geng yang masih ada gem boleh ya buat Lily. mamacih
Lily menatap lekat Arsen yang hanya diam dan tak langsung menjawab pertanyaannya. Lily kaget saat suaminya itu mengangguk. Lily tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa menatap Arsen penuh rasa iba. Lily buru-buru meletakkan ponselnya ke nakas. Dia lantas berbaring kemudian membuka lengannya lebar. "Malam ini aku mau tidur sambil memelukmu," ucap Lily seraya tersenyum. Arsen membalas senyuman Lily, dia mematikan lampu utama lalu mendekat dan membiarkan Lily memeluknya. "Kita sudah tidur saling berpelukan terus tiap malam," ucap Arsen. "Ini beda, biasanya aku yang manja," balas Lily. *** Hari berikutnya. Di ARS Company Pagi itu Lily berada di ruang kerja Arsen. Dia di sana bersama Arsen, Thomas, dan Jerry untuk membahas langkah selanjutnya menyelesaikan masalah Sonia. Lily sudah yakin memilih menempuh jalur hukum. Dia ingin Sonia mendapat pelajaran dan balasan yang setimpal. “Kamu tenang saja, timku akan segera membuat laporan ke polisi agar bisa segera diprose
Siang itu, dengan alasan ingin membicarakan masalah Sonia, Lily meminta bertemu dengan Thomas. Awalnya Lily mendapat penolakan dari Thomas, tapi akhirnya pria itu setuju setelah dia mengancam akan mengadu pada Arsen. Saat ini mereka sudah duduk berhadapan di meja sebuah restoran cepat saji. Hidangan juga sudah tersedia. Namun, belum ada satu pun dari mereka yang mulai makan. Lily diam menatap Thomas. Pria itu terlihat gugup sampai beberapa kali memalingkan muka darinya untuk menenggak air mineral dari botol. "Kamu kenapa? Aku ini bukan hantu," ucap Lily ketus. "Kamu bukan hantu tapi mengajakku bertemu di tempat seperti ini di siang bolong lebih nenyeramkan dari pada melihat hantu." Thomas meluapkan perasaan. "Bayangkan jika ada paparazi lalu mengirimkan foto kita ke pak Arsen." Thomas meremas udara di depan mukanya. "Anakku masih kecil dan bayi, kamu tahu itu," ucap Thomas. Lily berdecak lidah mendengar balasan Thomas. Dia mengambil sepotong ayam goreng lalu meletakk
Arsen panik saat Lily meneleponnya dengan suara bergetar. Dia langsung meninggalkan pekerjaannya untuk segera menemui Lily. Arsen pergi ke ruang divisi pemasaran dan membuat semua staf istrinya kaget. "Mana Lily?" Arsen menatap para staf yang hanya mematung memandang ke arahnya. Di saat itu, Dini yang berada di luar berlari ke arah Arsen sambil menunjuk ke arah kamar mandi. "Pak, Lily di kamar mandi, dia menangis. Aku tidak tahu dia kena .... pa." Arsen tak menjawab Dini karena lebih dulu berlari ke arah kamar mandi. Dia masuk lalu mambuka semua bilik yang ada untuk menemukan Lily. Di salah satu bilik akhirnya Arsen melihat Lily duduk menggenggam ponsel sambil gemetaran. Hingga Lily berdiri perlahan keluar dan berkata," aku takut." Arsen tanpa bicara meraup tubuh Lily dan mempopongnya. Dia membawa Lily keluar lalu berjalan cepat menuju lift. "Tidak usah takut, ada aku. Semuanya pasti baik-baik saja," kata Arsen. Arsen berjalan keluar lobi, mengabaikan tatap
Adhitama memindai ruang tengah rumah Arsen. Dia lantas mengambil cangkir yang ada di meja lalu menyesap teh di dalamnya. Adhitama meletakkan cangkir kembali lantas berkata," Sebagai sesama pengusaha, aku merasa salut padamu. Kamu bisa mengembangkan ARS yang dulunya hanya perusahaan buangan kakekmu dan nyaris bangkrut." Arsen diam dan hanya mendengarkan Adhitama bicara. "Aku heran kenapa Arya tidak pernah menceritakan punya adik sukses sepertimu padaku." Adhitama menekuk bibir dan mengedikkan bahu setelah bicara. "Jujur saja, orangku tidak bisa menemukan informasi mendalam tentangmu. Informasi hanya seperti apa yang kamu perbolehkan orang lain tahu," ucap Adhitama. Arsen masih diam mendengarkan. "Aku bisa saja bertanya pada Arya, tapi bayarannya terlalu mahal, dia pasti menginginkan kontrak kerjasama lagi dengan Mahesa." Arsen tersenyum miring. Dia senang Adhitama tahu bagaimana liciknya Arya. "Untuk pria yang terlalu misterius sepertimu, bukankah wajar kalau aku tidak
“Apa yang terjadi?!”Lily terbangun dengan jantung berdetak liar. Napasnya memburu saat matanya menyapu ruangan asing yang disinari cahaya matahari. Kepala masih berdenyut hebat akibat alkohol semalam, tetapi yang membuat tubuhnya benar-benar membeku adalah rasa sakit yang menusuk di bawah sana.Dengan tangan gemetar, Lily meraih selimut yang melilit tubuhnya, perlahan-lahan menyingkapnya untuk memastikan sesuatu.Dia tidak mengenakan apa pun.“Tidak mungkin…”Cepat-cepat, Lily menatap sekeliling dan seketika dia pun membeku.Dia mendapati bajunya berserakan di lantai, dan sepasang sepatu pria yang tergeletak rapi di dekat meja kopi adalah bukti bahwa dia tidak sendiri tadi malam!Ketakutan menyergapnya seketika. Lily buru-buru memegangi kepalanya, mencoba mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi.Semalam, Lily menyaksikan calon suaminya, Bryan, berbagi ciuman panas dengan wanita lain di apartemen miliknya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Sonia, gadis yang dulu pal
Dua hari berlalu. Lily tidak menyentuh ponselnya. Sejak malam itu, dia mengurung diri di kamar, menolak bertemu siapa pun, mengabaikan semua panggilan dan pesan, terutama dari Bryan. Pria itu tak henti-hentinya menghubunginya, tapi Lily tidak peduli. Setiap kali ponselnya bergetar, dia hanya menatapnya dingin sebelum kembali memejamkan mata. Dia butuh waktu. Untuk melupakan pengkhianatan Bryan. Untuk menghapus ingatan tentang malam itu. Untuk menghilangkan perasaan kotor dan malu setiap kali melihat bayangannya sendiri di cermin. Namun, Lily tidak bisa terus bersembunyi. Hari ini, keluarga Bryan mengundang mereka ke pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya. Dan Lily tidak punya pilihan selain untuk pergi dengan wajah pucat. "Apa perlu kita pergi ke dokter?" Suara lembut Risha, ibu Lily, memecah keheningan di dalam mobil. Lily menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Bunda. Tidak perlu cemas.” Dia mengalihkan pandangan ke kaca spion tengah, menatap wa
Semua orang membeku.Monica menatap Lily dengan kaget. "Lily, Sayang, kamu bercanda, ‘kan?" Dia mencoba tetap tenang meski jelas keterkejutan tergambar di wajahnya.“Tidak. Aku serius.” Mata Lily tajam, suaranya tenang, tetapi ada getaran dalam nada bicaranya. “Aku tidak ingin menikah dengan Bryan.”Keheningan menyelimuti ruangan.Tatapan tamu undangan tertuju pada Lily, sebagian besar penuh keterkejutan, sementara sisanya mengandung ketidakpercayaan.Bryan, yang berdiri di sampingnya, menegang. Ekspresinya berubah drastis, panik dan waspada. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum sempat berbicara, Adhitama—sang ayah—sudah lebih dulu menarik tangan Lily dengan erat.“Maaf, Arya. Aku dan keluargaku pamit terlebih dahulu,” ujar Adhitama singkat, suaranya datar tetapi sarat dengan ketegangan.Tanpa menunggu tanggapan, pria itu menyeret putrinya keluar dari aula pesta, melewati tatapan tamu yang berbisik penuh rasa in
Lily menatap pria di hadapannya.Wajahnya tampak familier, seolah dia pernah melihatnya di suatu tempat.Namun, pikirannya masih terlalu kacau untuk mengingat dengan jelas. Jantungnya yang berdetak kencang karena nyaris tertabrak mobil pun belum kembali normal.“Anda baik-baik saja, Nona?” Suara pria yang khawatir itu menyadarkan Lily dari lamunannya.“Oh… ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat.Dia berusaha berdiri, tetapi begitu sedikit menggerakkan kakinya, rasa nyeri langsung menjalar dari lututnya. Lily mengerutkan dahi, lalu menurunkan pandangan ke arah kaki.“Lutut Anda berdarah,” ucap sang pria, terdengar semakin prihatin.Sepertinya, tarikan sang pria tidak cukup cepat dan mobil tadi sempat menyerempet kaki Lily.Namun, anehnya, rasa sakit dari luka itu tidak terasa. Mungkin … karena luka di hati Lily lebih besar.Dikhianati tunangannya.Diusir oleh ayahnya sendiri.Dikeluarkan dari perusahaan keluarganya.Dibandingkan itu semua, luka di lututnya sama sekali bukan apa-apa.Li
Adhitama memindai ruang tengah rumah Arsen. Dia lantas mengambil cangkir yang ada di meja lalu menyesap teh di dalamnya. Adhitama meletakkan cangkir kembali lantas berkata," Sebagai sesama pengusaha, aku merasa salut padamu. Kamu bisa mengembangkan ARS yang dulunya hanya perusahaan buangan kakekmu dan nyaris bangkrut." Arsen diam dan hanya mendengarkan Adhitama bicara. "Aku heran kenapa Arya tidak pernah menceritakan punya adik sukses sepertimu padaku." Adhitama menekuk bibir dan mengedikkan bahu setelah bicara. "Jujur saja, orangku tidak bisa menemukan informasi mendalam tentangmu. Informasi hanya seperti apa yang kamu perbolehkan orang lain tahu," ucap Adhitama. Arsen masih diam mendengarkan. "Aku bisa saja bertanya pada Arya, tapi bayarannya terlalu mahal, dia pasti menginginkan kontrak kerjasama lagi dengan Mahesa." Arsen tersenyum miring. Dia senang Adhitama tahu bagaimana liciknya Arya. "Untuk pria yang terlalu misterius sepertimu, bukankah wajar kalau aku tidak
Arsen panik saat Lily meneleponnya dengan suara bergetar. Dia langsung meninggalkan pekerjaannya untuk segera menemui Lily. Arsen pergi ke ruang divisi pemasaran dan membuat semua staf istrinya kaget. "Mana Lily?" Arsen menatap para staf yang hanya mematung memandang ke arahnya. Di saat itu, Dini yang berada di luar berlari ke arah Arsen sambil menunjuk ke arah kamar mandi. "Pak, Lily di kamar mandi, dia menangis. Aku tidak tahu dia kena .... pa." Arsen tak menjawab Dini karena lebih dulu berlari ke arah kamar mandi. Dia masuk lalu mambuka semua bilik yang ada untuk menemukan Lily. Di salah satu bilik akhirnya Arsen melihat Lily duduk menggenggam ponsel sambil gemetaran. Hingga Lily berdiri perlahan keluar dan berkata," aku takut." Arsen tanpa bicara meraup tubuh Lily dan mempopongnya. Dia membawa Lily keluar lalu berjalan cepat menuju lift. "Tidak usah takut, ada aku. Semuanya pasti baik-baik saja," kata Arsen. Arsen berjalan keluar lobi, mengabaikan tatap
Siang itu, dengan alasan ingin membicarakan masalah Sonia, Lily meminta bertemu dengan Thomas. Awalnya Lily mendapat penolakan dari Thomas, tapi akhirnya pria itu setuju setelah dia mengancam akan mengadu pada Arsen. Saat ini mereka sudah duduk berhadapan di meja sebuah restoran cepat saji. Hidangan juga sudah tersedia. Namun, belum ada satu pun dari mereka yang mulai makan. Lily diam menatap Thomas. Pria itu terlihat gugup sampai beberapa kali memalingkan muka darinya untuk menenggak air mineral dari botol. "Kamu kenapa? Aku ini bukan hantu," ucap Lily ketus. "Kamu bukan hantu tapi mengajakku bertemu di tempat seperti ini di siang bolong lebih nenyeramkan dari pada melihat hantu." Thomas meluapkan perasaan. "Bayangkan jika ada paparazi lalu mengirimkan foto kita ke pak Arsen." Thomas meremas udara di depan mukanya. "Anakku masih kecil dan bayi, kamu tahu itu," ucap Thomas. Lily berdecak lidah mendengar balasan Thomas. Dia mengambil sepotong ayam goreng lalu meletakk
Lily menatap lekat Arsen yang hanya diam dan tak langsung menjawab pertanyaannya. Lily kaget saat suaminya itu mengangguk. Lily tak bisa berkata-kata, dia hanya bisa menatap Arsen penuh rasa iba. Lily buru-buru meletakkan ponselnya ke nakas. Dia lantas berbaring kemudian membuka lengannya lebar. "Malam ini aku mau tidur sambil memelukmu," ucap Lily seraya tersenyum. Arsen membalas senyuman Lily, dia mematikan lampu utama lalu mendekat dan membiarkan Lily memeluknya. "Kita sudah tidur saling berpelukan terus tiap malam," ucap Arsen. "Ini beda, biasanya aku yang manja," balas Lily. *** Hari berikutnya. Di ARS Company Pagi itu Lily berada di ruang kerja Arsen. Dia di sana bersama Arsen, Thomas, dan Jerry untuk membahas langkah selanjutnya menyelesaikan masalah Sonia. Lily sudah yakin memilih menempuh jalur hukum. Dia ingin Sonia mendapat pelajaran dan balasan yang setimpal. “Kamu tenang saja, timku akan segera membuat laporan ke polisi agar bisa segera diprose
Lily berjalan pelan menuju ruang kerja Arsen. Di belakang Lily, ada Thomas yang terus menatap punggung wanita itu. Thomas berharap Lily tidak membocorkan pada Arsen apa yang sudah dia katakan. Karena jika itu sampai terjadi, Arsen pasti marah dan tidak akan mau lagi mengenalnya. "Aurelia Dreyana, Aurelia Dreyana, Aurelia Dreyana." Lily mengulang-ulang nama ibunda Arsen yang Thomas sebutkan tadi. Lily tiba-tiba menghentikan langkah, dia meremas sisi bajunya karena baru saja mendapatkan petunjuk besar. "Au ... drey," lirih Lily. "Itu artinya .... " Thomas yang melihat Lily seperti itu menjadi ketakutan. Riwayatnya bisa saja tamat hari ini di tangan Arsen. "Hari ini dia hanya bertanya siapa nama ibu Pak Arsen, tapi besok bisa jadi dia bertanya hal lain," gumam Thomas. Thomas masih agak melamun, hingga matanya membola saat Lily sudah menjangkau ruang kerja Arsen. Thomas merasakan jantungnya hampir melompat keluar melihat langkah Lily yang lebar mendekat ke meja kerja
Arsen menatap Lily dalam-dalam. Dia tak membalas pertanyaan wanita itu dan malah menarik sabuk pengaman untuk dipakaikan ke tubuh Lily. "Besok, kita temui dokter kandungan dulu." Lily kaget sampai menepis tangan Arsen. "Mau apa? Jangan melakukan hal buruk ke anakku." Lily memeluk perutnya menggunakan dua tangan. Dia ketakutan. Arsen tertegun, merasa bersalah melihat reaksi Lily yang seperti ini. "Jangan takut. Aku janji akan melindungi anak kita meski taruhannya nyawaku," ucap Arsen. "Kita harus ke dokter untuk memastikan kesehatanmu juga kandunganmu. Bukankah kamu ingin mendengar cerita tentang ibuku? Aku ingin mengajakmu langsung ke rumahnya, kita harus menggunakan pesawat ke sana." Lily membeku mendengar penjelasan Arsen. Apa maksud Arsen? Bukankah ibu Arsen sudah meninggal? Lily tak ingin Arsen curiga kalau Bryan sudah menceritakan beberapa hal padanya. Dia mengangguk mengiyakan ucapan Arsen. ** Hari berikutnya. Seperti kemarin Lily berangkat bekerja
Lily berjalan menuju mobil yang menunggu di depan lobi. Saat akan masuk ke pintu belakang, Lily terkejut melihat Arsen masuk dan duduk di belakang kemudi. “Ayo,” ajak Arsen setelah menurunkan kaca jendela. Lily diam menatap pada pria itu. Dia tidak bergerak sama sekali dari posisinya. Melihat Lily yang hanya diam. Arsen keluar dari mobil lalu berjalan memutar dan membuka pintu penumpang depan. “Masuklah,” perintah Arsen. Lily menuruti Arsen dan langsung duduk. Arsen masuk lagi dan segera mengemudikan mobil meninggalkan gedung ARS. Seperti yang sudah Arsen duga, Lily hanya diam sepanjang jalan. “Mau makan dulu?” tanya Arsen menawari. Lily diam memandang ke luar jendela, dia baru sadar kalau mereka tidak menuju arah pulang ke mansion Arsen. “Kita mau ke mana?” tanya Lily sambil menoleh pada Arsen. “Ikut saja,” jawab Arsen dengan senyum kecil. Lily mengamati jalanan yang mereka lewati, lalu dia menegakkan badan saat menyadari ke mana Arsen membawanya. Taman dek
Lily tersenyum miring, mengambil gelas minumannya lalu menyesapnya santai. "Kamu tahu, Bryan? Mendengar ceritamu tentang suamiku membuatku semakin yakin kalau suamiku punya alasan kuat untuk tidak memberitahuku." Lily meletakkan gelasnya ke meja lantas bicara lagi. "Kenapa setiap kali bertemu dan mengajak bicara kamu selalu menjelek-jelekkan pamanmu? Padahal dia sedikitpun tidak pernah menceritakan keburukan keluarga kalian." Lily benar-benar tak habis pikir. "Dia itu manipulatif dan munafik," balas Bryan. "Mungkin bagi keluargamu, tapi tidak bagiku." Lily mulai emosi. Nada bicaranya meninggi. "Pamanmu pria baik dan aku bisa merasakan itu." Bryan malah tertawa terbahak, sampai bahunya bergetar. "Lily ... Lily, dia hanya menjadikanmu alat untuk keberlangsungan bisnisnya. Jangan menutup mata, atau kamu akan buta betulan. Jika kamu bukan anak Adhitama Mahesa dan mantan tunanganku, apa dia mau mendekati bahkan sampai menikahimu?" Bryan bicara agak panjang. Lily diam. Untuk
Sonia tampak terkejut, tapi dia tetap bersikap biasa. “Aku tidak mau mengeluh. Aku hanya mau bersenang-senang saja denganmu,” balasnya. Bryan tidak merespon. Dia memilih pergi ke kamar sambil melepas dasi dan jasnya, setelah itu Bryan berbaring terlentang di ranjang. Sonia menyusul Bryan. Dia ikut naik ranjang, bahkan duduk di atas tubuh Bryan sambil meraba dada pria itu. “Apa kamu lelah?” tanya Sonia dengan tangan terus bergerilya di dada Bryan. Bryan melirik pada Sonia yang secara sengaja membuka sedikit pakaian bagian atasnya. “Bagaimana kalau kita bersenang-senang, hm? Apa kamu tidak mau?” tanya Sonia dengan suara lemah lembut untuk menggoda Bryan. Sonia melihat Bryan meneguk ludah. Dia membungkuk lalu mulai mencium bibir Bryan. Mereka bercumbu cukup lama, sampai Bryan membalik posisi mereka dan menindih tubuh Sonia. *** Sonia memeluk Bryan setelah mereka puas saling memuaskan. Dia memainkan jemari di dada Bryan. Sonia tiba-tiba kesal melihat plaster luka yang