Semenjak menikah dengan Mas Haikal, aku tak pernah membayangkan hal-hal yang menyenangkan akan terjadi.
Aku tahu benar posisiku di rumah Bunda hanyalah sebagai pelengkap. Bahkan sampai sekarang pun aku tetap menjadi orang asing yang dipaksa masuk ke keluarga Bunda karena aku tak punya keluarga dan orang tuaku entah di mana.Aku yakin seandainya orang tuaku normal, bisa jadi mereka tak akan membiarkanku dirawat orang lain. Namun, takdir emang seunik itu. Kita tidak pernah memilih akan lahir dari rahim siapa dan bagaimana bentuk orang tua kita.Betul, kan?Lalu, apa aku harus mengeluhkan keadaan? Kurasa tidak! Aku akan pasrah jika nanti sekali pun pada akhirnya Mas Haikal menceraikanku saat dia sudah tak tahan, paling tidak bukan aku yang melepasnya lebih dulu.Itu bukti komitmen seorang anak yang tahu balas budi.Kusadari banyak yang takut menikahkan anaknya denganku karena orang tuaku, tapi tidak dengan Bunda.Bunda bilang, sebelum dia mengajukan Mas Haikal menjadi suami, dia sudah berkonsultasi bahwa penyakit gangguan jiwa itu ada yang bersifat gen dan ada yang bersifat karena permasalahan atau tekanan. Nah, jika itu karena masalah tekanan itu tentu tak akan jadi masalah bahkan dokter Dhimas--psikiater langganan Bunda menyarankan agar tak perlu dipikirkan. Sebab, dengan menjaga mental yang sehat dan ibadah yang baik semua akan baik-baik saja.Masalahnya aku dan Bunda tak tahu jenis gangguan jiwa apa yang menimpa orang tuaku sebab mereka hilang begitu saja usai melahirkanku.Itulah yang membuatku ragu, aku duga jika saja bukan karena menyelamatkan kehormatan keluarga bisa jadi mereka pun enggan menikahkanku."Siang Bu Ana sendirian aja nih ...," sapa seseorang ketika aku sedang bengong sendirian di kantin.Aku mendongak untuk melihat siapa yang menyapa."Bu Asih! Kirain siapa? Udah ngajarnya, Bu?" tanyaku pada Asih.Dia salah satu rekan guru di sini yang nyambung kalau diajak bicara soalnya sebagian besar guru sudah senior semua."Udah, duh puyeng Bu. Mana haus lagi," ujarnya seraya duduk di bangku kosong yang ada di depanku."Ya udah, nih minum punya saya Bu! Bebas gratis," candaku sembari memberikan teh botol yang belum sempat kuminum karena sibuk melamun."Waah makasih ya, Bu. Oh ya, Bu udah denger belum kalau guru bahasa inggris kelas delapan ganti?" tanya Asih tiba-tiba memelankan suaranya.Aku berpikir sejenak mencoba mengingat tapi tak lama aku langsung menjawab."Heum ... kayaknya belum Bu yang mana sih Bu orangnya?" tanyaku penasaran."Halo Bu Ema? Makan siang, ya? Mari Bu ...."Tepat di saat aku selesai bertanya tiba-tiba Pak Wiji, lelaki jomlo nan ganjen di sekolah ini menyapa seseorang dengan suara lantang membuat aku dan Asih menoleh ke sosok perempuan yang ada di ambang pintu kantin.Aku memicing untuk memperjelas penglihatan dan ketika guru baru itu berjalan semakin mendekat. Tiba-tiba otakku mengirim sinyal bahwa muka si guru baru ini tak asing.Namun, di mana ya, aku pernah melihatnya?Duh ... siapa ya, dia?Belum juga aku menemukan siapa sosok Ema dalam ingatankan. Suara Ema yang merdu dan lembut berhasil mengagetkanku."Ana? Kamu Ana, kan?" tanyanya seraya mengulurkan tangan.Aku menautkan alis merasa bingung."Eh, iya, saya Ana Bu. Maaf apa sebelumnya kita pernah ketemu?" jawabku sembari membalas uluran tangannya.Bu Ema tak langsung menjawab, dia melihat ke arah Asih juga ke arahku terlebih dahulu. Lalu, meminta ijin agar bisa duduk bareng kami dan aku persilahkan.Setelah nyaman, dia pun kembali melanjutkan obrolan sementara Asih masih memandang waspada. Heran, kenapa dia yang jadi lebih curiga dibanding aku? Dasar Asih."Kamu masih belum ingat, ya?" tanyanya lagi penuh harap.Aku menggelengkan kepala sekali lagi. "Belum Bu, maaf ....""Eum ... wajar sih kalau kamu lupa sama saya, dulu kamu masih SD waktu kita bertemu di rumah kamu. Gimana kabar Mas Haikal?"Reflek aku menajamkan telinga ketika Ema menyebutkan nama kakak angkatku itu.Bagaimana dia tahu nama Mas Haikal?"Ma-Mas Haikal baik. Maaf, Bu Ema kenal dari mana ya tentang Mas Haikal?"Entah kenapa dadaku bergemuruh aneh ketika melontarkan pertanyaan itu pada Bu Ema. Agak jarang rasanya, ada perempuan yang menanyakan kabar Mas Haikal yang dikenal anti perempuan.Bu Ema tersenyum. "Sebenarnya, saya agak malu mengatakannya tapi saya ini cinta pertama Mas-mu. Jadi, ingin tahu saja gimana kabarnya? Soalnya tadi tak sengaja saya liat kamu mencium tangannya di parkiran."Deg. Seketika dadaku berdenyut ngilu mendengar penjelasan Ema.Oh, jadi ini alasan kenapa Mas Haikal jadi aneh tadi pagi? Ternyata dia sudah tahu ada cinta pertamanya di sini?Sudah kuduga ada udang di balik bakwan."Heum ... Kakakmu sudah nikah?"Lagi. Aku dibuat terkaget-kaget oleh pertanyaan dadakan Ema sampai aku hampir keselek."Eh, nikah?""Iya. Nikah? Apa dia udah nikah?"Astaga! Alih-alih menjawab, aku malah sibuk menelan ludah. Kulirik Asih yang sejak tadi juga tampak penasaran.Memang sih, saat aku dan Mas Haikal menikah tak ada satu pun guru di SMP yang diundang karena mereka tahunya aku batal nikah sama Randi yang merupakan guru juga di yayasan ini, bedanya aku ngajar di SMP sedangkan dia di SMA.Maka, demi keamanan dan melindungi privasi keluarga lebih baik rekan kerjaku tidak tahu. Sebab, mau tak mau rekan kerja aku dan Randi ada yang sama karena satu lingkup yayasan."Bu Ana, kenapa kok bengong? Apa Mas Haikal sudah menikah?" ulang Ema seakan tak sabar."Iya Bu, ditanya tuh. Kakak Bu Ana itu yang kata anak-anak ganteng itu, ya? Dia udah nikah beneran?"Ya Allah! Sekarang Bu Asih pun ikutan kepo."Heum ... dia ...."Teett!Bel?Aku langsung merasa lega karena bel berhasil menyelamatkanku dari kekepoan dua wanita di depanku."Nah, Bu. Ngobrolnya nanti lagi,ya? Udah bel saya belum nyiapin bahan ajar, saya duluan. Bye ...." ujarku memutus obrolan terlebih dahulu lalu segera beranjak dari kursi. Sementara kulihat Bu Ema memandang kecewa."Eh, kok duluan sih?""Nanti lagi ya, Bu? Atau tanya aja sama Mas Haikal pasti dia tahu," jawabku sambil berlalu.Alhamdullilah selamat. Bukan apa-apa aku hanya bingung mau bilang bagaimana.Masa aku bilang, 'dia nikah sama aku Bu.'Agh! Enggak. Nanti malah nambah panjang urusan, lebih baik biar dia tanya langsung sama Mas Haikal--cinta pertamanya.(***)Kotaku diguyur hujan. Ini kali pertama lagi aku melihat hujan di sore hari dan nahasnya aku tak membawa payung.Aku melirik jam tangan, sudah menunjukan jam 4.00 sore pasti Mas Haikal sudah menuju ke rumah Bunda. Hari ini kami berjanji untuk mengecek apartemen bersama sebelum pindah.Cepat-cepat aku merapikan berkas dan peralatanku sebelum hari semakin gelap. Namun, di tengah kesibukanku tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruang guru."Bu Ana belum pulang?" tanya seorang lelaki membuatku sontak menoleh ke arah pintu yang terbuka."Pak Dokter? Kok ada di sini?" pekikku terkejut melihat dokter jiwa langganan Bunda itu ada di sekolah sesore ini."Iya saya ke sini ada urusan sama komite. Bu Ana gak lupa kan, kalau saya orang tua murid juga?""Oh iya! Maaf, saya baru ingat, wah kebetulan ya ...," sahutku sambil tersenyum.Diam-diam aku merutuki ingatanku yang lemah. Sekarang, aku baru ingat kalau dia adalah orang tua murid di sini juga. Lebih tepatnya baru beberapa bulan yang lalu pindah. Dia seorang duda dan anaknya bernama Kayla kelas delapan hanya itu saja yang kutahu mengenai keluarganya."Iya kebetulan. Oh iya, karena hujan gimana kalau kita pulang bareng?" tawar Dokter Dhimas dengan tatapan penuh harap.Awalnya aku merasa enggan, tapi setelah dibujuk dan mempertimbangkan ongkos penghematan akhirnya aku setuju."Baiklah, ayo Dok! Terima kasih sebelumnya," jawabku pada Dokter Dhimas.Setelah memeriksa tak ada yang tertinggal, aku dan Dokter Dhimas pun berjalan beriringan menuju pintu keluar tapi ketika kami melewati lobi sekolah tiba-tiba aku menangkap sosok tak asing sedang berbicara dengan Ema di salah satu sudutnya. Mereka terlihat berbicara dengan akrab.Sontak saja langkahku terhenti dan entah mengapa dadaku tetiba bergemuruh aneh."Mas Haikal? Kenapa dia ada di sini? Bukannya ...."Kata orang, memiliki tapi tak mencintai itu rasanya lebih menyedihkan dibanding mencintai tapi tak memiliki dan tampaknya aku setuju setelah melihatnya sendiri.Dulu aku berpendapat kalau memiliki tapi tak mencintai itu tak ada salahnya, toh kita punya raga seseorang itu dan cinta akan tumbuh seiring waktu. Namun, sekarang aku mulai ragu sebab Mas Haikal tetap tak berubah.Ema adalah cinta pertamanya dan kami hanya bertahan karena keadaan, meski kadang mungkin suatu saat bisa saling menyakiti, dimulai dari sekarang.Aku mengedip-ngedipkan mata berharap apa yang kulihat itu salah, tapi ternyata berapa kali pun aku mencoba meragu tetap saja sosok pria yang ada di depanku tak berubah wujud begitu juga dengan wanita yang ada di hadapannya.Sang lelaki tetaplah Mas Haikal dan si perempuan adalah Ema. Ah, aku paham mungkin mereka sedang bernostalgia. Sementara aku dan Bang Dhimas hanya nyamuk.Oiya, mulai hari ini Dokter Dhimas memintaku merubah nama panggilannya menjadi Bang Dhimas.Terden
Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padakusetelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku."Dont touch my car!""Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.Teganya lagi.Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-bu
Honeymoon ambyar. Mungkin itu judul yang tepat untuk bulan madu kami selama di puncak Cipanas.Please! Jangan membayangkan hal yang indah akan terjadi padaku dan Mas Haikal karena itu suatu keajaiban yang mustahil karena dari mulai perjalanan dari kota sampai ke villa Mas Haikal itu bersikap seperti aku bukan istrinya.Nasib. Mungkin begini fakta menyakitkan menikah dengan kakak angkat, apa-apa diatur dan apa-apa dia yang merencanakan. Sampai tempat tidur pun dia yang memisahkan.Apes sekali.Sepertinya memang benar, di hati Mas Haikal ada orang lain. Sehingga dia lebih senang menutup diri dibanding membuka hati. Aku paham dan mawas diri, lagi pula perasaanku masih teringat Randi.Miris.Sempat kukira wanita itu adalah Ema ternyata aku salah. Ada wanita lain yang ia idamkan selain Ema dan sosok itu tersimpan rapat di dompetnya.Kenapa aku tahu? Karena saat membayar di pom bensin tadi malam, mataku yang jeli ini tak sengaja melihat foto lawas seorang perempuan cantik berpakaian SMA ada
