Mendengar itu, mata Ilona terbelalak. "Apa maksudmu?"
Lelaki di depannya tersenyum menyeringai. "Tidurlah, istriku! Kamu pasti lelah sudah berpura-pura menjadi pengantin yang bahagia seharian ini." Usai mengatakan itu, Reinhard langsung memutar tubuhnya dan melangkah meninggalkan kamar itu. Seringai misterius tersungging di wajah tampannya ketika bertemu pandang dengan Ilona sebelum dirinya menutup pintu. Ilona yang lelah pun berusaha tidak peduli dengan apa pun yang dikatakan Reinhard. Perlahan, matanya pun terpejam. Ketika Ilona kembali membuka mata, ia masih sendirian di kamar itu. Tampaknya Reinhard memang tidak kembali ke kamar ini semalam. Itu malah bagus, Ilona sangat enggan berada di ranjang yang sama dengan lelaki itu. Jemari Ilona bergerak meraih ponselnya yang belum dirinya sentuh sejak kemarin. Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan muncullah Reinhard dari sana. Lelaki bersetelan kemeja hitam itu melangkah mendekati Ilona. Seulas senyum miring terlukis di bibirnya melihat Ilona berani mengabaikan kehadirannya. “Kita pulang sekarang! Kamu hanya memiliki waktu tiga puluh menit untuk bersiap-siap. Ada banyak urusan yang perlu aku kerjakan hari ini!” perintah Reinhard sembari melipat kedua tangannya di depan dada. Ilona hanya berdeham pelan sebagai respons. Saat ini masih terlalu pagi untuk berdebat, toh dirinya memang ingin segera pergi dari tempat ini. Tak lupa ia membawa serta segala perlengkapan yang dibutuhkan sebelum memasuki toilet. Setelah Ilona keluar dari toilet, Reinhard langsung meminta wanita itu mengikuti langkahnya. Ia harus mengikuti langkah besar Reinhard sembari menyeret kopernya yang cukup berat. Jangan harap lelaki itu akan berbaik hati membantunya karena kemungkinan tersebut sangat mustahil terjadi. Koper itu hanya berisi semua barang-barang penting yang Ilona angkut dari rumah orang tuanya. Tidak semua barangnya muat di sana, tetapi Ilona sudah memilah mana saja barang yang lebih penting. Sebab, ia sangat malas mengemas barang-barangnya. “Aku ingin bertemu ibu dan kakakku dulu,” ucap Ilona pada Reinhard ketika keduanya sudah keluar dari kamar hotel. Ilona belum sempat mengobrol banyak dengan ibu dan kakaknya setelah memberitahu mereka tentang pernikahan dadakannya. Mereka pasti masih menunggu penjelasan darinya. Namun, Ilona tak sempat melakukan itu karena semalam Reinhard langsung menyeretnya. Ilona sampai tidak tahu di kamar mana ibu dan kakaknya menginap. Kemarin pikirannya sangat kalut hingga hanya fokus dengan dirinya sendiri. “Mereka sudah pergi sejak semalam. Ibu dan kakakmu tidak mau menginap di sini,” jawab Reinhard sebelum melangkah lebih dulu meninggalkan Ilona yang masih tercenung. “Harusnya aku menyempatkan berbicara dengan mereka kemarin,” gumam Ilona lesu. Ilona masih berdiri di tempat yang sama ketika Reinhard kembali. Lelaki itu tampak kesal karena Ilona telah membuang waktunya. Reinhard langsung menghampiri dan mengambil alih koper Ilona, lalu menarik wanita itu melangkah pergi dari sana. Ketika berada di tengah keramaian, sikap Reinhard berubah sedikit melunak. Sama seperti ketika berada di depan tamu undangan kemarin. Bahkan, lelaki itu melonggarkan cengkeramannya pada pergelangan tangan Ilona. Tak ada percakapan yang tercipta di antara mereka hingga keduanya sampai di mobil Reinhard. Salah seorang anak buah Reinhard yang tadi menangkap Ilona kembali datang. Pria itu membawa sesuatu yang langsung diberikan pada tuannya. “Ini yang Anda minta tadi, Tuan.” Reinhard langsung menerima bungkusan hitam itu dan membuka isinya. Seulas senyum puas tersinggung di bibirnya. Lelaki itu melirik Ilona sekilas seraya membuka bungkusan di tangannya. Kedua bola mata Ilona membulat sempurna melihat ponsel yang mirip dengan ponselnya berada di tangan Reinhard. Wanita itu segera mengecek tasnya dan ternyata benda pipih itu tidak ada di sana. Ilona tidak menyadari kapan ponselnya dicuri. “Kembalikan ponselku!” seru Ilona sembari merangsek maju untuk mengambil benda pipih itu dari tangan Reinhard. Dengan sigap, Reinhard menjauhkan ponsel itu dari jangkauan wanita di sampingnya. Ilona tidak menyerah, ia tetap berusaha menggapai benda pipih itu. Tiba-tiba, Reinhard mendorong tubuh Ilona, lalu membuka jendela mobil di sampingnya dan melempar ponsel Ilona keluar. “Kurang ajar! Apa yang kamu lakukan?!” bentak Ilona dengan wajah merah padam, napasnya berubah terengah. Amarahnya semakin memuncak, ia benar-benar murka saat ini. “Kamu tidak membutuhkannya lagi. Aku akan memberimu yang jauh lebih bagus,” pungkas Reinhard sembari memberi kode pada sopirnya untuk menyalakan mobil itu. Perjalanan menuju kediaman Reinhard memerlukan waktu cukup lama, belum lagi ditambah dengan kemacetan parah di sepanjang jalan. Beberapa saat berlalu ditemani rasa bosan yang melanda Ilona. Setelah nyaris satu jam terjebak di jalanan yang penuh sesak, akhirnya mobil itu tiba di area pelataran sebuah rumah mewah. Ilona terperangah melihat taman indah yang menghiasi halaman rumah Reinhard. Rumah itu memiliki halaman yang cukup luas dan terawat. Berbagai jenis tanaman hias ada di sana. Bahkan, ada sebuah air mancur kecil yang menyatu dengan kolam ikan. Rumah ini terlihat sangat indah dan nyaman, sayangnya Ilona tetap menganggapnya sebagai neraka yang akan membuatnya tersiksa. Di balik tempat yang sangat memanjakan mata ini, sang pemilik sudah menyiapkan segala bentuk kesengsaraan untuk Ilona. “Apa lagi yang kamu tunggu? Cepat turun!” perintah Reinhard ketika mobilnya telah terparkir di depan rumah. Lelaki itu lebih dulu turun dan menunggu Ilona ikut turun juga dengan ekspresi tak sabar. Ilona mendengus kesal seraya membuka pintu mobil di sampingnya dan bergegas mengikuti langkah Reinhard. Kali ini Reinhard tidak mencekal lengannya lagi, tetapi berjalan di depannya. Ilona tak bisa menahan decak kagumnya saat melihat interior mewah yang menghiasi sekeliling ruangan di dalam rumah itu. Namun, suasananya begitu sepi, seolah tak berpenghuni. Padahal ia mengira rumah semewah ini akan dipenuhi oleh pelayan yang berlalu lalang. Ilona terus mengikuti langkah Reinhard hingga keduanya tiba di lantai dua rumah ini. Suasananya masih sama, sangat sepi tanpa ada satu pun orang yang melintas. Berbeda dengan lantai satu yang di dominasi ruangan besar, di sini lebih banyak pintu yang tertutup rapat. Meskipun pernah menjalin kasih dengan Reinhard di masa lalu, Ilona belum pernah menginjakkan kaki di rumah ini. Ia pun tak pernah bermimpi akan menginjakkan kaki di rumah ini. Reinhard menghentikan langkah tepat di depan salah satu ruangan, kemudian membuka pintunya. “Bersihkan kamar ini sekarang!” perintahnya sembari menoleh ke arah Ilona yang berdiri di belakangnya. Ilona spontan menghentikan langkahnya dengan kening berkerut. Sepersekian detik kemudian, ekspresinya langsung berubah. Wajah wanita itu menjadi merah padam karena menahan kesal. “Kamu pikir aku ini pelayanmu yang bisa kamu perintah sesuka hati?” “Kamu tidak bisa terus menerus bersikap seenaknya padaku!” geram wanita itu seraya memacu langkah ke arah Reinhard dengan kedua tangan yang mengepal sempurna di sisi tubuhnya. Ilona melirik bagian dalam dari kamar itu. Furniturnya memang lengkap, sama seperti kamar tidur pada umumnya. Tetapi, ruangan itu berantakan sekali. Ada banyak kardus yang berserakan di setiap sudut ruangan ditambah lagi debu tebal yang menempel di mana-mana. “Hari ini aku mengizinkan beberapa pelayan mengambil cuti. Jadi, kamu bisa membersihkan kamarmu sendiri. Ingat, aku menjadikanmu istri bukan untuk memperlakukan dirimu seperti ratu di dalam istana,” tutur Reinhard sembari menyandarkan tubuhnya di tembok.Ilona menggeram kesal. “Kamu pasti sengaja melakukan ini untuk mengerjai aku, 'kan?!” Ia tidak bodoh untuk menyadari jika kamar itu memang sengaja dibuat kotor sebelum dirinya datang. Suasana hatinya masih belum benar-benar membaik karena ulah Reinhard sebelumnya. Sekarang, lelaki itu malah kembali mengerjai dirinya. Baru sehari mereka resmi menikah, Reinhard sudah membuat suasana hatinya hancur berantakan. Reinhard menyeringai lebar, kemudian melirik arloji yang melingkar di tangannya. “Waktu yang kamu miliki hanya satu jam. Jika kamu tidak menuruti keinginanku, aku bisa menghentikan pengobatan ibumu sekarang juga.”“Bisakah kamu berhenti mengancamku dengan cara itu?” desis Ilona muak. Reinhard selalu mengetahui di mana letak kelemahannya yang membuat dirinya tidak memiliki pilihan lain. Reinhard tiba-tiba menyanggupi membayar biaya pengobatan Haura secara rutin. Ternyata inilah yang lelaki itu rencanakan. Reinhard ingin menggunakan pengobatan itu untuk menekannya. Dan Ilona tak b
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona langsung keluar dari toilet dan melangkah cepat menyeberangi ruangan menuju ranjang yang masih ditempati oleh Reinhard. Tanpa basa-basi wanita itu langsung menyingkap selimut yang Reinhard kenakan. Ia tidak terima lelaki itu menjamah tubuhnya tanpa permisi. “Bangun! Apa yang kamu lakukan padaku semalam? Berani-beraninya kamu melakukan—”Luapan amarah Ilona berubah menjadi pekikan karena Reinhard tiba-tiba membuka mata dan menarik tubuhnya hingga terjatuh di ranjang dan menimpa tubuh Reinhard. Dalam hitungan detik, lelaki itu sudah membalikkan posisi mereka. Kemarahan Ilona langsung menguap, wajahnya berubah memucat. Posisi seperti ini membuat dirinya merasa dejavu. Kenangan menjijikkan itu kembali berputar di kepalanya. Ilona berdeham pelan, menutupi ketakutannya serapat mungkin. “Mi-minggir! Jangan macam-macam!” sentak Ilona sembari melotot. Ilona berusaha memasang wajah garang dengan tatapan berkobar. Semalam dirinya memang le
Ilona tak bisa menahan ringisannya saat dokter mengobati luka di tangan dan pelipisnya. Kepalanya masih pening dengan sekujur tubuh remuk redam. Walaupun kondisinya cukup mengenaskan seperti ini, ia bersyukur karena dirinya berhasil selamat dari sekumpulan pemuda yang hendak melecehkannya. Ilona tidak bisa membayangkan jika orang-orang itu berhasil menjamah tubuhnya. Terserempet mobil jauh lebih baik dibanding harus menyerahkan kehormatan yang ia jaga selama ini untuk orang yang tidak pantas. Karena tidak memperhatikan keadaan sekitarnya saat berlari, Ilona terserempet sebuah mobil. Beruntungnya, mobil tersebut sedang tidak melaju kencang dan sang pengemudi menginjak rem tepat waktu. Jika tidak, mungkin kondisi Ilona jauh lebih mengenaskan dibanding saat ini. Ilona hanya mendapat luka lecet di area dagu, lengan dan kaki kirinya, selebihnya ia baik-baik saja. Yang terpenting orang-orang itu tak sampai melakukan sesuatu yang buruk padanya. “Ini
Ilona spontan menyentuh wajahnya yang terasa panas akibat bekas tamparan itu. Ketika wanita itu mendongak, matanya langsung bertemu dengan tatapan kebencian dari seseorang yang selama ini selalu menatapnya penuh kasih sayang. Kegaduhan tersebut berhasil memancing atensi seluruh tamu undangan yang hadir. Semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing, kini menatap penuh minat ke arah Ilona dan wanita paruh baya yang baru saja menamparnya. “Tidak perlu memasang wajah pura-pura sedih seperti itu! Saya tidak akan tertipu lagi dengan segala tipu muslihat yang kamu lakukan!” Wanita paruh baya itu kembali meluapkan amarahnya sembari menunjuk wajah Ilona. Kedua bola mata Ilona langsung berkaca-kaca. Bukan karena perih dan panas yang terasa di pipinya, tetapi luka yang menggores hatinya. Ia tak pernah menyangka akan mendapat perlakuan seperti ini dari wanita yang selama ini selalu menyayanginya sepenuh hati. Bahkan, Ilona sudah menganggap wanita itu seperti ibunya sendiri. Wani
Ilona spontan meraih paper bag di sampingnya. Raut heran di wajahnya semakin terlihat di wajahnya saat menemukan sehelai gaun pesta berwarna biru tua di dalam paper bag tersebut. “Dalam rangka apa kamu memberiku gaun seperti ini?”Ilona menatap Reinhard dengan sorot memicing. Wanita itu yakin jika Reinhard sedang merencanakan sesuatu. Tidak mungkin lelaki itu tiba-tiba berbaik hati padanya sampai memberi gaun mahal secara cuma-cuma. Apalagi setelah berbuat tak senonoh padanya beberapa jam lalu. “Besok malam, kamu harus ikut bersamaku mendatangi pesta pernikahan salah satu rekan bisnisku dan kamu harus memakai gaun itu, tidak ada penolakan,” jawab Reinhard dengan nada perintah. Ilona mendengus pelan. “Kamu pikir aku sudi mendampingimu dalam acara seperti itu? Pergi saja sendiri! Aku tidak mau pergi ke sana bersamamu!” balasnya ketus. Ilona lebih memilih mendekam di dalam kamar seharian penuh daripada harus pergi bersama Reinhard. Ia sudah bisa menebak jika selama berada di sana nant
Walaupun ruang geraknya sangat terbatas, Ilona terus berusaha meronta dan menendang kaki Reinhard. Bukannya berhasil, Reinhard malah semakin mengimpit tubuhnya. Tak kehabisan akal, wanita itu menggigit bibir bawah Reinhard sekuat tenaga. Perbuatannya berhasil membuat Reinhard melepaskan bibirnya. Deru napas Ilona dan Reinhard yang memburu saling beradu. Wajah keduanya sama-sama memerah menahan amarah yang berkobar. Tatapan tajam mereka terkunci selama beberapa saat sebelum Ilona lebih dulu mengalihkan pandangannya dengan ekspresi muak. Reinhard mengelap bibirnya yang berdarah dengan gerakan kasar. Sorot matanya semakin tajam dengan aura membunuh yang menguar ke mana-mana. “Berani-beraninya kamu melukaiku!” bentaknya menggelegar. Sebelum Ilona sempat memberi tanggapan, Reinhard langsung menarik dan membanting tubuhnya di atas ranjang. Tidak sakit memang, tetapi itu membuat kepala Ilona mendadak pening. Wanita itu berusaha bangkit, tetapi Reinhard lebih dulu menindih tubuhnya. “Diam
Ilona langsung menoleh ke belakang setelah berhasil menegakkan tubuhnya. Seorang lelaki muda yang sepertinya seumuran dengan Reinhard lah yang membantu menopang tubuhnya. Wanita itu meringis malu seraya menyunggingkan senyum kaku. “Maaf, tiba-tiba kepalaku sedikit pusing. Tetapi, sekarang sudah tidak lagi. Terima kasih sudah menolongku,” tutur Ilona seraya melangkah mundur, memperlebar jarak di antara mereka. Ilona merutuk dalam hati. Karena terlampau kesal pada sikap Reinhard hari ini, ia sampai lupa makan sejak pagi. Wanita itu baru menyadarinya saat dalam perjalanan menuju ke kantor Reinhard. Itulah salah satu alasannya mampir ke tempat ini. “Sama-sama. Bagaimana jika kita masuk saja? Kebetulan cafe ini milikku,” balas lelaki itu sembari mempersilakan Ilona masuk. Ilona semakin merasa segan setelah mengetahui jika lelaki itu adalah pemilik cafe ini. Ia ingin mengurungkan niatnya mengunjungi cafe tersebut, namun tidak enak menolak ajakan lelaki di hadapannya ini. Kepala Ilona
“Kamu yang menyuruhku memasak, kenapa kamu malah membuang semuanya?! Bahkan kamu tidak mencicipinya sama sekali! Apa kamu tidak bisa menghargai aku sedikit pun?” murka Ilona dengan tatapan berapi-api. Kekesalan yang sedari tadi Ilona rasakan berubah menjadi amarah tertahan yang memuncak. Ia sengaja mengikuti keinginan lelaki itu tanpa banyak protes karena tidak ingin menambah masalah. Tetapi, Reinhard malah sengaja mengerjainya.Ilona sudah bersusah payah membuat makanan itu dengan kaki yang masih pincang dan berdenyut nyeri. Namun, Reinhard malah membuang makanan itu begitu saja tanpa merasa bersalah sedikit pun. “Aku sudah mengikuti keinginanmu! Kemarin kamu berkata tidak akan macam-macam jika aku tidak berulah, mana buktinya? Kamu tetap saja mengerjaiku!” sembur wanita itu dengan kedua tangan mengepal. Tahu begini Ilona tidak akan bersusah payah membuatkan lelaki itu makanan. Ia sudah berusaha mengalah untuk meminimalisir masalah baru. Namun, Reinhard tetap saja tak kunjung puas
“Jangan ganggu dia! Dan berhenti menghubunginya!” tegas Reinhard yang tiba-tiba berdiri di samping Ilona. Ilona dan Romeo terkesiap. Ilona spontan menyingkirkan tangan Romeo dari wajahnya. Ia tak ingin lelaki itu terkena masalah hanya karena berdekatan dengannya. Sebab, Ilona tahu bagaimana gilanya Reinhard saat ingin menghancurkan sesuatu. Ilona sedang tak ingin bertemu siapa pun. Namun, tiba-tiba Romeo datang bersamaan dengan Reinhard juga. Jika hanya bertemu Romeo saja, ia tak masalah. Akan tetapi, kedatangan Reinhard benar-benar mengacaukan ketenangannya. “Istri?” gumam Romeo yang tampak terkejut bukan main. “Kamu tidak tahu? Kami sudah menikah,” jawab Reinhard dengan senyum pongah. Jantung Ilona berdebar semakin keras saat Romeo tiba-tiba menarik tangannya. Ia pikir Romeo tidak mendengar ucapan Reinhard sebelumnya. Ilona ingin mencari waktu yang tepat untuk membicarakan persoalan dan tentunya waktu yang tepat bukanlah sekarang. “Kamu benar-benar menikah dengannya? Bag
“Jangan pernah mendekati ruangan ini!” bentak Reinhard dengan sorot tajam. Ringisan pelan lolos dari bibirnya saat wanita itu berusaha untuk berdiri. Wanita itu sontak menunduk, ternyata pergelangan kakinya memerah. Sakit sekali, Reinhard benar-benar tak punya hati. Ilona kembali mengangkat kepalanya dengan tatapan murka. “Kenapa kamu mendorongku? Kamu membuat kakiku terkilir!” protes Ilona dengan kedua alis menukik tajam. Berulang kali wanita itu berusaha berdiri, bukannya berhasil, kakinya malah semakin berdenyut nyeri. Reinhard membungkukkan tubuhnya di hadapan Ilona dengan rahang mengetat. Lelaki itu memaksa Ilona membalas tatapannya. “Apa yang sedang kamu lakukan di sini, hah? Tidak ada satu pun orang yang aku izinkan masuk ke kamarku, bahkan seorang pelayan sekalipun, termasuk kamu!” Ilona menatap Reinhard dengan sorot tak percaya. Ilona tidak habis pikir mengapa Reinhard sampai berlebihan seperti ini. Sepertinya lelaki itu benar-benar sakit jiwa sampai membuat peraturan