Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.
Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.
Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.
Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padaku
setelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku.
"Dont touch my car!"
"Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!
"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"
Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.
Teganya lagi.
Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-busnudzon.
Sampai di rumah, Mas Haikal tetap saja menjadi makhluk paling 'kulkas' yang pernah aku temui. Dia hanya diam dengan sorot mata membekukan.
Menyedihkan.
Apa dia punya kepribadian ganda? Atau dia punya masalah sama otaknya hingga bisa cepat berubah? Dan parahnya lagi di antara ketidakmengertian ini, tiba-tiba Bunda meminta kami untuk pergi honeymoon ke puncak Cipanas.
See. Petaka macam apa ini?
"Honeymoon? Enggak mau Bun maaf," tolakku mentah-mentah.
Dadaku sampai naik-turun karena emosi yang kutahan sejak tadi.
"Loh, kenapa Na? Ini bagus buat kalian."
Iya, bagus buat dia nggak bagus buat aku.
Aku terdiam tak menjawab pertanyaan Ibu. Diam-diam kulirik Mas Haikal dia tampak tenang saja bukannya ikutan menolak.
"Iya tapi ... kalau Ana kayaknya gak bisa pergi jauh karena masih ada kerjaan," elakku.
Aneh. Kenapa hanya aku yang tak setuju? Harusnya Mas Haikal juga, kan? Dia yang pasti paling dirugikan kalau honeymoon terlaksana.
Bunda menatap aku dan Mas Haikal secara bergantian. Lalu menarik napas dalam.
"Ana, kami sarankan kalian ke sana selain karena untuk honeymoon juga untuk ...." Bunda menjeda kalimatnya untuk melihat ekspresiku.
"Untuk apa, Bun?" tanyaku penasaran.
"Menemui Ibu kandungmu Na, katanya dia pindah dari Betawi ke daerah sana, tapi kami nggak tahu pasti benar atau tidaknya karena Uwa Uum Kakak ibumu gak bisa dihubungi juga."
"Ja-jadi, ibu kandungku ada di sana, Bun?"
"Iya, katanya Mang Alo begitu. Bunda kasih tahu ini, soalnya kemarin kamu bilang mau nyari ibu kandung kamu, bagaimana pun Bunda sadar ini hak kamu untuk tahu."
"Ya Allah! Alhamdullilah. Iya Bun, aku mau tapi bukannya Mas Haikal baru masuk kerja, ya?"
"Eh, kata siapa. Dia mah bisa aja kok. Iya kan, Kal?"
Bunda mengalihkan pandangan pada Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam mendengarkan kami. Sementara aku mengatupkan bibir rapat karena syok.
Pikiranku tiba-tiba menjadi penuh karena harapan-harapan yang datang tidak pada tempatnya.
Benarkah aku akan bertemu ibu kandungku?! Serius? Aku tidak bermimpi, kan?
Aku hampir saja bersorak bahagia karena tak percaya akhirnya kesempatan ini datang, tapi aku tahan karena malu.
Jujur saja, semenjak Bunda bilang aku bukan anak kandungnya. Di benak ini otakku tak henti berulang kali bertanya tentang bagaimana rupa ibu dan ayahku karena tak ada satu pun yang memiliki fotonya.
Syukurlah, jika sekarang ada jalan mengetahui itu. Akan tetapi, tetap saja aku ragu. Aku ragu kalau Mas Haikal akan mau mengantarku.
"Kal, gimana? Kamu mau, kan? Lagi pula katanya kamu mau resign kan dari kantor kamu? Sekalian aja kalau begitu ijin selamanya, ya?" kata Bunda lagi pada Mas Haikal.
Mendengar kata resign sontak aku menolehkan kepala, menatap Mas Haikal yang ternyata sudah lebih dulu menatapku.
"Apa? Mas Haikal resign? Kok, bisa? Apa ini karena Ana?" tanyaku menyesalkan.
Lelaki berkulit putih itu mendesis kecil. "Karena kamu? Kepedean! Saya keluar karena saya bosen dan saya berpikir saya lebih baik membuka firma sendiri, dibanding di bawah ketiak orang lain," jelasnya.
"Oh, begitu. Bukan karena menikahi aku, kan?" tanyaku pelan.
Dia hanya tersenyum simpul. "Gak usah mikir macem-macem, ini gak ada hubungannya sama kamu," ujar Mas Haikal santai.
Mendapati sikap Mas Haikal begitu, dengan terpaksa aku menganggukkan kepala sebagai tanda memahami jawabannya.
Benar juga sih, dia kan profesi aslinya adalah seorang pengacara. Dulu, dia di Malang terpaksa ikut bekerja di perusahaan trading sebagai konsultan hukum karena tuntutan ayahnya. Jadi, apa salahnya jika dia keluar sekarang?
Kenapa aku jadi ikutan merasa bersalah?
Apa karena aku masih merasa kalau aku hanya jadi penghambatnya karirnya saja, terlebih belakangan aku tahu kalau sebenarnya ayah angkatku tak terlalu setuju pernikahan ini. Hanya Bunda memaksa.
"Tuh kan, Na. Ikal aja udah mau karena dia juga sekarang bisa mengatur jadwal kerjanya sendiri. Jadi, kamu mau kan pergi?" tawar Bunda lagi dengan mata yang berbinar penuh harap.
Aku mendongakkan kepala, menatap Bunda.
"Ba-baiklah Bun, tapi kapan kami harus honeymoon eh, pergi ke puncak Bun?"
"Malam ini Na."
Hah!
(***)
Aku terbangun dari lena saat ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku beberapa kali.
"An! Ana! Ayo, cepat siap-siap kita akan berangkat!"
Mendengar suara yang tak asing aku spontan membuka mata dan menemukan wajah Mas Haikal di sana.
"Mas Haikal?"
Kaget. Aku terperanjat bangun sambil memegang kepalaku yang sedikit pusing.
"Kita berangkat sekarang, Mas?" tanyaku dengan tampang yang mungkin bodoh.
Maklum nyawaku belum kumpul semua, aku baru sadar kalau aku ketiduran saat lagi packing, mungkin karena kelelahan.
Siapa yang mengira, kalau aku harus berangkat semalam ini ke luar kota padahal sebelumnya masih menganggap cuman pindah apartemen saja.
"Iya-lah, saya gak mau ya kalau berangkat besok. Kamu tahu kan jalanan ke sana macetnya kayak apa? Sudah sana ganti bajunya, nih!" Mas Haikal tiba-tiba saja menyodorkan baju ganti, handuk sampai dalaman.
Aku terbelalak tak percaya dia melakukan itu.
"Loh, kok Mas yang ambilin?" protesku dengan mulut membulat
Tanganku reflek mengambil pakaian itu dari tangan Mas Haikal. Sementara dia mengulum senyum.
Buset! Bisa-bisanya dia membawakan pakaian dalamku? Dulu sih, emang iya nggak masalah karena kami masih menganggap satu keluarga tapi sekarang itu beda. Tetap saja statusku bukan lagi adiknya.
"Emang kenapa? Kan, saya baik jadi saya ambilin dibanding kamu nyari-nyari," ujarnya cuek sembari membereskan koper.
"Iya, sih. Tapi kan yang Mas ambil itu bukan hanya baju tapi be-ha juga," gumamku sangat pelan sambil menyembunyikan wajah.
Malu.
"Yaelah, habisnya kamu lama sih. Saya gak mau gara-gara kamu nyari baju jadi telat, udah sana ganti!" perintah Mas Haikal sok diktator.
Tak mau berdebat, aku akhirnya mengalah dan memilih menekuk wajah sambil menuju ke kamar mandi.
Melihatku sangat kesal. Dia kemudian berkata lagi.
"Udah, gak usah ngambek. Dulu waktu kamu bayi saya juga pernah ikutan mandiin kamu sama Bunda, jadi jangan malu. Eh, tapi saya gak nyangka juga sih, ukuran bra-nya sekecil itu hahaha ...," tawanya sambil berlari meninggalkanku yang langsung berteriak membahana.
"Mas Haikaaal! Awas, ya!"
