Bram mengusap wajahnya kasar, ia tahu kalau ia baru saja melakukan kesalahan tetapi ia tak bisa menahan lebih lama lagi perasaannya.
"Maafkan aku," ucap Bram. Ia tak tahu harus berkata apalagi selain meminta maaf.Sabrina sendiri salah tingkah, marah?Tentu saja, Sabrina merasa marah dengan sikap Bram yang lancang tapi munafik jika ia bilang kalau ia mengatakan tidak bahagia bersama Bram hari ini. Entah mengapa, kebahagiaan itu tumbuh berkali-kali lipat ketika Bram menyatakan cintanya."Pulang." Hanya itu yang keluar dari bibir Sabrina.Ya, Sabrina ingin segera pulang untuk menjernihkan otaknya yang menurutnya sudah tak waras lagi. Seharusnya ia tidak boleh senang. Perasaan itu tidak boleh ada di antara mereka.Bram hanya mengangguk dan tak berbicara apa pun lagi. Perjalanan pulang, dilalui dengan keheningan diantara keduanya. Mereka berdua sibuk dengan pemikirannya masing-masing.🥀🥀🥀Sesampainya di rumah, Sabrina langsung keluar mobil dan segera berlari masuk ke rumah.Bram tak berusaha mengejar atau menghalangi Sabrina. Ia memilih untuk berdiam diri sejenak di dalam mobil untuk mengumpulkan kewarasannya yang hampir saja hilang karena tak mampu mengontrol dirinya sendiri saat bersama Sabrina.Pikiran licik dan ingin memiliki juga ikut terus memperkeruh suasana hati Bram. Namun, Ia tak ingin menjadi orang jahat yang tega merebut istri adiknya sendiri."Apa yang harus aku lakukan?" gumam Bram.Sabrina di sambut tatapan sinis Wati saat baru saja masuk rumah."Darimana kamu?" Wati memicingkan matanya curiga."Nemenin Mas Beam ke mall cari kado buat Mbak Nela," jawab Sabrina jujur.Wati melihat ke arah pintu. Namun, tidak ada tanda-tanda kehadiran Seno."Cuma berdua dengan Bram?"Sabrina mengangguk. "Iya, Mbak.""Cuma berdua?!" Wati meninggikan suaranya."Iya tapi kami sudah izin dengan Mas Seno," ucap Sabrina cepat. Ia tak mau ada salah paham."Tapi aku tidak izinkan kamu pergi sampai larut malam seperti ini."Sabrina dan Wati melihat ke arah sumber suara. Di sana ada Seno yang tengah menuruni anak tangga dan terlihat sangat marah."Apa pantas, seorang istri pulang sampai larut malam seperti ini?" Tatapan tajam Seno layangkan pada Sabrina.Plakk ....Lagi-lagi Seno menampar Sabrina."Mas," lirih Sabrina sembari memegangi pipinya. Tadi saja masih terasa sakit dan sekarang, suaminya menamparnya lagi."Cobalah mengerti etika menjadi seorang perempuan, terutama menjadi seorang istri!" bentak Seno.Sabrina hanya bisa menunduk menahan tangisnya dan rasa perih di pipi beserta hatinya."Ada apa ini?" tanya Bram yang baru saja masuk."Tidak ada," jawab Seno cepat dan menarik Sabrina untuk ikut dengannya ke kamar."Ada apa, Mbak?" Bram bertanya pada Wati."Mana aku tahu." Wati berlalu sambil tertawa. Ia puas melihat Sabrina menderita dan kalau bisa, lebih baik Seno bercerai saja dengan Sabrina.Menurut Wati, Sabrina tidak pantas menjadi adik iparnya karena Sabrina tidak modis dan tidak kaya."Mbak, tolong katakan ada apa?" Bram mengejar Wati. Perasaannya tak enak ketika melihat Sabrina memegangi pipinya dan seperti ingin menangis. "Apa Seno memarahinya karena pulang telat?" tanya Bram lagi."Sudahlah, itu bukan urusan kamu. Lagipula untuk apa kamu mengajak Sabrina pergi mencari kado untuk Nela. Harusnya kamu ajak aku bukan dia. Lagipula, dia tahu apa tentang trend terbaru. Nela tak akan menyukai pilihannya.""Tapi aku yakin Nela akan suka dengan pilihan Sabrina karena mereka memiliki selera yang sama, tidak wah seperti kamu," ujar Bram."Terserah." Wati mempercepat langkahnya menuju kamar. Mungkin malam ini ia akan tidur pulas karena melihat Sabrina di tampar dua kali oleh Seno hari ini. Bahkan Wati berharap besok ada kabar gembira, kabar tentang Seno yang menceraikan Sabrina.Beam makin merasa bersalah, ia yakin Sabrina dimarahi oleh Seno karenanya. Besok Bram berniat untuk menjelaskan dan meminta maaf.🥀🥀🥀Sesampainya di kamar, Seno mendorong Sabrina kasar ke arah ranjang."Kamu ini tidak tahu aturan! Mau macam-macam kamu?""Mas, kenapa denganmu?" Sabrina memberanikan diri untuk bertanya. Ia merasa sudah tak mengenali Seno lagi. Dia benar-benar berubah tak seperti Seno saat mereka masih berpacaran."Memangnya aku kenapa?" Seno balik bertanya dengan nada tak suka."Kamu berubah, Mas. Kamu tidak seperti Seno yang aku kenal dulu."Setetes demi tetes kini air mata Sabrina terjatuh. Ia tak sanggup menahan air matanya lagi dan air mata itu, sebagai tanda bahwa ia sangat kecewa dengan sikap Seno suaminya.Hari ini Sabrina bangun kesiangan karena ia lelah semalaman menangis. Saat ia turun, ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dan melotot, seolah siap untuk menelannya hidup-hidup."Baru bangun, Tuan Putri?" cibir Surti sinis."Maaf, Bu. Aku akan memasak sekarang," ucap Sabrina."Tidak perlu!" Surti berteriak cukup keras."Kasihan jika mereka bekerja dan sekolah tanpa sarapan, Bu," ujar Sabrina."Mereka sudah aku pesankan sarapan daripada mereka makan masakkan kamu yang tak layak itu.""Maaf." Sabrina menunduk tak enak. Walaupun bukan kesalahannya, tapi Ibu mertuanya sudah memberikan lebel jelek padanya. Jadi apa pun yang ia lakukan, semuanya pasti tetap terlihat salah."Sekarang kamu balik lagi ke atas dan turun lagi nanti saat semua sudah selesai makan. Aku tidak mau, selera makanku rusak karena melihat wajahmu!" Surti berlalu meninggalkan Sabrina menuju ruang makan untuk mengatakan pada semuanya kalau Sabrina belum bangun."Mana Sabrina, Bu?" tanya Ahmad yang melihat istrinya datang
Sabrina duduk di tepi ranjang Bram sambil memakan dengan lahap makanan yang di bawakan oleh pria itu untuknya."Enak sekali, Mas," ucap Sabrina semringah."Kamu suka?""Tentu saja, ayam bakar ini sangat enak. Terima kasih, Mas.""Aku bisa bawakan untukmu kapan pun kamu mau." Bram rela membelikan Sabrina ayam bakar tiap hari jika itu bisa buat dia senang,Sabrina hanya tertawa mendengar ucapan Bram hingga tersedak dan terbentuk-batuk.Tanpa banyak bicara, Bram mengambilkan air minum dari lemari pendingin yang ada di kamarnya untuk Sabrina."Ayo minum!" Bram merasa cemas karena wajah Sabrina memerah dan matanya mengeluarkan air mata.Sabrina segera meraih air minum dari Bram dan meminumnya hingga tandas."Bagaimana?" "Aku tidak apa-apa." Sabrina mengusap bibirnya dengan punggung tangannya."Makanlah dulu, jangan banyak bicara.""Lagian kamu lucu, Mas.""Apa yang lucu?""Ucapan kamu yang bilang, akan belikan kapan pun aku mau.""Aku serius, Sabrina. Aku akan lakukan apa pun untukmu."S
Surti semakin bertindak semena-mena setelah Seno pergi. Bahkan ia sudah merencanakan berbagai rencana licik supaya Sabrina dan Seno berpisah. Rencana Surti tentu mendapatkan dukungan penuh dari Wati yang sama-sama tak suka pada Sabrina."Raf, mau uang, tidak?" Wati berdiri di ambang pintu kamar adiknya yang terbuka."Mau lah, siapa yang tidak mau uang," balas Rafka masih dengan posisi tiduran, enggan untuk bangun.Wati memperlihatkan lima lembar uang ratusan ribu. "Ini bakal jadi punyamu."Melihat uang yang menurut Rafka lumayan banyak, ia langsung bergegas bangun mendekati Wati. "Sini!" Ia menengadahkan tangannya."Tunggu!" Wati memasukkan kembali uang itu pada saku celana miliknya."Pembohong." Rafka kesal karena merasa dibohongi oleh Wati."Tentu aku tidak akan bohong kalau kamu bisa lakukan perintahku.""Apa?" sahut Rafka cepat."Rayu Sabrina, ajak dia pergi lalu kamu kerjain dia." Wati tertawa jahat. Ia benar-benar tidak suka dengan Sabrina. "Gampang kali itu. Sini!" Rafka kemba
Keesokan harinya di sekolah, Rafka membicarakan rencana yang ia buat pada teman-teman satu gengnya yang terdiri tiga orang."Apa tidak terlalu berbahaya?" ujar Dean."Kasihan, Raf," timpal Sonu."Bener tuh, Raf. Kasihan." Atta pun merasa kasihan."Itukan Kakak Iparmu, kenapa kamu tega? Bagaimana perasaan Abangmu kalau tahu istrinya kita gilir." Dean tak tega membayangkan hal itu. "Kalian penakut banget sih! Lumayan, kan? Kakak Iparku itu cantik, jadi tidak akan rugi.""Bukan untung dan rugi, Raf. Kita mikir perasaan Abang kamu," balas Sonu.."Tidak usah banyak omong, kalian mau atau tidak?" Rafka tidak ingin banyak bicara.Sano, Dean, dan Atta saling tukar pandang satu sama lain. Mereka bingung apa yang harus mereka pilih."Cepat jawab!""Aku gak ikutan. Aku gak tega," putus Sonu."Banci kamu," cibir Rafka."Kata-kata itu lebih pas buat kamu, beraninya sama cewek. Dah lah, lebih baik aku pergi." Sonu tak mau ikut campur."Lalu bagaimana dengan kalian?" Rafka melihat kedua temannya."
Rafka sudah menyiapkan saputangan yang telah ia bubuhi dengan obat bius. Lalu ia juga menyiapkan sebuah kamera yang akan merekam aksinya nanti. Semua harus sempurna dan sesuai supaya aksinya tidak sia-sia."Akhirnya." Rafka bergumam senang karena sebentar lagi, semua yang ia impikan akan tercapai.Dari dulu Rafka ingin melakukannya. Namun, ia takut pada ibunya yang pasti akan memarahinya habis-habisan karena bersikap tak benar. Apalagi ibunya sangat membenci Sabrina. Saat inilah saat yang tepat baginya menjalankan semua rencana-rencana yang telah ia susun rapi sejak lama. Jika ibunya marah, ia akan beralibi cara cepat supaya Seno mau menceraikan Sabrina.Setelah menunggu beberapa saat, tak ada tanda-tanda Sabrina akan muncul, padahal ia sudah meminta untuk cepat karena tak sabar."Lama sekali, bagaimana kalau ada yang pulang." Rafka menggerutu kesal bercampur khawatir ada yang pulang lebih awal. Ia mondar-mandir di kamar dengan perasaan campur aduk, antara senang, tak sabar dan khawat
Setelah puas mengambil foto Sabrina dan bermain-main dengan sentuhan-sentuhan nakal. Rafka melepaskan pakaiannya sendiri. Ia tak sabar untuk melakukan 'itu' sekarang."Maaf Ipar ku yang cantik," ucap Rafli sembari tertawa puas. Ia senang sekali hari ini.Entah mimpi apa semalam, kakak iparnya kini ada di hadapannya tak sadarkah diri dan bebas untuk ia perlakukan sesuka hati. Meski dalam keadaan tidak sadar.Meskipun dalam hati, Rafka sudah mantap tetapi masih ada terselip rasa takut sehingga membuat tangannya bergetar saat hendak membuka seluruh sisa kain yang masih menempel di tubuh Sabrina."Ayolah, Raf. Kapan lagi kamu bisa lakukan ini," gumam Rafka untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia tidak boleh mundur sekarang karena ia sampai di titik sekarang ini, membutuhkan waktu yang lama serta keberanian yang kuat.Seolah pikiran dan hatinya tertutup. Rafka melepaskan semua sisa kain yang masih menutupi bagian terlarang milik Sabrina. Ia takjub saat semua sudah terbuka. Ia makin tergila-
Bram tak mau menanggapi ucapan Rafka lagi. Semakin ia membalas, maka akan semakin terlihat jelas tentang perasaannya pada Sabrinal"Ayo bangun, Sabrina." Bram menepuk-nepuk pelan pipi Sabrina supaya bangun.Susah payah, akhirnya Sabrina mampu membuka matanya. Ia melihat sekeliling yang ternyata ia masih berada di kamar Rafka, seperti terakhir yang ia ingat."Syukurlah." Bram merasa lega ketika Sabrina sudah membuka matanya. Namun, berbeda dengan Rafka.Rafka sedikit panik dan takut. Ia takut Sabrina tahu apa yang telah ia lakukan, meskipun kemungkinan tahu sangat kecil karena ia melakukannya saat Sabr tak sadar lalu memakaikan kembali seluruh pakaian Sabrina secara benar. Bahkan ia tanpa jijik membersihkan milik Sabrina supaya tidak meninggalkan jejak."Aku kenapa?" Sabrina bertanya dengan terbata-bata. Kepalanya masih terasa pusing."Kamu kecapean lalu pingsan," balas Bram.Sabrina mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia hanya mengingat saat merapikan seprai, Rafka mendekat dan membek
Rafka masuk kamar dan mendapati Sabrina tengah menangis. Membuat pikiran Rafka makin tak tenang tapi ia berusaha menampilkan wajah datar dan seolah tanpa rasa berdosa."Kenapa kamu tega padaku," lirih Sabrina dengan air mata yang berlinang deras membasahi wajah cantiknya."Tega apa?" Rafka menyodorkan minuman yang ia bawa pada Sabrina.Pranggg...Sabrina menepis minuman yang Rafka berikan. Ia benar-benar tak menyangka, adik iparnya sejahat itu padanya."Apa yang kamu lakukan!" suara Rafka meninggi."Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan!" Sabrina ikut meninggikan suaranya.Tak ada wanita yang mau harga dirinya di injak-injak dan di lecehkan. Seperti halnya dengan Sabrina. Meskipun selama ini ia diam atas perlakuan mertua dan iparnya yang sering menyuruhnya ini itu tapi kelakuan Rafka kali ini sungguh tidak bisa di maafkan.Belum sempat Rafka menimpali ucapan Sabrina, Bram datang. Akhirnya ia memilih untuk bungkam."Ada apa ini?" Bram yang baru datang, merasa heran melihat