"Astaga, Mbak!" pekiknya sambil berlari lalu menaiki ranjang. "Mbak ditampar Kak Fagan? Leher Mbak juga kenapa merah, berdarah lagi?" Adiba nampak shock melihat keadaanku.
"Hemmm... bisa tolong ambilkan minum! Tenggorokanku rasanya sangat kering."Adiba langsung berlari keluar kamar, setelah lima menit ia kembali dengan sebotol air mineral."Minum dulu, Mbak."Aku tersenyum. Sepupu Mas Fagan ini memang sangat baik dan sayang padaku."Makasih," ucapku pelan."Aku tidak menyangka Mas Fagan tega melakukan ini sama kamu Mbak." Wajah Adiba kini terlihat sedih dengan mata yang sudah berair.Aku menggelengkan kepala. "Jangan menangis, atau aku juga akan menangis."Jujur, hatiku sangat sakit. Selama ini, aku mengorbankan cita-cita dan keinginanku demi menjadi seorang istri yang baik dan penurut untuknya. Namun, apa yang kini aku dapatkan? Rasa sakit.'Tidak hanya hatiku, tubuhku pun kamu lukai, Mas.' batinku."Aku tidak menangis, jadi Mbak juga jangan menangis." Adiba berucap sambil mengusap kasar kedua matanya. "Sekarang apa rencana kamu, Mbak?""Entahlah, aku masih bingung?" jawabku sedikit linglung."Bagaimana kalau aku antar Mbak pulang ke rumah Om Furqon? Aku yakin Om Furqon akan membelamu setelah melihat keadaan Mbak kayak gini," ucap Adiba yakin.Aku menggeleng pelan. "Aku tidak yakin.""Kenapa gak yakin? Menurutku, Om Furqon pasti tidak akan rela anaknya di sakiti sampai kayak gini.""Mungkin, kamu benar jika ini terjadi sama Mbak Zahra atau Santika. Berbeda denganku, bisa saja Papa malah membela Mas Fagan dan menyalahkan aku karena aku sudah melanggar larangan Mas Fagan dengan menemui Mayang."Aku memejamkan mata sejenak mengingat kejadian yang sudah berlalu. Dulu, saat aku masih duduk di bangku sekolah, Papa pernah memukuliku dengan gagang sapu sampai membuat tangan dan kakiku memar dan kebiruan.Tak hanya itu, Papa juga menamparku beberapa kali sampai wajahku bengkak sampai berhari-hari. Jika bukan karena Eyang, mungkin aku akan mati karena kekesalan pria yang berstatus ayah kandungku itu.Itulah alasannya kenapa Eyang tidak mengizinkan papa membawaku ke ibu kota. Mungkinkah sekarang dia akan membelaku?"Masa sih Mbak?" Suara Adiba membuyarkan lamuananku."Dulu Papa pernah marah besar dan memukuliku sampai babak belur karena aku mendorong istrinya sampai jatuh ke dalam kolam ikan dekat rumah Eyang," ceritaku yang langsung membuat Adiba melongo."Hah...yang benar? Mbak Zura nakal juga, ya!" Adiba pun tertawa kecil.Ya, aku yang sebenarnya bukanlah gadis yang penurut dan ceria. Namun demi Eyang aku harus berpura-pura menjadi gadis manis yang baik dan selalu tersenyum agar Papa tidak membawaku tinggal bersamanya."Jika sampai mereka tahu keadaanku, yang ada Eyang akan kaget dan merasa bersalah karena dulu beliau yang memaksaku menikahi Mas Fagan.""Kalau begitu pergilah Mbak, jangan lagi menghabiskan hidupmu untuk orang yang sudah menipu dan menyakitimu! Seumur hidup terlalu lama untuk dihabiskan dengan orang yang salah," ucap Adiba menirukan ucapanku dulu saat dia terpuruk karena batal bertunangan dengan mantan kekasihnya."Haruskah aku pergi? Bagaimana dengan Eyang?"Adiba memegang pundakku lalu menatapku lekat, "Cintamu sudah dikhianati, untuk apa lagi kamu bertahan? Eyang Farida pasti akan mengerti,""Mungkin kamu benar. Tadi Mas Fagan sempat mengancamku, katanya jika aku memilih bercerai lebih baik dia membunuhku.""Astaga..... Sepertinya Kak Fagan sudah gila, dia terobsesi dengan dendamnya ke Kak Ardiaz. Padahal Kak Ardiaz sudah mengakui kesalahannya. Dia bahkan memilih pergi keluar negeri demi keutuhan rumah tangga Mbak dan Mas Fagan.""Tunggu, Maksud kamu Ardiaz pergi keluar negeri bukan untuk melanjutkan kuliah S2-nya?""Bukan." Adiba menggelengkan kepalanya cepat. "Saat itu, aku lihat Mas Ardiaz berlutut