Beranda / Romansa / Dinikahi Kakak Angkat / Bab 6. Honeymoon yang Gagal

Share

Bab 6. Honeymoon yang Gagal

Penulis: Fiska Aimma
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-13 10:02:06

Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.

Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.

Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.

Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padaku

setelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.

Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku.

"Dont touch my car!"

"Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!

"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"

Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.

Teganya lagi.

Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-busnudzon.

Sampai di rumah, Mas Haikal tetap saja menjadi makhluk paling 'kulkas' yang pernah aku temui. Dia hanya diam dengan sorot mata membekukan.

Menyedihkan.

Apa dia punya kepribadian ganda? Atau dia punya masalah sama otaknya hingga bisa cepat berubah? Dan parahnya lagi di antara ketidakmengertian ini, tiba-tiba Bunda meminta kami untuk pergi honeymoon ke puncak Cipanas.

See. Petaka macam apa ini?

"Honeymoon? Enggak mau Bun maaf," tolakku mentah-mentah.

Dadaku sampai naik-turun karena emosi yang kutahan sejak tadi.

"Loh, kenapa Na?  Ini bagus buat kalian."

Iya, bagus buat dia nggak bagus buat aku.

Aku terdiam tak menjawab pertanyaan Ibu. Diam-diam kulirik Mas Haikal dia tampak tenang saja bukannya ikutan menolak.

"Iya tapi ... kalau Ana kayaknya gak bisa pergi jauh karena masih ada kerjaan," elakku.

Aneh. Kenapa hanya aku yang tak setuju? Harusnya Mas Haikal juga, kan? Dia yang pasti paling dirugikan kalau honeymoon terlaksana.

Bunda menatap aku dan Mas Haikal secara bergantian. Lalu menarik napas dalam.

"Ana, kami sarankan kalian ke sana selain karena untuk honeymoon juga untuk ...." Bunda menjeda kalimatnya untuk melihat ekspresiku.

"Untuk apa, Bun?" tanyaku penasaran.

"Menemui Ibu kandungmu Na, katanya dia pindah dari Betawi ke daerah sana, tapi kami nggak tahu pasti benar atau tidaknya karena Uwa Uum Kakak ibumu gak bisa dihubungi juga."

"Ja-jadi, ibu kandungku ada di sana, Bun?"

"Iya, katanya Mang Alo begitu. Bunda kasih tahu ini, soalnya kemarin kamu bilang mau nyari ibu kandung kamu, bagaimana pun Bunda sadar ini hak kamu untuk tahu."

"Ya Allah! Alhamdullilah. Iya Bun, aku mau tapi bukannya Mas Haikal baru masuk kerja, ya?"

"Eh, kata siapa. Dia mah bisa aja kok. Iya kan, Kal?"

Bunda mengalihkan pandangan pada Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam mendengarkan kami. Sementara aku mengatupkan bibir rapat karena syok.

Pikiranku tiba-tiba menjadi penuh karena harapan-harapan yang datang tidak pada tempatnya.

Benarkah aku akan bertemu ibu kandungku?! Serius? Aku tidak bermimpi, kan?

Aku hampir saja bersorak bahagia karena tak percaya akhirnya kesempatan ini datang, tapi aku tahan karena malu.

Jujur saja, semenjak Bunda bilang aku bukan anak kandungnya. Di benak ini otakku tak henti berulang kali bertanya tentang bagaimana rupa ibu dan ayahku karena tak ada satu pun yang memiliki fotonya.

Syukurlah, jika sekarang ada jalan mengetahui itu. Akan tetapi, tetap saja aku ragu. Aku ragu kalau Mas Haikal akan mau mengantarku.

"Kal, gimana? Kamu mau, kan? Lagi pula katanya kamu mau resign kan dari kantor kamu? Sekalian aja kalau begitu ijin selamanya, ya?" kata Bunda lagi pada Mas Haikal.

Mendengar kata resign sontak aku menolehkan kepala, menatap Mas Haikal yang ternyata sudah lebih dulu  menatapku.

