangan aku yang mau nyari daun muda,” sahut Darman dengan wajah tidak percaya. Dua bawahan Juragan Handi baru saja selesai kerja di lumbung padi milik pria tua itu setelah beberapa hari lalu berkelana mencari perempuan yang mirip dengan Dea tanpa seorang pun yang tahu yang mereka berdua lakukan. Istrinya Darman langsung marah-marah karena gara-gara hal itu ia dan anaknya kesulitan ke mana-mana karena kendaraan mereka satu-satunya di bawa Darman. “Iya, ya, baru kepikiran aku, Man. Memangnya si Juragan mau cari yang gimana lagi sih? Istri aja sudah dua, masa gak pernah pu
Tidak hanya Bu Maisarah yang kaget, Siska dan Raisa ikutan kaget sehingga pelukan Raisa pada lengan suaminya terlepas. “Bang, kamu gak lagi nge-prank kami kan?” tanya Raisa dengan wajah tidak percaya. Siska ikutan mengangguk tanpa suara membenarkan pertanyaan Raisa. “Raisa benar, Nak! Kamu tidak lagi mempermainkan kami semua kan? Kapan pria tua itu menghubungimu? Dan apa alasan pria itu tiba-tiba menarik uang yang ia berikan waktu itu?” cerca Bu Maisarah sambil menahan gemuruh di dadanya. Ghufron memasang raut gusar sembari membuang kasar napasnya. “Ini bukan permainan atau candaan, Bu. Juragan Handi mengirim pengacaranya mendatangi tempat aku kunjungan kerja sehingga membuat aku kaget akan kedatangannya. Karena tidak ingin ada yang mencurigai, aku membawanya ke Cafe terdekat. Dari situ aku tahu jika Juragan Handi sengaja mengikutiku keluar agar bisa menemuiku dengan leluasa. Pengacaranya meminta agar aku mengembalikan bantuan dana yang Juragan Handi berikan saat pilkada kem
Alatas kembali ke rumah pada pagi harinya setelah mampir sebentar ke rumah sakit melihat keadaan ayahnya. Ia menginap di hotel setelah pesta bersama sepupunya Avin, Syailendra. Karena sama-sama masih kuliah, keduanya cepat akrab. Meskipun dengan yang lainnya juga dekat, ia paling dekat dengan Syailendra karena mempunyai hobi dan umur yang sama. “Tahu pulang juga kamu!” semprot Bu Maisarah di depan pintu begitu melihat putra bungsunya pulang ke rumah. Alatas diam saja dan menatap malas dengan sorot matanya sambil memasang wajah datar saat melepaskan sepatunya. Wanita tua itu sengaja menunggu putra bungsunya pulang karena semalaman ia tidak bisa tidur hanya karena menunggu Alatas pulang. “Ibu bukannya tahu kalau pestanya baru dimulai sore hari? Tentu saja selesainya malam, karena itu pesta orang kaya yang dibagi dengan beberapa sesi,” jawab Alatas dengan sindiran. Ia menyindir ibunya yang datang bersama para iparnya di pesta tadi dan membuat keributan. Wajah Bu Maisarah m
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments