Queen Fiore Wijaya mengalami kecelakaan yang membuatnya kehilangan gelar sebagai violinist muda terbaik. Seolah belum cukup, keluarga Wijaya ikut membuangnya. Fiore ternyata bukan anak kandung pasangan Wijaya. Posisinya sudah digantikan oleh Reina. Fiore yang tidak memiliki apa pun, mencoba bertahan. Ia melihat satu kesempatan pada Ethan, suami tantenya sendiri. “Oom tega liat aku tidur di jalanan?” Fiore mengambil alih ranjang Ethan.
View More“Kamu mengalami pergeseran bahu, juga cedera pergelangan tangan yang parah. Pergerakan akan terbatas dan–”
“Tunggu, Dokter.” Fiore menyela. Fiore tidak bisa mencerna semuanya sekaligus. Baru saja, ia terbangun di atas ranjang rumah sakit. “Apa maksudnya … aku enggak akan bisa main biola lagi?” Tenggorokan Fiore tercekat. Biola adalah dunianya. Satu hal yang paling Fiore banggakan. Ia adalah violinist pendatang baru terbaik. Bahkan, kalau bukan karena kecelakaan yang menimpanya, ia sedang memainkan biola di Rising Strings Gala, konser paling besar di Negara Indravia! “Tolong jawab, Dokter! Setelah sembuh, aku masih bisa bermain biola, kan?!” Fiore berteriak pilu. Suaranya menyayat hati. Air mata sudah menumpuk di sudut matanya. Sejak kecil, ia sudah menggantungkan cita-cita pada biola. Tidak bisa seperti ini. Dokter menarik napas berat. Bibirnya bergerak mengucapkan jawaban. “Setelah melakukan pengobatan, kami bisa melihat perkembangannya, mungkin–” “Mungkin?!” Air mata mengalir di pipi Fiore yang penuh luka. Perih tidak cukup membuat Fiore berhenti menangis. Ia telah kehilangan biolanya. Dokter di depannya menunduk dalam. “Maaf, kami akan terus pantau perkembangannya.” Fiore hanya bisa meratapi punggung dokter yang perlahan menjauh. Salah satu perawat menyempatkan diri untuk menepuk lengannya, menghibur, sebelum ikut keluar ruangan. Namun, Fiore tidak merasa lebih baik. “Permainan biolamu yang terbaik di Harmonia Royal University!” “Kamu adalah jenius yang baru muncul setelah 20 tahun!” Sorak sorai selalu menggema setiap kali Fiore memainkan biola. Pujian mengalir bagaikan air bah untuknya. Di umur yang masih 21 tahun, Fiore sudah berkeliling ke berbagai negara untuk mengikuti konser. Ia adalah bintang yang harusnya terus bersinar. “Aku tidak bisa … tidak bisa lagi.…” Ucapannya terpotong oleh isak yang menekan dada. Tubuhnya menggigil dalam pelukan kesedihan yang tak terbendung. Malam itu, Fiore tersedu tanpa henti. Ia tidak tahu berapa banyak waktu yang berlalu sampai dokter membangunkannya untuk pemeriksaan keesokan hari. Seluruh badannya sakit. Wajahnya kuyu. Matanya sembab dan rambutnya berantakan. Fiore sehancur itu. “Selamat pagi.” Suara dokter terdengar mengambang di telinganya. Fiore tidak menjawab. Ia hanya membiarkan tangan dingin dokter memeriksa lengannya yang dibalut perban, sementara matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Bau disinfektan menusuk hidungnya, mengingatkannya bahwa ini bukan mimpi buruk, tapi kenyataan. “Usahakan untuk tidak terlalu banyak bergerak.” Dokter memperbaiki letak shoulder immobilizer yang dipakai oleh Fiore. Fiore tak merespon. Ia hanya menatap sang dokter dengan pandangan kosong. “Kami berharap keadaanmu cepat membaik,” ucap dokter sebelum akhirnya berlalu. Fiore masih tertegun, tubuhnya lemas tak berdaya. Bahunya berdenyut-denyut nyeri, dan shoulder immobilizer yang membebat dadanya terasa seperti sangkar yang mengungkung. Ia belum bisa menerima kenyataan. Tangan yang dulu lincah menari di atas senar biola, kini bahkan tak bisa menggenggam. “Apalagi yang aku miliki?” Fiore masih tenggelam dalam kesedihan saat pintu ruang rawat terbuka. Beberapa perawat melangkah masuk, membawa pasien baru. Saat itu, Fiore baru menyadari jika ada ranjang kosong di sampingnya. Fiore menghapus air matanya cepat. Ia merasa tidak nyaman dengan kehadiran pasien baru itu. “Suster!” Fiore memanggil salah satu perawat. “Kenapa orang ini masuk ke kamar saya?” Perawat itu terkejut sejenak, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Fiore dengan sebuah senyum. “Ini kamar kelas dua, memang diisi lebih dari satu pasien.” Fiore tersentak kaget. Ia tidak tahu kalau ruang rawat yang ia tempati bukan ruang VIP. “Kenapa aku di sini? Enggak mungkin Ayah sama Ibu biarin aku sekamar sama orang lain. Mereka pasti….” Kalimat Fiore tidak selesai. Suaranya berubah mencicit, perlahan tenggelam dalam gumaman. “Ayah sama ibu ke mana?” Fiore baru menyadarinya. Sejak kemarin, ia terlalu fokus pada biola. Hilangnya kemampuan Fiore untuk bermain alat musik kebanggannya itu membuat Fiore terpuruk. Ia sampai tidak memperhatikan hal lain, termasuk orang-orang di sampingnya. “Mereka belum tau aku di sini?” Fiore berucap bingung. Apa kabar kecelakaannya belum terdengar? Atau Ayah dan Ibunya sudah datang saat ia belum sadar? “Nak! Untung kamu selamat!” Suara tangis dari seorang wanita sampai ke telinga Fiore. Fiore menoleh. Ia melihat sosok ibu dari pasien yang dirawat di sampingnya. Sebersit rasa iri menyayat hatinya. Ibu itu menangis bersyukur melihat anaknya selamat, lalu dia? Siapa yang menangis dan bersyukur untuknya? Saat itu juga, Fiore termenung. Apa benar ayah dan ibunya tidak tahu ia ada di sini? Apa mereka tidak mencarinya? Fiore menggeleng keras. Mustahil. “Aku putri keluarga Wijaya satu-satunya. Tidak mungkin Ayah dan Ibu tidak peduli padaku!” Fiore berucap lantang. Selama ini, ia adalah anak kesayangan. Fiore tumbuh dengan limpahan cinta. Queen Fiore Wijaya, adalah simbol bahwa dirinya seorang ratu dalam keluarga Wijaya. Ayahnya, Rudi Wijaya, yang memberikan nama itu. Ibunya, Yeni Wijaya, bahkan tidak keberatan memberikan posisi tertinggi pada Fiore. Lantas, kenapa? Kenapa sekarang Fiore sendirian? "Aku harus menghubungi Ayah dan Ibu," gumam Fiore dengan suara serak. Dengan sisa tenaga, ia mencoba mendorong tubuhnya yang berat dan sakit untuk bangkit. Tangannya meraba-raba mencari tombol panggil perawat. Orang tuanya pasti belum tahu ia di sini. Mereka pasti sedang mencari dirinya. Harusnya begitu, kan?“Enggak perlu menyiapkan sarapan.” Ethan mengangkat tangan. Dalam sekejap, ada seorang wanita paruh baya yang mendekat. Fiore menatap sinis wanita yang berpenampilan seperti asisten rumah tangga itu. Ia langsung menyadari, jika Ethan sedang membuat pembatas di antara mereka semakin jelas. “Oke,” sahut Fiore singkat. Di saat seperti ini, Fiore tahu jika dirinya harus pintar bermain tarik ulur. Ia tidak seharusnya menarik terlalu keras di saat Ethan sedang muak padanya. “Aku sudah menghubungi Ayah dan Ibumu, tapi mereka mengatakan jika mereka sedang berlibur,” ujar Ethan sembari menarik kursi ruang makan. Bibi asisten langsung menyiapkan makanan di atas meja. Fiore yang tadinya tak suka dengan kehadiran wanita itu, sekarang jadi tersenyum. Ia tidak bisa menolak makanan enak. “Apa kamu enggak pernah menghubungi Ayah dan Ibumu?” Entah Ethan sedang benar-benar lupa atau berpura-pura lupa. Atau bisa saja pria itu memang tidak tahu apa-apa. “Aku enggak punya handphone, Oom,” jawab Fi
“Akh!” Fiore meringis saat Ethan menempelkan wajahnya di ceruk leher. Ia mencoba menggeser posisi Ethan yang menimpa bahunya. Namun, Ethan tampak terlalu sibuk mengecup leher Fiore. Kedua mata pria itu tertutup kilatan gairah. “Baiklah,” ucap Fiore sembari melebarkan kedua tangan. “Asalkan Om tanggung jawab sama aku nanti.” Malam itu tidak bisa dilewati Fiore dengan mudah. Ia harus melawan rasa sakit di saat yang sama dengan hasrat yang menggigit. Ranjang Ethan yang sebelumnya selalu dingin, kini membara, terbakar dengan hasrat mereka berdua. Fiore tak sadar kapan ia tertidur. Rasanya baru satu jam ia menutup mata saat Ethan bergerak dalam pelukannya. “Apa yang terjadi?” Suara serak Ethan menyapa telinganya Fiore. Fiore sengaja mengintip sedikit. Ia berpura-pura tidur sambil menikmati kepanikan Ethan lewat sudut mata. “Kenapa dia ada di sini?” Fiore tahu Ethan sedang membicarakan dirinya. Ia mengulum senyum dalam diam saat Ethan memaki.“Enggak mungkin aku sama Fiore–”Ethan
“Selamat pagi, Om.” Fiore meletakkan omelette yang baru saja ia buat untuk Ethan. Rumah Ethan yang besar itu tidak memiliki asisten rumah tangga yang menetap. Hanya tenaga pembersih yang kadang dipanggil saat dibutuhkan. Tidak banyak stok makanan yang ada, jadi Fiore hanya membuat menu seadanya. “Om mau minum kopi atau susu?” Fiore dengan sigap menawarkan. Meski Ethan hanya menggumam pelan dengan wajah tak tertarik, pria itu tetap duduk di meja makan. “Enak enggak?” Fiore bertanya saat Ethan mengunyah suapan pertama. Ethan tidak menjawab, hanya berdehem singkat. “Kamu sudah sembuh?”Tak mau menjawab, Fiore mengalihkan pandang. Ia berpura-pura tidak mendengar, dan malah sok sibuk menyendok makanan. “Kalau sudah sembuh, nanti malam aku antar kamu pulang setelah kerja.”Fiore berhenti bergerak seketika. Ia menarik napas dalam dan mulai mengunyah dengan tidak bersemangat. Makanan yang sudah payah ia buat langsung terasa hambar. “Bukankah kamu harus kuliah? Kamu enggak bolos kuliah
“Bawa aku, Oom.” Fiore merengek. Ia terus mendesak Ethan, membuat Ethan tak punya pilihan. “Ayah sama Ibu udah pergi. Enggak tau ke mana,” ujar Fiore. “Enggak ada siapa-siapa di rumah. Om datang mau cari Tante, kan? Tante enggak ada di sini.” Fiore tahu kedatangan Ethan untuk mencari istrinya, Natasha, adik Rudi. Ethan dan Natasha terkadang berselisih, dan Natasha biasanya kembali ke kediaman keluarga Wijaya saat mereka sedang bertengkar. “Om, aku sakit.” Fiore menunjuk arm sling yang masih setia di bahunya, kalau-kalau Ethan tidak melihat. “Ini lebih sakit dari keliatannya.” Fiore menarik ujung baju Ethan manja. Ia sengaja memejamkan mata, dan bersandar pada Ethan. “Di sini dingin….” Fiore menggumam dengan suara yang semakin pelan. Ia berniat untuk membuat Ethan iba, tapi ternyata tubuhnya memang sudah tak mampu berdiri. Ethan menopangnya, lalu membawa Fiore ke dalam pelukan. “Makasih, Om Ethan,” bisik Fiore tepat di telinga Ethan. Tak banyak yang Fiore ingat setelahnya. Ia
Petir menyambar tanpa peduli. Fiore terduduk di depan gerbang dengan pakaian lusuh. Sudah semalaman ia menunggu, tapi tak ada seorang pun yang menghampiri. Seluruh badannya sakit, dan ia kelaparan. Fiore menggigil kedinginan, dan matahari hampir terbenam lagi. “Aku sebenarnya punya salah apa?” Berulang kali Fiore memikirkannya. Namun, ia tak menemukan petunjuk apapun. Semuanya baik-baik saja sebelum kecelakaan. Apa ada yang terjadi saat ia tak sadarkan diri?“Atau Ayah udah tau aku bohongin Pak Joshua?” Fiore mengacak rambutnya asal. Gerakannya terhenti saat hujan tiba-tiba turun. Fiore bergegas mencari tempat berteduh. Saat itulah, ia melihat gerbang terbuka. Mobil ayahnya keluar dari kediaman Wijaya. Fiore yang gelap mata langsung berlari mengejar. Apalagi saat ia melihat sosok Rudi dan Yeni di dalam mobil. Fiore melajukan kedua kakinya secepat yang ia bisa.“Ayah! Ibu!” Fiore melebarkan tangan tepat di depan mobil yang melaju. Decit ban mobil terdengar nyaring. Teriakan kasar
“Maaf, pembayaran harus segera dilakukan.”Sampai di akhir masa perawatan, kedua orang tua Fiore masih juga tidak datang. Fiore sudah mencoba menghubungi ayah dan ibunya lewat telepon rumah sakit, tapi panggilannya selalu tidak terjawab. Sekarang, Fiore harus melunasi tagihan rumah sakit. Ia kebingungan setengah mati. Selain nomor kontak kedua orang tuanya, Fiore tak mengingat nomor siapa-siapa lagi. “Paling lambat, siang ini sudah dilunasi.”“Berisik!” Fiore membentak perawat yang ada di depannya. “Enggak perlu diulang. Aku sudah dengar!”Fiore juga tak ingin berlama-lama di rumah sakit. Ia mau pulang, tapi bagaimana caranya?Tak ingin terus ditatap sinis oleh perawat, Fiore beranjak dari tempat tidur. Ia berjalan ke koridor, lalu duduk di ruang tunggu. Di sana, ada sebuah televisi besar yang menyala. “Jaya Food Industries dikabarkan akan melakukan ekspansi….”Fiore tersentak. Mendengar nama Jaya Food Industries, ia langsung teringat dengan perusahaan sang Ayah. “Kenapa enggak ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments