Lily termenung duduk di meja kerjanya yang ada di kamar. Dia sebenarnya sama sekali tidak penasaran dengan apa yang akan Arsen katakan. Pria itu menjanjikan malam nanti memberitahunya. Lily yakin Arsen pasti ingin jujur perihal identitasnya, karena mustahil suaminya itu tiba-tiba saja mengaku memiliki istri atau anak lain di luaran sana. "Dia sudah tahu aku mengorek informasi dari Thomas, jadi kemungkinan besar dia juga sudah tahu kalau aku menyadari identitasnya," gumam Lily. Dia sangat penasaran dengan alasan Arsen merubah identitas di masa lalu. "Mungkinkah ada yang mengancam nyawanya?" Lily tidak fokus memeriksa laporan yang stafnya kirimkan, sejak tadi laptop di meja kerjanya menyala, tapi pikiran Lily melayang entah ke mana. Lily masih terdiam saat tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Dia kaget, melihat nomor tak dikenal menelepon lalu mati. Tak lama nomor itu mengirimkan beberapa foto. Lily bergidik bahkan sampai memejamkan mata. Dengan mata yang sedikit terbuka
Lily ikut mengantar Risha pulang karena mencemaskan sang bunda yang sebelumnya pingsan, dia juga sudah izin ke Arsen kalau akan bekerja dari rumah sang bunda.Sepanjang perjalanan pulang, Lily terus menggenggam telapak tangan Risha dan sesekali menyandarkan kepala di pundak Risha.“Apa Bunda benar-benar tidak perlu periksa lagi ke rumah sakit?” tanya Lily karena cemas.“Tidak apa-apa, bunda sudah baik-baik saja,” jawab Risha.Mereka akhirnya sampai di rumah Risha. Lily tidak langsung mengecek pekerjaannya. Dia memilih duduk dan berbincang lebih dulu dengan sang bunda.“Bunda sangat lega Arsen dan papamu tidak berselisih karena masalah yang terjadi di acara penghargaan itu,” ucap Risha.“Iya, aku juga lega, padahal sebelumnya sudah panik dan takut kalau suamiku akan marah ke Papa. Tapi melihat mereka berdua duduk dengan tenang sambil minum di mini bar semalam, membuat kecemasanku hilang,” balas Lily.Risha mengangguk-angguk.“Apa menurutmu Arya yang melakukan ini semua karena berniat me
Lily melayangkan protes pada Arsen. Dia menutup pintu lalu menatap dengan bibir cemberut sang suami. "Baru aku tinggal beberapa menit di kamar mandi tapi kamu sudah pergi." Arsen tergelak. "Aku hanya ingin keluar mencari angin, tapi malah melihat papa," jawabnya. Lily kaget lalu mendekat buru-buru, dia menyentuh dada Arsen lalu mendongak mamandang wajah pria itu. "Apa rasanya sesak? Apa seperti tidak bisa bernapas?" Raut wajah Lily berubah khawatir. "Sepertinya aku salah ucap." Arsen merasa bersalah seraya menatao mata Lily. Dia tidak ingin istrinya cemas. "Kenapa kamu masih saja seperti ini? Kalau memang hari ini berat, kenapa tidak bersandar padaku meski sejenak?" Lily berkata penuh rasa sedih. 'Bodohnya aku yang malah menangis seperti orang gila tadi. Padahal dia yang sangat terpukul.' Lily berbisik di dalam hati. Dia hendak menundukkan kepala, tapi Arsen lebih dulu merangkum pipinya. "Aku mungkin tidak bisa kamu andalkan, tapi aku bisa meminjamkan pundak sebagai
Di ruang keluarga. Suasana rumah Arsen sudah sangat sepi, tapi Adhitama terlihat masih berdiri di dekat jendela menerima panggilan dari sekretarisnya. “Saya sudah meminta penyelenggara untuk memberikan rekaman video dan suara yang Anda sebutkan, tapi mereka menolak, Pak.” “Kalau begitu tuntut mereka, aku mau semua yang terlibat di acara malam ini, tidak ada yang lepas begitu saja,” balas Adhitama dengan tatapan tajam dan satu telapak tangannya mengepal erat. “Baik, Pak.” Adhitama mengakhiri panggilan setelah bicara dengan Andre—sekretarisnya. Dia menghela napas kasar seraya memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana. Namun, saat membalikkan badan untuk kembali ke kamar, Adhitama terkejut melihat Arsen yang ternyata sudah ada di hadapannya. “Kenapa kamu belum tidur?” tanya Adhitama. “Papa juga belum tidur,” balas Arsen. Adhitama kembali menghela napas kasar. “Bagaimana kondisi Bunda?” tanya Arsen lagi. Dia tidak perlu jawaban untuk pertanyaan sebelumnya. “Suda