"Apa? Mas Haikal resign? Kok, bisa? Apa ini karena Ana?" tanyaku menyesalkan.

Lelaki berkulit putih itu mendesis kecil. "Karena kamu? Kepedean! Saya keluar karena saya bosen dan saya berpikir saya lebih baik membuka firma sendiri, dibanding di bawah ketiak orang lain," jelasnya.

"Oh, begitu. Bukan karena menikahi aku, kan?" tanyaku pelan.

Dia hanya tersenyum simpul. "Gak usah mikir macem-macem, ini gak ada hubungannya sama kamu," ujar Mas Haikal santai.

Mendapati sikap Mas Haikal begitu, dengan terpaksa aku menganggukkan kepala sebagai tanda memahami jawabannya.

Benar juga sih, dia kan profesi aslinya adalah seorang pengacara. Dulu, dia di Malang terpaksa ikut bekerja di perusahaan trading sebagai konsultan hukum karena tuntutan ayahnya. Jadi, apa salahnya jika dia keluar sekarang?

Kenapa aku jadi ikutan merasa bersalah?

Apa karena aku masih merasa kalau aku hanya jadi penghambatnya karirnya saja, terlebih belakangan aku tahu kalau sebenarnya ayah angkatku tak terlalu setuju pernikahan ini. Hanya Bunda memaksa.

"Tuh kan, Na. Ikal aja udah mau karena dia juga sekarang bisa mengatur jadwal kerjanya sendiri. Jadi, kamu mau kan pergi?" tawar Bunda lagi dengan mata yang berbinar penuh harap.

Aku mendongakkan kepala, menatap Bunda.

"Ba-baiklah Bun, tapi kapan kami harus honeymoon eh, pergi ke puncak Bun?"

"Malam ini Na."

Hah!

(***)

Aku terbangun dari lena saat ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku beberapa kali.

"An!  Ana! Ayo, cepat siap-siap kita akan berangkat!"

Mendengar suara yang tak asing aku spontan membuka mata dan menemukan wajah Mas Haikal di sana.

"Mas Haikal?"

Kaget. Aku terperanjat bangun sambil memegang kepalaku yang sedikit pusing.

"Kita berangkat sekarang, Mas?" tanyaku dengan tampang yang mungkin bodoh.

Maklum nyawaku belum kumpul semua, aku baru sadar kalau aku ketiduran saat lagi packing, mungkin karena kelelahan.

Siapa yang mengira, kalau aku harus berangkat semalam ini ke luar kota padahal sebelumnya masih menganggap cuman pindah apartemen saja.

"Iya-lah, saya gak mau ya kalau berangkat besok. Kamu tahu kan jalanan ke sana macetnya kayak apa? Sudah sana ganti bajunya, nih!" Mas Haikal tiba-tiba saja menyodorkan baju ganti, handuk sampai dalaman.

Aku terbelalak tak percaya dia melakukan itu.

"Loh, kok Mas yang ambilin?" protesku dengan mulut membulat

Tanganku reflek mengambil pakaian itu dari tangan Mas Haikal. Sementara dia mengulum senyum.

Buset! Bisa-bisanya dia membawakan pakaian dalamku? Dulu sih, emang iya nggak masalah karena kami masih menganggap satu keluarga tapi sekarang itu beda. Tetap saja statusku bukan lagi adiknya.

"Emang kenapa? Kan, saya baik jadi saya ambilin dibanding kamu nyari-nyari," ujarnya cuek sembari membereskan koper.

"Iya, sih. Tapi kan yang Mas ambil itu bukan hanya baju tapi be-ha juga," gumamku sangat pelan sambil menyembunyikan wajah.

Malu.

"Yaelah, habisnya kamu lama sih. Saya gak mau gara-gara kamu nyari baju jadi telat, udah sana ganti!"  perintah Mas Haikal sok diktator.

Tak mau berdebat, aku akhirnya mengalah dan memilih  menekuk wajah sambil menuju ke kamar mandi.

Melihatku sangat kesal. Dia kemudian berkata lagi.

