Kata orang, memiliki tapi tak mencintai itu rasanya lebih menyedihkan dibanding mencintai tapi tak memiliki dan tampaknya aku setuju setelah melihatnya sendiri.
Dulu aku berpendapat kalau memiliki tapi tak mencintai itu tak ada salahnya, toh kita punya raga seseorang itu dan cinta akan tumbuh seiring waktu. Namun, sekarang aku mulai ragu sebab Mas Haikal tetap tak berubah.Ema adalah cinta pertamanya dan kami hanya bertahan karena keadaan, meski kadang mungkin suatu saat bisa saling menyakiti, dimulai dari sekarang.Aku mengedip-ngedipkan mata berharap apa yang kulihat itu salah, tapi ternyata berapa kali pun aku mencoba meragu tetap saja sosok pria yang ada di depanku tak berubah wujud begitu juga dengan wanita yang ada di hadapannya.Sang lelaki tetaplah Mas Haikal dan si perempuan adalah Ema. Ah, aku paham mungkin mereka sedang bernostalgia. Sementara aku dan Bang Dhimas hanya nyamuk.Oiya, mulai hari ini Dokter Dhimas memintaku merubah nama panggilannya menjadi Bang Dhimas.Terdengar akrab bukan?"Ana!" pekik Ema. Wanita berambut lurus itu ternyata lebih dulu sadar kalau aku dan Bang Dhimas telah berada di antara mereka."Bu Ema?"Aku tersenyum tipis saat melihat Mas Haikal dan Ema berjalan menuju ke arah kami. Wajah Mas Haikal langsung membeku kala melihatku bersama dengan Bang Dhimas.Entah kenapa, alih-alih menyapa satu sama lain. Bang Dhimas dan Mas Haikal malah bersikap layaknya hyena yang sedang memperebutkan wilayah kekuasaan.Mereka saling melempar tatapan tajam seolah ada dendam yang belum terselesaikan."Eh, Bu Ema ternyata belum pulang, ya?" sapaku basa-basi ketika mereka sudah tiba di depan kami."Belum, soalnya tadi aku gak sengaja ketemu Mas Haikal, sekalian ngobrol. Iya, kan Mas?" Ema melirik Mas Haikal dengan semangat. Sedangkan lelaki itu hanya berdehem sambil melihatku."Mengapa ponselmu gak aktif?" Bukannya menjawab Ema, dia malah balik menanyaiku dengan dingin. Bahkan tubuh Mas Haikal bergerak selangkah lebih maju dan wajahnya dia dekatkan kurang lebih lima centi di depan wajahku.Aku menautkan alis, gugup. "Po-ponselku? Oh, iya ponselku lowbath. Jadi gak sempat aku cek," dalihku sambil memundurkan langkah kagetSuasana 'awkward' tiba-tiba menyergap karena reaksi Mas Haikal yang terbilang posesif di depan yang lain."Oh jadi hapemu low? Oke, sekarang ikut Mas, kita harus pulang bareng," ujar Mas Haikal tegas."Se-sekarang, Mas?" pekikku terkejut.Tumben dia mau memintaku pulang bareng biasanya malas."Nggak, tahun depan."Glek.Aku nenelan ludah ketika mendengar nada suara Mas Haikal yang meninggi. Namun, belum juga aku menjawab sebuah suara sudah mewakili."Eh, sorry Kal, untuk kali ini boleh gue yang antar Ana? Lagi pula kita searah," kata Bang Dhimas datar."Kenapa dia harus pulang sama lo? Lo udah berubah jadi supirnya?" Alis Mas Haikal terangkat satu menatap Bang Dhimas sinis.See. Dia kenapa, sih? Sensi banget sama Bang Dhimas. Aku jadi penasaran."Ya, bukan supir tapi ...." Bang Dhimas melirikku sekilas,"calon sahabatnya mungkin," lanjutnya membuat rahang Mas Haikal tiba-tiba mengeras.Sebenarnya, aku cukup terkejut atas sikap Bang Dhimas. Bagaimana pun dia tahu aku adalah istri Mas Haikal karena mereka aslinya berteman. Namun, kata Bunda karena satu alasan hubungan keduanya jadi merenggang."Sorry Dhim, tapi gue gak bisa ijinin dia pergi sama lo, ayo, Na! Cepat!"Lagi, dia menarik tanganku tapi kali ini bukan Bang Dhimas yang mencegah tapi Ema. Gadis itu tampak bingung dengan adegan yang ada di depannya."Kamu kenapa sih, Kal? Biarin dong kalau Ana mau diantar sama Dokter Dhimas sekali aja, lagi pula bagus untuk mereka kali aja mereka bisa berjodoh biar pedekate. Betul kan, Na?"Uhuk! Mendengar pertanyaan Ema mendadak Mas Haikal terbatuk.Kami sontak menatap ke arahnya dengan wajah terkejut. Namun, Mas Haikal langsung mencoba bersikap normal kembali.Mendapati kondisi ini, aku jadi paham Mas Haikal pun belum bilang tentang status kami pada Ema.Baiklah, sudah kuduga lelaki itu memang masih menyimpan rasa sama cinta pertamanya."Berjodoh apanya? Nonsense! Udahlah, kami duluan! Ada yang harus saya bicarakan sama Ana."Kali ini Mas Haikal tampak bersikukuh dengan pendapatnya. Tanpa mempedulikan Bang Dhimas dan Ema yang melihat kami dengan tatapan aneh, lelaki bertubuh tegap itu menarik lenganku kuat sampai aku tak bisa mengelak.Kenapa dia kayak marah gini, sih? Apa aku berbuat kesalahan?(***)"Ada hubungan apa kamu sama Dhimas?" tanya Mas Haikal ketika kami tiba di parkiran.Tanpa basa-basi dia tiba-tiba menghentikan langkahnya untuk kemudian membalikan badan menghadapku. Hingga kami berdiri berhadapan di bawah guyuran hujan dan di bawah payung yang sama.Aku tercengang karena baru kali ini berdiri dalam jarak sedekat ini. Sampai-sampai dia pun sengaja memegang bahuku untuk menarikku lebih rapat agar tak kehujanan.Sontak dadaku berdebar hebat kala mata kami bertemu pandang. Kuakui mantan kakak angkatku ini tampan.Namun, untuk apa tampan jika galak sampai ke tulang?"Ana! Ayo, jawab! Kamu ada hubungan apa sama dia?" ulang Mas Haikal lagi dengan nada lebih keras karena aku hanya diam.Aku menghela napas dalam, mencoba sabar atas sikapnya."Bang Dhimas hanya orang tua wali di sekolah ini Mas dan dia juga kan psikiater langganan Bunda," jelasku tenang.Mendengar jawabanku, matanya melotot seketika. Entah apa artinya, tapi dapat kutangkap getar khawatir dalam sorot matanya."Jadi, psikiater yang suka diomongin Bunda itu dia? Kenapa Bunda gak jujur pada Mas?""Mungkin Bunda tahu kalau Mas Haikal bakal marah kalau bahas Bang Dhimas. Emang kenapa sih, Mas?" tanyaku semakin penasaran."Nggak apa-apa. Tapi, kamu beneran kan gak ada hubungan spesial sama dia?"Aku memijit pelipis yang mulai terasa berat. Lagi-lagi dia meragukanku."Emang, Mas kira hubungan kami seperti apa? Mas gak lupa kan, kalau aku baru batal nikah sama Randi dan sekarang aku istri Mas? Mana sempat aku mikirin cari pengganti?" desisku sebal.Kenapa dia harus bertindak berlebihan seperti ini, sih?Jujur, aku mencium bau-bau rahasia besar dibalik semua sikapnya."Iya juga sih, ya? Mana ada yang mau sama kamu selain saya?"Si-al!Aku memberengutkan mulut mendengar ucapannya.Heran, Bunda ngidam apa, sih? Sampai punya anak sebegini anehnya. Membuat darah tinggiku mendadak naik saja."Udah gak usah cemberut! Ayo, sekarang masuk mobil! Tangan saya pegel nih, pegangin payung," keluhnya lagi membuat dadaku semakin panas."Gak usah dipayungin! Lebih baik aku kehujanan dibanding dipayungin sama cowok jutek kayak, Mas! Ayo cepat buka kunci pintu mobilnya!" semprotku murka sambil berjalan ke arah mobil dengan kaki yang dihentakan.Sumpah! Aku menyesal pulang bareng dengannya.Mas Haikal sekilas tersenyum samar melihat tingkahku tapi aku tak peduli.Setelah Mas Haikal membuka kunci mobil, gegas aku pun membuka pintu dengan kasar.Masa bodo kalau nanti mobilnya rusak, biar dia tahu rasa!Namun, bukannya mengikutiku, Mas Haikal malah diam dan memperhatikanku dari jauh."Eh, kok Mas malah diam? Ayo cepet masuk!" teriakku kesal sambil membuka kaca mobil.Mas Haikal terkekeh pelan melihatku memprotes, dia pun berjalan menghampiriku yang masih cemberut.Dia tiba-tiba melongokan kepalanya ke dalam mobil lewat celah jendela yang terbuka.Sontak saja aku merapatkan punggung ke jok karena kaget karena wajah kami jadi sangat-sangat dekat."Eh, kok malah gini?" Aku gelagapan, sedang dia tersenyum jahil."Ana, kamu tahu gak kenapa saya suka kamu marah?" tanyanya seraya mengulum senyum."Kenapa?" balasku sebal."Karena kamu terlihat lebih cantik kalau lagi marah," jawabnya santai tapi sukses membuat jantungku berdegup nggak santai.As-ta-ga! Kenapa dadaku jadi jedak-jeduk begini, sih?"Ish! Gak usah gombal gak ngaruh!" jawabku sambil menyembunyikan muka karena pipiku mulai memanas."Ana!" panggil Mas Haikal lagi."Iya, Mas?" sahutku sambil kembali menatapnya."Kamu boleh dekat dengan siapa pun sebagai teman tapi tidak dengan Dhimas, oke? Tolong jauhi dia!" tegas Mas Haikal sambil berlalu dari hadapanku yang menatapnya bingung.Penasaran.Sebenarnya, ada apa sih dengan Mas Haikal dan Bang Dhimas? Kenapa Mas Haikal seolah takut aku berdekatan dengannya?Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padakusetelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku."Dont touch my car!""Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.Teganya lagi.Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-bu
Honeymoon ambyar. Mungkin itu judul yang tepat untuk bulan madu kami selama di puncak Cipanas.Please! Jangan membayangkan hal yang indah akan terjadi padaku dan Mas Haikal karena itu suatu keajaiban yang mustahil karena dari mulai perjalanan dari kota sampai ke villa Mas Haikal itu bersikap seperti aku bukan istrinya.Nasib. Mungkin begini fakta menyakitkan menikah dengan kakak angkat, apa-apa diatur dan apa-apa dia yang merencanakan. Sampai tempat tidur pun dia yang memisahkan.Apes sekali.Sepertinya memang benar, di hati Mas Haikal ada orang lain. Sehingga dia lebih senang menutup diri dibanding membuka hati. Aku paham dan mawas diri, lagi pula perasaanku masih teringat Randi.Miris.Sempat kukira wanita itu adalah Ema ternyata aku salah. Ada wanita lain yang ia idamkan selain Ema dan sosok itu tersimpan rapat di dompetnya.Kenapa aku tahu? Karena saat membayar di pom bensin tadi malam, mataku yang jeli ini tak sengaja melihat foto lawas seorang perempuan cantik berpakaian SMA ada
"Haikal, dunia emang sempit, ya? Bertahun-tahun kepisah ternyata kita malah ketemu di sini. Kamu apa kabar?" Lagi-lagi si wanita cantik, berambut panjang dan berjari lentik ini hanya fokus pada Mas Haikal seakan tak ada aku di sini. Kacang! Kacang! Kira-kira kacang di pasar berapa ya, Bu? Kok, perasaan murah banget sampai aku merasa dikacangin. "Baik." Mas Haikal berdehem seraya melihatku. Paling enggak dia sadar ada makhluk cantik yang sedang merasa tak percaya diri di sampingnya. "Ini siapa? Adiknya Haikal kan, ya? Aku ingat wajah kamu suka ada di walpaper ponselnya dulu. Ternyata wajah kamu gak banyak berubah ya, Dek?" tanya si wanita kutilang (kuku cantik, tinggi dan langsing) ke arahku yang sedang monyong ke depan. Tadinya sih, aku mau protes tapi demi norma kesopanan aku memaksakan senyum. "Iya, Mbak. Aku adiknya Mas Haikal," jawabku singkat yang langsung diberi lirikan maut Mas Haikal. Aku tahu dia tak setuju atas jawabanku. Namun, daripada nanti akhirnya si wanita kutil
Kalau boleh nih jodoh dianulir atau diremedial, pasti aku akan mengisi angket perjodohan dengan nama-nama seperti Tom Cruise, Lee Min Ho, Lee Seung Gi sampai Kim Seon Ho sebagai pengganti Mas Haikal.Namun, takdir memang terkadang kejam kalau kata Desi Ratnasari. Setelah bulan madu gagal, bertemu ibuku pun gagal sekarang bayangan untuk berjalan-jalan di taman bunga pun gagal.Itu semua adalah ulah Mas Haikal yang suka berbuat seenak udelnya. Tanpa mempedulikan perasaan seorang anak terbuang sepertiku. Dia dengan gaya diktatornya tiba-tiba menginfokan akan pulang hari ini karena dia ada urusan. Padahal semalam kami sudah sepakat akan menemaniku refreshing dan mencari ibu sekali lagi.Jadilah, semua acara dicancel dan aku hanya bisa gigit jari ... iya jari kaki.A-P-E-S!"Ngapain kamu lihatin saya? Mau nyantet saya?" tanyanya menyebalkan saat mataku tak henti memelototinya."Enggak itu ngeliat boxer. Eh bukan, maksudnya kesel," jawabku keceplosan. Aneh nih otak, setiap melihat Mas Haik
Yang namanya nikah sama kakak angkat, aku tidak pernah berharap tinggi akan berakhir dengan romantisme seperti film India apalagi drama Korea.Enggak ada adegan mesra-mesra atau apa pun namanya. Berharap dia tidak menghinaku saja sudah lebih dari bersyukur.Mas Haikal jadi suami perhatian? Nonsense!Aku takut global warming semakin tinggi kalau dia mengubah sikap jadi baik. Kami itu seperti Tom and Jerry atau Spongebob dan Squidward yang tak pernah saling mengisi dan tahu keburukan satu sama lain sampai ke akarnya.Dia tahu aku yang suka ngupil dan aku tahu dia yang suka kentut sembarangan.Di balik wajah tampannya, sifat Mas Haikal itu ... ah, entahlah. Aku takut kualat kalau menceritakannya.Namun, asumsi ini ternyata tak sepenuhnya tepat. Aku tak bisa berbohong, pelukan dadakan Mas Haikal di pasar Cipanas tempo hari membuat bulu kudukku sukses meremang dan jantungku berdegup kencang. Sedikit banyak perbuatannya yang sok perhatian itu mulai mempengaruhiku sampai-sampai kurasa di
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Peristiwa semalam dan ancaman Mas Haikal sukses membuatku tak bisa tidur. Pikiranku sibuk melanglang buana karena cemas mantan kakak angkatku itu akan berbuat yang enggak-enggak saat aku terlelap.Mungkinkah aku parno?Sehingga benakku terus saja melancarkan invansi pertanyaan yang tak kunjung selesai dan membuatku stres.Bagaimana kalau dia tiba-tiba menyerang saat aku tidur? Bagaimana kalau pas bangun bajuku nggak ada? Atau tiba-tiba dia khilaf dan aku kehilangan statusku sebagai perawan?Ah, stress! Semua spekulasi tersebut sukses membuatku menjadi kunti yang rajin meronda hingga ayam berkokok tiba.Baru saja sekamar sudah pusing begini, gimana kalau lanjut ke tahap lebih intim? Bisa-bisa aku pingsan."Mata kamu kenapa bengkak gitu?" tanya Mas Haikal sambil melirik sekilas ke arahku yang lesu.Saat ini mobil Mas Haikal baru saja parkir di halaman sekolah tempatku mengajar. Seperti biasanya pagi-pagi begini masih belum banyak guru dan siswa yang datang.Mendengar pertanyaan Mas Haik