Share

Aku Takut Menimbulkan Fitnah

Bram tertawa melihat Sabrina salah tingkah. Meskipun apa yang ia ucapkan adalah sebuah kejujuran. Namun, Bram tak mau membuat hubungan mereka menjadi canggung.

"Lucu sekali wajah kamu," goda Bram.

"Mas Bram!!" Sabrina memukul-mukul lengan Bram kesal. Ia sudah merasa tak enak dan bingung akan jawab apa. Ternyata hanya sebuah candaan.

Sabrina kesal tapi di sisi lain, ia jadi tahu kalau Brsm yang selama ini ia anggap kaku ternyata orang yang humoris dan baik.

"Sudah-sudah, ayo kita turun!" Bram mengajak Sabrina untuk turun dari mobil.

"Iya. Sebenarnya kita mau cari kado seperti apa, Mas?"

"Aku belum tahu, nanti kamu pilihkan yang terbaik saja."

Sabrina mengangguk paham dan mengikuti Bram.

🥀🥀🥀

Sabrina sedikit kesal, kakinya juga sudah pegal. Namun, Bram belum juga memutuskan apa yang akan dia beli. Padahal sejak tadi mereka sudah keluar masuk beberapa toko.

"Mas, sebenarnya nyari apa sih?"

"Aku tidak tahu. Kalau aku tahu, aku tidak akan mengajakmu."

"Dari tadi kita sudah keluar masuk toko, aku juga sudah pilihkan beberapa barang tapi Mas Bram tidak mau," gerutu Sabrina.

"Aku kurang suka dengan tadi yang kamu pilih."

"Terus Mbak Nela sukanya apa? Kita pilih aja apa barang yang dia sukai saja."

"Nela suka tas."

"Kenapa tidak bilang dari tadi, Mas. Kalau Mbak Nela suka tas, kita ke toko tas saja."

"Lalu kamu sukanya apa?"

"Kalau aku, suka apa aja, Mas. Asal gratis." Sabrina tertawa.

"Kalau gitu, pilih saja apa pun yang kamu mau. Gratis." Bram ikut tertawa.

Mereka berdua terlihat sangat akrab. Sabrina yang biasanya merasa canggung, kini terlihat biasa saja dan lepas seolah tak ada beban. Bram membuat ia merasa nyaman.

"Yakin nawarin aku, Mas?"

"Iya, pilih saja apa pun yang kamu mau."

"Aku pilih semuanya."

"Ambillah!"

Sabrina tertawa lagi. "Gaya sekali kamu, Mas. Memangnya uang kamu akan cukup membeli semua yang ada di mall ini?"

"Kalau uangku tak cukup, kamu yang akan jadi jaminannya."

Sabrina dan Bram kembali tertawa bersama. Hingga mereka lupa jika malam sudah mulai larut.

"Sebentar, Mas." Sabrina mengambil ponselnya di dalam tas kecil yang ia bawa karena sejak tadi, ponselnya terus bergetar.

"Siapa?" tanya Bram penasaran.

"Mas Seno," balas Sabrina saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya kemudian mengangkat telpon tersebut.

Bram entah mengapa tak suka dan merasa cemburu saat Sabrina mengangkat telpon dari Seno. Padahal seharusnya ia biasa saja, lagipula Seno suami sah Sabrina dan tentu saja Seno adalah adik kandungnya sendiri. Harusnya semua itu tidak masalah dan tidak membuatnya cemburu.

"Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" gumam Bram dalam hati.

Bram ingin menepis semua rasa yang ada di hatinya. Rasa yang tak seharusnya ada dan kian lama terasa semakin menyiksa batinnya. Kenapa dari ribuan bahkan jutaan wanita yang ada di dunia ini, ia harus jatuh cinta pada adik iparnya sendiri. Wanita yang tak seharusnya ia cintai.

"Ada apa?" tanya Bram setelah Sabrina selesai telepon.

"Mas Seno nyuruh pulang, Mas."

Bram melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Ternyata sudah hampir jam setengah sebelas malam.

"Baiklah, kita pulang."

Mereka berdua berjalan keluar mall menuju parkiran.

"Tapi kita belum dapat apapun," ujar Sabrina.

"Kita cari lagi besok siang."

"Aku tidak janji bisa nemenin, Mas. Aku tidak enak jika kita keluar bersama lagi."

"Memangnya kenapa? Kamu tidak suka jalan denganku?"

"Bukan, bukan begitu, Mas," sanggah Sabtu cepat.

Bukan Sabrina tak suka jalan dengan Bram, ia malah sangat suka karena Bram sangat menyenangkan tapi Sabrina tak mau membiarkan rasa suka dan nyaman ini terus berlanjut. Ia takut akan membuat salah paham orang rumah dan memperburuk hubungannya dengan ibu mertuanya dan Wati beserta Rafka.

"Lalu?"

"Aku takut akan menimbulkan fitnah," balas Sabrina.

"Kita pergi izin terlebih dahulu, tidak pergi diam-diam."

"Tetap saja, Mas. Orang tidak semua paham dengan maksud kita. Meskipun jujur, jika orang itu terlanjur membenci kita, semua akan tetap salah dimatanya."

"Apa yang kamu maksud Ibuku, Mbak Wati dan Rafka?"

Sabrina tersenyum tipis sebagai jawaban.

"Maafkan orangtuaku dan juga saudaraku." Beam meraih tangan Sabrina.

Tindakan reflek Bram, membuat Sabrina terkejut dan menghentikan langkahnya.

"Tidak apa-apa, Mas Bram tidak perlu minta maaf."

Sabrina berusaha menarik tangannya yang kini tengah di genggaman oleh Bram. Namun, Bram malah semakin erat menggenggamnya.

"Aku tahu, kalau kamu sering menangis sendirian. Aku tahu kelakuan saudara dan Ibuku keterlaluan. Aku juga tahu kalau Aeno kadang mengabaikanmu dan berkata-kata kasar padamu."

Bram mengulurkan satu tangannya lagi yang bebas dan mengusap pipi Sabrina lembut.

"Dan apa kamu tahu? Aku marah saat Seno denagn teganya menamparmu di hadapan kita semua."

Sabrina gugup salah tingkah dan tak atau harus bicara apa.

"Datanglah padaku kalau kamu butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahmu atau mintalah aku untuk bawa kamu pergi dan memulai kehidupan yang baru, bersamaku."

Deg...

Jantung Sabrina berdetak lebih cepat berkali-kali lipat. Ia ingin menganggap semua ini hanya candaan seperti tadi, tapi ....

Cup...

Bram mencium bibir Sabrina tanpa ia duga-duga.

"I love you," ucap Bram sembari menatap Sabrina lembut.

Sabrina masih mematung seakan tak percaya apa yang baru saja terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status