Share

Bab 4. Masa Lalu

Semenjak menikah dengan Mas Haikal, aku tak pernah membayangkan hal-hal yang menyenangkan akan terjadi.

Aku tahu benar posisiku di rumah Bunda hanyalah sebagai pelengkap. Bahkan sampai sekarang pun aku tetap menjadi orang asing yang dipaksa masuk ke keluarga Bunda karena aku tak punya keluarga dan orang tuaku entah di mana.

Aku yakin seandainya orang tuaku normal, bisa jadi mereka tak akan membiarkanku dirawat orang lain. Namun, takdir emang seunik itu. Kita tidak pernah memilih akan lahir dari rahim siapa dan bagaimana bentuk orang tua kita.

Betul, kan?

Lalu, apa aku harus mengeluhkan keadaan? Kurasa tidak! Aku akan pasrah jika nanti sekali pun pada akhirnya Mas Haikal menceraikanku saat dia sudah tak tahan, paling tidak bukan aku yang melepasnya lebih dulu.

Itu bukti komitmen seorang anak yang tahu balas budi.

Kusadari banyak yang takut menikahkan anaknya denganku karena orang tuaku, tapi tidak dengan Bunda.

Bunda bilang, sebelum dia mengajukan Mas Haikal menjadi suami, dia sudah berkonsultasi bahwa penyakit gangguan jiwa itu ada yang bersifat gen dan ada yang bersifat karena permasalahan atau tekanan. Nah, jika itu karena masalah tekanan itu tentu tak akan jadi masalah bahkan dokter Dhimas--psikiater langganan Bunda menyarankan agar tak perlu dipikirkan. Sebab, dengan menjaga mental yang sehat dan ibadah yang baik semua akan baik-baik saja.

Masalahnya aku dan Bunda tak tahu jenis gangguan jiwa apa yang menimpa orang tuaku sebab mereka hilang begitu saja usai melahirkanku.

Itulah yang membuatku ragu, aku duga jika saja bukan karena menyelamatkan kehormatan keluarga bisa jadi mereka pun enggan menikahkanku.

"Siang Bu Ana sendirian aja nih ...," sapa seseorang ketika aku sedang bengong sendirian di kantin.

Aku mendongak untuk melihat siapa yang menyapa.

"Bu Asih! Kirain siapa? Udah ngajarnya, Bu?" tanyaku pada Asih.

Dia salah satu rekan guru di sini yang nyambung kalau diajak bicara soalnya sebagian besar guru sudah senior semua.

"Udah, duh puyeng Bu. Mana haus lagi," ujarnya seraya duduk di bangku kosong yang ada di depanku.

"Ya udah, nih minum punya saya Bu! Bebas gratis," candaku sembari memberikan teh botol yang belum sempat kuminum karena sibuk melamun.

"Waah makasih ya, Bu. Oh ya, Bu udah denger belum kalau guru bahasa inggris kelas delapan ganti?" tanya Asih tiba-tiba memelankan suaranya.

Aku berpikir sejenak mencoba mengingat tapi tak lama aku langsung menjawab.

"Heum ... kayaknya belum Bu yang mana sih Bu orangnya?" tanyaku penasaran.

"Halo Bu Ema? Makan siang, ya? Mari Bu ...."

Tepat di saat aku selesai bertanya tiba-tiba Pak Wiji, lelaki jomlo nan ganjen di sekolah ini menyapa seseorang dengan suara lantang membuat aku dan Asih menoleh ke sosok perempuan yang ada di ambang pintu kantin.

Aku memicing untuk memperjelas penglihatan dan ketika guru baru itu berjalan semakin mendekat. Tiba-tiba otakku mengirim sinyal bahwa muka si guru baru ini tak asing.

Namun, di mana ya, aku pernah melihatnya?

Duh ... siapa ya, dia?

Belum juga aku menemukan siapa sosok Ema dalam ingatankan. Suara Ema yang merdu dan lembut berhasil mengagetkanku.

"Ana? Kamu Ana, kan?" tanyanya seraya mengulurkan tangan.

Aku menautkan alis merasa bingung.

"Eh, iya, saya Ana Bu. Maaf apa sebelumnya kita pernah ketemu?" jawabku sembari membalas uluran tangannya.

Bu Ema tak langsung menjawab, dia melihat ke arah Asih juga ke arahku terlebih dahulu. Lalu, meminta ijin agar bisa duduk bareng kami dan aku persilahkan.

Setelah nyaman, dia pun kembali melanjutkan obrolan sementara Asih masih memandang waspada. Heran, kenapa dia yang jadi lebih curiga dibanding aku? Dasar Asih.

"Kamu masih belum ingat, ya?" tanyanya lagi penuh harap.

Aku menggelengkan kepala sekali lagi. "Belum Bu, maaf ...."

"Eum ... wajar sih kalau kamu lupa sama saya, dulu kamu masih SD waktu kita bertemu di rumah kamu. Gimana kabar Mas Haikal?"

Reflek aku menajamkan telinga ketika Ema menyebutkan nama kakak angkatku itu.

Bagaimana dia tahu nama Mas Haikal?

"Ma-Mas Haikal baik. Maaf, Bu Ema kenal dari mana ya tentang Mas Haikal?"

Entah kenapa dadaku bergemuruh aneh ketika melontarkan pertanyaan itu pada Bu Ema. Agak jarang rasanya, ada perempuan yang menanyakan kabar Mas Haikal yang dikenal anti perempuan.

Bu Ema tersenyum. "Sebenarnya, saya agak malu mengatakannya tapi saya ini cinta pertama Mas-mu. Jadi, ingin tahu saja gimana kabarnya? Soalnya tadi tak sengaja saya liat kamu mencium tangannya di parkiran."

Deg. Seketika dadaku berdenyut ngilu mendengar penjelasan Ema.

Oh, jadi ini alasan kenapa Mas Haikal jadi aneh tadi pagi? Ternyata dia sudah tahu ada cinta pertamanya di sini?

Sudah kuduga ada udang di balik bakwan.

"Heum ... Kakakmu sudah nikah?"

Lagi. Aku dibuat terkaget-kaget oleh pertanyaan dadakan Ema sampai aku hampir keselek.

"Eh, nikah?"

"Iya. Nikah? Apa dia udah nikah?"

Astaga! Alih-alih menjawab, aku malah sibuk menelan ludah. Kulirik Asih yang sejak tadi juga tampak penasaran.

Memang sih, saat aku dan Mas Haikal menikah tak ada satu pun guru di SMP yang diundang karena mereka tahunya aku batal nikah sama Randi yang merupakan guru juga di yayasan ini, bedanya aku ngajar di SMP sedangkan dia di SMA.

Maka, demi keamanan dan melindungi privasi keluarga lebih baik rekan kerjaku tidak tahu. Sebab, mau tak mau rekan kerja aku dan Randi ada yang sama karena satu lingkup yayasan.

"Bu Ana, kenapa kok bengong? Apa Mas Haikal sudah menikah?" ulang Ema seakan tak sabar.

"Iya Bu, ditanya tuh. Kakak Bu Ana itu yang kata anak-anak ganteng itu, ya? Dia udah nikah beneran?"

Ya Allah! Sekarang Bu Asih pun ikutan kepo.

"Heum ... dia ...."

Teett!

Bel?

Aku langsung merasa lega karena bel berhasil menyelamatkanku dari kekepoan dua wanita di depanku.

"Nah, Bu. Ngobrolnya nanti lagi,ya? Udah bel saya belum nyiapin bahan ajar, saya duluan. Bye ...." ujarku memutus obrolan terlebih dahulu lalu segera beranjak dari kursi. Sementara kulihat Bu Ema memandang kecewa.

"Eh, kok duluan sih?"

"Nanti lagi ya, Bu? Atau tanya aja sama Mas Haikal pasti dia tahu," jawabku sambil berlalu.

Alhamdullilah selamat. Bukan apa-apa aku hanya bingung mau bilang bagaimana.

Masa aku bilang, 'dia nikah sama aku Bu.'

Agh! Enggak. Nanti malah nambah panjang urusan, lebih baik biar dia tanya langsung sama Mas Haikal--cinta pertamanya.

(***)

Kotaku diguyur hujan. Ini kali pertama lagi aku melihat hujan di sore hari dan nahasnya aku tak membawa payung.

Aku melirik jam tangan, sudah menunjukan jam 4.00 sore pasti Mas Haikal sudah menuju ke rumah Bunda. Hari ini kami berjanji untuk mengecek apartemen bersama sebelum pindah.

Cepat-cepat aku merapikan berkas dan peralatanku sebelum hari semakin gelap. Namun, di tengah kesibukanku tiba-tiba seseorang mengetuk pintu ruang guru.

"Bu Ana belum pulang?" tanya seorang lelaki membuatku sontak menoleh ke arah pintu yang terbuka.

"Pak Dokter? Kok ada di sini?" pekikku terkejut melihat dokter jiwa langganan Bunda itu ada di sekolah sesore ini.

"Iya saya ke sini ada urusan sama komite. Bu Ana gak lupa kan, kalau saya orang tua murid juga?"

"Oh iya! Maaf, saya baru ingat, wah kebetulan ya ...," sahutku sambil tersenyum.

Diam-diam aku merutuki ingatanku yang lemah. Sekarang, aku baru ingat kalau dia adalah orang tua murid di sini juga. Lebih tepatnya baru beberapa bulan yang lalu pindah. Dia seorang duda dan anaknya bernama Kayla kelas delapan hanya itu saja yang kutahu mengenai keluarganya.

"Iya kebetulan. Oh iya, karena hujan gimana kalau kita pulang bareng?" tawar Dokter Dhimas dengan tatapan penuh harap.

Awalnya aku merasa enggan, tapi setelah dibujuk dan mempertimbangkan ongkos penghematan akhirnya aku setuju.

"Baiklah, ayo Dok! Terima kasih sebelumnya," jawabku pada Dokter Dhimas.

Setelah memeriksa tak ada yang tertinggal, aku dan Dokter Dhimas pun berjalan beriringan menuju pintu keluar tapi ketika kami melewati lobi sekolah tiba-tiba aku menangkap sosok tak asing sedang berbicara dengan Ema di salah satu sudutnya. Mereka terlihat berbicara dengan akrab.

Sontak saja langkahku terhenti dan entah mengapa dadaku tetiba bergemuruh aneh.

"Mas Haikal? Kenapa dia ada di sini? Bukannya ...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status