“Sudah tiga bulan Nona menunggak iuran rumah ini. Kami sudah tidak bisa mentolerir lagi,” ucap sang petugas dari bank yang sedang memasang segel.
“Bukannya seharusnya masih minggu depan?” Ilona mencoba bernegosiasi dengan pihak bank. Selama tiga bulan ini, gajinya habis untuk membayar utang lain dan kebutuhan sehari-hari. Ilona belum sanggup membayar iuran pada bank. Ia berencana membayar angsuran tersebut dengan gajinya bulan ini. Sekarang dirinya belum punya uang. “Minggu depan bagaimana? Sekarang saja sudah jatuh tempo. Kami hanya menjalankan tugas. Kalau Nona keberatan, silakan datang ke kantor,” jawab orang itu datar. “Kami memberi waktu sampai minggu depan. Bayar tunggakan kalian atau tinggalkan tempat ini.” Setelah memasang segel tersebut, orang itu langsung pergi begitu saja. Tak peduli dengan Ilona yang masih terus berbicara. Ilona berdiri kaku di dekat pagar rumahnya. Menatap dua orang dari pihak bank yang sudah pergi. Hanya rumah ini satu-satunya peninggalan ayahnya yang tersisa. Bahkan, barang-barang berharga di dalamnya pun sudah ludes terjual untuk biaya pengobatan ayahnya. Ilona tak bisa melepas rumah ini begitu saja. Apalagi jika nantinya harus menyewa rumah, biaya yang diperlukan akan bertambah. Dari banyak hal yang kini tinggal menjadi kenangan, satu-satunya yang ingin Ilona pertahankan adalah rumah ini. “I-lona! Ilona!” Ketika membalikkan tubuhnya, Ilona terkejur bukan main saat melihat ibunya sudah kesakitan dan terduduk di lantai sembari menyentuh dada. “Kita ke rumah sakit sekarang, Bu.” Kedatangan orang-orang dari bank itu membuat penyakit jantung Haura—ibu Ilona kambuh. Akibatnya, Haura harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Dengan sisa uang yang dimilikinya, Ilona membayar biaya administrasi rumah sakit untuk ibunya. Entah apa yang terjadi, asuransi keluarga mereka tak bisa digunakan. Bahkan, sejak ayahnya mulai sakit-sakitan. Ilona sudah mencoba mengurusnya, namun sampai sekarang belum ada kemajuan. Asuransi tersebut masih belum bisa digunakan dan mau tak mau mereka harus menggunakan uang pribadi. “Ilona! Bagaimana kondisi Ibu?” Adrian—kakak Ilona berlari menghampiri sang adik. “Ibu sudah ditangani dokter. Aku juga sudah membayar biaya administrasinya,” jawab Ilona dengan suara lirih. Apa yang terjadi seharian ini membuat separuh tenaganya menghilang. Hari ini benar-benar berat baginya. Setelah dikerjai oleh Reinhard, dirinya juga kehilangan pekerjaan. Rumahnya nyaris disita oleh bank dan sekarang ibunya jatuh sakit. “Kakak ada sedikit uang. Kamu simpan.” Adrian menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan Ilona sebelum masuk ke ruang perawatan ibunya. Ilona yang hendak menolak uang tersebut memilih kembali mengatupkan bibirnya dan menyusul masuk ke ruang perawatan ibunya. Haura masih belum sadarkan diri. Jika tidak segera ditangani, kondisi wanita paruh baya itu mungkin lebih fatal lagi. Ilona dan Adrian sudah mengobrol dengan dokter yang menangani sang ibu. Syok berat yang Haura alami membuat kondisi wanita paruh baya itu drop. Harus ada pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui kondisi sang ibu lebih dalam dan pastinya membutuhkan biaya cukup besar. “Tadi ada orang dari bank? Kenapa kamu tidak langsung menelepon kakak?” tanya Adrian setelah dirinya dan Ilona keluar dari ruang perawatan ibunya. “Kakak sedang bekerja, aku tidak mau mengganggu. Lagi pula, meskipun kakak datang, mereka akan tetap menyegel rumah kita,” jawab Ilona putus asa. Ilona tak berani mengatakan jika dirinya dipecat hari ini. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakannya pada siapa pun. Kabar pemecatannya hanya menambah masalah mereka yang sudah rumit. Ia sedang berusaha memikirkan solusi agar keluarganya tak semakin terlilit utang. “Kakak akan mencari pinjaman lain. Untuk menutupi angsuran yang harus dibayar ke bank. Hanya itu cara yang bisa kita lakukan agar rumah itu tidak disita,” usul Adrian. “Pinjaman ke mana lagi, Kak? Utang kita sudah banyak. Kalau begitu sama saja utang kita tidak berkurang!” tolak Ilona. Meminjam lagi ke pihak lain hanya untuk membayar angsuran ke bank hanya membuat utang mereka semakin banyak. Sedangkan utang yang ada sekarang saja belum bisa terlunasi. Jika begini terus, entah sampai kapan keluarganya akan dikejar utang. Adrian bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan yang tidak terlalu besar. Penghasilan lelaki itu juga tidak banyak. Apalagi sekarang Ilona sudah dipecat. Menambah utang hanya akan membuat kehidupan mereka semakin rumit. “Kalau begitu, kita harus siap melepas rumah itu!” balas Adrian yang juga kebingungan mencari solusi. Ilona spontan menggeleng tak setuju. “Jangan! Penyakit ibu bisa semakin parah kalau kita melepas rumah itu. Aku sudah punya solusi lain.” “Solusi apa? Kamu mau ke mana?” tanya Adrian saat Ilona tiba-tiba pergi begitu saja. “Aku akan segera kembali. Tolong kakak temani ibu dulu!” sahut Ilona yang menoleh sekilas tanpa menghentikan langkahnya. Selama beberapa jam ini, Ilona sudah memikirkan solusi yang mau tidak mau harus dirinya ambil. Ia harus memutuskan dengan cepat karena waktunya tak banyak. Oleh karena itu, ia bergegas pergi. Dirinya harus menemui seseorang yang bisa membantunya. Ilona kembali ke kantor Reinhard. Tak bisa bertemu secara langsung, ia terpaksa membuat janji temu terlebih dahulu. Ia pikir hanya akan menunggu sebentar. Nyatanya, Reinhard tak juga muncul hingga matahari terbenam. Bahkan, sudah banyak karyawan lelaki itu yang berseliweran pulang. Sadar hanya dikerjai, Ilona pun memilih beranjak dari kursi yang selama beberapa jam ini dirinya tempati. Ia lupa Reinhard bukan lagi orang yang sama dengan yang dikenalnya dulu. Namun, ketika hendak beranjak pergi, seorang security memanggilnya. “Pak Reinhard meminta Nona menemuinya di ruangan. Mau saya antar?” tawar sang security. “Saya bisa ke sana sendiri, Pak. Terima kasih,” jawab Ilona seraya bergegas melangkah ke lift dan menekan tombol menuju lantai teratas gedung ini. Lantai atas sudah sangat sepi. Beberapa ruangan tampak sudah kosong. Ilona bergegas melangkah menuju ruangan Reinhard yang letaknya paling ujung. Meja sekretaris lelaki itu jiga sudah kosong. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu ruangan tersebut. “Belum genap 24 jam dan kamu sudah kembali? Aku tidak menyangka kamu akan berpikir cepat.” Nada mencemooh sangat kental dari suara lelaki itu. “Aku bersedia menikah denganmu,” ucap Ilona tanpa basa-basi. “Tapi, aku ingin kamu melunasi semua utang keluargaku.” Ilona tak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Keluarga jauhnya menghilang sejak ayahnya bangkrut dan jatuh sakit. Jika keluarganya masih terlilit utang, penyakit ibunya akan terus kambuh. Ilona sudah kehilangan ayahnya, ia tak ingin kehilangan ibunya juga. Reinhard yang semula masih menatap layar komputernya spontan mengalihkan pandangan. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan menghampiri Ilona. “Semua? Lalu, apa yang aku dapatkan?” “Apa pun yang kamu inginkan,” jawab Ilona tanpa berpikir panjang. Sebelah sudut bibir Reinhard terangkat. “Oke. Aku akan menagih ucapanmu nanti. Pastikan ini bukan omong kosong.” Pernikahan itu benar-benar terjadi seminggu kemudian. Sehari setelah Haura keluar dari rumah sakit, Reinhard langsung menagih janji Ilona. Lelaki itu benar-benar melunasi semuanya, termasuk biaya perawatan Haura selama berada di rumah sakit. Awalnya, Adrian menentang keras keputusan Ilona. Namun, setelah Reinhard mengajak lelaki itu bicara, akhirnya Adrian menyetujui keputusan Ilona. Namun, hingga pernikahan tersebut terlaksana, Adrian masih menunjukkan ketidaksukaannya. Pernikahan ini sangat sederhana. Hanya beberapa orang yang hadir. Bahkan, tak ada satu pun anggota keluarga Reinhard yang muncul. Pernikahan ini benar-benar disembunyikan. Entah apa yang Reinhard inginkan sebenarnya. Namun, sudah tidak ada kesempatan Ilona untuk mundur. Begitu serangkaian acara tersebut selesai, Reinhard langsung menyeret Ilona menjauh dari ballroom hotel menuju kamar hotel mereka. Begitu sampai di dalam kamar, lelaki itu langsung menghempaskan Ilona di sisi ranjang, kemudian membungkukkan tubuhnya di depan laci yang ada di samping ranjang itu dan mengambil sesuatu dari sana. “Cepat tandatangani berkas ini!” perintah Reinhard sembari melempar sebuah dokumen ke samping Ilona.Ilona spontan bersingkut mundur ke ujung ranjang karena terkejut dan khawatir Reinhard melakukan sesuatu padanya. Meskipun mereka telah resmi menikah, dirinya belum siap jika lelaki itu meminta haknya. Namun, Reinhard hanya melempar sebuah berkas.Ilona langsung menetralkan ekspresinya dan mengubah posisinya menjadi duduk tegak. Reinhard tampak sangat membencinya. Seharusnya, ia tidak perlu khawatir lelaki itu melakukan sesuatu padanya. Pernikahan ini tak akan seperti pernikahan pada umumnya. Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah menuju sofa yang tersedia di kamar tersebut. Lelaki itu duduk, kemudian bersandar di sofa tanpa melepas tatapan tajamnya dari Ilona. Ilona melirik kertas yang Reinhard lemparkan tadi dengan kening berkerut.“Apalagi yang kamu tunggu? Apa kamu ingin membuatku berubah pikiran?” Suara bariton Reinhard berhasil menyadarkan Ilona dari lamunannya. Wanita itu spontan menoleh ke arah lelaki di hadapannya dengan delikan tajam. Ilona meraih berkas yang Re
Mendengar itu, mata Ilona terbelalak. "Apa maksudmu?"Lelaki di depannya tersenyum menyeringai. "Tidurlah, istriku! Kamu pasti lelah sudah berpura-pura menjadi pengantin yang bahagia seharian ini." Usai mengatakan itu, Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan kamar itu. Seringai misterius tersungging di wajah tampannya ketika bertemu pandang dengan Ilona sebelum dirinya menutup pintu.Ilona yang lelah pun berusaha tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan Reinhard. Perlahan, matanya pun terpejam. Ketika Ilona kembali membuka mata, ia masih sendirian di kamar itu. Tampaknya Reinhard memang tidak kembali ke kamar ini semalam. Itu malah bagus, Ilona sangat enggan berada di ranjang yang sama dengan lelaki itu. Jemari Ilona bergerak meraih ponselnya yang belum dirinya sentuh sejak kemarin. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan muncullah Reinhard dari sana. Lelaki bersetelan kemeja hitam itu melangkah mendekati Ilona. Seulas senyum miring terlukis di bibirnya melihat
Ilona menggeram kesal. “Kamu pasti sengaja melakukan ini untuk mengerjai aku, 'kan?!” Ia tidak bodoh untuk menyadari jika kamar itu memang sengaja dibuat kotor sebelum dirinya datang. Suasana hatinya masih belum benar-benar membaik karena ulah Reinhard sebelumnya. Sekarang, lelaki itu malah kembali mengerjai dirinya. Baru sehari mereka resmi menikah, Reinhard sudah membuat suasana hatinya hancur berantakan. Reinhard menyeringai lebar, kemudian melirik arloji yang melingkar di tangannya. “Waktu yang kamu miliki hanya satu jam. Jika kamu tidak menuruti keinginanku, aku bisa menghentikan pengobatan ibumu sekarang juga.”“Bisakah kamu berhenti mengancamku dengan cara itu?” desis Ilona muak. Reinhard selalu mengetahui di mana letak kelemahannya yang membuat dirinya tidak memiliki pilihan lain. Reinhard tiba-tiba menyanggupi membayar biaya pengobatan Haura secara rutin. Ternyata inilah yang lelaki itu rencanakan. Reinhard ingin menggunakan pengobatan itu untuk menekannya. Dan Ilona tak b
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona langsung keluar dari toilet dan melangkah cepat menyeberangi ruangan menuju ranjang yang masih ditempati oleh Reinhard. Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyingkap selimut yang Reinhard kenakan. Ia tidak terima lelaki itu menjamah tubuhnya tanpa permisi. “Bangun! Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Berani-beraninya kamu melakukan—”Luapan amarah Ilona berubah menjadi pekikan karena Reinhard tiba-tiba membuka mata dan menarik tubuhnya hingga terjatuh di ranjang dan menimpa tubuh Reinhard. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah membalikkan posisi mereka. Kemarahan Ilona langsung menguap, wajahnya berubah memucat. Posisi seperti ini membuat dirinya merasa dejavu. Kenangan menjijikkan itu kembali berputar di kepalanya. Ilona berdeham pelan, menutupi ketakutannya serapat mungkin. “Mi-minggir! Jangan macam-macam!” sentak Ilona sembari melotot. Ilona berusaha memasang wajah garang dengan tatapan berkobar. Semalam dirinya memang le
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan