Ilona spontan bersingkut mundur ke ujung ranjang karena terkejut dan khawatir Reinhard melakukan sesuatu padanya. Meskipun mereka telah resmi menikah, dirinya belum siap jika lelaki itu meminta haknya. Namun, Reinhard hanya melempar sebuah berkas.
Ilona langsung menetralkan ekspresinya dan mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Reinhard tampak sangat membencinya. Seharusnya, ia tidak perlu khawatir lelaki itu melakukan sesuatu padanya. Pernikahan ini tak akan seperti pernikahan pada umumnya. Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah menuju sofa yang tersedia di kamar tersebut. Lelaki itu duduk, kemudian bersandar di sofa tanpa melepas tatapan tajamnya dari Ilona. Ilona melirik kertas yang Reinhard lemparkan tadi dengan kening berkerut. “Apalagi yang kamu tunggu? Apa kamu ingin membuatku berubah pikiran?” Suara bariton Reinhard berhasil menyadarkan Ilona dari lamunannya. Wanita itu spontan menoleh ke arah lelaki di hadapannya dengan delikan tajam. Ilona meraih berkas yang Reinhard berikan tadi. Kemudian membaca bagian atasnya sekilas. “Ini untuk apa?” tanya wanita itu sembari melirik Reinhard. “Kontrak pernikahan?” “Ya, cepat kamu tandatangani! Kontrak itu sebagai jaminan supaya kamu tidak bertingkah macam-macam! Aku bisa menuntutmu jika kamu berani melanggar,” tutur Reinhard tanpa menghilangkan nada perintah dalam suaranya. Ilona mencibir pelan. “Aku tidak akan menandatangani berkas ini sebelum membaca semuanya. Kamu sangat picik, bisa saja kamu mencantumkan sesuatu yang membuatku rugi.” “Hanya lima menit,” cetus Reinhard sembari melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Ilona langsung membaca setiap kata yang tertulis di dalam kontrak itu dengan saksama. Tak ingin ada satu kata pun yang terlewat. Ia tidak menyangka Reinhard sampai menyiapkan kontrak tertulis seperti ini. Sebab, lelaki itu tak pernah membahasnya. Keningnya mengerutkan ketika menyadari sesuatu yang aneh dari isi kontrak di tangannya. Dari lembaran kontrak tersebut, kebanyakan hanya membahas tentang hukuman yang harus Ilona terima jika melanggar kontrak ini. Dan dalam kontrak tersebut, isinya hanya disebutkan jika Ilona harus mematuhi apa pun yang Reinhard inginkan. “Kamu memintaku menuruti semua keinginanmu? Maksudnya apa? Kenapa tidak kamu jelaskan secara spesifik di sini?” tanya Ilona dengan mata memicing. “Aku tidak mau tandatangan jika perjanjiannya tidak jelas!” Perjanjian yang tertera dalam kontrak ini sangat menjebak. Isinya memang sederhana, jika Ilona ingin keluarganya hidup aman tanpa gangguan, dirinya hanya perlu mengikuti seluruh keinginan Reinhard. Namun, kalimat tersebut memiliki makna ganda. Jika Ilona setuju, itu tandanya ia harus siap melakukan apa pun Reinhard inginkan. Tidak ada penjelasan tentang keinginan seperti apa saja yang termasuk ke dalamnya. Dan lelaki itu pasti akan memanfaatkan situasi untuk membuatnya tersiksa. Ilona memang sudah menyerahkan diri pada Reinhard, tetapi bukan berarti lelaki itu bisa melakukan apa saja sesuka hati. Ada banyak batasan yang perlu ditegaskan di sini dan Ilona akan memperjuangkan haknya. Memperjuangkan sisa-sisa harga dirinya. Reinhard langsung berdiri dan melangkah mendekati Ilona. “Aku hanya memintamu mengikuti keinginanku, semua yang aku inginkan. Bagian mana yang perlu aku jelaskan lagi?” “Kamu akan menggunakan kontrak ini untuk membuatku tunduk pada seluruh keinginan gilamu itu?” tuduh Ilona sembari tertawa sinis. Ilona tahu Reinhard membencinya. Lelaki itu menawarkan pernikahan padanya hanya demi membalas dendam. Bodohnya, ia malah menyetujui dengan mudah karena merasa tak memiliki pilihan lain. Dan sekarang dirinya harus terjebak di sini. “Memang itulah tujuanku menikahimu. Jangan pernah berharap aku akan memperlakukan dirimu seperti ratu.” Reinhard berhenti melangkah di depan Ilona, tatapannya berubah tatapan dengan rahang yang mengeras. “Kamu meninggalkanku saat aku sekarat. Sekarang aku memungutmu, harusnya kamu cukup berterimakasih padaku,” imbuh lelaki itu sinis. Ilona mencengkeram berkas pernikahan kontrak yang ada di tangannya. Kesalahannya di masa lalu memang sangat fatal. Ia menyadari kebodohannya. Ilona tetap mempertahkan ekspresi datarnya, tak ingin membuat Reinhard merasa menang karena telah berhasil mengusiknya. Ilona berdecih pelan meskipun tak urung ia tetap meraih bolpoin yang Reinhard berikan padanya. Wanita itu segera membubuhkan tandatangannya dan mengembalikan berkas tersebut pada Reinhard, nyaris melemparnya karena sudah terlampau kesal. Reinhard menerima berkas tersebut dengan senyum puas yang terlukis di wajahnya. “Kamu mengatai aku iblis, ‘kan? Nikmati saja kehidupan barumu dengan iblis ini selamanya. Welcome to my world.” “Puas?” sindir Ilona sinis. Ilona ingin menyesali keputusannya, namun tak ada kesempatan lagi untuk melakukan itu. Pada kenyataannya, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Apalagi ia tahu Reinhard tak akan berhenti mengusiknya sebelum keinginan lelaki itu tercapai. "Ini belum apa-apa, Sayang. Hari-hari berikutnya, kamu harus membuatku lebih puas lagi," imbuh Reinhard dengan tatapan penuh makna.Mendengar itu, mata Ilona terbelalak. "Apa maksudmu?"Lelaki di depannya tersenyum menyeringai. "Tidurlah, istriku! Kamu pasti lelah sudah berpura-pura menjadi pengantin yang bahagia seharian ini." Usai mengatakan itu, Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan kamar itu. Seringai misterius tersungging di wajah tampannya ketika bertemu pandang dengan Ilona sebelum dirinya menutup pintu.Ilona yang lelah pun berusaha tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan Reinhard. Perlahan, matanya pun terpejam. Ketika Ilona kembali membuka mata, ia masih sendirian di kamar itu. Tampaknya Reinhard memang tidak kembali ke kamar ini semalam. Itu malah bagus, Ilona sangat enggan berada di ranjang yang sama dengan lelaki itu. Jemari Ilona bergerak meraih ponselnya yang belum dirinya sentuh sejak kemarin. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan muncullah Reinhard dari sana. Lelaki bersetelan kemeja hitam itu melangkah mendekati Ilona. Seulas senyum miring terlukis di bibirnya melihat
Ilona menggeram kesal. “Kamu pasti sengaja melakukan ini untuk mengerjai aku, 'kan?!” Ia tidak bodoh untuk menyadari jika kamar itu memang sengaja dibuat kotor sebelum dirinya datang. Suasana hatinya masih belum benar-benar membaik karena ulah Reinhard sebelumnya. Sekarang, lelaki itu malah kembali mengerjai dirinya. Baru sehari mereka resmi menikah, Reinhard sudah membuat suasana hatinya hancur berantakan. Reinhard menyeringai lebar, kemudian melirik arloji yang melingkar di tangannya. “Waktu yang kamu miliki hanya satu jam. Jika kamu tidak menuruti keinginanku, aku bisa menghentikan pengobatan ibumu sekarang juga.”“Bisakah kamu berhenti mengancamku dengan cara itu?” desis Ilona muak. Reinhard selalu mengetahui di mana letak kelemahannya yang membuat dirinya tidak memiliki pilihan lain. Reinhard tiba-tiba menyanggupi membayar biaya pengobatan Haura secara rutin. Ternyata inilah yang lelaki itu rencanakan. Reinhard ingin menggunakan pengobatan itu untuk menekannya. Dan Ilona tak b
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Ilona langsung keluar dari toilet dan melangkah cepat menyeberangi ruangan menuju ranjang yang masih ditempati oleh Reinhard. Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyingkap selimut yang Reinhard kenakan. Ia tidak terima lelaki itu menjamah tubuhnya tanpa permisi. “Bangun! Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Berani-beraninya kamu melakukan—”Luapan amarah Ilona berubah menjadi pekikan karena Reinhard tiba-tiba membuka mata dan menarik tubuhnya hingga terjatuh di ranjang dan menimpa tubuh Reinhard. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah membalikkan posisi mereka. Kemarahan Ilona langsung menguap, wajahnya berubah memucat. Posisi seperti ini membuat dirinya merasa dejavu. Kenangan menjijikkan itu kembali berputar di kepalanya. Ilona berdeham pelan, menutupi ketakutannya serapat mungkin. “Mi-minggir! Jangan macam-macam!” sentak Ilona sembari melotot. Ilona berusaha memasang wajah garang dengan tatapan berkobar. Semalam dirinya memang le
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan