Bryan duduk mengikuti perintah Arsen. Dia mengerutkan kening saat Arsen mendorong dengan jari sebuah ponsel yang tergeletak di atas meja. “Cek saja sendiri,” ucap Arsen meminta agar Bryan mengecek ponsel Doni. “Semua pesan dan panggilan di ponsel itu sebenarnya sudah dihapus, tapi berkat bantuan ahli IT, aku bisa mengembalikan semua itu,” ujar Arsen menjelaskan. Bryan terkejut, dan mulai mengecek satu persatu pesan antara Doni dan asisten papanya. Bryan bahkan sampai membulatkan mata lebar, giginya bergemerutuk menahan emosi membaca percakapan di aplikasi berbalas pesan ponsel itu. Di sana tertulis jelas, jika rencana yang Arya buat ketahuan, maka Doni ditugaskan untuk mengambinghitamkan Bryan. Bryan benar-benar dibuat tak percaya dengan kelakuan ayahnya sendiri. Bagaimana bisa Arya begitu jahat melakukan semua perbuatan itu, lalu mengorbankan dirinya. “Aku hanya memiliki masalah dengan papamu, bukan denganmu. Karena itu aku memberitahumu agar kamu tahu, betapa jahatnya p
Arsen kembali memandang Lily, meminta istrinya itu segera menghabiskan makanannya. "Aku akan minta Thomas menyelidiki, kamu sebaiknya tidak perlu memikirkan masalah ini, jaga kesehatanmu dan calon anak kita, jangan sampai stres." Arsen memberi nasihat. "Aku tidak mungkin stres, selama punya suami sepertimu." Lily tertawa, dia hendak makan lagi tapi lebih dulu teringat sesuatu. Lily mengingat beberapa janji yang sudah dirinya dan Arsen buat. "Oh ya kita masih perlu mencari kado untuk anak bibi Jess, dan bertemu dokter kandungan," kata Lily. "Hm ... aku berencana tidak akan lama bertemu Bryan, kita bisa mencari hadiah sebentar sebelum pulang ke rumah. Tapi di luar itu, kamu sepertinya melupakan satu hal yang juga penting." Arsen menatap Lily dengan mata sedikit menyipit. "Apa?" tanya Lily, keningnya berkerut samar. "Pesta pernikahan kita." Lily tersenyum tipis dan malu-malu. Dia menunduk menatap makanannya kemudian berkata," Apa kamu tidak mau melamarku dulu sebelum itu
Lily tak percaya melihat pemandangan di depan matanya saat ini. Dia sampai membeku di ambang pintu kantin, melihat sosok tinggi, tampan, berkarisma, pemilik perusahaan tempatnya bekerja sedang berdiri memegang nampan mengantri makan siang. Lily kehilangan fokus. Dia baru tersadar saat Dini menyenggol lengannya. "Ada apa ini? Ada angin apa Pak Arsen makan di kantin?" Lily menggeleng menjawab pertanyaan Dini, dia juga tidak tahu, suaminya tidak berkata apa-apa padanya. Lily memilih mendekat ke arah Arsen, rasanya canggung, banyak mata yang melihat. Dia juga heran karena karyawan lain memilih untuk berdiri di dekat meja piring dari pada mengantri mengambil makan di belakang Arsen. "Maaf, permisi." Lily menerobos ke sela staf yang berdiri menumpuk beberapa meter dari Arsen. Dia melihat Thomas menoleh lalu pria itu memberitahu Arsen kalau dirinya mendekat. "Baru turun makan?" tanya Arsen menoleh Lily. Lily heran melihat Arsen bisa bersikap santai seperti ini, padahal semua
Lily sibuk dengan pekerjaannya saat pintu ruang kerjanya diketuk. Dia menoleh dan memersilahkan orang di belakang pintu masuk. Lily melihat Hendra membawa berkas lalu mendekat ke mejanya dan meletakkan berkas itu. "Baru dua hari pindah ke sini, tapi kamu sudah bisa menyesuaikan dengan baik," kata Lily memuji. Hendra tersenyum canggung karena tersanjung. Dia lantas menoleh ke arah luar ruangan melalui dinding kaca, yang tirainya memang sengaja tak pernah Lily tutup. "Ada apa? Apa ada masalah?" Lily meletakkan pulpen, sejenak berhenti menandatangani satu dari tumpukan berkas di meja. "Maaf, Anda tidak memberitahu Juna soal dugaan saya 'kan? Setelah saya pikir-pikir, mungkin saat itu saya hanya salah lihat." Lily sangat memahami maksud Hendra, dia lantas mengalihkan tatapan dari pria itu ke arah meja kerja Juna yang tampak fokus bekerja. Di kantin waktu itu, sebenarnya Hendra menyampaikan siapa sosok mencurigakan yang dia lihat pada Lily. Lily yang sudah mendapat peringata
Arsen tiba di mansion hanya beberapa menit setelah Lily memilih masuk. Dia melihat wajah cemas penjaga juga bibi Jess yang masih berada di teras. "Tuan, dari mana saja? Itu ..." Bibi Jess hendak bicara tapi Arsen memotongnya lebih dulu. "Besok saja, aku ingin langsung ke kamar." Bibi Jess diam tak berani lanjut bicara, dia lantas meminta penjaga menutup pintu dan pergi istirahat. Wanita paruh baya itu hanya bisa berdiri menatap punggung Arsen yang berjalan menjauh *** Di dalam kamar Arsen melihat Lily tampak tidur miring sambil membalut tubuhnya dengan selimut sampai sebatas leher. Dia tahu Lily pasti belum kembali tidur karena lampu utama kamar mereka masih menyala. Arsen masuk ke kamar ganti untuk mengganti bajunya kembali, setelah itu naik ke ranjang dan memeluk pinggang Lily dari belakang. Lily hanya diam, dia merasa lelah, ingin marah, berharap Arsen akan menyadari. Hingga keesokan harinya. Di ruang tengah, Bibi Jess sedang bicara dengan Arsen yang sengaj
Thomas merogoh kantong celana pria itu untuk memeriksa. Dia menempeleng kepala pria itu karena berusaha memberontak saat digeledah. Selain ponsel, Thomas juga mengambil dompet lalu menyerahkannya ke Jerry— yang langsung mengambil kartu identitas pria itu. "Si brengsek ini bernama Doni," kata Jerry, lalu memberikan kartu identitas kependudukan Doni pada Arsen. "Kamu pikir akan lolos begitu saja? Beraninya kamu mengambil peran untuk mempermalukan dan memfitnah orang di sebuah acara besar," kata Thomas. Dia mendapatkan ponsel pria itu tapi dalam kondisi terkunci menggunakan sandi. "Berapa kodenya?" Arsen bertanya setelah Thomas memberikan ponsel Doni padanya. Doni hanya diam, dia meringis saat Thomas menampar pipinya. Arsen memberikan ponsel itu ke Thomas lagi, lalu mencengkeram rahang Doni. "Kamu sepertinya tidak tahu siapa aku, aku bisa membuatmu lenyap dari muka bumi tanpa ada yang tahu, bahkan keluargamu sendiri aku pastikan tidak akan mencarimu." Arsen melepas ceng
Arsen menatap lekat paras Lily, mengulurkan tangan dan menyentuh sebelah pipi istrinya itu. Arsen terharu, tapi tidak ingin menangis di depan Lily. “Aku baik-baik saja, maaf aku tidak mengingatmu sampai malam itu, saat kamu datang bersama orangtuamu ke pesta orangtua Bryan,” ucap Arsen. Lily menangis lagi seraya menyentuh punggung tangan Arsen yang masih mengusap pipinya. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal?” tanya Lily dengan suara parau. “Karena aku tahu kamu pasti membenciku karena pertemuan pertama kita yang agak … “ Arsen menjeda lisan, lalu berpura-pura berpikir. “… panas,” lanjutnya. Lily tersenyum. Bagaimana bisa sesuatu yang salah dan melanggar norma malah membuat pipinya bersemu merah? Dia malu, lantas memeluk Arsen. “Maaf karena terlalu lama menyimpan rahasia ini, karena aku belum siap mengatakannya,” kata Arsen. “Kenapa?” Lily semakin erat memeluk Arsen, “Aku takut kamu membenciku.” Lily menggeleng, dadanya sakit mendengar ucapan Arsen. “Jangan bicar
Lily memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Dia merenung di sana, hingga Bibi Jess datang mengingatkannya untuk istirahat. "Nona, kenapa masih di sini? Tuan tadi menelepon menanyakan Nona sedang apa," kata bibi Jess. "Benarkah? Kenapa dia tidak bertanya sendiri padaku?" Lily menjawab seraya memandang ponselnya yang tergeletak di meja. Lily tidak tahu apa yang Arsen rencanakan, padahal pria itu sudah berjanji akan memberitahunya sebuah rahasia malam nanti. Kalau begini Lily jelas takut menagih. "Lalu apa yang bibi katakan ke suamiku?" tanya Lily. "Saya tidak berani berbohong, jadi saya bilang sejak pulang Nona terus berada di perpustakaan." Lily mengangguk, dia mengucapkan terima kasih ke Bibi Jess, kemudian meminta wanita itu meninggalkannya. "Aku masih ingin di sini sebentar," kata Lily. Bibi Jess menanyakan apa yang Lily butuhkan. Namun, karena Lily menjawab tidak membutuhkan apa-apa, bibi Jess lantas pamit keluar meninggalkan Lily lagi. Lily meraih ponselnya,
Setelah mengatakan itu, Arsen menggandeng tangan Lily. Dia mengajak istrinya pergi dari ruangan itu, meninggalkan Bryan dan Arya berdua. Arsen tidak mau tahu apa yang akan dilakukan Bryan pada Arya setelah dia mengungkap fakta itu. “Bagaimana bisa Papa melakukannya?” tanya Bryan dengan nada tinggi. Dia benar-benar emosi karena perbuatan ayahnya sendiri. Arya terkejut, lalu dia menjelaskan, “Papa menemui Sonia hanya untuk ikut membantunya.” “Aku tidak peduli Sonia mau dipenjara atau bebas, yang aku tanyakan, bagaimana bisa Papa menyembunyikan saham yang seharusnya menjadi hakku dan menjualnya!” amuk Bryan. “Kamu tahu apa? Kamu itu tidak memiliki kompetensi dasar mengelola,” balas Arya. Bryan tersenyum mencibir. "Lalu apa Papa bisa? Papa gagal mengelola 'kan? dan malah menjualnya." Bryan merasa dadanya seperti terbakar. “Jika orang tua lain sibuk membangun masa depan untuk anaknya, sepertinya itu tidak berlaku untuk Papa. Papa masih memikirkan kepentingan Papa sendiri!”