LOGINabsen 👇
Dini benar-benar bingung karena Anthony sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Dia semakin cemas jika memang terjadi sesuatu pada Diana. “Kalau memang kondisi Mama buruk, lebih baik kamu pulang dan jaga Mama, aku tidak apa-apa,” ucap Dini lagi. Akhirnya Anthony melepas pelukan. Tatapannya begitu sendu pada Dini. “Maaf kalau aku sudah membuatmu menderita. Aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Tapi aku juga benar-benar tidak bisa tanpamu. Maaf kalau aku seperti mengabaikanmu,” ucap Anthony sambil menggenggam kedua telapak tangan Dini. Dini terkejut mendengar ucapan Anthony, jadi benar Anthony bersikap seperti ini karena mendengar apa yang dikatakannya ke Lily. “Tidak sepenuhnya salahmu,” kata Dini, “aku juga minta maaf, sepertinya aku tidak bisa benar-benar keluar dari ARS. Aku masih takut.” Anthony menatap begitu dalam pada Dini, kemudian dia bertanya, “Apa kamu masih tidak percaya padaku?” Dini bingung. Dia kemudian menjawab, “Bukan tidak percaya, tapi aku meman
Beberapa saat sebelumnya di rumah Diana. Anthony melangkah terburu-buru menemui Diana di kamar setelah mendapat kabar kalau Diana sakit. Begitu sampai di dalam kamar Diana, Anthony melihat Diana yang duduk di atas ranjang dan terlihat baik-baik saja. “Mama bilang kalau sakit?” tanya Anthony yang tidak melihat tanda-tanda wajah Diana pucat, lemah, atau yang lainnya. “Mama memang sakit, tapi hanya sakit pusing saja, kok.” Anthony sedikit kesal mendengar ucapan Diana yang ternyata membesar-besarkan masalah sepele seperti ini, sampai-sampai membuatnya panik dan langsung segera datang ke rumah. “Karena kamu sudah di sini, kamu akan menginap, kan?” tanya Diana, wajahnya semringah karena putranya pulang. “Mama baik-baik saja, jadi aku tidak perlu menginap,” ucap Anthony, “lagi pula weekend ini aku juga akan menginap di sini, kenapa Mama malah membuatku datang sekarang?” Diana terkejut mendengar ucapan Anthony, lalu dia membalas, “Mau weekend atau tidak, bukankah sama saja? Lagi pula
Lily menatap panik saat melihat ekspresi wajah tak senang Arsen. Dia sampai meneguk ludah kasar, sampai akhirnya Lily berkata, “Aku sudah jujur padamu, aku juga tadi langsung menarik tanganku lalu pergi.” Arsen menatap datar pada Lily, lalu dia bertanya, “Apa dadamu berdebar-debar saat tanganmu dipegang oleh David?” Melihat tatapan Arsen yang semakin tak senang, Lily segera membalas, “Bukan berdebar karena suka, tapi lebih ke takut.” “Aku takut kamu marah, maka dari itu aku panik. Dan aku juga berusaha jujur padamu,” ucap Lily lagi. Arsen mendengkus kasar. Dia segera bangkir dari duduknya. Dia benar-benar kesal, sampai beberapa kali mendengkus lagi. “Lihat saja, dia berani memegangmu sembarangan. Awas saja, nanti kalau sudah sembuh, aku akan membuat perhitungan dengannya!” geram Arsen. Lily tersentak mendengar ucapan Arsen, sampai-sampai dia buru-buru berkata, “Jangan diapa-apakan, lagi pula aku langsung pergi. Jangan membuat dirimu masuk ke dalam masalah.” Arsen menat
Lily berada di kamar menemani Audrey. Dia hanya diam dengan tatapan hampa karena rasa bersalah pada Arsen. “Bunda, aku mau pipis, ya,” ucap Audrey sambil menatap Lily yang hanya diam. Lily tersentak mendengar suara Audrey, dia menatap putrinya yang sudah menyilangkan kedua kaki karena menahan untuk buang air kecil, sehingga Lily segera berkata, “Iya, sana cepat ke kamar mandi.” Hera baru saja masuk kamar setelah Audrey ke kamar mandi. Dia menghampiri Lily yang duduk diam. “Nona, apa Anda sudah tahu berita terbaru soal Ivy?” Lily langsung menatap pada Hera saat mendengar apa yang dikatakan pelayannya ini. “Memangnya ada berita apa lagi?” tanya Lily penasaran. “Tadi saya baca beritanya, Nona. Ivy melukai polisi karena katanya dia dilecehkan dan tidak terima.” Lily benar-benar tidak menyangka Ivy sangat nekat. Entah pengakuan Ivy benar atau tidak, tapi yang jelas Ivy sangat jahat. “Tapi Ivy juga melukai David, menurutku dia memang sudah gila. Semua orang dia lukai,” b
Keesokan harinya.Lily membantu Arsen bersiap-siap ke kantor. Ia sedang berdiri di dekat suaminya itu yang sedang mengenakan kemeja.Lily mendekat dan langsung membantu mengancingkan lengan kemeja Arsen.Saat mendongak, ia melihat Arsen sedang melihat bagian perutnya yang sedikit membuncit.Lily meraih tangan Arsen meletakkannya di atas permukaan perutnya.“Dia sehat-sehat saja, jangan cemas!” kata Lilu seraya tersenyum hangat.Arsen menipiskan bibir, mengusap perut Lily pelan lalu menatap wanita itu yang meraih dasi dari meja.“Makanlah yang banyak, katakan apapun yang kamu mau, aku pasti akan memberikannya,” kata Arsen.Lily tersenyum dan mengangguk, dengan telaten mengikatkan dasi di kerah kemeja Arsen.“kalau begitu aku mau meminta sesuatu, aku mau izin untuk mengantar Axel ke rumah sakit. Dia mau melihat ayahnya,” kata Lily.Tidak mendengar balasan dari Arsen, Lily mengangkat pandangannya dan melihat suaminya mengalihkan pandangan darinya tanpa kata.“Aku akan langsung pulang set
Lily mengajak Axel masuk ke dalam mansion menuju kamar Audrey. “Axel ganti baju dulu, ya,” kata Lily karena Axel masih memakai seragam sekolah. Axel mengangguk-angguk. Dia masuk ke dalam kamar bersama Lily dan bertemu dengan Audrey. “Lho, kok kak Axel di sini?” tanya Audrey. Axel langsung menghampiri Audrey, bahkan memeluk Audrey sambil menangis. Sedangkan Lily lebih dulu mengambil kaus unisex yang Audrey punya agar bisa dipakai Axel. “Kok kak Axel nangis?” tanya Audrey sambil mengusap-usap punggung Axel. “Daddy ku masuk rumah sakit, terus Mommy jahat sama Axel.” Audrey langsung memasang wajah sedih. Dia terus menenangkan Axel agar tidak menangis. Lily meminta Axel mengganti pakaian dulu, setelahnya dia memberi instruksi ke Hera. “Titip Axel, ya. Bawakan makanan dan minum untuknya agar tenang,” ucap Lily. “Baik, Nona.” Hera segera keluar kamar Audrey setelah mendapatkan instruksi. Sedangkan Lily menatap ke Axel yang sedang duduk bersama Audrey. “Audrey, Axe