di depan Kak Fagan. Kalau gak salah dengar, dia berjanji akan menjauh dari Mbak. Setelah itu, Kak Fagan menyuruhnya pergi.""Kapan itu?""Saat Mbak keguguran, kejadiannya di rumah sakit."Tujuh bulan lalu, hari itu aku merasa ada yang aneh dengan perutku. Setelah minum vitamin yang dibelikan Mas Fagan, tiba-tiba perutku terasa nyeri. Saat aku mengeluh Mas Fagan menyuruhku untuk istirahat saja.Hari itu Mas Fagan ada meeting penting yang tidak bisa di tinggalkan. Dia janji akan pulang saat makan siang dan mengantarku ke rumah sakit untuk memeriksakan kandunganku yang saat itu baru menginjak empat bulan.Namun sebelum jam makan siang rasa sakit di perutku semakin menjadi. Aku berusaha menelponnya tapi tidak diangkat. Karena tidak tahan aku meminta Art di rumah mengantarku ke rumah sakit.Begitu keluar rumah, aku mengalami pendarahan. Tepat di saat aku hampir pingsan tiba-tiba Ardiaz keluar dari mobil dan berlari ke arahku. Aku masih ingat betul wajah paniknya."Saat itu aku pikir dia khawatir karena kami sudah akrab sebelum aku menikah dengan Mas Fagan.""Aku juga gak yakin kalau Kak Ardiaz suka sama Mbak, sampai aku lihat sendiri dia berlutut dan menangis di depan Mas Fagan." Adiba menimpali ucapanku."Ah... aku juga gak yakin," ucapku cuek."Sudah gak usah dibahas dulu, sekarang kita ke rumah sakit. Mbak harus diobati," ucapnya,"Aku juga mau visum.""Visum?" Gadis itu mengerutkan dahinya. "Mau buat laporan?""No. Hanya jaga-jaga saja. Setidaknya, aku punya bukti yang kuat jika nanti ingin bercerai.""Mau bukti yang kuat?" Gadis berlesung pipi itu mengotak atik ponselnya. "Lihat ke sini!" perintahnya dengan mengarahkan kamera ponselnya padaku."Foto?" tanyaku bingung tapi tetap mengikuti perintahnya."Dari depan, samping... Tunggu,,, leher bagian belakang," gumamnya sambil mengambil fotoku. "Sekarang, videonya harus perlihatkan kamarnya juga,""Rekam dari arah sana, perlihatkan jendela dan pintu balkon." Aku memberinya arahan.Harus ada satu titik yang menunjukkan aku berada di kamar Mas Fagan."Sudah sekarang ayo ke rumah sakit sebelum Kak Fagan balik," ucap Adiba sambil memasukkan ponselnya ke dalam tasnya lalu membantuku turun dari ranjang.Di rumah ini memang tidak ada pembantu yang menginap. Mereka hanya datang setiap pagi untuk bersih-bersih dan mencuci pakaian. Untuk tukang kebun hanya datang seminggu sekali.Kami tidak membutuhkan security karena perumahan ini memiliki satpam sendiri di setiap blok. Layaknya perumahan elit lainnya, hanya orang-orang tertentu saja yang di izinkan masuk.*******"Pakai masker!" Adiba melempar masker yang kurasa bekas pakainya."Siang, Pak..." sapa Adiba setelah membuka kaca mobil saat melewati pos security."Siang, Mbak. Siang Bu Fagan..." balas Security menyapa aku dan Adiba."Sepertinya, Kak Fagan terlalu panik sampai tidak berpesan sama security. Apa mungkin malah berpikir Mbak sudah mati?" ucap Adiba sambil menolehku sebentar.Aku hanya tersenyum mendengar ucapannya yang asal."Dia tahu aku masih hidup. Dia sempat menepuk-nepuk pipiku cukup keras sampai aku tersadar." Ada rasa nyeri saat aku mengucapkan kalimat itu.'Sadar Meizura... Hatimu telah ditipu! Cinta dan ketulusanmu dipermainkan,' bisik hatiku.Saat aku akan diam. Tapi lihat nanti Fagan Zio Rafiandra, aku pasti akan membuatmu menyesal telah melakukan ini padaku.🍂🍂Setelah melakukan visum, Adiba menyarankan untuk sekalian tes darah. Memeriksa apa aku terjangkit penyakit yang sekarang menggerogoti tubuh Mayang dan Ardiaz. Sekitar satu jam lebih kami menunggu dan bersyukur hasilnya sangat melegakan. Ternyata meski Mas Fagan sangat mencintai mantan tunangannya itu tapi dia masih bisa menjaga batasan yang tidak boleh dia langgar. Tidak seperti Ardiaz, sudah menjalin hubungan terlarang dengan calon kakak iparnya, adik iparku itu juga melanggar larangan agama. Menurut pengamatanku adik Mas Fagan itu memang agak bandel dan suka bikin onar. Aku mengenal Ardiaz saat kami membantu di acara pernikahan salah satu sepupu kami. Saat itu aku dan Ardiaz menjadi pasangan kembang mayang. Aku masih disekolah sedangkan Ardiaz baru memasuki bangku kuliah. Ardiaz sangat humble dan sangat ramah, berbeda dengan Mas Fagan yang cool dan sedikit bicara. Awal-awal kenal aku agak menghindar. Ya, bisa dikatakan aku seperti Mas Fagan. Hanya dengan orang tertentu saja aku b