Lily menopang tubuh Risha yang tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Dia menepuk pipi Risha dan meminta pelayan untuk segera memanggil dokter. Di saat itu suara gaduh terdengar oleh Adhitama dan Arsen yang berbincang di ruang kerja. Adhitama langsung panik melihat Risha pingsan. Dia langsung mengangkat tubuh Risha dan membawanya ke kamar yang Arsen tunjuk. Sebelum menyusul mertua dan istrinya, Arsen meminta Bibi Jess memanggil dokter dan membawakan minyak angin untuk Risha. "Bunda ... bangun." Arsen menatap Lily dan mertuanya yang panik dari ambang pintu. Ternyata kondisi Lily lemah memang menurun dari Risha. Arsen masuk ke dalam saat pelayan membawa minyak angin yang dia minta lalu memberikannya ke Lily. Pelayan itu meminta izin pada Lily untuk membantu memijat telapak kaki Risha. Tak lama Risha akhirnya membuka kelopak mata, dia sadar sebelum dokter sampai ke sana. "Syukurlah," lirih Adhitama melihat wanita yang dicintainya itu siuman. Lily menangis. Dia tahu bun
Arsen mengajak Lily pulang karena istrinya itu terus menangis. Arsen tahu tangisan yang paling sakit adalah menangis tanpa suara. Dia hanya berpamitan dengan orang yang satu meja, lalu menggandeng Lily keluar. Arsen berjalan tegap penuh wibawa, tanpa menunduk dan menoleh sedikitpun. Berbeda dari Lily yang menunduk menyembunyikan tangis. Arsen menelepon sopirnya dan meminta untuk segera menjemput di lobi. Tak lama mobil Arsen datang dan mereka pun pergi. Lily meledakkan tangisannya sesaat setelah mobil keluar dari area hotel. Dia tak peduli meski sadar sopir menatapnya dari kaca spion tengah. Arsen mencoba menenangkan dengan memeluk Lily, hingga wanita itu menangis dalam dekapannya. "Sudah, aku tidak apa-apa," bisik Arsen yang tahu Lily seperti ini karena kasihan padanya. "Kalau kamu menangis terus malah membuatku sedih." Lily masih menangis, tapi tak lama tangisannya berangsur mereda. Dia menjauhkan badannya dari Arsen lalu mengusap pipinya yang basah. "Aku benar-b
Lily marah di belakang panggung dan meneriaki semua orang yang ada di sana. "Kalian pikir sedang bermain-main dengan siapa?" teriaknya frustrasi. Lily lantas pergi, berjalan cepat sambil mengangkat gaunnya. Dia menghampiri Arsen yang hendak duduk lalu berkata," Ayo pergi dari sini." Air mata Lily sudah menggenang di pelupuk mata. "Tidak! Untuk apa pergi? Aku akan mengikuti acara ini sampai selesai." Arsen meraih tangan Lily mengajak istrinya itu duduk. Melihat tatapan Arsen, Air mata Lily pun jatuh membasahi pipi. Lily akhirnya mau duduk meski hatinya sangat hancur. Papanya, kenapa bisa bicara hal jahat seperti itu tentang Arsen. Lily menatap pada Arsen, pria itu memandang ke arah depan, wajahnya sangat tenang, lalu mengambil gelas air minumnya dan menenggak dengan elegan seolah tidak terjadi apa-apa. Arsen menoleh pada Lily, meraih tangan wanita itu yang terkepal erat di atas paha, lalu tersenyum tipis. "Untuk apa menangis?" Nada bicara Arsen begitu lembut. Lily
Arsen tak langsung menjawab pertanyaan Lily, dia malah menatap pria panitia itu lantas bertanya," Apa tidak ada orang lain?" "Kami belum mencoba menanyakan ke yang lain, karena kami pikir Nona Lily yang paling muda dan cocok untuk membacakan nominasi," jawab pria itu. Arsen menoleh Lily yang menunggu jawaban darinya. "Terserah, lakukan saja kalau kamu mau," kata Arsen. Lily menggeleng, dia tidak mau jika Arsen tidak mengizinkan dengan ikhlas. "Lakukan saja, nanti aku akan ambil fotomu." Pria panitia itu lega mendengar persetujuan dari Arsen. Dia berkata pada Lily akan menjemput ke meja Lily saat sudah hampir tiba waktunya membawakan nominasi. Lily tersenyum, dia dan Arsen lantas menuju ke meja mereka menunggu acara itu dimulai. Sementara itu di sisi lain ruangan, Arya dan Monica sejak tadi menatap dari kejauhan apa yang Lily juga Arsen lakukan. Arya memulas seringai, fokusnya ke Arsen dan Lily terpecah saat Monica menanyakan keberadaan Bryan. "Apa dia tidak datang?"
Lily tersenyum mematut dirinya di depan cermin. Dari pantulannya dia melihat Arsen yang sedang memakai sepatu. Suaminya itu tampak sangat menawan. Lily merasa sangat beruntung, dia terpukau sampai tak sadar Arsen sudah selesai dan balas memandangnya. "Ada yang salah?" Suara Arsen menarik kesadaran Lily. Lily salah tingkah sampai tak bisa langsung menjawab pertanyaan Arsen. Dia memilih menggeleng kemudian berjalan mendekat ke meja pajangan mengambil ponselnya yang sedang diisi daya. "Kita berangkat sekarang?" Tanya Lily. Arsen mengangguk seraya menghampiri Lily. Dia berdiri di dekat wanita itu dan menatap wajah sang istri yang berpoles riasan flawless. Arsen tiba-tiba membuang napas, dia meraih tangan Lily untuk menggenggamnya. "Aku harap tidak ada pria yang menatapmu lebih dari tiga detik, jika sampai terjadi, entahlah. Mungkin aku bisa memukulnya." Lily tertawa kecil, ucapan Arsen membuatnya merasa sangat dicintai dan dilindungi. Perasaan seperti ini tidak pernah Lil