Ilona spontan bersingkut mundur ke ujung ranjang karena terkejut dan khawatir Reinhard melakukan sesuatu padanya. Meskipun mereka telah resmi menikah, dirinya belum siap jika lelaki itu meminta haknya. Namun, Reinhard hanya melempar sebuah berkas.
Ilona langsung menetralkan ekspresinya dan mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Reinhard tampak sangat membencinya. Seharusnya, ia tidak perlu khawatir lelaki itu melakukan sesuatu padanya. Pernikahan ini tak akan seperti pernikahan pada umumnya. Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah menuju sofa yang tersedia di kamar tersebut. Lelaki itu duduk, kemudian bersandar di sofa tanpa melepas tatapan tajamnya dari Ilona. Ilona melirik kertas yang Reinhard lemparkan tadi dengan kening berkerut. “Apalagi yang kamu tunggu? Apa kamu ingin membuatku berubah pikiran?” Suara bariton Reinhard berhasil menyadarkan Ilona dari lamunannya. Wanita itu spontan menoleh ke arah lelaki di hadapannya dengan delikan tajam. Ilona meraih berkas yang Reinhard berikan tadi. Kemudian membaca bagian atasnya sekilas. “Ini untuk apa?” tanya wanita itu sembari melirik Reinhard. “Kontrak pernikahan?” “Ya, cepat kamu tandatangani! Kontrak itu sebagai jaminan supaya kamu tidak bertingkah macam-macam! Aku bisa menuntutmu jika kamu berani melanggar,” tutur Reinhard tanpa menghilangkan nada perintah dalam suaranya. Ilona mencibir pelan. “Aku tidak akan menandatangani berkas ini sebelum membaca semuanya. Kamu sangat picik, bisa saja kamu mencantumkan sesuatu yang membuatku rugi.” “Hanya lima menit,” cetus Reinhard sembari melirik arloji mahal yang melingkar di pergelangan tangannya. Ilona langsung membaca setiap kata yang tertulis di dalam kontrak itu dengan saksama. Tak ingin ada satu kata pun yang terlewat. Ia tidak menyangka Reinhard sampai menyiapkan kontrak tertulis seperti ini. Sebab, lelaki itu tak pernah membahasnya. Keningnya mengerutkan ketika menyadari sesuatu yang aneh dari isi kontrak di tangannya. Dari lembaran kontrak tersebut, kebanyakan hanya membahas tentang hukuman yang harus Ilona terima jika melanggar kontrak ini. Dan dalam kontrak tersebut, isinya hanya disebutkan jika Ilona harus mematuhi apa pun yang Reinhard inginkan. “Kamu memintaku menuruti semua keinginanmu? Maksudnya apa? Kenapa tidak kamu jelaskan secara spesifik di sini?” tanya Ilona dengan mata memicing. “Aku tidak mau tandatangan jika perjanjiannya tidak jelas!” Perjanjian yang tertera dalam kontrak ini sangat menjebak. Isinya memang sederhana, jika Ilona ingin keluarganya hidup aman tanpa gangguan, dirinya hanya perlu mengikuti seluruh keinginan Reinhard. Namun, kalimat tersebut memiliki makna ganda. Jika Ilona setuju, itu tandanya ia harus siap melakukan apa pun Reinhard inginkan. Tidak ada penjelasan tentang keinginan seperti apa saja yang termasuk ke dalamnya. Dan lelaki itu pasti akan memanfaatkan situasi untuk membuatnya tersiksa. Ilona memang sudah menyerahkan diri pada Reinhard, tetapi bukan berarti lelaki itu bisa melakukan apa saja sesuka hati. Ada banyak batasan yang perlu ditegaskan di sini dan Ilona akan memperjuangkan haknya. Memperjuangkan sisa-sisa harga dirinya. Reinhard langsung berdiri dan melangkah mendekati Ilona. “Aku hanya memintamu mengikuti keinginanku, semua yang aku inginkan. Bagian mana yang perlu aku jelaskan lagi?” “Kamu akan menggunakan kontrak ini untuk membuatku tunduk pada seluruh keinginan gilamu itu?” tuduh Ilona sembari tertawa sinis. Ilona tahu Reinhard membencinya. Lelaki itu menawarkan pernikahan padanya hanya demi membalas dendam. Bodohnya, ia malah menyetujui dengan mudah karena merasa tak memiliki pilihan