Arcelia membuka mata.
Pemandangan di hadapannya membuat pikirannya kacau. Langit di atasnya berwarna ungu tua dengan kilatan cahaya keemasan yang bergerak seperti gelombang di lautan. Udara di sekitarnya hangat, berbeda jauh dari dingin yang menusuk tulang yang baru saja ia rasakan. Dan di sekelilingnya…
Perempuan-perempuan itu.
Mereka berdiri dengan anggun, kulit mereka berkilau seperti terbuat dari mutiara hidup. Mata mereka bercahaya samar, seakan menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar manusia biasa.
Pakaian mereka begitu minim, hanya menutupi bagian dada dengan kain tipis yang bahkan tak sepenuhnya menutupi tubuh mereka. Bagian bawahnya berupa celana dengan juntaian kain transparan yang melambai seperti ekor, bergerak lembut seiring angin yang berbisik.
Arcelia menelan ludah, pikirannya berusaha mencerna situasi ini.
Siapa mereka?
Di mana ini?
Ingatan terakhirnya adalah sosok merah yang mengatakan satu kalimat yang menjadi teka-teki baginya, “Beraninya kalian memperlakukan Yang Mulia kami seperti ini?” setelah itu kesadarannya memudar, tenggelam dalam kehampaan. Dan dia berpikir kalau dia sudah mati.
Tubuhnya masih terasa lemah, tapi anehnya, rasa sakit dari luka-luka yang menganga di sekujur tubuhnya tak lagi menyiksanya. Ia mengangkat tangannya dengan ragu, menatap telapak tangannya yang dulu penuh lebam dan luka bakar—kini hanya ada kulit bersih yang terasa baru.
“Apa ini…?” bisiknya, suara seraknya nyaris tak terdengar.
Salah satu perempuan itu mendekat, melangkah ringan seolah tak menyentuh tanah. Matanya yang berkilau menatap Arcelia dengan tatapan yang sulit diartikan—bukan ancaman, bukan pula kehangatan, melainkan sesuatu di antara keduanya.
“Selamat datang,” suara perempuan itu lembut, seperti angin yang membawa bisikan bintang. “Kau akhirnya tiba.”
Tiba?
Tiba di mana?
Arcelia menatap mereka semua, rasa bingung dan curiga bercampur aduk di dadanya. Apakah ini surga? Atau neraka dalam bentuk lain?
Ia tak tahu jawabannya.
Namun satu hal yang pasti—ia tidak lagi berada di dunia yang selama dia kenal. ‘Apakah ini neraka? Jika iya, kenapa tak ada api yang menjilatinya’.
Arcelia menatap ke sekeliling, hatinya masih kacau oleh kebingungan. Udara di ruangan ini hangat, dipenuhi aroma bunga yang samar, bercampur dengan wangi dupa yang membakar pelan di sudut ruangan. Cahaya merah keemasan dari lentera-lentera besar memantul di dinding yang dihiasi ukiran rumit—simbol-simbol yang asing baginya, seperti bahasa yang tak pernah ia lihat sebelumnya.
Di hadapannya, seorang perempuan bersorban merah berdiri dengan penuh hormat. Mata keemasan perempuan itu bersinar lembut, seakan menyembunyikan sesuatu di balik ketenangan wajahnya.
"Siapa kamu?" Arcelia akhirnya bertanya, suaranya serak karena kelelahan dan ketakutan yang masih menggantung dalam pikirannya.
Perempuan itu membungkuk anggun, lalu menatapnya dengan penuh penghormatan. "Yang Mulia," katanya, suaranya selembut hembusan angin, "Anda adalah permaisuri Kaisar Azrael di Negeri Iblis. Saya harus mempersiapkan Anda untuk acara pernikahan."
Kata-kata itu menghantam Arcelia seperti badai. Negeri Iblis? Negeri bawah yang selama ini sangat ditakuti oleh manusia di dunianya.
Permaisuri Kaisar Azrael?
Negeri Iblis?
Pernikahan?
Otaknya menolak mencerna kenyataan ini. Baru saja ia berpikir bahwa dirinya sudah mati—mungkin ia memang sudah mati—tetapi mengapa sekarang ia harus menikah dengan Kaisar Iblis? Bagaimana bisa hidupnya yang penuh penderitaan di dunia manusia tiba-tiba berakhir di tempat ini, dengan gelar yang begitu agung?
Perempuan itu melangkah mendekat, diikuti dua pelayan berbaju merah lain yang membawa kain-kain sutra. Salah satu dari mereka membimbing Arcelia berdiri, tubuhnya masih terasa lemah, namun perlahan ia mengumpulkan kekuatannya.
Di depannya, sebuah cermin besar berdiri tegak, nyaris setinggi langit-langit. Bingkainya berukir naga berwarna hitam pekat, seolah hendak keluar dari kayu dan menerkam siapa pun yang menatap terlalu lama. Cermin itu tidak sekadar memantulkan bayangan—ada sesuatu dalam pantulannya, sesuatu yang seakan lebih hidup dari sekadar refleksi biasa.
Arcelia menatap dirinya sendiri untuk pertama kalinya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… ia benar-benar melihat dirinya.
Selama ini, ia hanya mengenal tubuhnya sebagai sosok yang kurus, lemah, dan penuh luka. Rambutnya selalu kotor dan kusut, kulitnya tertutup memar dan bekas pukulan, matanya redup tanpa harapan. Ia tak pernah melihat pantulan dirinya selain di genangan air berlumpur atau bayangan di kaca jendela kotor rumah bibinya.
Tapi sekarang—
Dia cantik.
Tidak, bukan hanya cantik. Dia sempurna.
Kulitnya sebening porselen, halus tanpa cacat. Rambutnya panjang, berkilau bak sutra hitam yang jatuh lembut di punggungnya. Mata ungunya besar dan dalam, bercahaya seakan menyimpan langit malam yang penuh bintang. Bibirnya merah alami, melengkung dengan keanggunan yang tak disadari sebelumnya. Tubuhnya yang dulu terlihat ringkih kini tampak proporsional, ramping dengan lekuk yang sempurna.
Apakah ini benar-benar dirinya?
Arcelia mengangkat tangan, menyentuh pipinya sendiri. Kulitnya terasa nyata, hangat. Ini benar-benar dirinya. Selama ini, kecantikannya tersembunyi di balik kekejaman dunia yang menelannya.
Pelayan-pelayan berbaju merah mulai bergerak, membawakan pakaian untuknya. Sutra merah berkilauan disampirkan di bahunya, lalu perlahan mereka mulai membantunya mengenakan pakaian yang tampak terlalu indah untuk seorang gadis yang pernah dianggap pembawa sial.
Gaun itu berwarna merah tua, dengan aksen emas yang menghiasi setiap sulamannya. Bagian atasnya sedikit terbuka, menampilkan kulit lembut di bahunya, sementara potongannya dirancang untuk menonjolkan setiap lekuk tubuhnya dengan sempurna. Kain tipis menjuntai dari pinggulnya, transparan, bergerak seperti kabut yang mengikuti setiap langkahnya.
Arcelia mengerjap, wajahnya sedikit memanas saat menyadari bagaimana penampilannya sekarang. Ia tak pernah mengenakan sesuatu yang semewah ini, apalagi sesuatu yang membuat dirinya tampak begitu… menggoda.
Salah satu pelayan menaruh mahkota di kepalanya. Bukan mahkota yang berat dan penuh permata seperti yang ia bayangkan, melainkan sebuah hiasan kepala berwarna hitam dengan ukiran halus, dihiasi batu merah tua yang berpendar samar seperti bara api.
Arcelia menatap dirinya sekali lagi.
Ia terlihat… seperti ratu.
Namun, pikirannya masih berputar.
Mengapa semua ini terjadi? Mengapa ia harus menikah dengan Kaisar Azrael? Apa artinya ini semua?
Bayangan akan sosok Kaisar Iblis muncul dalam benaknya.
Mungkinkah dia adalah makhluk mengerikan dengan wajah penuh tanduk dan tubuh dipenuhi sisik kasar? Mungkinkah dia memiliki mata hitam yang menatap dengan kehampaan, atau taring yang siap mencabik-cabik siapa pun yang berada di dekatnya?
Arcelia menggigit bibirnya.
Tapi… bukankah ini lebih baik daripada kembali ke dunia lamanya?
Bukankah lebih baik menjadi seorang ratu di tempat asing ini, daripada kembali menjadi seorang gadis yang dipukuli, dicaci, dan disiksa tanpa alasan?
Setidaknya, di sini, ia memiliki sesuatu.
Kedudukan. Kekuatan.
Namun, harga apa yang harus ia bayar untuk itu?
Pelayan yang pertama kali berbicara menatapnya dengan tatapan lembut. "Yang Mulia," katanya, "Segera, Kaisar akan datang untuk menjemput Anda."
Arcelia menarik napas dalam.
Apakah ini benar-benar awal dari kehidupannya yang baru?
Ataukah ini hanya neraka lain dalam bentuk yang berbeda?
---
Muncul sosok lelaki gagah, dengan tubuh kekar dan tanduk hitam yang melengkung gagah di atas kepalanya. Mahkota emas hitam yang berukir rumit bertengger di antara tanduk itu, seperti tanda yang menegaskan bahwa dia adalah penguasa absolut di tempat ini.
Mata merahnya menyala, penuh dominasi dan kekuasaan.
Arcelia seharusnya takut. Seharusnya merasa terintimidasi, ingin lari, atau setidaknya mundur selangkah. Tapi anehnya, tidak.
Justru… ada sesuatu dalam dirinya yang membuatnya tetap berdiri di tempat.
Matanya menelusuri wajah pria itu—tidak, bukan pria, tapi makhluk yang lebih dari sekadar manusia biasa. Kaisar Iblis. Penguasa dunia kegelapan.
Namun, dia tidak seburuk yang Arcelia bayangkan.
Tidak ada kulit bersisik atau mata berlendir yang menyeramkan. Tidak ada taring panjang yang siap mencabik-cabik siapa saja yang mendekat. Sebaliknya, wajahnya begitu rupawan, seolah dipahat oleh tangan para dewa. Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, bibirnya melengkung tipis dalam ekspresi yang sulit ditebak.
Lebih tampan dari siapa pun yang pernah Arcelia lihat.
Bahkan lebih rupawan dari Eden.
Jantungnya mencelos saat membandingkannya dengan cinta pertamanya. Eden, putra bibinya—satu-satunya cahaya yang pernah ia harapkan di dunia manusianya. Tapi harapan itu justru membuatnya menderita, karena mencintai Eden dianggap sebagai dosa. Sebagai seorang gadis malang yang dianggap pembawa sial, Arcelia tidak pantas menaruh hati pada seorang pria seperti Eden.
Dan karena itulah, siksaan yang ia terima semakin kejam.
Namun, saat ini, melihat Kaisar Azrael berdiri di hadapannya, tatapan yang dingin dan penuh kuasa itu seakan menembus jiwanya, membuatnya bertanya-tanya… apakah hatinya masih menyimpan bayangan Eden?
Arcelia tersenyum, tanpa sadar, tanpa ragu.
Seperti ada dorongan dalam dirinya yang menginginkannya.
Kaisar Azrael menatapnya dalam diam.
Ia tidak berbicara.
Tidak satu kata pun keluar dari bibirnya.
Lalu, dalam satu langkah panjang, dia sudah berada di hadapan Arcelia. Sebelum gadis itu bisa memahami apa yang terjadi, tubuhnya yang ringan diangkat dengan mudah, seolah ia tidak lebih berat dari sehelai bulu.
Tangannya yang besar dan kokoh membungkus pinggangnya dengan kuat.
Arcelia terkesiap.
Dia belum pernah diangkat seperti ini sebelumnya. Belum pernah merasakan seseorang menyentuhnya dengan cara seperti ini—bukan dengan kekerasan, bukan dengan niat menyakiti, tetapi dengan kepemilikan.
Tatapan Kaisar Azrael tetap tak terbaca. Namun, ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat Arcelia menahan napas.
Tanpa satu kata pun, Kaisar membawanya pergi.
Arcelia harus siap dengan kejutan lain yang mungkin saja akan membuatnya menjadi sosok yang benar-benar berbeda.
Hallo...Novel pertama di GN dukung aku, ya!
Malam di dunia bawah tak lagi kelam. Langitnya tidak sepenuhnya gelap, tapi dihiasi garis-garis cahaya lembut seperti tenunan perak yang ditarik dari bintang-bintang tua. Dan di balkon tertinggi istana, di antara angin hangat dan harum bunga Aetheris yang mekar malam hari, Arcelia berdiri dalam diam.Rambutnya tergerai, jatuh lembut di punggung. Kain tipis tidurnya menari perlahan diterpa angin. Di tangannya, sebuah cangkir teh herbal yang masih mengepulkan uap pelan.Tapi bukan teh itu yang membuat jantungnya tenang. Melainkan langkah kaki yang ia kenali sejak dulu. Langkah yang bahkan dalam kehidupan sebelumnya… telah menggetarkan relung jiwanya.Azrael datang dari belakang. Tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluknya dari belakang, seperti biasa.“Kau mencariku, Kaisar?” gumam Arcelia tanpa menoleh.“Aku tidak pernah berhenti.” Suara Azrael serak, namun tenang.“Bahkan ketika waktu membelah kita. Bahkan ketika dunia memaksa kita lupa. Hatiku... tetap mencari napasmu.”Arcelia menu
Hari itu, langit dunia bawah cerah. Tidak seperti biasanya.Bukan karena warna. Tapi karena suasana.Karena tidak semua cahaya berasal dari matahari.Beberapa berasal dari rumah. Dari ruang makan kecil. Dari suara tawa yang muncul tanpa dipaksa.Arcelia sedang memangku Caelion di teras istana. Kain hangat membungkus tubuh kecil itu, sementara Azrael duduk tak jauh, membaca gulungan kuno dengan mata yang tetap awas mengawasi keduanya.Di tengah kebiasaan sederhana itu, dunia terasa lengkap.Namun jauh di balik tawa lembut dan udara manis itu…dunia tak tidur.Dan Arcelia tahu.Ia bisa merasakannya dalam detak hati yang tiba-tiba tak serasi dengan alunan waktu.Dalam mimpi-mimpi aneh yang menyelinap seperti bayangan samar.Dalam keheningan yang terlalu panjang… bahkan untuk dunia bawah.Elder Daemon tidak mati.Mereka hanya berganti bentuk.Bukan menjadi monster.Bukan menjadi kabut berduri atau sosok bermahkota api.Tapi menjadi rasa.Mereka adalah keraguan dalam hati istri yang lelah
Waktu berjalan berbeda di dunia bawah.Di antara rerimbun kristal hitam dan udara hangat yang mengalir dari inti bumi, Arcelia belajar kembali… menjadi ibu.Ia tidak memakai jubah kebesaran hari itu. Tak ada hiasan mahkota atau batu sihir di dahinya. Ia hanya mengenakan kain lembut berwarna kelabu pucat, rambutnya disanggul sederhana, dan di pelukannya, Caelion tertidur dengan napas damai.Azrael memperhatikannya dari balik tirai tipis ruang keluarga yang menghadap ke taman bawah tanah. Ratu yang dulu berdiri di medan perang dengan tatapan membakar kini duduk di atas permadani empuk, membacakan kisah kuno pada anaknya dengan suara seperti aliran sungai kecil.“Dulu ada seorang bayi,” ucap Arcelia pelan, membelai rambut Caelion, “yang lahir bukan dari rahim yang sempurna, tapi dari doa-doa yang terluka…”Azrael tersenyum tipis. Ia tahu cerita itu adalah kisahnya.Bukan hanya tentang Caelion, tapi tentang dirinya, tentang Arcelia, tentang setiap jiwa yang pernah nyaris tenggelam tapi ak
Gerbang sihir di langit dunia bawah terbuka perlahan, disertai desiran angin yang mengusik pilar-pilar batu. Awan hitam yang biasanya bergulung tenang seperti bergetar—menyambut kehadiran seorang yang tak hanya membawa tubuh… tapi juga nyawa-nyawa yang kembali menemukan harapan.Arcelia melangkah melewati celah itu.Langkahnya tenang. Bajunya tak semegah biasanya. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin dunia fana. Tapi di matanya… ada cahaya yang tidak bisa dibeli oleh ribuan musim perang.Di tangannya, sebuah bunga liar tergenggam.Bunga yang mekar di tanah yang hancur.Dan ketika ia menuruni tangga altar, Azrael sudah berdiri menunggunya.Tak ada mahkota di kepala Kaisar Iblis itu hari ini. Tak ada jubah hitam panjang.Hanya seorang pria. Seorang suami.Yang merindukan istrinya.Caelion berlari lebih dulu dengan tertawa kecil, tangannya terjulur, mata bayinya yang bersinar menyala lebih terang dari biasanya.“Sayangku…” bisik Arcelia, menekuk lutut, memeluk sang bayi dengan kedua l
Langit di atas istana Eden tampak pucat. Bukan karena fajar—melainkan karena medan energi yang mulai berubah. Ujung-ujung sihir kegelapan mulai goyah oleh gelombang kecil dari dalam: suara-suara hati yang kembali mengenal nurani.Isara berdiri di pelataran belakang istana. Rambutnya dikepang sederhana. Pakaian lusuh sengaja ia kenakan untuk menyatu dengan para pelayan. Tak ada yang tahu bahwa gadis ini pernah duduk di hadapan Ratu Dunia Bawah dan menerima misi cinta.Ia menggenggam kain lap di tangannya. Tapi bukan untuk mencuci, melainkan untuk menutupi luka di telapak tangannya—luka yang muncul setiap kali ia terlalu dalam menyalurkan energi penyembuhan.“Jangan bersinar terlalu terang,” bisik Isara kepada dirinya sendiri, “atau mereka akan mencium niatku.”Di lorong yang gelap dan sunyi, Isara bertemu dengan seorang penjaga tua yang menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.“Kau dari kelompok baru?” tanyanya pelan.Isara mengangguk. “Dari desa barat. Aku datang... karena tak punya
Istana itu tetap megah. Tak ada dinding yang retak. Tak ada pilar yang runtuh.Tapi jiwa Eden—untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak bisa ia hitung—mengalami getaran yang tak ia kenali.Ia duduk di atas singgasananya. Tapi hari itu, sorot matanya tidak mengarah ke pelataran… melainkan ke perempuan-perempuan yang berdiri di sisi ruang tahta. Mereka tetap memakai topeng seperti biasa.Tapi bagi Eden… topeng-topeng itu kini terasa mengerikan.Bukan karena bentuknya.Tapi karena ia sadar, ia yang meminta mereka memakainya—agar ia tak perlu menatap mata mereka.Agar ia tak perlu melihat kemanusiaan yang ia buang.Salah satu dari mereka—seorang wanita berambut hitam panjang—tertatih memanggul kendi air. Tangan kirinya gemetar, ada bekas luka lama di pergelangan tangan yang belum sepenuhnya pulih.Eden menatapnya… lama.Dan untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia tidak melihat “Persembahan.”Ia melihat seseorang.Seorang anak perempuan yang mungkin dulu memiliki nama.Yang mungkin du