Honeymoon ambyar. Mungkin itu judul yang tepat untuk bulan madu kami selama di puncak Cipanas.Please! Jangan membayangkan hal yang indah akan terjadi padaku dan Mas Haikal karena itu suatu keajaiban yang mustahil karena dari mulai perjalanan dari kota sampai ke villa Mas Haikal itu bersikap seperti aku bukan istrinya.Nasib. Mungkin begini fakta menyakitkan menikah dengan kakak angkat, apa-apa diatur dan apa-apa dia yang merencanakan. Sampai tempat tidur pun dia yang memisahkan.Apes sekali.Sepertinya memang benar, di hati Mas Haikal ada orang lain. Sehingga dia lebih senang menutup diri dibanding membuka hati. Aku paham dan mawas diri, lagi pula perasaanku masih teringat Randi.Miris.Sempat kukira wanita itu adalah Ema ternyata aku salah. Ada wanita lain yang ia idamkan selain Ema dan sosok itu tersimpan rapat di dompetnya.Kenapa aku tahu? Karena saat membayar di pom bensin tadi malam, mataku yang jeli ini tak sengaja melihat foto lawas seorang perempuan cantik berpakaian SMA ada
"Haikal, dunia emang sempit, ya? Bertahun-tahun kepisah ternyata kita malah ketemu di sini. Kamu apa kabar?" Lagi-lagi si wanita cantik, berambut panjang dan berjari lentik ini hanya fokus pada Mas Haikal seakan tak ada aku di sini. Kacang! Kacang! Kira-kira kacang di pasar berapa ya, Bu? Kok, perasaan murah banget sampai aku merasa dikacangin. "Baik." Mas Haikal berdehem seraya melihatku. Paling enggak dia sadar ada makhluk cantik yang sedang merasa tak percaya diri di sampingnya. "Ini siapa? Adiknya Haikal kan, ya? Aku ingat wajah kamu suka ada di walpaper ponselnya dulu. Ternyata wajah kamu gak banyak berubah ya, Dek?" tanya si wanita kutilang (kuku cantik, tinggi dan langsing) ke arahku yang sedang monyong ke depan. Tadinya sih, aku mau protes tapi demi norma kesopanan aku memaksakan senyum. "Iya, Mbak. Aku adiknya Mas Haikal," jawabku singkat yang langsung diberi lirikan maut Mas Haikal. Aku tahu dia tak setuju atas jawabanku. Namun, daripada nanti akhirnya si wanita kutil
Kalau boleh nih jodoh dianulir atau diremedial, pasti aku akan mengisi angket perjodohan dengan nama-nama seperti Tom Cruise, Lee Min Ho, Lee Seung Gi sampai Kim Seon Ho sebagai pengganti Mas Haikal.Namun, takdir memang terkadang kejam kalau kata Desi Ratnasari. Setelah bulan madu gagal, bertemu ibuku pun gagal sekarang bayangan untuk berjalan-jalan di taman bunga pun gagal.Itu semua adalah ulah Mas Haikal yang suka berbuat seenak udelnya. Tanpa mempedulikan perasaan seorang anak terbuang sepertiku. Dia dengan gaya diktatornya tiba-tiba menginfokan akan pulang hari ini karena dia ada urusan. Padahal semalam kami sudah sepakat akan menemaniku refreshing dan mencari ibu sekali lagi.Jadilah, semua acara dicancel dan aku hanya bisa gigit jari ... iya jari kaki.A-P-E-S!"Ngapain kamu lihatin saya? Mau nyantet saya?" tanyanya menyebalkan saat mataku tak henti memelototinya."Enggak itu ngeliat boxer. Eh bukan, maksudnya kesel," jawabku keceplosan. Aneh nih otak, setiap melihat Mas Haik
Yang namanya nikah sama kakak angkat, aku tidak pernah berharap tinggi akan berakhir dengan romantisme seperti film India apalagi drama Korea.Enggak ada adegan mesra-mesra atau apa pun namanya. Berharap dia tidak menghinaku saja sudah lebih dari bersyukur.Mas Haikal jadi suami perhatian? Nonsense!Aku takut global warming semakin tinggi kalau dia mengubah sikap jadi baik. Kami itu seperti Tom and Jerry atau Spongebob dan Squidward yang tak pernah saling mengisi dan tahu keburukan satu sama lain sampai ke akarnya.Dia tahu aku yang suka ngupil dan aku tahu dia yang suka kentut sembarangan.Di balik wajah tampannya, sifat Mas Haikal itu ... ah, entahlah. Aku takut kualat kalau menceritakannya.Namun, asumsi ini ternyata tak sepenuhnya tepat. Aku tak bisa berbohong, pelukan dadakan Mas Haikal di pasar Cipanas tempo hari membuat bulu kudukku sukses meremang dan jantungku berdegup kencang. Sedikit banyak perbuatannya yang sok perhatian itu mulai mempengaruhiku sampai-sampai kurasa di
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Sebagai wanita yang sudah menikah aku ingin bersikap dewasa. Tidak cemburu, tidak julid, tidak dengki, tidak kepo dan tidak melakukan hal bodoh yang menyebabkan diri tersiksa tapi semua itu hanya teori karena Mas Haikal membuatku bingung setengah mati.Seusai acara keceplosan di restoran Mas Haikal tiba-tiba menjadi pendiam, dia sama sekali tak berbicara apa pun bahkan sampai kami tiba di apartemen dan masuk ke kamar masing-masing.Aku paham pasti dia tidak menyangka kalau reaksi Alvia akan sekeras itu hingga mereka pun cukup lama bicara. Terlebih banyak orang yang harus ia berikan klarifikasi walau akhirnya Alvia berjanji akan merahasiakannya dari yang lain.Oya, mungkinkah sikap diam suamiku itu dikarenakan ia menyesal mengakuiku sebagai istri di depan Alvia?Apa sepenting itu seorang Alvia dalam hatinya? Apa aku hanya bayang-bayang? Lalu, bolehkah aku menyerah saja? Dan mundur dari arena ini.Ah ... sial! Ternyata melelahkan, ya? Menjadi istri dari suami yang hatinya milik wanita l
Peristiwa semalam dan ancaman Mas Haikal sukses membuatku tak bisa tidur. Pikiranku sibuk melanglang buana karena cemas mantan kakak angkatku itu akan berbuat yang enggak-enggak saat aku terlelap.Mungkinkah aku parno?Sehingga benakku terus saja melancarkan invansi pertanyaan yang tak kunjung selesai dan membuatku stres.Bagaimana kalau dia tiba-tiba menyerang saat aku tidur? Bagaimana kalau pas bangun bajuku nggak ada? Atau tiba-tiba dia khilaf dan aku kehilangan statusku sebagai perawan?Ah, stress! Semua spekulasi tersebut sukses membuatku menjadi kunti yang rajin meronda hingga ayam berkokok tiba.Baru saja sekamar sudah pusing begini, gimana kalau lanjut ke tahap lebih intim? Bisa-bisa aku pingsan."Mata kamu kenapa bengkak gitu?" tanya Mas Haikal sambil melirik sekilas ke arahku yang lesu.Saat ini mobil Mas Haikal baru saja parkir di halaman sekolah tempatku mengajar. Seperti biasanya pagi-pagi begini masih belum banyak guru dan siswa yang datang.Mendengar pertanyaan Mas Haik
Baper itu ada porsinya. Itulah prinsip yang kupegang tapi kalau bapernya sampai ke ubun-ubun gimana? Itulah yang sedang kuidap sekarang.Bagaimana aku tidak baper jika kepalaku berada dekat dengan dada Mas Haikal? Pakai beradu pandang segala lagi. Kan, aku jadi deg-degan dan panas dingin. Lagian sih Mas Haikal suka bermain api, buat menjelaskan saja harus gengdongan segala sampai mobil lagi. Enggak bisa apa pakai cara lebih manusiawi bukan ala preman begini? Dasar aneh! Bikin jantung kelojotan aja."Masih manyun aja nih? Mau denger penjelasan gak atau mau beneran di ranjang?" ucapnya dengan ekspresi menggoda."Berisik! Apaan sih? Gak lucu ya, Mas? Ni masih di jalan loh," balasku tanpa melihatnya.Heran, masih di mobil juga mainannya ngancam terus. Aku memilih melemparkan wajah ke samping jendela melihat situasi yang ada di luar sana dibanding makin terpesona sama si mantan kakak angkat."Oke, Mas jelasin ya adik eh istri manis."What? Adik manis katanya? Keceplosannya bikin sakit."