komen yang banyak aku tambah 1 bab malam nanti 😁
Arsen menatap lekat paras Lily, mengulurkan tangan dan menyentuh sebelah pipi istrinya itu. Arsen terharu, tapi tidak ingin menangis di depan Lily. “Aku baik-baik saja, maaf aku tidak mengingatmu sampai malam itu, saat kamu datang bersama orangtuamu ke pesta orangtua Bryan,” ucap Arsen. Lily menangis lagi seraya menyentuh punggung tangan Arsen yang masih mengusap pipinya. “Kenapa kamu tidak bilang sejak awal?” tanya Lily dengan suara parau. “Karena aku tahu kamu pasti membenciku karena pertemuan pertama kita yang agak … “ Arsen menjeda lisan, lalu berpura-pura berpikir. “… panas,” lanjutnya. Lily tersenyum. Bagaimana bisa sesuatu yang salah dan melanggar norma malah membuat pipinya bersemu merah? Dia malu, lantas memeluk Arsen. “Maaf karena terlalu lama menyimpan rahasia ini, karena aku belum siap mengatakannya,” kata Arsen. “Kenapa?” Lily semakin erat memeluk Arsen, “Aku takut kamu membenciku.” Lily menggeleng, dadanya sakit mendengar ucapan Arsen. “Jangan bicar
Lily memilih menghabiskan waktu di perpustakaan. Dia merenung di sana, hingga Bibi Jess datang mengingatkannya untuk istirahat. "Nona, kenapa masih di sini? Tuan tadi menelepon menanyakan Nona sedang apa," kata bibi Jess. "Benarkah? Kenapa dia tidak bertanya sendiri padaku?" Lily menjawab seraya memandang ponselnya yang tergeletak di meja. Lily tidak tahu apa yang Arsen rencanakan, padahal pria itu sudah berjanji akan memberitahunya sebuah rahasia malam nanti. Kalau begini Lily jelas takut menagih. "Lalu apa yang bibi katakan ke suamiku?" tanya Lily. "Saya tidak berani berbohong, jadi saya bilang sejak pulang Nona terus berada di perpustakaan." Lily mengangguk, dia mengucapkan terima kasih ke Bibi Jess, kemudian meminta wanita itu meninggalkannya. "Aku masih ingin di sini sebentar," kata Lily. Bibi Jess menanyakan apa yang Lily butuhkan. Namun, karena Lily menjawab tidak membutuhkan apa-apa, bibi Jess lantas pamit keluar meninggalkan Lily lagi. Lily meraih ponselnya,
Setelah mengatakan itu, Arsen menggandeng tangan Lily. Dia mengajak istrinya pergi dari ruangan itu, meninggalkan Bryan dan Arya berdua. Arsen tidak mau tahu apa yang akan dilakukan Bryan pada Arya setelah dia mengungkap fakta itu. “Bagaimana bisa Papa melakukannya?” tanya Bryan dengan nada tinggi. Dia benar-benar emosi karena perbuatan ayahnya sendiri. Arya terkejut, lalu dia menjelaskan, “Papa menemui Sonia hanya untuk ikut membantunya.” “Aku tidak peduli Sonia mau dipenjara atau bebas, yang aku tanyakan, bagaimana bisa Papa menyembunyikan saham yang seharusnya menjadi hakku dan menjualnya!” amuk Bryan. “Kamu tahu apa? Kamu itu tidak memiliki kompetensi dasar mengelola,” balas Arya. Bryan tersenyum mencibir. "Lalu apa Papa bisa? Papa gagal mengelola 'kan? dan malah menjualnya." Bryan merasa dadanya seperti terbakar. “Jika orang tua lain sibuk membangun masa depan untuk anaknya, sepertinya itu tidak berlaku untuk Papa. Papa masih memikirkan kepentingan Papa sendiri!”
Lily kaget melihat Arsen tiba-tiba datang. Pria itu memandangnya lalu beralih ke tangan Bryan yang masih memegang. "Singkirkan tanganmu!" Arsen mengulang perintahnya. Lily langsung berontak, menarik tangan dari Bryan dan akhirnya pria itu melepas. Lily mendekat ke arah Arsen, suaminya itu langsung pasang badan maju satu langkah berdiri di depannya. Lily takut Arsen marah, akan tetapi saat pria itu meraih dan menggenggam tangannya, Lily sadar Arsen datang untuk melindunginya. Sementara itu, Bryan terlihat mengepalkan tangan di sisi badan, entah geram, entah cemburu dengan interaksi Paman dan mantan tunangannya. "Wah... kalian ini, apa ingin menunjukkan padaku kalau kalian pasangan yang romantis?" Sarkas Arya. Dia masih duduk di kursi empuknya seraya menatap Arsen dan Lily bergantian. "Melihat wajahmu yang panik, aku yakin kamu pasti tidak tahu kalau Lily datang menemuiku sendirian," sindir Arya. Lily menatap raut wajah Arsen dari samping, suaminya itu tampak tenang. "L
