Share

Pertemuan Yang Sakit

Sekarang Mila sudah berada di kontrakan di mana Waldi tinggal membawa ikut serta baju dan barang-barangnya. Kontrakan yang luasnya tiga kali enam hanya memiliki satu kamar, kamar mandi, dan juga dapur. Hari itu juga setelah sah menjadi suami istri Waldi langsung membawa Mila ke kontrakannya. Tidak ada sedikitpun rasa gengsi menempatkan Mila di rumah yang hanya cukup untuk dua orang saja. 

“Ini kamarnya cuma satu?” 

“Iya. Cukup untuk kita berdua, tidak mungkin badan kamu yang kecil memakan tempat pada saat tidur,” jawab Waldi. 

“Tapi aku tidak mau tidur sama kamu,” ujar Mila, raut wajahnya penuh protes. Jika saja Mila tahu kamar di kontrakan yang Waldi tinggali hanya satu Mila tidak akan pernah mau ikut. 

Waldi berjalan ke arah Mila membuat gadis itu berjalan mundur sampai punggungnya membentur sebuah tembok. Waldi semakin mendekat sedangkan Mila sudah tidak bisa lagi berbuat apa-apa yang Mila lakukan hanya memejamkan mata saat dirinya dan Waldi hanya berjarak lima senti saja. 

“Tau kan kewajiban Istri menurut islam itu apa?” tanya Waldi, semakin mendekatkan wajahnya sehingga mereka berdua semakin lebih dekat. Bahkan bisa merasakan hangatnya napas satu sama lain. 

“M-menjauh lah sedikit, napasmu bau jengkol.” Mila mendorong Waldi agar menjauhinya. Sebenarnya Waldi tidak bau, hanya saja Mila sudah tidak bisa lagi mengontrol detak jantungnya yang menggila ketika berdekatan dengan lelaki itu. 

“Tidak usah mengelak Mila, sekarang kita sudah resmi menjadi suami istri, jadi aku rasa kita berada di dalam satu kamar pun tidak masalah,” ujar Waldi, lalu setelah itu Waldi masuk ke kamar membawa ikut koper milik Mila. 

Mila menghentakkan kakinya kesal, menggigit jarinya sendiri sampai tercetak gigi di sana, Mila jengkel dipertemukan dengan lelaki seperti Waldi. Apakah lelaki itu tidak tahu dirinya belum siap berada di dalam satu kamar bersama seorang pria? Nyaris Mila memukul dinding di belakangnya karena kesal dengan Waldi yang suka seenaknya sendiri. 

“Kalau kamu mau tidur di luar sih aku tidak masalah, karena itu kemauan kamu, aku tidak bisa menolak, jadi aku tidak akan berdosa.” Waldi berucap dari dalam kamar. 

“Ish, menyebalkan sekali lelaki itu.” Mila menggerutu kesal. Gadis itu menghela napasnya pelan sambil berucap istighfar di dalam hatinya untuk meredamkan amarahnya yang sedang bergejolak. Setelah dipastikan amarahnya reda barulah Mila masuk ke kamar Waldi. 

“Apa yang kamu pikirkan? Kamu pikir aku ini laki-laki yang jorok? Meskipun penampilan aku ini buruk, tapi aku juga tahu kebersihan adalah sebagian dari iman,” kata Waldi, disusul kekehan pelan. 

“Jika sudah tahu kenapa masih ada anting-anting terpasang di telinga kamu?” Mila duduk di tepian ranjang sambil memperhatikan Waldi yang sedang mengeluarkan baju di dalam komper Mila. 

“Oh ini.” Waldi melepaskan semua anting yang terpasang, kemudian dimasukkan ke dalam kotak yang ada di dalam lacil meja. 

“Sudah ‘kan?” Waldi melirik Mila sekilas, kemudian lelaki itu kembali melanjutkan kegiatannya. 

“Eh, berhenti!” Mila berteriak sambil berlari menghampiri Waldi yang hendak membuka resleting koper yang berisi baju dalamnya. 

“Jangan asal buka-buka resleting koper milik perempuan,” kata Mila, merebut kopernya untuk mengamankan miliknya yang sangat berharga. 

“Sudah sana pergi! biar sisanya aku saja yang membereskan baju-baju ini,” ujar Mila, sambil mengibas-ibaskan tangannya mengusir Waldi di sampingnya. 

“Dasar perempuan.” Waldi bergumam lirih, kemudian lelaki itu memutuskan untuk rebahan di kasur. 

Saat Mila sedang sibuk membereskan sisa bajunya tiba-tiba saja mendengar suara mobil berhenti di depan kos-kosan membuat Mila langsung membangunkan Waldi yang nyaris terlelap. 

“Kenapa sih?” nada Waldi sedikit marah, karena lelaki itu kesal jika tidurnya terganggu. 

“Ada suara mobil di depan, aku mau keluar takut,” jawab Mila. 

Waldi berdecak kesal, kemudian keluar kamar untuk melihat siapa yang datang. Selang beberapa detik kemudian Mila mendengar suara keributan dari dalam kamar, Mila yang penasaran pun langsung keluar dari kamar untuk melihat keadaan di luar. 

“Oh, jadi wanita ini yang sudah meracuni otak kamu untuk melawan sama orang tua?”

Seorang wanita berusia 55 tahun menunjuk ke arah Mila dengan raut wajah marah. Mila yang baru saja datang pun bingung dengan keadaan. 

“Apaan sih Ma, dia sama sekali tidak ikut campur,” kata Waldi. Lelaki itu berdiri di depan Mila untuk melindungi gadis itu dari serangan mamanya. 

“Ada apa ini?” Mila bertanya dengan suara lirih. 

“Diam lah dan tetap di belakangku,” kata Waldi, dengan suara lirih juga. 

“Oh, jadi ini gadis yang kamu maksud?” tanya wanita itu diiringi lirikan mata yang sangat tajam. 

“Dasar gadis gatal, tidak tahu diri, anak saya ini satu bulan lagi akan menikah dengan gadis pilihan saya. Tentunya gadis yang memiliki ilmu yang tinggi, berasal dari keluarga terpandang, bukan wanita seperti kamu.”

Wanita itu bernama Irana Nuria Pratibha, berusia 55 tahun merupakan mama dari Waldi. Memiliki tatapan seram dan mulut tajam sudah menjadi ciri utamanya sejak dulu. 

“Jika Mama datang hanya ingin menciptakan keributan, sebaiknya Mama pergi dari sini!” kata Waldi, tegas. 

“Kamu mengusir Mama, Waldi? Durhaka kamu! Baiklah, Mama akan pergi, tapi Mama tidak pernah merestui dia menjadi menantu Mama.” 

“Dan kamu gadis gatal, saya tidak akan sudi menerima kamu di tengah-tengah keluarga saya sebagai menantu meskipun kamu mencium ke dua kaki saya!”

Lalu wanita itu pun masuk ke dalam mobil dan pergi. 

Waldi langsung masuk ke kamar dan Mila pun menyusul ingin mencari tahu atas pertanyaan yang ada di dalam otaknya. 

“Jadi, kamu menyetujui pernikahan ini karena menghindari perjodohan yang sudah direncanakan sama keluarga kamu?” baru saja membuka pintu kamar Mila langsung mengajukan pertanyaan. 

“Waktu itu katanya orang tuamu sudah meninggal. Dasar laki-laki pembohong!” Mila berucap dengan nada tinggi di depan Waldi meluapkan kekecewaannya karena merasa dibohongi oleh lelaki. 

 “Mila, tolong diam lah! Pikiranku sedang kacau,” ujar Waldi, sambil mengusap wajahnya yang terlihat frustasi. 

“Hey, kamu sudah membawaku ke dalam masalahmu, lalu dengan mudahnya kamu tidak mau menjawab pertanyaanku?” Mila duduk di pinggiran ranjang berdekatan dengan Waldi. 

“Oke, akan aku jawab pertanyaanmu.” Waldi menjeda ucapannya untuk beberapa detik. 

“Maaf waktu itu aku sudah berbohong dengan keluargamu tentang orang tuaku yang sudah meninggal, semua itu aku lakukan karena aku terpaksa. Satu bulan lagi memang pernikahan itu akan berlangsung, tapi sudah beberapa bulan ini aku keluar dari rumah karena aku tidak tahan dengan tuntutan mereka yang mengharuskanku menikah dengan gadis yang tidak aku cintai.”

“Tapi kamu menikah denganku, lalu apa bedanya?” tanya Mila, memotong penjelasan Waldi. 

“Tolong diam dulu, aku belum selesai menjelaskan semuanya.” Waldi memberi tatapan penuh peringatan meminta Mila untuk diam. 

“Memang benar aku menikah denganmu tidak ada bedanya, tapi setidaknya aku tidak menikah dengan gadis itu. Orang tuanya sangat gila harta dan apa lagi anaknya yang suka sekali foya-foya. Aku tidak mau memiliki istri yang seperti itu, bukan karena aku tidak mau membiayai kebutuhan anak orang, jika seandainya aku jatuh pasti dia akan langsung meninggalkanku begitu saja,” jelas Waldi. 

“Lalu, kenapa kamu tidak mempunyai pemikiran sama pada saat menikah denganku?”

“Aku tidak tahu mengapa kamu berbeda, Mila.” 

“Lalu, bagaimana dengan masalah keluarga kamu? Aku yang tidak tahu apa-apa jadi ikut masuk.” Seluruh tubuh Mila terasa lemas, karena selama ia hidup tidak pernah mengalami konflik yang besar seperti ini. 

“Aku akan selalu melindungi kamu,” kata Waldi. 

“Bagaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Mila. 

“Percayalah padaku, aku sedang berusaha menjadikan situasi yang runyam ini kembali baik-baik saja seperti sediakala.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status