Mas Fagan kini menatapku dengan mata berkabut.
"Maaf, sudah kasar padamu," bisiknya sembari membelai lembut sebelah pipiku. Lalu, ia mencium bibirku selanjutnya tangannya mulai bergerilya melepas kancing piyama yang aku pakai.Deg!Aku menepis tangannya dan kudorong kasar laki-laki itu sampai tersingkir dari atas tubuhku.
"Jangan berani menyentuhku!!!" sentakku dengan nada dingin dan tatapan tajam.Sontak saja tatapan matanya berubah. Sayangnya, aku tak peduli."Aku suamimu. Aku punya hak atas dirimu," jawabnya yang langsung kusambut dengan senyum remeh."Untuk sekarang. Tapi, tunggu saja aku akan mengajukan gugatan ke pengadilan."Aku beranjak turun dari ranjang. Namun, baru satu kakiku mencapai lantai, dengan kasar Mas Fagan menarikku kembali ke atas ranjang."Apa kamu berpikir untuk kembali bersama Ardiaz? Kamu pikir dia akan menerimamu setelah kita bercerai?" ujarnya kembali mengukung tubuhku dengan tubuhnya yang besar.Pertanyaannya seolah membenarkan semua tuduhan Mayang. Jadi, benar kau sudah menipuku? Memanfaatkan aku untuk membalas sakit hatimu?"Ardiaz tampan dan playboy. Apa kamu pikir sekarang dia tidak punya pacar? Aku tidak yakin dia akan menerimamu dengan status janda. Kamu itu--""Apa itu Artinya kamu mengakuinya?" sahutku.Mas Fagan terdiam, mulutnya tertutup rapat. Hanya deru nafasnya yang terdengar semakin menggebu.Kutarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan, tenang dan santai itu yang aku tunjukkan.Hal itu membuat Mas Fagan mengerutkan dahinya bingung melihat ekspresi tenang yang aku perlihatkan.
"Ardiaz mau menerimaku atau tidak, sama sekali tidak ada urusannya denganmu. Entah aku mau menjadi selingkuhan atau pacarnya juga tidak ada hubungannya dengan kamu. Yang pasti aku harus lepas darimu, Fagan Zio Rafiandra."Mata suamiku itu melotot.Rahangnya mengeras sampai terlihat otot-otot wajahnya menyembul keluar. Ekspresi kemarahannya sangat menakutkan.
Jujur, aku merasa takut. Dia hampir seperti hulk yang sedang marah.
"Jika itu pilihanmu, lebih baik kamu mati saja," geramnya penuh penekan di setiap kata.Hah? Mati? Apa maksudnya?Mataku sekitika membola."Aku akan lihat segila apa nanti Ardiaz saat melihat gundukkan makammu?" ucapnya mendadak.Belum sempat aku menjawab, tangannya kini sudah mencekikku dengan kuat.Matanya menatapku tajam dan penuh kebencian. Aku berusaha meronta dan memukul lengan juga dadanya, tapi tenagaku tak berarti apa-apa untuk Fagan yang tubuhnya saja dua kali lipat dari besar tubuhku.Perlahan nafasku mulai sesak, kepalaku terasa pening. Tangan juga kakiku mulai mati rasa.Inikah akhir hidupku? Mati di tangan suamiku sendiri. Perlahan, butiran bening merembes dari sudut mataku seiring dengan kelopak mata yang lama kelamaan terasa berat.Masih bisa kulihat tatapan mata Mas Fagan yang menyiratkan rasa puas sebelum aku benar-benar menutup mata. Gelap, sesak dan mati rasa, kini aku rasakan.Muncul bayangan eyang sedang tersenyum lebar.'Eyang, maafin Meyzura yang selalu menjadi beban Eyang. Semoga semua yang Zura lakukan selama ini bisa sedikit membalas kebaikan Eyang. Selamat tinggal Eyang,' batinku tanpa sadar.Anehnya, tiba-tiba kekangan di leherku mengendur dan perlahan terlepas. Tepukan di kedua pipiku memaksaku membuka mata.Mas Fagan terlihat ketakutan.Wajahnya memucat pasi. "Meyzura,.....Zura..." panggilnya lirih sembari tangannya menepuk pipiku keras.
"Aku membencimu," ucapku lirih.Mas Fagan beranjak bangun, sambil menatapku ia melangkah mundur. Sedetik kemudian, laki-laki itu berlari keluar kamar.Brakkk...!Suara pintu kembali ditutup dengan kasar."Aku pikir aku akan mati." Gegas kuhirup udara dengan rakus, segera mengisi rongga-rongga dadaku yang hampir kosong."Awww...." Leher belakangku terasa sakit dan perih ketika aku mengangkat kepala. Saat kuraba, ada luka selebar kuku tangan, sepertinya itu bekas kuku Mas Fagan.Mataku seketika pedih ingin menangis. "Siapa yang akan percaya dengan ucapanku? Eyang, Mbak Zahra mungkinkah mereka akan percaya padaku,"
Aku tidak berharap pada Papa. Pria itu pasti akan berdiri di pihak Mas Fagan begitu mendengar pertengkaran kami. Bagi Papa, aku adalah pembuat onar meski dalam setahun ini aku sudah menjadi istri yang baik dan penurut.
"Sebaiknya aku menelpon Adiba." Segera kuambil ponsel dan kutekan nomor kontak adik sepupu Mas Fagan itu.[Halo, Adiba? Bisakah kamu datang? Aku butuh bantuanmu.] ucapku dengan suara lemas.[Kamu kenapa Mbak? Suaramu terdengar lemas.] Suaranya terdengar khawatir.[Bisakah kamu datang? Aku butuh bantuanmu.][Ok, aku meluncur sekarang.][Mungkin, Mas Fagan mengunci pintunya. Kamu buka sendiri pakai kunci yang aku kasih.] Pesanku padanya sebelum menutup panggilan.********
Jika tak salah hitung, baru sekitar 15 menit langkah kaki Adiba sudah terdengar menapaki tangga rumah.Tak.... Tak..... Tak....."Mbak..." panggilnya dari balik pintu. "Boleh aku masuk?"Tanpa aku menyahut, kepalanya sudah menyembul ke dalam. "Masuklah!""Astaga Mbak...!" peliknya sambil berlari lalu menaiki ranjang. "Mbak kenapa? Wajah Mbak?.... Apa Mas Fagan yang melakukan ini semua?" Adiba nampak tak percaya dengan yang lihatnya.Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung