Sore hari Jam pulang kerja tiba. Dini buru-buru mengemas semua barangnya karena sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Lily. Dini berjalan cepat keluar ruangan divisi pemasaran, dia yang biasanya santai saat pulang, sampai rela berdesak-desakan dengan staf lain agar bisa segera pergi menemui Lily. Namun, tak Dini sangka. Saat keluar lobby menunggu Thomas, dia malah melihat Juna datang menjemputnya. “Dia? Kenapa tiba-tiba berada di sini? Apa dia mengirim pesan dan tidak aku baca?” gumam Dini di dalam hati. Dia merogoh ponselnya untuk mengecek, dan tidak ada satupun pesan dari Juna. Saat Dini masih diam memandang ponsel, Juna sudah lebih dulu mendekat padanya. “Kenapa kamu ke sini?” tanya Dini Dini melihat Juna tersenyum mendengar pertanyaannya. Pria itu bahkan dengan santai menyematkan rambut Dini yang sedikit berantakan ke belakang telinga Dini. “Aku ingin menjemput pacarku, apa ada alasan lain?” Dini menelan ludah susah payah mendengar jawaban Juna. Saat dia mas
Di Gedung ARS Arsen baru saja datang untuk kembali bekerja hari itu. Dia tampak berjalan tegap menuju lift khusus diiringi tatapan para staf yang menyadari bahwa akhirnya Arsen kembali ke ARS. Di belakangnya Thomas sibuk dengan ponsel. Mulai menyusun jadwal juga membalas beberapa pesan penting. Bibir Thomas tertarik samar saat mendengar suara staf yang membicarakan Arsen. “Pak Arsen memang pria idaman, lama tidak datang bekerja hanya untuk menemani istrinya melahirkan.” “Benar-benar beruntung bisa mendapat suami seperti Pak Arsen.” Thomas geleng-geleng kepala. “Apa mereka tidak bisa mengecilkan volume suara? Bisa-bisanya membicarakan atasan dengan terang-terangan begitu,” gumam Thomas. Arsen hanya melirik ke belakang tanpa bicara kemudian masuk ke dalam lift untuk pergi ke ruangannya. Saat hampir tiba di ruangan, Thomas mendahului Arsen untuk membuka pintu. Dia buru-buru menutupnya setelah Arsen masuk. Thomas diam sampai Arsen selesai melepas jas dan duduk di kurs
Arsen diam sejenak, dia ingin langsung menolak permintaan Lily.Namun, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya.“Boleh, tapi tidak hari ini.”Lily tersenyum, meskipun tidak hari ini diizinkan, setidaknya dia tetap bisa bertemu dengan sahabatnya itu.“Terima kasih,” ucap Lily. “Oh … ya kira-kira Audrey rewel tidak? Aku takut merepotkan Bunda dan Bibi Jess,” imbuhnya.Sementara itu di kamar Audrey. Risha berdiri di dekat box bayi, matanya tak lepas dari wajah mungil Audrey. Di sisi lain, Bibi Jess sedang melipat selimut dan meraapikan baju-baju baru milik Audrey. “Padahal baru melihatnya hari ini, tapi rasanya seperti sudah mengenalnya lama,” ucap Bibi Jess sambil tersenyum lembut. “Apa wajahnya mirip Nona Lily waktu bayi?" tanyanya kemudian. Risha mengangguk pelan. “Iya. Tapi Audrey lebih tenang. Tidak suka menangis seperti Lily." Bibi Jess tertawa kecil. “Mungkin dia bisa merasakan kalau ibunya baru saja pulih dan belum tenang," ucapnya. Suasana mendadak hening. Risha mena
Pagi itu Arsen pergi ke ruang dokter menemui dokter yang menangani kondisi Lily.Arsen kini duduk berhadapan dengan dokter yang sedang membuka stopmap berisi hasil pemeriksaan dan rekam medis Lily, lalu dokter itu menatap pada Arsen.“Ibu Lily mungkin akan mengalami kelumpuhan sementara,” ucap dokter mulai menjelaskan, “tapi, dengan terapi rutin, Ibu Lily pasti akan sembuh karena tidak ada kerusakan pada saraf dan pusat motoriknya.”Arsen diam dengan tatapan sendu karena kondisi fisik Lily tak sesuai harapan. Dia terkejut saat Dokter itu kembali menjelaskan.“Selain itu, ada sedikit masalah dengan rahimnya karena efek dari obat pemicu kontraksi dan penggugur kandungan yang masuk ke tubuh, membuat istri Anda mungkin susah untuk hamil lagi atau bahkan tidak bisa hamil lagi,” ujar dokter.“Apa tidak ada cara lain untuk memulihkan kondisi rahim istriku?” tanya Arsen dengan tatapan penuh harap.“Hamil malah akan sangat berbahaya untuk ibu dan bayinya. Tapi jika memang berkeinginan untuk ha
Arsen menoleh pada Lily dan melihat istrinya itu sangat cemas.“Kamu tenang saja, aku berjanji tidak akan membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Dini.”Lily mengangguk-angguk memercayai ucapan Arsen.Bagi Lily jika Juna saja bisa memasang kamera pengawas di boneka yang dihadiahkan pada Dini, maka Juna juga bisa melakukan tindakan yang jauh lebih buruk dari itu.**Sore hari.Dini merasa malas pulang kerja. Meski begitu dia tetap turun karena Juna sudah mengingatkan tentang janji mereka lebih dari tiga kali.Dini melihat Juna yang benar-benar menunggunya di depan lobby ARS, hingga mau tidak mau Dini harus ikut Juna dan berusaha bersikap biasa.“Kamu berangkat dari Jogja jam berapa?” tanya Dini sekadar berbasa-basi sambil menoleh pada Juna yang sedang menyetir. “Menyetir sendiri lebih dari tujuh jam apa kamu tidak capek?”Dini menatap wajah Juna dari samping sebelum kembali membuang muka ke arah jendela.“Tentu saja tidak capek, apalagi aku datang untuk bertemu denganmu,” ucap Juna l
Hari berikutnyaPagi itu Dini berada di belakang meja kerjanya mengerjakan berkas-berkas yang ada di meja.Saat masih fokus dengan pekerjaan, tiba-tiba salah satu rekan kerjanya menghampiri Dini dan mulai bicara tepat di depan meja kerjanya.“Apa kamu tahu kalau Juna dipecat dari kantor cabang ARS yang ada di Jogja?” tanya teman Dini.“Dini pasti tahu, mana mungkin tidak tahu? Bukankah Dini dan Juna sangat dekat,” timpal teman yang lain.Dini cukup terkejut mendengar pertanyaan dua temannya, lalu menggeleng pelan.“Aku tidak tahu soal itu,” jawab Dini.“Menurut informasi yang aku dengar, Juna di sana bekerja sesuka hati dan sering keluar kantor tanpa izin, maka dari itu dia dipecat,” ujar teman Dini.Dini menggeleng pelan, lalu kembali menjelaskan, “Aku benar-benar tidak tahu soal ini, bahkan aku baru tahu kalau Juna dipecat juga dari kalian.”Teman Dini saling pandang, lalu mereka akhirnya meninggalkan Dini karena merasa tidak punya bahan lagi untuk bergosip.Dini diam sambil menatap