"Haikal, dunia emang sempit, ya? Bertahun-tahun kepisah ternyata kita malah ketemu di sini. Kamu apa kabar?" Lagi-lagi si wanita cantik, berambut panjang dan berjari lentik ini hanya fokus pada Mas Haikal seakan tak ada aku di sini. Kacang! Kacang! Kira-kira kacang di pasar berapa ya, Bu? Kok, perasaan murah banget sampai aku merasa dikacangin. "Baik." Mas Haikal berdehem seraya melihatku. Paling enggak dia sadar ada makhluk cantik yang sedang merasa tak percaya diri di sampingnya. "Ini siapa? Adiknya Haikal kan, ya? Aku ingat wajah kamu suka ada di walpaper ponselnya dulu. Ternyata wajah kamu gak banyak berubah ya, Dek?" tanya si wanita kutilang (kuku cantik, tinggi dan langsing) ke arahku yang sedang monyong ke depan. Tadinya sih, aku mau protes tapi demi norma kesopanan aku memaksakan senyum. "Iya, Mbak. Aku adiknya Mas Haikal," jawabku singkat yang langsung diberi lirikan maut Mas Haikal. Aku tahu dia tak setuju atas jawabanku. Namun, daripada nanti akhirnya si wanita kutil
Kalau boleh nih jodoh dianulir atau diremedial, pasti aku akan mengisi angket perjodohan dengan nama-nama seperti Tom Cruise, Lee Min Ho, Lee Seung Gi sampai Kim Seon Ho sebagai pengganti Mas Haikal.Namun, takdir memang terkadang kejam kalau kata Desi Ratnasari. Setelah bulan madu gagal, bertemu ibuku pun gagal sekarang bayangan untuk berjalan-jalan di taman bunga pun gagal.Itu semua adalah ulah Mas Haikal yang suka berbuat seenak udelnya. Tanpa mempedulikan perasaan seorang anak terbuang sepertiku. Dia dengan gaya diktatornya tiba-tiba menginfokan akan pulang hari ini karena dia ada urusan. Padahal semalam kami sudah sepakat akan menemaniku refreshing dan mencari ibu sekali lagi.Jadilah, semua acara dicancel dan aku hanya bisa gigit jari ... iya jari kaki.A-P-E-S!"Ngapain kamu lihatin saya? Mau nyantet saya?" tanyanya menyebalkan saat mataku tak henti memelototinya."Enggak itu ngeliat boxer. Eh bukan, maksudnya kesel," jawabku keceplosan. Aneh nih otak, setiap melihat Mas Haik
Yang namanya nikah sama kakak angkat, aku tidak pernah berharap tinggi akan berakhir dengan romantisme seperti film India apalagi drama Korea.Enggak ada adegan mesra-mesra atau apa pun namanya. Berharap dia tidak menghinaku saja sudah lebih dari bersyukur.Mas Haikal jadi suami perhatian? Nonsense!Aku takut global warming semakin tinggi kalau dia mengubah sikap jadi baik. Kami itu seperti Tom and Jerry atau Spongebob dan Squidward yang tak pernah saling mengisi dan tahu keburukan satu sama lain sampai ke akarnya.Dia tahu aku yang suka ngupil dan aku tahu dia yang suka kentut sembarangan.Di balik wajah tampannya, sifat Mas Haikal itu ... ah, entahlah. Aku takut kualat kalau menceritakannya.Namun, asumsi ini ternyata tak sepenuhnya tepat. Aku tak bisa berbohong, pelukan dadakan Mas Haikal di pasar Cipanas tempo hari membuat bulu kudukku sukses meremang dan jantungku berdegup kencang. Sedikit banyak perbuatannya yang sok perhatian itu mulai mempengaruhiku sampai-sampai kurasa di
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l