"Udah, gak usah ngambek. Dulu waktu kamu bayi saya juga pernah ikutan mandiin kamu sama Bunda, jadi jangan malu. Eh, tapi saya gak nyangka juga sih, ukuran bra-nya sekecil itu hahaha ...," tawanya sambil berlari meninggalkanku yang langsung berteriak membahana.

"Mas Haikaaal! Awas, ya!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 24. Good News

    Waktu berjalan terlampau cepat, tak terasa pernikahan kami sudah mau setahun.Sudah banyak perubahan yang terjadi di antara kami. Mas Haikal yang biasanya jarang laporan kalau mau ke mana-mana sekarang apa pun dia kabarkan padaku.Entah apa alasannya, mungkin dia takut aku curiga. Drama salah paham yang dulu pernah menyerempet perselingkuhan tampaknya cukup membuat kami banyak belajar dan menjadi dekat termasuk antara keluarga.Sudah beberapa minggu ini juga, aku lebih sering pulang ke rumah Bunda dan menjenguk Ibu yang sudah tampak lebih baik. Wanita spesial yang memiliki keterbelakangan mental itu akhirnya mau aku ajak berkomunikasi dibanding sebelumnya. Dia tampak mulai mau mengenali aku sebagai anaknya.Kata-kata usiran kini tak ada lagi yang ada hanya kasih sayang meski lewat matanya. Sementara jika berbicara tentang bapak kandungku jujur saja aku sudah tak lagi mempertanyakan. Karena bagiku memiliki Mas Haikal, Bunda, Ayah dan dapat bertemu ibu kandungku sudah lebih dari cukup.

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 23. Camping Vibes.

    Camping adalah kegiatan yang paling aku inginkan selama hidupku. Namun, sebelumnya tak pernah tercapai karena Bunda selalu melarang."Biar Haikal saja yang jadi pendaki dan suka ninggalin rumah, kamu jangan!" Begitu Bunda bilang kalau aku ijin pergi.Kata Bunda, anak gadis jangan naik-naik gunung. Itulah mengapa semasa kuliah, aku hanya gemar mendengar cerita yang dibawa Mas Haikal saja dibanding merasakannya sendiri.Kemudian sekarang, setelah aku menikah alhamdullilah Mas Haikal si pecinta alam ingin mewujudkannya. Dia berencana membuat moment berbeda untuk kami berdua.Manis banget nggak, sih?"Kamu yakin mau naik gunung Puntang, kan? Tenang aja, karena tingginya nggak setinggi Semeru Mas yakin ini cocok buat pemula," kata Mas Haikal seraya merekatkan jaket ke tubuhku."Ya Mas. Insya Allah yakin."Aku tersenyum dan mengangguk pasti.Setelah memastikan barang bawaan tak ada yang tertinggal di mobil, aku dan Mas Haikal pun berjalan beriringan menuju titik kumpul.Aku menghembuskan na

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 23. Aku Menang?

    Mas Haikal memasak. Suatu kejadian yang langka, aku yakin jika kami tak lagi gencatan senjata dan aku sakit pasti dia tak mau melakukannya."Gimana buburnya? Enak?" tanya Mas Haikal yang aku langsung jawab dengan anggukan.Dia tersenyum lega. Setelah kejadian salah paham tadi pagi, Mas Haikal kembali menjadi suami yang siaga. Lelaki itu seolah tak pernah lelah menjagaku. Mas Haikal bahkan tetap di sisiku sampai aku menghabiskan makanan buatannya."Alhamdullilah, tadi Mas sempet khawatir kamu gak suka. Sekarang, diminum dulu obatnya," kata Mas Haikal sambil menyerahkan segelas air minum dan obat penurun demam.Aku mengambil gelas tersebut dan lekas meminumnya sesuai perintah Mas Haikal."Setelah sembuh, jangan ke mana-mana ya, kamu di sini saja. Saya gak mau kamu sakit lagi," kata Mas Haikal. Wajah tampannya tampak sangat khawatir, padahal aku hanya demam dan panas."Iya. Iya. Lagipula aku sakit juga karena siapa," gumamku pelan tapi sepertinya dia mendengar."Maaf. Mas tahu, Mas yang

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 22. Perhatian Haikal

    Apa? Alvia pindah ke apartemen sebelah? Bener-bener nyari perkara tuh orang!Aku membanting pintu apartemen dengan kasar. Lalu, masuk dan menghempaskan diri di sofa. Dadaku bergemuruh dan kepalaku berdenyut karena sakit kepala usai bertengkar dengan Alvia.Aku memang bodoh. Jelas-jelas bodoh. Bagaimana bisa aku mengajukan syarat yang belum tentu bisa aku penuhi? Membuat Mas Haikal bilang cinta? Alamak! Sama saja menantang buaya."Pusing kepalaku!" Aku mendengkus keras sambil menyandarkan kepala ke bantalan sofa.Pertemuan tak terduga dengan Alvia membuat dadaku emosi dan sukses mengurungkan niat untuk pergi dari apartemen.Saat ini, diam-diam aku berdoa semoga malam ini Mas Haikal tak pulang. Sehingga kami tak perlu bertemu dan mengakibatkan suasana canggung. Akan tetapi, baru saja beberapa menit aku berdoa tampaknya hal itu belum terkabul.Tiba-tiba di sela keheningan apartemen aku mendengar bunyi pintu apartemen ditekan seseorang.Aku yakin pelakunya Mas Haikal. Siapa lagi yang tahu

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 21. Rasa Hati

    Pada akhirnya sebuah rahasia yang ditunda lama pasti akan terkuak juga. Layaknya, serapat apa pun sebuah rasa dipendam pasti akan muncul ke permukaan. Setelah terbongkar maka tinggal tersisa dua pilihan memperjuangkan atau mempertahankan.Kukira inilah yang tengah terjadi pada hidupku sekarang. Tak kusangka Mas Haikal akan berdiri di ambang pintu saat aku mengucapkan kejujuran dari hati yang terdalam. Namun, tetap saja tak merubah kondisi atau lantas jadi suatu pembenaran untuk memaafkan. Bagiku ... semua terlambat. Sekali saja kepercayaan dikhianati maka akan sulit bagiku untuk bisa kembali seperti dulu.Begitu juga berbicara hati, sekali hati ini koyak dan hancur maka akan sulit disatukan serpihannya. Meski harus kuakui, aku masih cinta, sangat-sangat cinta bahkan.Karena itulah aku membencinya dan benakku tak henti bertanya. Kenapa harus dia yang berkhianat? Kenapa harus Mas Haikal yang dicium Alvia?"Ana. Apa benar yang kamu katakan?" tanya Mas Haikal. Muka lelaki itu tampak cerah

  • Dinikahi Kakak Angkat   Rasa Sakit

    Aku menghembuskan napas kasar sembari memandang wajahku sendiri di depan cermin rias yang ada di kamar hotel. Hari ini aku terbangun dengan kepala yang sangat berat setelah menangis semalaman.Aku tak ingat sudah berapa jam aku menangis dan sudah berapa tisu yang aku habiskan sampai pagi ini. Namun, yang kutahu muka dan rambutku sudah acak-acakan begitu juga mataku telah membengkak.Itu bukti kalau aku terlampau larut dan lama terkungkung dalam tangisan.Ternyata begini rasanya patah hati karena dikhianati. Kenapa perihnya lebih menganga dibanding saat aku gagal nikah?Sumpah ...!Ingin rasanya mencoba menepis bayangan Mas Haikal yang berselingkuh dengan Alvia semalam tapi anehnya ingatan itu malah melekat semakin dalam.Aku sangat jijik. Bukan hanya dengan mereka tapi dengan diriku sendiri. Membayangkannya saja aku sudah merasa buruk.Jangan-jangan benar kata Alvia, bahwa selama ini, aku hanya menjadi pelampiasan nafsu Mas Haikal itu pun karena Bunda dan apa yang kusentuh tak lebih da

  • Dinikahi Kakak Angkat   Haruskah Menyerah?