Sudah dua hari ini Meizura tinggal di rumah Zaskia. Ponselnya tak berhenti berdering sejak semalam. Hanya ketika ponselnya itu kehabisan daya baru panggilan masuk dari nomor Fagan berhenti. Semalaman Fagan menelpon dan mengirim pesan berisi ancaman jika Meizura tidak segera pulang. Pri itu sepertinya mengira jika Meizura akan pergi menyusul Ardiaz ke luar negeri. [Pulang! Kamu masih istriku. Patuhlah atau kamu tahu apa yang bisa aku lakukan.][Pulang!!! Lihat apa yang aku lakukan!] Pesan Fagan kini disertai foto sebuah paspor dibakar. [Cepat pulang! Jangan menguji kesabaranku!]Beberapa isi pesan yang Fagan kirim ke ponsel Meizura. Namun, tak sedikit pun wanita berambut panjang itu ingin membalasnya. Saat ini yang dia inginkan hanya ketenangan. "Pria itu gak capek apa telponin kamu mulu?" Zaskia mengambil duduk di sebelah Meizura. "Dendam sudah menutup matanya sampai membuatnya tak memliki rasa lelah dan bosan," jawab Meizura masih dengan menatap layar televisi. "Lalu apa renca
Ucapan Meizura langsung membuat empat orang itu melebarkan matanya kaget. Terlebih Fagan, pria itu langsung berdiri dengan tangan mengepal kuat. Dia tidak menyangka ancamannya kemarin tidak sedikitpun membuat istrinya itu takut. "Tidak. Aku tidak akan menceraikan kamu," tegas Fagan. "Aku sama sekali tidak peduli. Yang pasti aku tidak ingin hidup dengan pria munafik seperti kamu," ujar Meizura dengan tatapan menantang. Perlahan tangannya membenarkan syal di lehernya untuk memberi isyarat pada Fagan jika dirinya masih memiliki satu senjata untuk melawan pria itu"Zura!!!" bentak Furqon. "Jaga ucapan dan sikapmu. Fagan itu suamimu kamu harus menghormatinya." Wajah Furqon sudah memerah karena marah. Tangannya mengepal kuat sampai membuat kuku-kuku jarinya memutih. Sarah yang duduk di samping Furqon tak melepaskan tangannya dari lengan pria itu. Wanita itu takut jika suaminya akan lepas kontrol dan memukul anak tirinya itu. "Pa, biar aku bicara dulu sama Zura. Dia pasti punya alasan.
Pov Meizura. "Khemm.... Aku lapar.... Kita mampir dulu cari makan," ucap Mas Fagan tiba-tiba."Kamu mau makan apa?" tanyanya tapi tak kuhiraukan, aku tetap membisu dan mengarahkan pandanganku ke luar jendela."Aku bertanya sama kamu. Kamu gak tuli kan?" Mas Fagan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. "Aku tuli." Aku menoleh, "Telingaku tidak bisa mendengar suara orang yang bermuka dua," Seketika rahang Mas Fagan mengeras dan matanya melotot tajam padaku. Kuangkat satu sudut bibirku, puas sekali aku melihat ekspresi kemarahannya."Kamu......" geramnya."Aku tak peduli." Aku kembali mengarahkan tatapanku keluar jendela. Terdengar Mas Fagan menghembuskan nafas kasar beberapa kali. Mungkin dia sedang berusaha menghilangkan emosinya yang sempat tersulut karena ucapanku. Ini baru awal, mulai sekarang kamu akan tahu seperti apa aslinya Zenia Meizura Humayra itu. "Tadi kamu sudah lihat sendiri, bahkan papamu saja tidak membelamu. Jadi, bersikap baiklah atau kamu akan benar-benar kehila
"Nyonya..... Nyonya sudah sadar?" Bik Minah.... Dialah orang pertama yang aku lihat begitu membuka mata. Wanita paruh baya itu berdiri di sisi ranjang. Ada aroma disinfektan dan obat-obatan yang menyengat memasuki indera penciumanku. Sepertinya aku berada di rumah sakit. "Alhamdulillah..... Nyonya sudah sadar," ucap Bik Minah bersyukur sembari mengelus kepalaku pelan."Sekarang Nyonya berada di rumah sakit. Kata Tuan Fagan semalam Nyonya jatuh dari tangga," beritahu nya tanpa kuminta. Aku memejamkan mata berusaha mengingat apa yang terjadi. Deghh...... Tiba-tiba jantungku terasa di remas-remas mengingat kejadian semalam. Ya aku terjatuh dari tangga dan itu karena Mas Fagan yang mendorongku. "Kepala Nyonya luka karena terbentur lantai. Kakinya juga, kata Tuan harus di perban untuk beberapa hari sampai otot dan tulang kembali normal," sambungnya menjelaskan keadaanku sekarang. Lalu dimana pria itu sekarang? Kualihkan pandanganku ke sekeliling. Harusnya dia berada disini? Pria itu
"Coba tebak, apa yang ingin aku lakukan?" ucapnya dengan senyum mesum yang menghiasi bibirnya. Jangan-jangan.....?"Sudah lima hari kita tidak tidur satu ranjang. Dan malam ini......" Apa dia sudah gila? Ini di rumah sakit, apa dia tidak melihat kepala dan kakiku yang masih di perban? Setidaknya dia harus punya rasa malu kalau sampai ada dokter jaga yang datang untuk memeriksa keadaanku. "Aku ingin meminta hakku sebagai suamimu." Mataku membulat saat dia melempar kemejanya lalu beralih membuka ikat pinggangnya. "Apa kamu sudah gila? Sekarang kita di rumah sakit." Aku beranjak bangun. "Lagi pula kamu tidak lagi punya hak setelah apa yang kamu lakukan padaku.""Selama kamu masih berstatus sebagai istriku, aku tetap satu-satunya orang yang berhak menyentuhmu," kekehnya tak bisa di bantah. Ya Tuhan...... dia benar-benar melucuti semua pakaian yang melekat di tubuhnya. Satu-satunya kelemahan Mas Fagan adalah tidak bisa menahan nafsunya. Jika di luar ia terlihat dingin akan tatapi seb
Ceklek... "Meizura...." Terdengar suara seseorang bersamaan dengan pintu terbuka. "Hah.." Dengan cepat Meizura memutar tubuhnya. "Astaga..." pekik Meizura sambil mendengus kasar. ""Kenapa?" tanya Zaskia kebingungan sambil menoleh ke kanan kiri. "Ya Alloh.... kamu ngagetin aja! Hampir saja jantungku copot," gerutunya sambil mengelus dadanya. "Maaf... maaf, tadi aku pikir salah kamar." Buru-buru Zaskia menjelaskan. "Ya Alloh kepala dan kaki kamu kenapa di perban?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca sambil memeriksa keadaan sahabatnya itu. Baru juga dua hari mereka tidak bertemu dan kini keadaan sahabatnya itu lebih buruk dari saat mereka bertemu beberapa hari sebelumnya. "Ceritanya panjang. Tolong bantu aku jalan, kita harus cepat pergi dari sini sebelum Bi Minah kembali." Meizura mengulurkan tangannya. "Sebentar, aku bawa kursi roda." Zaskia berlari keluar untuk mengambil kursi roda yang ia letakkan di depan kamar. Dengan hati-hati Zaskia membatu Meizura untuk duduk di atas kur
"Bisa buka masker kalian!" Fagan beralih ke depan Meizura. Meizura spontan menutup matanya, menahan kesal bercampur panik. Insting pria itu memang sangat kuat, hanya dengan melihat gerakan tubuh orang ia bisa mendeteksi sesuatu yang tidak wajar. 'Pasti Zaskia melihat matanya,' batinnya menebak.Perlahan ia mengangkat kepalanya, tanpa berani menatap wajah pria itu. "Untuk apa? Apa kamu pegawai rumah sakit?" sahut Zaskia ketus."Bukan, saya bukan pegawai rumah sakit. Hanya saja saya merasa seperti pernah bertemu kalian sebelum," jawab Fagan tanpa mengalihkan tatapannya pada wanita yang sejak tadi tak berani menatapnya.Sikap wanita ini lebih membuatnya curiga ketimbang gadis yang yang mencuri pandang padanya secara langsung. "Apa kamu tidak tahu jika di rumah sakit itu banyak virus penyakit? Jadi, wajar dong kami pakai masker," tambahnya memberi alasan. "Saya hanya ingin memastikan, apa kalian benar orang yang saya kenal atau bukan?" Fagan mengangkat satu alisnya merasa curiga pada