[“Ilona! Apa yang terjadi?! Ilona! Bangun! Ya ampun ... darah.”]Adrian yang masih menunggu respon Ilona atas pertanyaannya semakin panik mendengar suara lain yang tiba-tiba terdengar dari ponsel adiknya. Ditambah lagi kalimat-kalimat yang wanita itu lontarkan membuatnya mulai berpikir negatif. Lelaki itu berusaha mengingat pemilik suara ini sebelum kembali berseru. “Vania, apa yang terjadi pada Ilona? Apa maksud perkataanmu barusan?!” cerca Adrian dengan suara lebih lantang, berharap wanita di seberang sana mendengar suaranya. Ia abaikan tatapan penuh tanya dari beberapa rekannya. “Vania! Katakan apa yang terjadi?! Darah siapa yang kamu maksud barusan?”Cukup lama hanya deru napas seseorang yang terdengar sebelum suara putus-putus Vania menyahuti cercaan Adrian. [“A-aku tidak tahu apa yang terjadi. Saat aku datang Ilona sudah seperti ini, dia pingsan. Ada darah cukup banyak mengalir dari kakinya.”]Adrian terbelalak. “Minta bantuan pada siapa pu
Ilona yang sedang berkutat dengan ponselnya langsung menegang mendengar suara itu. Selama beberapa saat, wanita itu hanya bergeming dan tidak berani mengangkat kepalanya. Ia khawatir ini hanya bagian dari imajinasinya saja karena terlalu merindukan seseorang yang seharusnya dirinya lupakan. Kalau bukan karena kedatangan pramusaji yang mengantarkan makanannya, pasti Ilona akan bertahan di posisi tersebut lebih lama lagi. Terpaksa wanita itu mengangkat kepalanya sembari membantu pramusaji itu menata makanan di mejanya. Saat itu juga tak sengaja Ilona bertemu pandang dengan seseorang yang sedari tadi duduk di hadapannya. Hanya beberapa detik saja sebelum ia kembali melongos, seolah-olah tidak mengenali orang itu. Ketenangan di wajahnya berbanding terbalik dengan jantungnya yang sudah bertalu-talu di dalam sana. “Biar aku tebak, kamu pasti sedang gugup, ‘kan? Sampai tidak berani menatapku. Atau malah kamu sedang merindukan aku sekarang? Katakan saja yang se
Wajah Ilona yang semula lesu langsung menegang mendengar suara tersebut. Sontak saja, wanita itu pun langsung membalikkan tubuhnya. Matanya melebar melihat siapa yang berdiri menjulang di hadapannya. Ia ingin melangkah mundur dan berlari, namun kakinya malah tersandung batu di belakangnya. Untung saja Ilona bergerak cepat menopang tubuhnya dengan berpegangan pada pohon di sampingnya. Daniel yang melihat itu terkesiap dan spontan merangsek maju untuk membantu. Namun, lelaki itu tidak jadi menyentuh Ilona yang sudah memberi kode padanya untuk berdiam di tempat. Ilona mengatur napasnya yang berubah memburu selama beberapa saat. Nyaris saja ia kembali membahayakan dirinya sendiri dan calon anaknya. Kalau sampai dirinya terjatuh tadi, pasti akibatnya akan sangat fatal. “Mengapa Anda berdiri di sini, Nyonya? Apa yang sedang Anda lakukan?” Daniel kembali mengulang pertanyaan yang sebelumnya ia layangkan. “Daripada berdiri di sini, lebih baik Nyonya m
Ilona hanya mampu menahan tangisnya hingga dokter yang menanganinya keluar dari ruangan itu. Bahkan, ucapan terima kasih yang terlontar dari mulutnya begitu lirih dengan suara serak. Bersamaan dengan dokter yang memeriksanya menutup pintu, isak tangis wanita itu langsung pecah. Ilona memeluk perutnya erat. Hatinya benar-benar hancur mendengar kenyataan pahit yang baru saja dokternya katakan itu. Ia sudah bersumpah pada dirinya sendiri akan menjaga calon buah hatinya dengan seluruh jiwa dan raganya. Namun, dokter itu seakan-akan menyarankan dirinya untuk menggugurkan janin ini demi keselamatannya. Wanita itu tak peduli jika isak tangisnya akan terdengar sampai keluar ruangan ini. Pikiran Ilona masih berputar dengan masalah perceraiannya dengan Reinhard. Dan, sekarang ia kembali menerima kenyataan yang merenggut separuh hidupnya. “Kenapa harus seperti ini?” gumam Ilona lirih. Ilona tidak sanggup berpisah dengan calon buah hatinya lagi. Apalagi j
“Kamu pucat sekali. Pusing?” tanya Romeo sembari menutup pintu mobilnya. Ilona spontan menggeleng. “Tidak. Aku baik-baik saja.”Ilona memang merasa agak pening. Namun, mereka baru sampai, ia tak enak jika mengatakan sedang tidak enak badan. Apalagi, sebelumnya dirinya yang sangat bersemangat untuk pergi. Romeo sudah jauh-jauh mengantarnya dan ia tidak mau menyusahkan lelaki itu. Besok Haura berulang tahun dan Ilona ingin membelikan sesuatu untuk ibunya. Tadinya ia ingin berangkat sendiri dan hanya meminta saran pada Romeo untuk merekomendasikan hadiah yang bagus. Namun, lelaki itu malah menawarkan diri dan bersikukuh ingin mengantarnya. Saat masih berada di sini, Ilona tak merasakan keanehan pada tubuhnya. Bahkan, pagi ini dirinya juga tidak muntah-muntah. Namun, di tengah perjalanan, tiba-tiba kepalanya pusing. Itu bukan masalah besar, pasti nanti akan sembuh dengan sendirinya. “Kita cari makanan dulu sebelum beli kado untuk Tante Ha
Mimik wajah Ilona langsung berubah setelah mendengar perkataan Vania dari seberang sana. Wanita itu terdiam selama beberapa saat sebelum kembali membuka suara. “Pernikahan apa? Emm ... Reinhard dan Merisa akan menikah? Kapan?” Seharusnya Ilona tidak perlu terlalu terkejut mendengar kabar seperti ini. Lagi pula kalaupun Reinhard dan Merisa memang akan menikah, itu merupakan sesuatu yang wajar. Selain karena Merisa yang tengah mengandung darah daging Reinhard saat ini, mereka memang pernah menjalin hubungan khusus. Ilona memejamkan matanya sejenak sembari menghela napas pelan. Berharap itu dapat mengurangi sesak yang tiba-tiba merasuk ke sanubarinya. Sesak itu bukannya berkurang, tetapi malah bertambah dan membuatnya merasa miris. Sampai kapan ia akan terus merasakan perasaan seperti ini?Ilona pikir setelah dirinya nekat mengambil keputusan untuk berpisah dengan Reinhard, perasaan ini tidak akan menghampirinya lagi. Nyatanya, ia salah besar. Perasan seper