    "Mungkin dia bisa jadi berhubungan badan denganmu, tapi di benaknya hanya ada aku. Kamu harus ingat itu! Karena aku cinta pertamanya! Bukan kamu!"Aku kembali menghela napas dalam dengan hati penuh luka mengingat ucapan Alvia tempo hari di supermarket sebelum kami berpisah.Entah apa maksud Alvia, tapi dadaku bergejolak jika mengingat perlakuan dan bisikannya yang mengancam tersebut.Buruknya itu tak hanya berakhir di sana, kemarin pun dia kembali mengirim pesan padaku hanya untuk mengatakan kalau aku tak pantas menjadi istri seorang Haikal. Katanya aku hanya akan membawa aib dan keturunan yang berasal dariku akan buruk karena orang tuaku yang memiliki keterbelakangan mental.Wanita sakit jiwa!Sebenarnya, aku sudah berusaha menghilangkan suudzon pada Mas Haikal dalam otakku akibat pengaruh ucapan Alvia tapi tetap saja setiap memandang wajah Mas Haikal diri ini akan sibuk menerka-nerka.Apakah benar kata Alvia kalau aku hanya dijadikan pelampiasan? Benarkah dia berhubungan denganku h

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 18. He Is Mine (Part 2)

    Mas Haikal itu tipe lelaki yang terlalu banyak negosiasi. Buktinya, meski sudah kukatakan aku bersedia, tetap saja dia seakan memiliki banyak pertanyaan yang muncul di benaknya hingga akulah yang harus bertindak agresif lebih dulu mendekati lelaki kulkas tersebut.Hingga puncaknya malam tadi dia malah tak mau berhenti sampai pagi, ketika dia sudah mereguk manisnya syurga dunia untuk pertama kali.Luar biasa.Dasar lelaki! Setelah dikasih hati sekarang dia malah minta jantung. Awalnya saja sok gengsi, tapi akhirnya malah aku yang harus bangun kesiangan dan ijin ke sekolah dengan alasan tak jelas pada Pak kepala sekolah. Semua gara-gara Mas Haikal yang merajuk dan terus ketagihan.[Maaf, Pak, saya ijin gak masuk.][Kenapa?][Saya ada agenda penting mendadak.]Iya, agenda melayani suami.[Ya, sudah boleh. Tapi besok tolong hadir ya, Bu? Ada rapat.][Baik Pak.]Begitulah sekelumit percakapanku dengan Pak kepala sekolah karena Mas Haikal melarangku pergi kerja hari ini.Dia bilang kami har

  • Dinikahi Kakak Angkat   Bab 17. He Is Mine

    Inikah yang namanya rindu? Lima huruf yang membuatku serba salah tapi malu mengakui. Ke mana-mana ingin tahu kabarnya, tapi sayang yang dirindu bahkan tak tahu. Apalagi kami baru bertengkar tepat di hari di mana dia akan sibuk selama seminggu di luar kota.Sejujurnya, kurasa pertengkaran kemarin adalah salah satu kejadian yang paling tak diinginkan oleh suami-istri yang mau LDR. Tapi, nyatanya malah itu yang terjadi.Tak ada kata sapaan selama kami terpisah jarak, dia diam aku diam. Semua menjadi terasa dingin dan sepi tanpa interaksi.Sempat kukira hubunganku mulai membaik ternyata aku salah. Sebaliknya terlihat semakin buruk karena bagiku rasanya ada yang kosong di dalam sini.Tak ada lagi handuk yang tersampir sembarangan, tak ada lagi teriakan menyebalkan dan tak ada lagi sikap aneh Mas Haikal.Gamang.Tanpa sadar aku sudah terjebak dalam imajinasi rekaanku sendiri.Mungkinkah dia di sana baik-baik saja? Lagi apa dia? Apa benar dia semarah itu hingga tak meneleponku?Huft!Aku mem

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status