“Sudah tiga bulan Nona menunggak iuran rumah ini. Kami sudah tidak bisa mentolerir lagi,” ucap sang petugas dari bank yang sedang memasang segel.
“Bukannya seharusnya masih minggu depan?” Ilona mencoba bernegosiasi dengan pihak bank. Selama tiga bulan ini, gajinya habis untuk membayar utang lain dan kebutuhan sehari-hari. Ilona belum sanggup membayar iuran pada bank. Ia berencana membayar angsuran tersebut dengan gajinya bulan ini. Sekarang dirinya belum punya uang. “Minggu depan bagaimana? Sekarang saja sudah jatuh tempo. Kami hanya menjalankan tugas. Kalau Nona keberatan, silakan datang ke kantor,” jawab orang itu datar. “Kami memberi waktu sampai minggu depan. Bayar tunggakan kalian atau tinggalkan tempat ini.” Setelah memasang segel tersebut, orang itu langsung pergi begitu saja. Tak peduli dengan Ilona yang masih terus berbicara. Ilona berdiri kaku di dekat pagar rumahnya. Menatap dua orang dari pihak bank yang sudah pergi. Hanya rumah ini satu-satunya peninggalan ayahnya yang tersisa. Bahkan, barang-barang berharga di dalamnya pun sudah ludes terjual untuk biaya pengobatan ayahnya. Ilona tak bisa melepas rumah ini begitu saja. Apalagi jika nantinya harus menyewa rumah, biaya yang diperlukan akan bertambah. Dari banyak hal yang kini tinggal menjadi kenangan, satu-satunya yang ingin Ilona pertahankan adalah rumah ini. “I-lona! Ilona!” Ketika membalikkan tubuhnya, Ilona terkejut bukan main saat melihat ibunya sudah kesakitan dan terduduk di lantai sembari menyentuh dada. “Kita ke rumah sakit sekarang, Bu.” Kedatangan orang-orang dari bank itu membuat penyakit jantung Haura—ibu Ilona kambuh. Akibatnya, Haura harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit. Dengan sisa uang yang dimilikinya, Ilona membayar biaya administrasi rumah sakit untuk ibunya. Entah apa yang terjadi, asuransi keluarga mereka tak bisa digunakan. Bahkan, sejak ayahnya mulai sakit-sakitan. Ilona sudah mencoba mengurusnya, namun sampai sekarang belum ada kemajuan. Asuransi tersebut masih belum bisa digunakan dan mau tak mau mereka harus menggunakan uang pribadi. “Ilona! Bagaimana kondisi Ibu?” Adrian—kakak Ilona berlari menghampiri sang adik. “Ibu sudah ditangani dokter. Aku juga sudah membayar biaya administrasinya,” jawab Ilona dengan suara lirih. Apa yang terjadi seharian ini membuat separuh tenaganya menghilang. Hari ini benar-benar berat baginya. Setelah dikerjai oleh Reinhard, dirinya juga kehilangan pekerjaan. Rumahnya nyaris disita oleh bank dan sekarang ibunya jatuh sakit. “Kakak ada sedikit uang. Kamu simpan.” Adrian menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan Ilona sebelum masuk ke ruang perawatan ibunya. Ilona yang hendak menolak uang tersebut memilih kembali mengatupkan bibirnya dan menyusul masuk ke ruang perawatan ibunya. Haura masih belum sadarkan diri. Jika tidak segera ditangani, kondisi wanita paruh baya itu mungkin lebih fatal lagi. Ilona dan Adrian sudah mengobrol dengan dokter yang menangani sang ibu. Syok berat yang Haura alami membuat kondisi wanita paruh baya itu drop. Harus ada pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui kondisi sang ibu lebih dalam dan pastinya membutuhkan biaya cukup besar. “Tadi ada orang dari bank? Kenapa kamu tidak langsung menelepon kakak?” tanya Adrian setelah dirinya dan Ilona keluar dari ruang perawatan ibunya. “Kakak sedang bekerja, aku tidak mau mengganggu. Lagi pula, meskipun kakak datang, mereka akan tetap menyegel rumah kita,” jawab Ilona putus asa. Ilona tak berani mengatakan jika dirinya dipecat hari ini. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakannya pada siapa pun. Kabar pemecatannya hanya menambah masalah mereka yang sudah rumit. Ia sedang berusaha memikirkan solusi agar keluarganya tak semakin terlilit utang. “Kakak akan mencari pinjaman lain. Untuk menutupi angsuran yang harus dibayar ke bank. Hanya itu cara yang bisa kita lakukan agar rumah itu tidak disita,” usul Adrian. “Pinjaman ke mana lagi, Kak? Utang kita sudah banyak. Kalau begitu sama saja utang kita tidak berkurang!” tolak Ilona. Meminjam lagi ke pihak lain hanya untuk membayar angsuran ke bank hanya membuat utang mereka semakin banyak. Sedangkan utang yang ada sekarang saja belum bisa terlunasi. Jika begini terus, entah sampai kapan keluarganya akan dikejar utang. Adrian bekerja sebagai cleaning service di sebuah perusahaan yang tidak terlalu besar. Penghasilan lelaki itu juga tidak banyak. Apalagi sekarang Ilona sudah dipecat. Menambah utang hanya akan membuat kehidupan mereka semakin rumit. “Kalau begitu, kita harus siap melepas rumah itu!” balas Adrian yang juga kebingungan mencari solusi. Ilona spontan menggeleng tak setuju. “Jangan! Penyakit ibu bisa semakin parah kalau kita melepas rumah itu. Aku sudah punya solusi lain.” “Solusi apa? Kamu mau ke mana?” tanya Adrian saat Ilona tiba-tiba pergi begitu saja. “Aku akan segera kembali. Tolong kakak temani ibu dulu!” sahut Ilona yang menoleh sekilas tanpa menghentikan langkahnya. Selama beberapa jam ini, Ilona sudah memikirkan solusi yang mau tidak mau harus dirinya ambil. Ia harus memutuskan dengan cepat karena waktunya tak banyak. Oleh karena itu, ia bergegas pergi. Dirinya harus menemui seseorang yang bisa membantunya. Ilona kembali ke kantor Reinhard. Tak bisa bertemu secara langsung, ia terpaksa membuat janji temu terlebih dahulu. Ia pikir hanya akan menunggu sebentar. Nyatanya, Reinhard tak juga muncul hingga matahari terbenam. Bahkan, sudah banyak karyawan lelaki itu yang berseliweran pulang. Sadar hanya dikerjai, Ilona pun memilih beranjak dari kursi yang selama beberapa jam ini dirinya tempati. Ia lupa Reinhard bukan lagi orang yang sama dengan yang dikenalnya dulu. Namun, ketika hendak beranjak pergi, seorang security memanggilnya. “Pak Reinhard meminta Nona menemuinya di ruangan. Mau saya antar?” tawar sang security. “Saya bisa ke sana sendiri, Pak. Terima kasih,” jawab Ilona seraya bergegas melangkah ke lift dan menekan tombol menuju lantai teratas gedung ini. Lantai atas sudah sangat sepi. Beberapa ruangan tampak sudah kosong. Ilona bergegas melangkah menuju ruangan Reinhard yang letaknya paling ujung. Meja sekretaris lelaki itu jiga sudah kosong. Tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu ruangan tersebut. “Belum genap 24 jam dan kamu sudah kembali? Aku tidak menyangka kamu akan berpikir cepat.” Nada mencemooh sangat kental dari suara lelaki itu. “Aku bersedia menikah denganmu,” ucap Ilona tanpa basa-basi. “Tapi, aku ingin kamu melunasi semua utang keluargaku.” Ilona tak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi. Keluarga jauhnya menghilang sejak ayahnya bangkrut dan jatuh sakit. Jika keluarganya masih terlilit utang, penyakit ibunya akan terus kambuh. Ilona sudah kehilangan ayahnya, ia tak ingin kehilangan ibunya juga. Reinhard yang semula masih menatap layar komputernya spontan mengalihkan pandangan. Lelaki itu bangkit dari kursinya dan menghampiri Ilona. “Semua? Lalu, apa yang aku dapatkan?” “Apa pun yang kamu inginkan,” jawab Ilona tanpa berpikir panjang. Sebelah sudut bibir Reinhard terangkat. “Oke. Aku akan menagih ucapanmu nanti. Pastikan ini bukan omong kosong.” Pernikahan itu benar-benar terjadi seminggu kemudian. Sehari setelah Haura keluar dari rumah sakit, Reinhard langsung menagih janji Ilona. Lelaki itu benar-benar melunasi semuanya, termasuk biaya perawatan Haura selama berada di rumah sakit. Awalnya, Adrian menentang keras keputusan Ilona. Namun, setelah Reinhard mengajak lelaki itu bicara, akhirnya Adrian menyetujui keputusan Ilona. Namun, hingga pernikahan tersebut terlaksana, Adrian masih menunjukkan ketidaksukaannya. Pernikahan ini sangat sederhana. Hanya beberapa orang yang hadir. Bahkan, tak ada satu pun anggota keluarga Reinhard yang muncul. Pernikahan ini benar-benar disembunyikan. Entah apa yang Reinhard inginkan sebenarnya. Namun, sudah tidak ada kesempatan Ilona untuk mundur. Begitu serangkaian acara tersebut selesai, Reinhard langsung menyeret Ilona menjauh dari ballroom hotel menuju kamar hotel mereka. Begitu sampai di dalam kamar, lelaki itu langsung menghempaskan Ilona di sisi ranjang, kemudian membungkukkan tubuhnya di depan laci yang ada di samping ranjang itu dan mengambil sesuatu dari sana. “Cepat tandatangani berkas ini!” perintah Reinhard sembari melempar sebuah dokumen ke samping Ilona.“Kamu yakin mau tinggal di sini saja? Aku bisa menyewakan apartemen atau rumah yang lebih layak untuk kalian,” ucap Gerald yang lebih dulu melangkah ke rumah kontrakan pilihan Ilona. Rumah ini sangat kecil. Bahkan, jika dibandingkan dengan kamar Reinhard maupun kamar Ilona di kediaman lelaki itu, tentu saja sangat jauh. Namun, sekarang Ilona hanya tunggal berdua dengan putrinya saja dan kontrakan ini sudah lebih dari cukup. Jalan di sekitar rumah ini cukup sempit. Sehingga Ilona dan Gerald harus turun di ujung persimpangan jalan dan berjalan kaki. Jalanan yang mereka lalui becek dan agak licin. Hujan mengguyur cukup deras sejak matahari tenggelam. Namun, untungnya saat aksi yang Ilona lakukan, hujan telah reda. Ilona tak meminta Gerald ikut turun dari taksi. Sebab, sekarang sudah terlalu malam. Lelaki itu juga perlu istirahat mengingat keesokan harinya memiliki segudang aktivitas seperti suaminya. Namun, Gerald memaksa ingin ikut turun dan membantu memb
Ilona tahu ibu mertuanya menginginkan perpisahannya dengan Reinhard. Segera. Namun, ia tidak memperkirakan jika Anindya telah mempersiapkan surat gugatan cerai. Tubuh Ilona mendadak oleng, untungnya ia dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Berkas yang Anindya bawa telah wanita paruh baya itu buka. Ternyata nama Ilona dan Reinhard. Belum ada tandatangan yang tertera di sana. Ada kemungkinan Reinhard memang belum tahu. Atau lelaki itu sengaja ingin dirinya yang lebih dulu membubuhkan tandatangan. “Ayo tandatangan! Kenapa diam?” Anindya kembali mencerca Ilona. Wanita paruh baya itu sudah siap dengan bolpointnya. Ia ingin sang menantu segera menandatangi berkas tersebut. “Kamu mengkhawatirkan harta gono gini? Tenang saja. Saya bisa memberikan berapa pun yang kamu inginkan. Asalkan kamu tandatangani berkas ini dan segera angkat kaki dari sini,” ucap Anindya dengan nada merendahkan khasnya. Hati Ilona terasa seperti diremas. Seandainya dulu aya
Setelah kedatangan Anindya yang begitu mendadak, Ilona seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia memang tidak terlibat bahkan tak tahu apa-apa. Namun, tetap saja dirinya merasa bersalah. Andai ia lebih berani menyatakan kejujuran itu sejak awal. Mungkin, rasa bersalahnya tak akan sebesar ini. Kemuraman itu tak hanya berlangsung satu hari. Hari-hari berikutnya pun tak jauh berbeda. Suasana hati Ilona tak kunjung membaik. Situasi yang terjadi benar-benar membuatnya serba salah. Dan hingga berhari-hari kemudian, Ilona tidak tahu harus melakukan apa. “Aku harus pergi ke Makassar selama beberapa hari. Siang ini aku berangkat,” tutur Reinhard yang sedang memasang dasi di depan cermin. Sedari tadi, Ilona memperhatikan suaminya dari belakang. Sedangkan dirinya masih duduk di pinggir ranjang. Ia tak berani mendekat dan membantu lelaki itu. Meskipun mungkin saja Reinhard tak akan menolak. Namun, keberaniannya tak sebesar itu. Setela
Pertanyaan yang Anindya lontarkan membuat Ilona nyaris terhuyung. Wajahnya kontan memucat dengan napas memburu. Tanpa bisa dicegah, pening mulai menyergap kepalanya. Jika Anindya sudah tahu, maka Reinhard pun sama. Rupanya feelingnya belakangan ini benar. Reinhard memang telah mengetahui rahasianya. Rahasia besar yang berusaha dirinya simpan rapat-rapat. Namun, lelaki itu memilih diam, seolah tak tahu apa-apa. Entah untuk menunggu apa hingga lelaki itu memilih berpura-pura tidak tahu. Sebenarnya Ilona tak benar-benar ingin menyembunyikan kenyataan itu selamanya. Ia hanya ingin mencari waktu yang tepat untuk berbicara pelan-pelan pada Reinhard. Dan seharusnya tidak secepat ini. Apalagi hubungannya dengan lelaki itu baru membaik. “Ma, ini urusan kami. Aku yang akan menyelesaikannya,” ucap Reinhard sembari menatap mamanya yang tampak sangat berapi-api. Reinhard sudah merangsek maju, sengaja menghalangi Anindya agar tidak menghampiri Ilona. Namun,
“Aku mau tidur di sini,” ucap Reinhard lirih sebelum membaringkan kepalanya di pangkuan Ilona dan kembali memejamkan mata. Ilona yang terkejut bukan main masih terdiam kaku. Ia tak mendengar suara pintu terbuka atau langkah Reinhard. Namun, tiba-tiba lelaki itu sudah sampai di kamarnya. Entah sejak kapan dan entah mendengar obrolannya dengan Adrian atau tidak.Ilona menatap Reinhard yang kini berbaring di pangkuannya sembari memeluk pinggangnya. Tangannya terulur untuk mengelus rambut hitam legam lelaki itu. Demam Reinhard sudah agak turun, namun suhu tubuh lelaki itu masih belum mencapai normal. Ilona spontan mengakhiri panggilan tersebut sembari terus menatap Reinhard. Memastikan jika lelaki itu tidak mengetahui apa yang dirinya lakukan. Untungnya, kakaknya sudah tidak berbicara lagi. Setelah itu, ia langsung meletakkan ponselnya di atas nakas. “Kenapa pindah ke sini?” bisik Ilona sembari mengelus rambut suaminya itu. “Aku sengaja membawa Rub
“Ada yang kamu sembunyikan dariku?”Pertanyaan itu bukan meluncur dari bibir Ilona. Sebaliknya, malah Reinhard yang menanyakannya. Ilona yang sedang membaca keterangan pada obat-obatan Reinhard lantas menegang. Posisinya saat ini Reinhard yang membohonginya. Namun, malah lelaki itu yang lebih dulu mencercanya. Reinhard memang tidak bertanya dengan nada sinis ataupun mengintimidasi. Bahkan, lelaki itu masih menatap Ilona dengan sorot hangat di matanya yang sayu. Namun, pertanyaan tersebut sudah berhasil membuat jantung Ilona berdebar dua kali lebih cepat. Ilona membawa serta obat-obatan milik Reinhard ke hadapan lelaki itu. Ia menetralkan ekspresinya, mencoba tak terpengaruh dengan tatapan Reinhard yang semakin lama terasa kian mengintimidasi. Padahal lelaki itu tak mengubah tatapannya. “Aku buatkan bubur ya? Kamu harus minum obat,” tutur Ilona yang masih menatap obat-obatan di tangannya. “Kamu belum menjawab pertanyaanku.” Reinhard ta