Hari ini Sabrina bangun kesiangan karena ia lelah semalaman menangis. Saat ia turun, ibu mertuanya sudah berkacak pinggang dan melotot, seolah siap untuk menelannya hidup-hidup.
"Baru bangun, Tuan Putri?" cibir Surti sinis."Maaf, Bu. Aku akan memasak sekarang," ucap Sabrina."Tidak perlu!" Surti berteriak cukup keras."Kasihan jika mereka bekerja dan sekolah tanpa sarapan, Bu," ujar Sabrina."Mereka sudah aku pesankan sarapan daripada mereka makan masakkan kamu yang tak layak itu.""Maaf." Sabrina menunduk tak enak. Walaupun bukan kesalahannya, tapi Ibu mertuanya sudah memberikan lebel jelek padanya. Jadi apa pun yang ia lakukan, semuanya pasti tetap terlihat salah."Sekarang kamu balik lagi ke atas dan turun lagi nanti saat semua sudah selesai makan. Aku tidak mau, selera makanku rusak karena melihat wajahmu!"Surti berlalu meninggalkan Sabrina menuju ruang makan untuk mengatakan pada semuanya kalau Sabrina belum bangun."Mana Sabrina, Bu?" tanya Ahmad yang melihat istrinya datang sendirian. Padahal ia telah memerintahkan Karsih memanggil Sabrina untuk ikut sarapan bersama."Menantu jamanan sekarang ya seperti itulah. Tidak bisa bekerja dan malas. Jam segini, dia belum bangun," ucap Surti mengarang cerita."Masa sih, Bu?" timpal Bram tak percaya. Selama ini, ia mengenal Sabrina sebagai wanita yang rajin. Ia juga sempat mendengar teriakan ibunya tadi."Memangnya Ibu terlihat tengah berbohong?" Surti memicingkan matanya melihat ke arah Bram."Tapi setahuku, Sabrina wanita yang sangat rajin." Bram percaya, pasti ada sesuatu sehingga Sabrina tidak ikut sarapan bersama."Kamu kenapa sih, Bram. Belain Sabrina terus," timpal Wati, ia tak suka karena Bram terus membela Sabrina."Bukan begitu, aku tidak membela dia. Tetapi kenyataannya yang kita lihat selama ini, Sabrina itu sangat rajin." Bram terus membela Sabrina di depan keluarganya. Ia kasian padanya yang selalu disalahkan tanpa alasan."Mas Bram aneh, Mas Seno yang jadi suaminya juga diam saja. Kenapa Mas Bram daritadi yang nimpalin dan membela dia terus." Kini Rafka ikut bicara untuk memperkeruh suasana."Aku hanya bicara fakta," kilah Bram. Ia tidak mau, pembelaannya terhadap Sabrina akan menimbulkan masalah baru."Sudah-sudah! Lebih baik kita segera sarapan. Aku tak suka, kalian terus berdebat di meja makan." Ahmad menengahi perdebatan istri dan anak-anaknya.Akhirnya semuanya diam dan memakan sarapannya dengan tenang.🥀🥀🥀Setelah sarapan selesai dan semua sudah berangkat bekerja. Surti menuju kamar Sabrina untuk memerintahkan Sabrina sesuka hatinya."Keluar kamu!" seru Surti sembari menggedor-gedor pintu kamar Sabrina.Sabrina yang mendengarnya langsung keluar. "Iya, Bu.""Bereskan meja makan dan cuci bersih semuanya. Lalu jangan lupa, bersihkan kolam renang!""Baik, Bu," jawab Sabrina cepat. Ia tak mau terkena marah lagi oleh ibu mertuanya.Sabrina segera membereskan meja makan dan mencuci bersih semua piring yang kotor. Kemudian ia menuju kolam renang untuk membersihkannya juga, sesuai perintah. Meski ia lapar tapi ia tidak berani untuk ke dapur mengambil makanan sebelum pekerjaannya selesai. Lagipula apa yang akan ia makan, ibu mertuanya tidak membelikan jatah sarapan untuknya. Berharap pada suaminya, sama saja mustahil. Seno tidak mungkin membawakan ia makanan. Sabrina juga tidak melihat dimana suaminya saat ini.Sampai hari menjelang siang, Sabrina masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Ia pikir, setelah membersihkan kolam renang, ia bisa beristirahat dan memasak sebentar untuk sarapannya. Namun, nyatanya tidak sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Ibu mertuanya seakan tak suka melihatnya beristirahat. Baru selesai membereskan kolam renang, ia sudah mendapatkan pekerjaan baru lagi, yaitu membersihkan dan mengganti seluruh seprai yang ada di setiap kamar."Lapar," gumam Sabrina sambil memegangi perutnya.Saat ini Sabrina tengah berada di kamar Bram untuk membersihkan dan mengganti seprainya setelah dari kamar-kamar yang lainnya."Makanlah.""Mas Bram?" Sabrina terkejut karena Bram sudah pulang."Makanlah," ucap Bram lagi. Bram membawakan Sabrina nasi kotak. Ia tahu kalau Sabrina pasti belum makan.Awalnya Bram akan mengirim pesan pada Sabrina untuk menemuinya sebentar di kamar tapi ternyata Sabrina malah sudah ada di kamarnya sedang mengganti seprai sambil sesekali memegangi perutnya."Kenapa Mas Bram sudah pulang?" Sabrina heran karena ini masih siang, biasanya semuanya pulang sore."Aku izin pulang sebentar untuk mengantarkan kamu makanan. Kamu lapar, kan?""Tapi bagaimana dengan pekerjaanku.""Makan dulu, baru kamu kerjakan lagi. Aku tidak mau melihat kamu sakit.""Lalu bagaimana kalau Ibu tahu.""Ibu pasti akan mengira kamu tengah bekerja. Jadi cepatlah makan.""Terima kasih." Sabrina tersenyum senang karena ada yang peduli padanya.Sabrina memang senang tapi sekaligus sedih. Ia senang karena masih ada yang peduli dan perhatian padanya sampai rela izin pulang hanya untuk mengantarkan makanan untuknya tapi ia juga sedih karena orang itu bukan suaminya.Sabrina duduk di tepi ranjang Bram sambil memakan dengan lahap makanan yang di bawakan oleh pria itu untuknya."Enak sekali, Mas," ucap Sabrina semringah."Kamu suka?""Tentu saja, ayam bakar ini sangat enak. Terima kasih, Mas.""Aku bisa bawakan untukmu kapan pun kamu mau." Bram rela membelikan Sabrina ayam bakar tiap hari jika itu bisa buat dia senang,Sabrina hanya tertawa mendengar ucapan Bram hingga tersedak dan terbentuk-batuk.Tanpa banyak bicara, Bram mengambilkan air minum dari lemari pendingin yang ada di kamarnya untuk Sabrina."Ayo minum!" Bram merasa cemas karena wajah Sabrina memerah dan matanya mengeluarkan air mata.Sabrina segera meraih air minum dari Bram dan meminumnya hingga tandas."Bagaimana?" "Aku tidak apa-apa." Sabrina mengusap bibirnya dengan punggung tangannya."Makanlah dulu, jangan banyak bicara.""Lagian kamu lucu, Mas.""Apa yang lucu?""Ucapan kamu yang bilang, akan belikan kapan pun aku mau.""Aku serius, Sabrina. Aku akan lakukan apa pun untukmu."S
Surti semakin bertindak semena-mena setelah Seno pergi. Bahkan ia sudah merencanakan berbagai rencana licik supaya Sabrina dan Seno berpisah. Rencana Surti tentu mendapatkan dukungan penuh dari Wati yang sama-sama tak suka pada Sabrina."Raf, mau uang, tidak?" Wati berdiri di ambang pintu kamar adiknya yang terbuka."Mau lah, siapa yang tidak mau uang," balas Rafka masih dengan posisi tiduran, enggan untuk bangun.Wati memperlihatkan lima lembar uang ratusan ribu. "Ini bakal jadi punyamu."Melihat uang yang menurut Rafka lumayan banyak, ia langsung bergegas bangun mendekati Wati. "Sini!" Ia menengadahkan tangannya."Tunggu!" Wati memasukkan kembali uang itu pada saku celana miliknya."Pembohong." Rafka kesal karena merasa dibohongi oleh Wati."Tentu aku tidak akan bohong kalau kamu bisa lakukan perintahku.""Apa?" sahut Rafka cepat."Rayu Sabrina, ajak dia pergi lalu kamu kerjain dia." Wati tertawa jahat. Ia benar-benar tidak suka dengan Sabrina. "Gampang kali itu. Sini!" Rafka kemba
Keesokan harinya di sekolah, Rafka membicarakan rencana yang ia buat pada teman-teman satu gengnya yang terdiri tiga orang."Apa tidak terlalu berbahaya?" ujar Dean."Kasihan, Raf," timpal Sonu."Bener tuh, Raf. Kasihan." Atta pun merasa kasihan."Itukan Kakak Iparmu, kenapa kamu tega? Bagaimana perasaan Abangmu kalau tahu istrinya kita gilir." Dean tak tega membayangkan hal itu. "Kalian penakut banget sih! Lumayan, kan? Kakak Iparku itu cantik, jadi tidak akan rugi.""Bukan untung dan rugi, Raf. Kita mikir perasaan Abang kamu," balas Sonu.."Tidak usah banyak omong, kalian mau atau tidak?" Rafka tidak ingin banyak bicara.Sano, Dean, dan Atta saling tukar pandang satu sama lain. Mereka bingung apa yang harus mereka pilih."Cepat jawab!""Aku gak ikutan. Aku gak tega," putus Sonu."Banci kamu," cibir Rafka."Kata-kata itu lebih pas buat kamu, beraninya sama cewek. Dah lah, lebih baik aku pergi." Sonu tak mau ikut campur."Lalu bagaimana dengan kalian?" Rafka melihat kedua temannya."
Rafka sudah menyiapkan saputangan yang telah ia bubuhi dengan obat bius. Lalu ia juga menyiapkan sebuah kamera yang akan merekam aksinya nanti. Semua harus sempurna dan sesuai supaya aksinya tidak sia-sia."Akhirnya." Rafka bergumam senang karena sebentar lagi, semua yang ia impikan akan tercapai.Dari dulu Rafka ingin melakukannya. Namun, ia takut pada ibunya yang pasti akan memarahinya habis-habisan karena bersikap tak benar. Apalagi ibunya sangat membenci Sabrina. Saat inilah saat yang tepat baginya menjalankan semua rencana-rencana yang telah ia susun rapi sejak lama. Jika ibunya marah, ia akan beralibi cara cepat supaya Seno mau menceraikan Sabrina.Setelah menunggu beberapa saat, tak ada tanda-tanda Sabrina akan muncul, padahal ia sudah meminta untuk cepat karena tak sabar."Lama sekali, bagaimana kalau ada yang pulang." Rafka menggerutu kesal bercampur khawatir ada yang pulang lebih awal. Ia mondar-mandir di kamar dengan perasaan campur aduk, antara senang, tak sabar dan khawat
Setelah puas mengambil foto Sabrina dan bermain-main dengan sentuhan-sentuhan nakal. Rafka melepaskan pakaiannya sendiri. Ia tak sabar untuk melakukan 'itu' sekarang."Maaf Ipar ku yang cantik," ucap Rafli sembari tertawa puas. Ia senang sekali hari ini.Entah mimpi apa semalam, kakak iparnya kini ada di hadapannya tak sadarkah diri dan bebas untuk ia perlakukan sesuka hati. Meski dalam keadaan tidak sadar.Meskipun dalam hati, Rafka sudah mantap tetapi masih ada terselip rasa takut sehingga membuat tangannya bergetar saat hendak membuka seluruh sisa kain yang masih menempel di tubuh Sabrina."Ayolah, Raf. Kapan lagi kamu bisa lakukan ini," gumam Rafka untuk menyemangati dirinya sendiri. Ia tidak boleh mundur sekarang karena ia sampai di titik sekarang ini, membutuhkan waktu yang lama serta keberanian yang kuat.Seolah pikiran dan hatinya tertutup. Rafka melepaskan semua sisa kain yang masih menutupi bagian terlarang milik Sabrina. Ia takjub saat semua sudah terbuka. Ia makin tergila-
Bram tak mau menanggapi ucapan Rafka lagi. Semakin ia membalas, maka akan semakin terlihat jelas tentang perasaannya pada Sabrinal"Ayo bangun, Sabrina." Bram menepuk-nepuk pelan pipi Sabrina supaya bangun.Susah payah, akhirnya Sabrina mampu membuka matanya. Ia melihat sekeliling yang ternyata ia masih berada di kamar Rafka, seperti terakhir yang ia ingat."Syukurlah." Bram merasa lega ketika Sabrina sudah membuka matanya. Namun, berbeda dengan Rafka.Rafka sedikit panik dan takut. Ia takut Sabrina tahu apa yang telah ia lakukan, meskipun kemungkinan tahu sangat kecil karena ia melakukannya saat Sabr tak sadar lalu memakaikan kembali seluruh pakaian Sabrina secara benar. Bahkan ia tanpa jijik membersihkan milik Sabrina supaya tidak meninggalkan jejak."Aku kenapa?" Sabrina bertanya dengan terbata-bata. Kepalanya masih terasa pusing."Kamu kecapean lalu pingsan," balas Bram.Sabrina mencoba mengingat apa yang terjadi. Ia hanya mengingat saat merapikan seprai, Rafka mendekat dan membek
Rafka masuk kamar dan mendapati Sabrina tengah menangis. Membuat pikiran Rafka makin tak tenang tapi ia berusaha menampilkan wajah datar dan seolah tanpa rasa berdosa."Kenapa kamu tega padaku," lirih Sabrina dengan air mata yang berlinang deras membasahi wajah cantiknya."Tega apa?" Rafka menyodorkan minuman yang ia bawa pada Sabrina.Pranggg...Sabrina menepis minuman yang Rafka berikan. Ia benar-benar tak menyangka, adik iparnya sejahat itu padanya."Apa yang kamu lakukan!" suara Rafka meninggi."Harusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan!" Sabrina ikut meninggikan suaranya.Tak ada wanita yang mau harga dirinya di injak-injak dan di lecehkan. Seperti halnya dengan Sabrina. Meskipun selama ini ia diam atas perlakuan mertua dan iparnya yang sering menyuruhnya ini itu tapi kelakuan Rafka kali ini sungguh tidak bisa di maafkan.Belum sempat Rafka menimpali ucapan Sabrina, Bram datang. Akhirnya ia memilih untuk bungkam."Ada apa ini?" Bram yang baru datang, merasa heran melihat
Surti tak terima dengan ucapan Sabrina. Lagipula Surti tak akan percaya jika Rafka yang melakukan hal itu pada Sabrina. Rafka masih kecil, tidak mungkin punya pikiran sampai sana."Jangan mencoba fitnah Rafka. Dia masih kecil, kalau dia yang lakukan, sudah jelas pasti kamu yang mengajarkannya." Surti menuduh Sabrina mengada-ada."Tidak ada wanita yang rela memberikan tubuhnya cuma-cuma." Sabrina berucap sembari menghapus air matanya. Menurutnya, ini bukan saatnya untuk menangis tetapi ia harus berusaha tegar dan memperjuangkan keadilan untuk dirinya sendiri. Karena sudah tak ada lagi yang bisa ia harapkan di rumah ini. Suami yang satu-satunya menjadi alasan Sabrina tetap tinggal di rumah ini, kini sudah melukai hati dan perasaannya cukup dalam. Saat ini, lebih baik ia pergi meninggalkan semuanya. Jika Seno tetap tidak mempercayai dirinya."Bisa saja, kamu kan, wanita gatal." Surti mencibir Sabrina."Rafka membekapku dengan saputangan yang telah dia beri obat bius. Dia...." Sabrina me