lain. Dan sekarang dirinya harus terjebak di sini. “Memang itulah tujuanku menikahimu. Jangan pernah berharap aku akan memperlakukan dirimu seperti ratu.” Reinhard berhenti melangkah di depan Ilona, tatapannya berubah tatapan dengan rahang yang mengeras. “Kamu meninggalkanku saat aku sekarat. Sekarang aku memungutmu, harusnya kamu cukup berterimakasih padaku,” imbuh lelaki itu sinis. Ilona mencengkeram berkas pernikahan kontrak yang ada di tangannya. Kesalahannya di masa lalu memang sangat fatal. Ia menyadari kebodohannya. Ilona tetap mempertahkan ekspresi datarnya, tak ingin membuat Reinhard merasa menang karena telah berhasil mengusiknya. Ilona berdecih pelan meskipun tak urung ia tetap meraih bolpoin yang Reinhard berikan padanya. Wanita itu segera membubuhkan tandatangannya dan mengembalikan berkas tersebut pada Reinhard, nyaris melemparnya karena sudah terlampau kesal. Reinhard menerima berkas tersebut dengan senyum puas yang terlukis di wajahnya. “Kamu mengatai aku iblis, ‘kan? Nikmati saja kehidupan barumu dengan iblis ini selamanya. Welcome to my world.” “Puas?” sindir Ilona sinis. Ilona ingin menyesali keputusannya, namun tak ada kesempatan lagi untuk melakukan itu. Pada kenyataannya, ia memang tidak memiliki pilihan lain. Apalagi ia tahu Reinhard tak akan berhenti mengusiknya sebelum keinginan lelaki itu tercapai. "Ini belum apa-apa, Sayang. Hari-hari berikutnya, kamu harus membuatku lebih puas lagi," imbuh Reinhard dengan tatapan penuh makna.“Milikmu?” beo Reinhard sembari menatap sang istri dengan sorot penuh makna. “Itu kalungku yang hilang. Sudah lama sekali aku mencarinya. Ternyata, kamu yang menyimpan kalungku?” Ilona spontan mendekati Reinhard dan menelisik kalung tersebut. Kalung itu memang miliknya. Kalung pemberian ayahnya, satu-satunya harta yang paling berharganya yang tersisa. Ilona telah mencari kalung tersebut sejak lama, namun tak pernah menemukannya. Sebenarnya, Ilona tidak pernah memakai kalung tersebut karena takut hilang. Namun, ia selalu menyimpan kalung tersebut di dompetnya. Namun, suatu hati saat Ilona mencari kalung tersebut, kalungnya telah menghilang entah ke mana. Ilona tidak tahu sejak kapan kalungnya menghilang. Ia sempat mengira kalungnya jatuh di jalan tanpa dirinya sadari. Hingga akhirnya, ia tak mencari-cari kalung itu lagi. Terlebih, kala itu kehidupannya sedang semrawut, dan banyak hal yang lebih penting yang perlu diurus. “Berarti kamu yang mendonorkan darah untukku saya aku k
Penyesalan selalu datang belakangan. Meskipun sudah berulang kali diingatkan, tetap saja akan dianggap angin lalu. Kecuali, jika sudah ada sesuatu yang terjadi. Menampar sanubari. Barulah, penyesalan itu datang, membelenggu hati entah sampai kapan. Reinhard merasakannya sekarang. Penyesalan tersebut tampak sangat jelas dan lelaki itu tak berusaha menutupinya. Awalnya, Reinhard yang bersikeras tak ingin berlama-lama tinggal di kediaman orang tuanya. Dan sekarang lelaki itu malah tampak tak mau pergi. Dua minggu telah berlalu sejak kepergian Anindya yang begitu mendadak. Reinhard memilih mengambil cuti tahunan secara tiba-tiba. Membatalkan seluruh agenda yang tersusun rapi. Dan lebih banyak mendekam di kamar bekas mendiang orang tua lelaki itu. Reinhard memang tak pernah berbicara macam-macam. Lelaki itu lebih banyak diam. Hanya berbicara jika ditanya dan menjawab seadanya. Namun, Ilona tahu kesedihan yang lelaki itu rasakan sangat dalam. Ia pernah merasa
“Panggil saya ‘mama’.”“Saya ingin minta maaf atas semua yang pernah saya lakukan. Saya selalu menilai kamu dari sisi negatif. Tapi, saya tidak pernah berusaha mengenal kamu lebih jauh.” Suara Anindya terdengar bergetar. Matanya pun sudah berkaca-kaca. Ilona yang masih berdiri di pintu membeku selama beberapa saat. Ia mendengar ucapan sang mertua, sangat jelas. Ia menatap sang mertua dengan sorot campur aduk. Tak menyangka Anindya yang begitu angkuh akan mengatakan ini padanya dengan ekspresi penuh penyesalan. Bukan lagi sorot dan ekspresi dingin yang biasanya selalu Anindya tampilkan setiap kali berbicara dengannya. Ditambah lagi dengan nada sinis dan ketus dalam setiap ucap yang wanita paruh baya itu sampaikan. Kini, Anindya tampak benar-benar menyesal. Ilona masih belum bereaksi. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ilona tidak menganggap ibu mertuanya sedang berakting. Hanya saja, terlalu sulit dipercaya jika Anindya meng
“Aku mau merawat mama. Kalau perlu, kita bisa pindah untuk sementara waktu,” ucap Ilona mengutarakan keinginannya.Ilona bukan sedang mencari muka. Pada dasarnya, ia tidak mahir melakukan hal-hal seperti itu. Keinginan ini tulus dari hatinya. Meskipun Anindya selalu mempersulitnya, melihat keadaan wanita paruh baya itu yang sekarang membuatnya tak tega membiarkan sang mertua sendirian. Anindya memang tidak benar-benar sendirian. Ada banyak pekerja yang ada di sekelilingnya. Reinhard juga menambah beberapa perawat yang khusus merawat wanita paruh baya itu. Namun, di balik itu semua, sang mertua tetap sendirian. Orang-orang yang bekerja di sana tidak bisa dianggap keluarga. “Mama sering menyakuti kamu. Untuk apa kamu repot-repot melakukannya? Aku bisa membayar banyak perawat untuk mengurus mama,” jawab Reinhard datar sebelum kembali berkutat dengan komputer di hadapannya. Tak ingin menyerah dengan mudah, Ilona pun langsung masuk ke ruang kerja Re
Reinhard melewati Ilona dan Ruby begitu saja. Tampaknya, lelaki itu tak menyadari keberadaan istri dan anaknya. Reinhard membawa Anindya ke mobilnya dan mengendarai kendaraan beroda empat itu seperti orang kesetanan. Se benci apa pun Reinhard pada Anindya tetap tak akan benar-benar mengubur kepeduliannya. Ilona bergegas meminta sopir yang barusan mengantarnya untuk kembali mengejar mobil Reinhard. Ia hanya terlambat beberapa menit saja dan Anindya sudah terluka. Ilona berharap itu bukan imbas dari pertengkaran Reinhard dan Anindya. “Kita doakan supaya oma baik-baik saja ya?” bisik Ilona pada putrinya. Ilona menghapus sisa lelehan air mata Ruby menggunakan tisu. Putrinya sudah tidak menangis lagi sejak dalam perjalanan menuju kemari tadi. Ilona merengkuh putrinya lebih erat untuk menyalurkan kecemasan yang membelenggu dadanya. Jarak rumah orang tua Reinhard dengan rumah sakit tidak terlalu jauh. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Ilona
“Kamu dapat cek ini darimana?” tanya Reinhard saat menemukan selembar cek yang jatuh dari tas Ilona saat ia hendak memindahkan tas tersebut. Cek tersebut berasal dari perusahaan milik keluarganya. Namun, tampak sudah usang dan logo yang tertera pun logo lama, ketika ayahnya masih ada. Ia merasa tak pernah memberi Ilona cek. Apalagi di zaman tersebut. Reinhard lebih suka langsung mentransfer ke rekening Ilona jika ingin memberi uang. Anehnya, cek tersebut juga kosong. Tak ada nominal yang tertera. Sepersekian detik kemudian, Reinhard menyadari sesuatu. Cek ini pasti pemberian ibunya. Ya. Ketika mengancam Ilona agar wanita itu meninggalkannya saat dirinya koma. Seperti yang Gerald katakan tempo hari. Ketika Reinhard sudah mulai tersulut, Ilona masih asyik tertawa renyah bersama sang putri. Ilona yang sedang asyik bermain dengan Ruby di sudut kamar tidak mendengar pertanyaan Reinhard. Sehingga saat Reinhard menghampirinya, ia tak berpikir macam-macam.