Raffan berdiri dengan gelisah sesaat setelah tirai ditutup. Pria itu tengah berada lama ruangan yang ada di salah-satu klinik fertilitas terbesar Bali, liburan mereka hanya dalih untuk menepi dari kesibukan pekerjaan sekaligus melakukan program inseminasi buatan tanpa sepengetahuan keluarga. Meski Ghifari group memiliki banyak cabang rumah sakit di berbagai kota dengan fasilitas yang luar biasa canggih, namun keduanya memilih melakukan program inseminasi buatan di luar dari unit fasilitas kesehatan Ghifari group. Mereka tidak ingin program inseminasi yang mereka jalani terendus oleh pihak keluarga.Raffan terasa tercekik dengan udara yang ia hirup saat ini, tangannya terkepal erat serta giginya gemeletuk menahan tumpukan emosi yang serasa menyerbunya dari segala arah. Membuat pria itu menghela nafas gusar berkali-kali, sebelum menyibak tirai di depannya dengan tidak sabaran."Berhenti!" ucapnya dengan suara bergetar, matanya memerah saat menatap istrinya yang tengah terbaring pasrah, A
Raffan benar-benar serius dengan ucapannya, mereka pulang ke Jakarta, pria itu kembali memulai terapi dengan psikolognya. Kali ini Raffan optimis karena keberadaan Atisha yang mendukung sepenuhnya. Bahkan atas usul psikolognya, mereka berdua di tempat ini, untuk mulai mengikuti couple therapy. Atisha dan Raffan duduk bersisian, keduanya saling berpegangan tangan. Kontak fisik diantara mereka selama ini memang hanya sebatas pegangan tangan dan pelukan namun tanpa melibatkan perasaan secara emosional di dalamnya, karena selama ini Raffan secara spontan selalu menepis perasaan itu di alam bawah sadarnya. "Coba kalian hadirkan, perasaan yang kalian miliki untuk satu sama lain pada setiap kontak fisik yang terjadi di antara kalian. Mulailah dari hal-hal kecil seperti ini." Psikiater menyarankan mereka untuk menghadirkan perasaan itu, mulai dari saling memandang, keduanya mencoba menyelami seberapa dalam perasaan mereka miliki untuk satu sama lain. Jantung mereka berdedak cepat dengan seira
"Ha ... halo." Rayyan berucap terbata, dengan tubuh bergetar hebat. Penampilannya tampak begitu kacau, ujung jasnya yang berwarna abu-abu, berlumuran darah."Gue Rayyan—" Pria itu berhenti sejenak, menyeka air matanya dengan tangan yang juga berlumuran darah."Di rumah sakit Mitra Medika, gu—gue dan Raffan disini. Raffan udah nggak ada, Raffan ditikam orang tak dikenal." Rayyan memejamkan mata, menghela nafas sejenak membuangnya dengan kasar, ada kegetiran diakhir kalimatnya. "To–tolong bilang ke Mama Papa. Gue nggak tau harus bilang apa ..." Rayyan mematikan telponnya, merosot ke lantai, kakinya sejak tadi lemas tak mampu menahan bobot tubuhnya. Di selasar rumah sakit, pria ia menunduk dalam, menangis meraung tak tau malu, mengabaikan pandangan orang-orang disekitarnya. Perawat mencoba membantunya untuk berdiri dan meminta untuk mengikhlaskan kepergiannya, tapi pria itu justru berontak, bagaimana ia bisa ikhlas? Kakaknya adalah manusia yang sama sekali tidak pernah bertengkar, apala
Atisha duduk termenung di pinggir kolam renang sambil menurunkan kedua kakinya di dalam kolam, Ia menatap saksama permukaan air. Beberapa kali ia menunggu akan ada bayangan lain di sampingnya dan ikut bergabung bersamanya, lalu bayangan itu akan menanyakan seluruh aktivitasnya pada hari itu. "Atisha, kamu ngapain di situ?!" Panggilan itu membuat Atisha menoleh sambil tersenyum. Ia lalu mengangkat kakinya yang mulai mengerut karena terlalu lama di dalam air. Dengan langkah tergopoh-gopoh Atisha menghampiri ibu mertuanya."Mama di sini? Sama siapa?" Tanya Atisha dengan senyum mengembang lalu mencium punggung tangan mertuanya, ia selalu bahagia jika mertuanya bertandang ke rumah mereka."Sama papa kamu. Kamu habis ngapain?" Raisa bertanya lembut. Menatap menantunya yang terlihat sangat kurus dan pucat, bahkan lingkar matanya sangat kontras dengan wajah putih bersih Atisha. Perempuan itu lalu mengalihkan tatapannya pada gamis bagian bawah menantunya yang basah kuyup kemudian menggeleng sa
Atisha terbangun pukul satu dini hari. Ia duduk termenung di atas tempat tidur, sambil menatap bagian kosong di sampingnya. Membayangkan Raffan masih terbaring di sisinya seperti 432 malam sebelumnya dimana mereka melarung mimpi bersama. Bayangan ketika mereka tertawa bersama setelah sesi tarik menarik selimut hingga terjungkal ke lantai, suara tawa mereka masih menggema merdu di telinganya. Membuat Atisha tersenyum sambil mengusap air matanya. Atisha menghela nafas panjang, begitu sulit hidup tanpa Raffan, begitu sakit setiap setiap langkahnya kala kenyataan mencekiknya, kenyataan menghantamnya berkali-kali bahwa Raffan kini fatamorgana, hanya terpatri di hati dan melekat kuat dalam memori ingatannya, namun mustahil ia sentuh. Ia tak akan bisa memeluk pria itu kala hatinya diamuk rindu. "Aku nggak kuat Raffan! Hiks ..." Atisha menangis tersedu sambil memeluk piama suaminya yang couple dengan piama yang ia kenakan. "Aku nggak kuat," lirihnya dengan nafas sesak. Bagaimana ia bisa t
"Pagi Ma," Sapa Atisha di ruang makan. Setelah beberapa bulan menghabiskan banyak waktu mengurung diri di kamar, perempuan itu akhirnya akan kembali bekerja di rumah sakit setelah melewati masa Iddah-nya. Atisha mencoba tersenyum di balik cadarnya sambil merapikan jas putih yang disampirkan di lengannya."Rapi sekali pagi-pagi, yakin sudah mau kembali bekerja hari ini?" Raisa menatap gadis yang sudah ia anggap seperti putri kandungnya itu."Ia, Atisha berangkat ya, Ma, Pa." Atisha mencium punggung tangan keduanya sebelum bergegas buru-buru."Atisha, kamu nggak sarapan dulu?" Raisa menggeleng pelan melihat tingkah anak menantunya itu. Namun ia sedikit lega, Atisha tidak se desparate dua bulan pertama kepergian Raffan, setidaknya akhir-akhir ini Atisha sudah mulai belajar mengikhlaskan kepergian suaminya."Enggak sempat Ma, nanti Atisha sarapan di kafetaria rumah sakit," ujar Atisha sambil melangkah keluar dapur, berpapasan dengan Rayyan yang masih menguap lebar sambil, mengangkat kedua
“Kamu tau kenapa kita dipertemukan?” Tanya Pria itu sambil memeluknya dari belakang, berbisik diatas kepalanya sambil menatap senja ditemani gelombang laut yang menyilau indah. Cahaya jingga menerpa wajahnya yang rupawan, membuat perempuan dalam dekapannya begitu terpukau. Perempuan itu tak berkedip sama sekali, saat sang pria itu menatapnya jatuh tepat di matanya, membuat jantungnya berdetak seriuh debur ombak. “Kamu tau nggak?” Tanyanya lagi, membuat Atisha mengernyit, lalu menatap ujung gamisnya yang dijilat air laut. “Yah, karena takdir kali,” jawab Atisha sekenanya, membuat Raffan tersenyum sambil mengelus sayang kepala istrinya yang tertutup jilbab. “Karena Tuhan tau, bahwa aku butuh kamu dalam hidup aku,” Sambung Raffan, sambil memegangi ujung cadar istrinya yang hampir tersingkap karena terpaan angin. “Kamu tau nggak, apa yang lebih indah dari matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat itu, apa yang paling indah dari laut sore ini?” tanyanya lagi, membuat Atisha mengge
Rayyan menghela nafas gusar sambil menjentikkan jari di atas kemudi. Mereka telah tiba beberapa menit lalu, namun entah mengapa ada rasa tak tega pada dirinya untuk membangunkan perempuan di sampingnya. Atisha terpejam dengan kepala bertumpu pada sisi jendela mobil, hela nafasnya terdengar lembut dan teratur. Hingga pada menit ke sepuluh, pria itu akhirnya berucap, "Atisha, bangun! Kita sudah sampai ..." Rayyan menoleh menatap Atisha. "Atisha, ini sudah di depan rumah, bangun!" Atisha mengerjap, menatap keluar jendela, menguap lebar dibalik maskernya."Hmmm ... Eh, maaf ya, sudah merepotkan. Terima kasih," Lirihnya sambil menunduk, sebelum membuka pintu. Rayyan hanya mengangguk, membiarkan Atisha berlalu memasuki rumah lebih dulu. Selepas sholat subuh, Atisha sibuk di dapur menyiapkan sarapan. Atisha menyeka air matanya yang tiba-tiba jatuh, saat menyadari bahwa sudah lama sekali ia tak memasak lagi, terakhir ia masak menu yang sama seperti yang ia buat hari ini, bistik ayam kesukaa