Share

Bab 6. Honeymoon yang Gagal

Mas Haikal adalah kulkas berjalan. Itu pendapat ter-valid yang bisa kukatakan sekarang.

Jangan harap ada rasa di antara kami, jika untuk memegang barangnya saja aku sudah dilarang sedemikian rupa sampai-sampai aku merasa sesak dan ingin segera turun dari mobilnya.

Untuk apa mobil mewah jika yang menyetirnya tak memiliki kehangatan? Sekarang aku paham, mobil dan yang nyetir sama-sama kayak es. Dingin dan bikin hati ngilu.

Sebenarnya, tadi aku sempat menganggap dia sudah mulai berubah dan melunak padaku

setelah pertemuan dengan Ema dan Bang Dhimas di sekolah, tapi ternyata aku salah.

Sepanjang jalan menuju rumah tadi ada saja larangannya padaku.

"Dont touch my car!"

"Duduk yang bener, kamu bikin saya gak konsen!

"Eh, itu spionnya jangan dihalangin, saya gak bisa liat!"

Astaga! Ada saja keluhannya padaku membuat hatiku tak nyaman dan menyesal tak pulang bareng Bang Dhimas saja.

Teganya lagi.

Aku kira sikap menyebalkan Mas Haikal itu akan berakhir di mobil tapi lagi-lagi aku terlalu ber-busnudzon.

Sampai di rumah, Mas Haikal tetap saja menjadi makhluk paling 'kulkas' yang pernah aku temui. Dia hanya diam dengan sorot mata membekukan.

Menyedihkan.

Apa dia punya kepribadian ganda? Atau dia punya masalah sama otaknya hingga bisa cepat berubah? Dan parahnya lagi di antara ketidakmengertian ini, tiba-tiba Bunda meminta kami untuk pergi honeymoon ke puncak Cipanas.

See. Petaka macam apa ini?

"Honeymoon? Enggak mau Bun maaf," tolakku mentah-mentah.

Dadaku sampai naik-turun karena emosi yang kutahan sejak tadi.

"Loh, kenapa Na?  Ini bagus buat kalian."

Iya, bagus buat dia nggak bagus buat aku.

Aku terdiam tak menjawab pertanyaan Ibu. Diam-diam kulirik Mas Haikal dia tampak tenang saja bukannya ikutan menolak.

"Iya tapi ... kalau Ana kayaknya gak bisa pergi jauh karena masih ada kerjaan," elakku.

Aneh. Kenapa hanya aku yang tak setuju? Harusnya Mas Haikal juga, kan? Dia yang pasti paling dirugikan kalau honeymoon terlaksana.

Bunda menatap aku dan Mas Haikal secara bergantian. Lalu menarik napas dalam.

"Ana, kami sarankan kalian ke sana selain karena untuk honeymoon juga untuk ...." Bunda menjeda kalimatnya untuk melihat ekspresiku.

"Untuk apa, Bun?" tanyaku penasaran.

"Menemui Ibu kandungmu Na, katanya dia pindah dari Betawi ke daerah sana, tapi kami nggak tahu pasti benar atau tidaknya karena Uwa Uum Kakak ibumu gak bisa dihubungi juga."

"Ja-jadi, ibu kandungku ada di sana, Bun?"

"Iya, katanya Mang Alo begitu. Bunda kasih tahu ini, soalnya kemarin kamu bilang mau nyari ibu kandung kamu, bagaimana pun Bunda sadar ini hak kamu untuk tahu."

"Ya Allah! Alhamdullilah. Iya Bun, aku mau tapi bukannya Mas Haikal baru masuk kerja, ya?"

"Eh, kata siapa. Dia mah bisa aja kok. Iya kan, Kal?"

Bunda mengalihkan pandangan pada Mas Haikal yang sejak tadi hanya diam mendengarkan kami. Sementara aku mengatupkan bibir rapat karena syok.

Pikiranku tiba-tiba menjadi penuh karena harapan-harapan yang datang tidak pada tempatnya.

Benarkah aku akan bertemu ibu kandungku?! Serius? Aku tidak bermimpi, kan?

Aku hampir saja bersorak bahagia karena tak percaya akhirnya kesempatan ini datang, tapi aku tahan karena malu.

Jujur saja, semenjak Bunda bilang aku bukan anak kandungnya. Di benak ini otakku tak henti berulang kali bertanya tentang bagaimana rupa ibu dan ayahku karena tak ada satu pun yang memiliki fotonya.

Syukurlah, jika sekarang ada jalan mengetahui itu. Akan tetapi, tetap saja aku ragu. Aku ragu kalau Mas Haikal akan mau mengantarku.