Lily termenung duduk di meja kerjanya yang ada di kamar. Dia sebenarnya sama sekali tidak penasaran dengan apa yang akan Arsen katakan. Pria itu menjanjikan malam nanti memberitahunya. Lily yakin Arsen pasti ingin jujur perihal identitasnya, karena mustahil suaminya itu tiba-tiba saja mengaku memiliki istri atau anak lain di luaran sana. "Dia sudah tahu aku mengorek informasi dari Thomas, jadi kemungkinan besar dia juga sudah tahu kalau aku menyadari identitasnya," gumam Lily. Dia sangat penasaran dengan alasan Arsen merubah identitas di masa lalu. "Mungkinkah ada yang mengancam nyawanya?" Lily tidak fokus memeriksa laporan yang stafnya kirimkan, sejak tadi laptop di meja kerjanya menyala, tapi pikiran Lily melayang entah ke mana. Lily masih terdiam saat tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Dia kaget, melihat nomor tak dikenal menelepon lalu mati. Tak lama nomor itu mengirimkan beberapa foto. Lily bergidik bahkan sampai memejamkan mata. Dengan mata yang sedikit terbuka d
Lily ikut mengantar Risha pulang karena mencemaskan sang bunda yang sebelumnya pingsan, dia juga sudah izin ke Arsen kalau akan bekerja dari rumah sang bunda.Sepanjang perjalanan pulang, Lily terus menggenggam telapak tangan Risha dan sesekali menyandarkan kepala di pundak Risha.“Apa Bunda benar-benar tidak perlu periksa lagi ke rumah sakit?” tanya Lily karena cemas.“Tidak apa-apa, bunda sudah baik-baik saja,” jawab Risha.Mereka akhirnya sampai di rumah Risha. Lily tidak langsung mengecek pekerjaannya. Dia memilih duduk dan berbincang lebih dulu dengan sang bunda.“Bunda sangat lega Arsen dan papamu tidak berselisih karena masalah yang terjadi di acara penghargaan itu,” ucap Risha.“Iya, aku juga lega, padahal sebelumnya sudah panik dan takut kalau suamiku akan marah ke Papa. Tapi melihat mereka berdua duduk dengan tenang sambil minum di mini bar semalam, membuat kecemasanku hilang,” balas Lily.Risha mengangguk-angguk.“Apa menurutmu Arya yang melakukan ini semua karena berniat me
Lily melayangkan protes pada Arsen. Dia menutup pintu lalu menatap dengan bibir cemberut sang suami. "Baru aku tinggal beberapa menit di kamar mandi tapi kamu sudah pergi." Arsen tergelak. "Aku hanya ingin keluar mencari angin, tapi malah melihat papa," jawabnya. Lily kaget lalu mendekat buru-buru, dia menyentuh dada Arsen lalu mendongak mamandang wajah pria itu. "Apa rasanya sesak? Apa seperti tidak bisa bernapas?" Raut wajah Lily berubah khawatir. "Sepertinya aku salah ucap." Arsen merasa bersalah seraya menatao mata Lily. Dia tidak ingin istrinya cemas. "Kenapa kamu masih saja seperti ini? Kalau memang hari ini berat, kenapa tidak bersandar padaku meski sejenak?" Lily berkata penuh rasa sedih. 'Bodohnya aku yang malah menangis seperti orang gila tadi. Padahal dia yang sangat terpukul.' Lily berbisik di dalam hati. Dia hendak menundukkan kepala, tapi Arsen lebih dulu merangkum pipinya. "Aku mungkin tidak bisa kamu andalkan, tapi aku bisa meminjamkan pundak sebagai
Di ruang keluarga. Suasana rumah Arsen sudah sangat sepi, tapi Adhitama terlihat masih berdiri di dekat jendela menerima panggilan dari sekretarisnya. “Saya sudah meminta penyelenggara untuk memberikan rekaman video dan suara yang Anda sebutkan, tapi mereka menolak, Pak.” “Kalau begitu tuntut mereka, aku mau semua yang terlibat di acara malam ini, tidak ada yang lepas begitu saja,” balas Adhitama dengan tatapan tajam dan satu telapak tangannya mengepal erat. “Baik, Pak.” Adhitama mengakhiri panggilan setelah bicara dengan Andre—sekretarisnya. Dia menghela napas kasar seraya memasukkan ponselnya ke dalam kantong celana. Namun, saat membalikkan badan untuk kembali ke kamar, Adhitama terkejut melihat Arsen yang ternyata sudah ada di hadapannya. “Kenapa kamu belum tidur?” tanya Adhitama. “Papa juga belum tidur,” balas Arsen. Adhitama kembali menghela napas kasar. “Bagaimana kondisi Bunda?” tanya Arsen lagi. Dia tidak perlu jawaban untuk pertanyaan sebelumnya. “Suda
Lily menopang tubuh Risha yang tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Dia menepuk pipi Risha dan meminta pelayan untuk segera memanggil dokter. Di saat itu suara gaduh terdengar oleh Adhitama dan Arsen yang berbincang di ruang kerja. Adhitama langsung panik melihat Risha pingsan. Dia langsung mengangkat tubuh Risha dan membawanya ke kamar yang Arsen tunjuk. Sebelum menyusul mertua dan istrinya, Arsen meminta Bibi Jess memanggil dokter dan membawakan minyak angin untuk Risha. "Bunda ... bangun." Arsen menatap Lily dan mertuanya yang panik dari ambang pintu. Ternyata kondisi Lily lemah memang menurun dari Risha. Arsen masuk ke dalam saat pelayan membawa minyak angin yang dia minta lalu memberikannya ke Lily. Pelayan itu meminta izin pada Lily untuk membantu memijat telapak kaki Risha. Tak lama Risha akhirnya membuka kelopak mata, dia sadar sebelum dokter sampai ke sana. "Syukurlah," lirih Adhitama melihat wanita yang dicintainya itu siuman. Lily menangis. Dia tahu bun