Share

Bab 5. Haikal Versus Dhimas.

Kata orang, memiliki tapi tak mencintai itu rasanya lebih menyedihkan dibanding mencintai tapi tak memiliki dan tampaknya aku setuju setelah melihatnya sendiri.

Dulu aku berpendapat kalau memiliki tapi tak mencintai itu tak ada salahnya, toh kita punya raga seseorang itu dan cinta akan tumbuh seiring waktu. Namun, sekarang aku mulai ragu sebab Mas Haikal tetap tak berubah.

Ema adalah cinta pertamanya dan kami hanya bertahan karena keadaan, meski kadang mungkin suatu saat bisa saling menyakiti, dimulai dari sekarang.

Aku mengedip-ngedipkan mata berharap apa yang kulihat itu salah, tapi ternyata berapa kali pun aku mencoba meragu tetap saja sosok pria yang ada di depanku tak berubah wujud begitu juga dengan wanita yang ada di hadapannya.

Sang lelaki tetaplah Mas Haikal dan si perempuan adalah Ema. Ah, aku paham mungkin mereka sedang bernostalgia. Sementara aku dan Bang Dhimas hanya nyamuk.

Oiya, mulai hari ini Dokter Dhimas memintaku merubah nama panggilannya menjadi Bang Dhimas.

Terdengar akrab bukan?

"Ana!" pekik Ema. Wanita berambut lurus itu ternyata lebih dulu sadar kalau aku dan Bang Dhimas telah berada di antara mereka.

"Bu Ema?"

Aku tersenyum tipis saat melihat Mas Haikal dan Ema berjalan menuju ke arah kami. Wajah Mas Haikal langsung membeku kala melihatku bersama dengan Bang Dhimas.

Entah kenapa, alih-alih menyapa satu sama lain. Bang Dhimas dan Mas Haikal malah bersikap layaknya hyena yang sedang memperebutkan wilayah kekuasaan.

Mereka saling melempar tatapan tajam seolah ada dendam yang belum terselesaikan.

"Eh, Bu Ema ternyata belum pulang, ya?" sapaku basa-basi ketika mereka sudah tiba di depan kami.

"Belum, soalnya tadi aku gak sengaja ketemu Mas Haikal, sekalian ngobrol. Iya, kan Mas?" Ema melirik Mas Haikal dengan semangat. Sedangkan lelaki itu hanya berdehem sambil melihatku.

"Mengapa ponselmu gak aktif?" Bukannya menjawab Ema, dia malah balik menanyaiku dengan dingin. Bahkan tubuh Mas Haikal bergerak selangkah lebih maju dan wajahnya dia dekatkan kurang lebih lima centi di depan wajahku.

Aku menautkan alis, gugup. "Po-ponselku? Oh, iya ponselku lowbath. Jadi gak sempat aku cek," dalihku sambil memundurkan langkah kaget

Suasana 'awkward' tiba-tiba menyergap karena reaksi Mas Haikal yang terbilang posesif di depan yang lain.

"Oh jadi hapemu low? Oke, sekarang ikut Mas, kita harus pulang bareng," ujar Mas Haikal tegas.

"Se-sekarang, Mas?" pekikku terkejut.

Tumben dia mau memintaku pulang bareng biasanya malas.

"Nggak, tahun depan."

Glek.

Aku nenelan ludah ketika mendengar nada suara Mas Haikal yang meninggi. Namun, belum juga aku menjawab sebuah suara sudah mewakili.

"Eh, sorry Kal, untuk kali ini boleh gue yang antar Ana? Lagi pula kita searah," kata Bang Dhimas datar.

"Kenapa dia harus pulang sama lo? Lo udah berubah jadi supirnya?" Alis Mas Haikal terangkat satu menatap Bang Dhimas sinis.

See. Dia kenapa, sih? Sensi banget sama Bang Dhimas. Aku jadi penasaran.

"Ya, bukan supir tapi ...." Bang Dhimas melirikku sekilas,"calon sahabatnya mungkin," lanjutnya membuat rahang Mas Haikal tiba-tiba mengeras.

Sebenarnya, aku cukup terkejut atas sikap Bang Dhimas. Bagaimana pun dia tahu aku adalah istri Mas Haikal karena mereka aslinya berteman. Namun, kata Bunda karena satu alasan hubungan keduanya jadi merenggang.

"Sorry Dhim, tapi gue gak bisa ijinin dia pergi sama lo, ayo, Na! Cepat!"

Lagi, dia menarik tanganku tapi kali ini bukan Bang Dhimas yang mencegah tapi Ema. Gadis itu tampak bingung dengan adegan yang ada di depannya.

"Kamu kenapa sih, Kal? Biarin dong kalau Ana mau diantar sama Dokter Dhimas sekali aja, lagi pula bagus untuk mereka kali aja mereka bisa berjodoh biar pedekate. Betul kan, Na?"

Uhuk! Mendengar pertanyaan Ema mendadak Mas Haikal terbatuk.

Kami sontak menatap ke arahnya dengan wajah terkejut. Namun, Mas Haikal langsung mencoba bersikap normal kembali.

Mendapati kondisi ini, aku jadi paham Mas Haikal pun belum bilang tentang status kami pada Ema.

Baiklah, sudah kuduga lelaki itu memang masih menyimpan rasa sama cinta pertamanya.

"Berjodoh apanya? Nonsense! Udahlah, kami duluan! Ada yang harus saya bicarakan sama Ana."

Kali ini Mas Haikal tampak bersikukuh dengan pendapatnya. Tanpa mempedulikan Bang Dhimas dan Ema yang melihat kami dengan tatapan aneh, lelaki bertubuh tegap itu menarik lenganku kuat sampai aku tak bisa mengelak.

Kenapa dia kayak marah gini, sih? Apa aku berbuat kesalahan?

(***)

"Ada hubungan apa kamu sama Dhimas?" tanya Mas Haikal ketika kami tiba di parkiran.

Tanpa basa-basi dia tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk kemudian membalikan badan menghadapku. Hingga kami berdiri berhadapan di bawah guyuran hujan dan di bawah payung yang sama.

Aku tercengang karena baru kali ini berdiri dalam jarak sedekat ini. Sampai-sampai dia pun sengaja memegang bahuku untuk menarikku lebih rapat agar tak kehujanan.

Sontak dadaku berdebar hebat kala mata kami bertemu pandang. Kuakui mantan kakak angkatku ini tampan.

Namun, untuk apa tampan jika galak sampai ke tulang?

"Ana! Ayo, jawab! Kamu ada hubungan apa sama dia?" ulang Mas Haikal lagi dengan nada lebih keras karena aku hanya diam.

Aku menghela napas dalam, mencoba sabar atas sikapnya.

"Bang Dhimas hanya orang tua wali di sekolah ini Mas dan dia juga kan psikiater langganan Bunda," jelasku tenang.

Mendengar jawabanku, matanya melotot seketika. Entah apa artinya, tapi dapat kutangkap getar khawatir dalam sorot matanya.

"Jadi, psikiater yang suka diomongin Bunda itu dia? Kenapa Bunda gak jujur pada Mas?"

"Mungkin Bunda tahu kalau Mas Haikal bakal marah kalau bahas Bang Dhimas. Emang kenapa sih, Mas?" tanyaku semakin penasaran.

"Nggak apa-apa. Tapi, kamu beneran kan gak ada hubungan spesial sama dia?"

Aku memijit pelipis yang mulai terasa berat. Lagi-lagi dia meragukanku.

"Emang, Mas kira hubungan kami seperti apa? Mas gak lupa kan, kalau aku baru batal nikah sama Randi dan sekarang aku istri Mas? Mana sempat aku mikirin cari pengganti?" desisku sebal.

Kenapa dia harus bertindak berlebihan seperti ini, sih?

Jujur, aku mencium bau-bau rahasia besar dibalik semua sikapnya.

"Iya juga sih, ya? Mana ada yang mau sama kamu selain saya?"

Si-al!

Aku memberengutkan mulut mendengar ucapannya.

Heran, Bunda ngidam apa, sih? Sampai punya anak sebegini anehnya. Membuat darah tinggiku mendadak naik saja.

"Udah gak usah cemberut! Ayo, sekarang masuk mobil! Tangan saya pegel nih, pegangin payung," keluhnya lagi membuat dadaku semakin panas.

"Gak usah dipayungin! Lebih baik aku kehujanan dibanding dipayungin sama cowok jutek kayak, Mas! Ayo cepat buka kunci pintu mobilnya!" semprotku murka sambil berjalan ke arah mobil dengan kaki yang dihentakan.

Sumpah! Aku menyesal pulang bareng dengannya.

Mas Haikal sekilas tersenyum samar melihat tingkahku tapi aku tak peduli.

Setelah Mas Haikal membuka kunci mobil, gegas aku pun membuka pintu dengan kasar.

Masa bodo kalau nanti mobilnya rusak, biar dia tahu rasa!

Namun, bukannya mengikutiku, Mas Haikal malah diam dan memperhatikanku dari jauh.

"Eh, kok Mas malah diam? Ayo cepet masuk!" teriakku kesal sambil membuka kaca mobil.

Mas Haikal terkekeh pelan melihatku memprotes, dia pun berjalan menghampiriku yang masih cemberut.

Dia tiba-tiba melongokan kepalanya ke dalam mobil lewat celah jendela yang terbuka.

Sontak saja aku merapatkan punggung ke jok karena kaget karena wajah kami jadi sangat-sangat dekat.

"Eh, kok malah gini?" Aku gelagapan, sedang dia tersenyum jahil.

"Ana, kamu tahu gak kenapa saya suka kamu marah?" tanyanya seraya mengulum senyum.

"Kenapa?" balasku sebal.

"Karena kamu terlihat lebih cantik kalau lagi marah," jawabnya santai tapi sukses membuat jantungku berdegup nggak santai.

As-ta-ga! Kenapa dadaku jadi jedak-jeduk begini, sih?

"Ish! Gak usah gombal gak ngaruh!" jawabku sambil menyembunyikan muka karena pipiku mulai memanas.

"Ana!" panggil Mas Haikal lagi.

"Iya, Mas?" sahutku sambil kembali menatapnya.

"Kamu boleh dekat dengan siapa pun sebagai teman tapi tidak dengan Dhimas, oke? Tolong jauhi dia!" tegas Mas Haikal sambil berlalu dari hadapanku yang menatapnya bingung.

Penasaran.

Sebenarnya, ada apa sih dengan Mas Haikal dan Bang Dhimas? Kenapa Mas Haikal seolah takut aku berdekatan dengannya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status