Share

Cinta Bertepuk Sebelah Tangan

Mila terlihat sedang berjalan dengan tergesa-gesa menyusuri koridor kampus yang sempat menjadi tempatnya menimba ilmu selama beberapa tahun. Mila datang ke kampus karena ada keperluan yang harus segera ia selesaikan. Namun, siapa sangka kedatangan Mila ke kampus malah bertemu dengan seorang laki-laki yang dulunya pernah menjadi ketua kelompok tugas kuliahnya.

“Eh, kamu Mila ‘kan?” lelaki yang mempunyai paras tampan, putih, dan mempunyai lesung pipit itu menyapa Mila dengan ramah. Senyum yang terpancar selalu saja membuat hati para kaum hawa meleleh di saat itu juga.

Mila menatap laki-laki di depannya dengan wajah bingung. Gadis itu mencoba untuk mengingat siapa sosok yang sedang berdiri di depannya.

“Ya ampun, kamu Kevin ‘kan? Yang dulu pernah jadi ketua kelompok tugas kampus.”

Lelaki bernama Kevin itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya. Syukur lah kalau kamu masih ingat sama aku.”

“Masya Allah, kita bisa bertemu lagi setelah beberapa tahun tidak berjumpa,” kata Mila.

***

Pertemuan singkat di koridor kampus membuat Kevin dan Mila memutuskan untuk berbincang lebih lama di salah satu kafe yang ada di sekitaran kampus.

“Selamat loh kamu sudah lulus,” kata Kevin, mengawali percakapan.

“Terima kasih. Selamat juga buat kamu yang sudah lulus.”

Terjadi keheningan beberapa saat di antara ke duanya. Sebenarnya ada hal yang ingin Kevin tanyakan, tapi lelaki itu canggung untuk bertanya.

“Emm, Mil, aku mau tanya sesuatu, boleh?”

“Boleh, mau tanya soal apa?”

“Sebelumnya aku minta maaf, karena aku hanya ingin memastikan, takutnya kesalahpahaman ini malah semakin runyam. Apa benar kamu sudah menikah dan pernikahan itu terjadi karena kamu digerebek masa berduaan dengan lelaki di sebuah ruko kosong?”

Mila terdiam kaku di tempatnya saat mendapatkan pertanyaan dari Kevin. Sudah Mila duga kabar buruk itu langsung menyebar ke seluruh kampus bahkan mungkin ada saja orang yang melebih-lebihkan cerita dari kejadian yang sesungguhnya.

“Iya, aku memang sudah menikah dan karena masalah penggerebekan itu juga aku dinikahkan dengan lelaki yang tidak aku kenal. Tapi, cerita yang sesungguhnya tidak seburuk yang kamu dengar, sama sekali aku tidak melakukan zina dengan lelaki itu bahkan sampai detik ini aku masih berstatus gadis. Kejadian kemarin hanya kesalahpahaman, tapi malah berujung aku menikah dengan lelaki asing,” jelas Mila, di akhir ceritanya Mila menghela napas kasar mencoba untuk berdamai dengan keadaan.

“Sabar Mila, semua ini ujian. Allah sedang merencanakan sesuatu yang membahagiakan di depan sana,” kata Kevin, mencoba memberi semangat Mila agar mentalnya tidak jatuh.

“Oh, jadi ini yang katanya pergi ke kampus karena ada urusan, tapi malah duduk berdua dengan lelaki lain di sini?”

Mila menoleh ke belakang saat telinganya mendengar suara orang yang ia kenal. Benar saja Waldi sedang berada di sana menatapnya penuh amarah. Lelaki itu memang terlihat tersenyum, tapi senyum yang terpancar terlihat sangat beda.

“Bagus Mila,” ujar Waldi, diiringi tepuk tangan dengan sorot mata yang masih tertuju pada Mila.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mila, terkejut dengan kedatangan Waldi.

“Kenapa? Kaget ya lihat aku datang ke sini?” tanya Waldi.

“Di rumah aku khawatir sama keadaan kamu dan kamu malah enak-enakan duduk berdua sama laki-laki itu?” Waldi menggelengkan kepalanya tidak percaya ternyata Mila sama saja seperti gadis di luar sana. Waldi mengira ia bertemu dengan gadis yang tepat.

Mila membereskan barang-barangnya kemudian berdiri menghampiri Waldi. Membawa lelaki itu pergi karena tidak enak hati jika berdebat di depan Kevin.

“Kamu ini apa-apaan sih, kenapa nggak kabarin aku dulu kalau kamu mau datang ke sini?” tanya Mila, setelah membawa Waldi ke tempat yang lebih sepi.

“Kenapa?” Waldi bertanya diiringi kekehan mengejek.

“Ingat perjanjian kita sebelum menikah tidak boleh mencampuri urusan masing-masing,” kata Mila, lalu gadis itu pergi meninggalkan Waldi sendiri di sana.

“Kamu benar Mila, tapi hati ini tidak bisa,” gumam Waldi, lirih sambil menatap punggung Mila yang semakin menjauh.

***

Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas malam, tapi tidak ada tanda-tanda jika Waldi kembali, sementara Mila duduk di atas kasur dalam keadaan gelisah karena sejak tadi Waldi tidak bisa dihubungi.

“Sebenarnya pergi ke mana sih dia? Ponselnya juga tidak aktif.” Mila bergumam lirih sambil terus melihat ponselnya yang menyala berharap Waldi akan balik meneleponnya, tapi nyatanya tidak.

“Assalamualaikum.”

Mila langsung berlari keluar dari kamarnya ketika mendengar suara orang mengucapkan salam dari luar dan benar saja suara itu milik Waldi yang baru saja masuk rumah.

“Waalaikumsalam. Dari mana saja? Kenapa aku telepon tidak diangkat?”

Baru saja Waldi membuka sepatunya sudah dihujani pertanyaan oleh Mila. Lelaki itu hanya menatap Mila sekilas, tanpa menjawab pertanyaan istrinya ia pun pergi ke dapur untuk mencari air dingin.

“Bukankah kita tidak boleh mencampuri urusan masing-masing?” kemudian Waldi masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Mendengar ucapan Waldi membuat Mila membeku di tempatnya berdiri. Ada perasaan sakit ketika perhatiannya hanya dianggap sebelah mata saja oleh lelaki itu. Apakah siang tadi Waldi juga merasakan hal yang sama? itulah pertanyaan yang muncul di dalam pikiran Mila. Sambil menunggu Waldi selesai mandi, Mila memutuskan untuk masuk ke kamar.

Dua puluh menit kemudian, Waldi masuk ke kamar dalam keadaan handuk yang melilit di pinggang. Melihat kondisi Waldi membuat Mila langsung menutup wajah menggunakan ke dua tangannya.

“Kenapa tidak sekalian pakai baju di kamar mandi sih?” omel Mila, masih menutup wajahnya.

“Lupa,” jawab Waldi, singkat. Lelaki itu berjalan mendekati lemari, mengambil pakaiannya kemudian keluar lagi dari kamar.

Di malam itu Waldi dan Mila tidak tidur di ranjang yang sama melainkan Waldi mengalah tidur di luar ditemani para nyamuk yang siap menyantap darahnya.

***

Keesokan paginya, Mila sudah bangun dari tidurnya bersiap pergi ke tukang sayur karena di dalam kulkas tidak ada sayuran yang bisa diolah untuk sarapan pagi ini. Namun, pada saat Mila membuka pintu, Mila melihat ada seorang perempuan dengan pakaian yang sangat sexy sedang berdiri tepat di depan pintu kos-kosan.

“Maaf, sedang mencari siapa ya?” tanya Mila, dengan sangat ramahnya gadis itu tersenyum kearah perempuan yang sedang menatap Mila sinis.

Perempuan itu mengulurkan tangannya. “Kenalin gue Zoya, calon istrinya Waldi yang sudah mendapat restu dari orang tua Waldi.”

Mila pun membalas uluran tangan itu disertai perasaan tidak menentu yang muncul di dalam hatinya. “Oh, jadi kamu orangnya.”

“Sudah sampai ternyata, langsung pergi saja mumpung mataharinya belum terlalu panas.”

Suara dari belakang membuat Mila menoleh, ternyata Waldi sudah berpakaian rapi dan wangi. Mau kemana lelaki itu? Pertanyaan itu yang terlintas di pikiran Mila.

“Kamu mau kemana?” tanya Mila.

“Bukan urusan kamu,” jawab Waldi, sambil memakai sepatunya.

“Aku pergi dulu, kamu baik-baik di rumah,” ujar Waldi yang sudah selesai memakai sepatinya.

“Oke. Hati-hati di jalan,” kata Mila. Sampai detik ini Mila masih tidak tahu mengapa hatinya merasa sakit ketika melihat Waldi dan Zoya pergi berdua. Ditambah lagi Waldi tidak mengatakannya sejak awal.

Mila masih diam di tempatnya sampai Waldi dan Zoya benar-benar tidak terlihat oleh matanya.

Mila menghela napasnya kasar. “Ah, sudahlah, lebih baik aku pergi ke tukang sayur."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status