"Kal, gimana? Kamu mau, kan? Lagi pula katanya kamu mau resign kan dari kantor kamu? Sekalian aja kalau begitu ijin selamanya, ya?" kata Bunda lagi pada Mas Haikal.

Mendengar kata resign sontak aku menolehkan kepala, menatap Mas Haikal yang ternyata sudah lebih dulu  menatapku.

"Apa? Mas Haikal resign? Kok, bisa? Apa ini karena Ana?" tanyaku menyesalkan.

Lelaki berkulit putih itu mendesis kecil. "Karena kamu? Kepedean! Saya keluar karena saya bosen dan saya berpikir saya lebih baik membuka firma sendiri, dibanding di bawah ketiak orang lain," jelasnya.

"Oh, begitu. Bukan karena menikahi aku, kan?" tanyaku pelan.

Dia hanya tersenyum simpul. "Gak usah mikir macem-macem, ini gak ada hubungannya sama kamu," ujar Mas Haikal santai.

Mendapati sikap Mas Haikal begitu, dengan terpaksa aku menganggukkan kepala sebagai tanda memahami jawabannya.

Benar juga sih, dia kan profesi aslinya adalah seorang pengacara. Dulu, dia di Malang terpaksa ikut bekerja di perusahaan trading sebagai konsultan hukum karena tuntutan ayahnya. Jadi, apa salahnya jika dia keluar sekarang?

Kenapa aku jadi ikutan merasa bersalah?

Apa karena aku masih merasa kalau aku hanya jadi penghambatnya karirnya saja, terlebih belakangan aku tahu kalau sebenarnya ayah angkatku tak terlalu setuju pernikahan ini. Hanya Bunda memaksa.

"Tuh kan, Na. Ikal aja udah mau karena dia juga sekarang bisa mengatur jadwal kerjanya sendiri. Jadi, kamu mau kan pergi?" tawar Bunda lagi dengan mata yang berbinar penuh harap.

Aku mendongakkan kepala, menatap Bunda.

"Ba-baiklah Bun, tapi kapan kami harus honeymoon eh, pergi ke puncak Bun?"

"Malam ini Na."

Hah!

(***)

Aku terbangun dari lena saat ada seseorang yang menggoyang-goyangkan tubuhku beberapa kali.

"An!  Ana! Ayo, cepat siap-siap kita akan berangkat!"

Mendengar suara yang tak asing aku spontan membuka mata dan menemukan wajah Mas Haikal di sana.

"Mas Haikal?"

Kaget. Aku terperanjat bangun sambil memegang kepalaku yang sedikit pusing.

"Kita berangkat sekarang, Mas?" tanyaku dengan tampang yang mungkin bodoh.

Maklum nyawaku belum kumpul semua, aku baru sadar kalau aku ketiduran saat lagi packing, mungkin karena kelelahan.

Siapa yang mengira, kalau aku harus berangkat semalam ini ke luar kota padahal sebelumnya masih menganggap cuman pindah apartemen saja.

"Iya-lah, saya gak mau ya kalau berangkat besok. Kamu tahu kan jalanan ke sana macetnya kayak apa? Sudah sana ganti bajunya, nih!" Mas Haikal tiba-tiba saja menyodorkan baju ganti, handuk sampai dalaman.

Aku terbelalak tak percaya dia melakukan itu.

"Loh, kok Mas yang ambilin?" protesku dengan mulut membulat

Tanganku reflek mengambil pakaian itu dari tangan Mas Haikal. Sementara dia mengulum senyum.

Buset! Bisa-bisanya dia membawakan pakaian dalamku? Dulu sih, emang iya nggak masalah karena kami masih menganggap satu keluarga tapi sekarang itu beda. Tetap saja statusku bukan lagi adiknya.

"Emang kenapa? Kan, saya baik jadi saya ambilin dibanding kamu nyari-nyari," ujarnya cuek sembari membereskan koper.

"Iya, sih. Tapi kan yang Mas ambil itu bukan hanya baju tapi be-ha juga," gumamku sangat pelan sambil menyembunyikan wajah.

Malu.

"Yaelah, habisnya kamu lama sih. Saya gak mau gara-gara kamu nyari baju jadi telat, udah sana ganti!"  perintah Mas Haikal sok diktator.

Tak mau berdebat, aku akhirnya mengalah dan memilih  menekuk wajah sambil menuju ke kamar mandi.

Melihatku sangat kesal. Dia kemudian berkata lagi.

"Udah, gak usah ngambek. Dulu waktu kamu bayi saya juga pernah ikutan mandiin kamu sama Bunda, jadi jangan malu. Eh, tapi saya gak nyangka juga sih, ukuran bra-nya sekecil itu hahaha ...," tawanya sambil berlari meninggalkanku yang langsung berteriak membahana.

"Mas Haikaaal! Awas, ya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status