Setelah kunjungan Ibu mertua dan Putri kemarin, suamiku menjadi lebih pendiam. Sebelumnya dia memang pendiam, tapi kali ini dia sungguh lebih diam.
Apakah dia merasa bersalah? Apakah dia menyadari keinginannya untuk menikahi Utari sangat menyakiti hatiku? Apakah kini dia tak akan memaksaku untuk merestui niat nya berpoligami?
Aku memutuskan untuk berusaha bangkit dan melupakan pertengkaran kami kemarin, aku berusaha kembali menjadi seperti sebelumnya, menjadi istri yang melayani segala keperluan suamiku, menjadi ibu yang merawat kedua anak-anakku dan mengurus rumah demi Syafia dan Yusuf.
Suamiku mulai berangkat bekerja lagi, tapi dia tak menyentuh sedikitpun kopi dan sarapan yang telah kusediakan.
“Bi, kopinya ga diminum?” tanyaku
“Nanti aja,” jawabnya singkat sambil melangkah menuju pintu. Aku mengejarnya untuk meraih tangannya dan ku cium.
Biasanya sebelum pergi bekerja, Aku mengantar suamiku ke depan pintu, mencium tangannya dan dia balas dengan mencium keningku, lalu ku hantarkan doa untuknya agar dimudahkan segala urusannya dan memintanya segera kembali pulang kerumah jika pekerjaannya telah selesai. Dia pun menyambut dengan senyuman hangat dan memintaku selalu menjaga anak-anak dengan baik. Aaaahhh....hati merasa tenang dan ringan kala itu, tapi hari ini semuanya sirna, dia berlalu begitu saja, bukan kecupan di kening yang kudapat melainkan sikap dingin dan ada getar-getar amarah kurasa.
Apa ini??? Aku yang disakiti, Aku yang berusaha memaafkan dan melupakan semua yang terjadi, tapi aku yang dihukum dan dibenci???
Malam pun tiba, tak seperti biasa suamiku belum pulang juga, Dia pun tak memberi kabar lewat telepon maupun pesan singkat. Ada rasa khawatir dan kecewa kurasa. Hingga tak ku sadari aku terlelap dan mendapati suamiku sudah tertidur pula disampingku tanpa ku sadari kapan Dia pulang tadi.
Keesokan harinya suamiku masih bersikap dingin padaku, baru kali ini aku melihatnya seperti itu, Dia tak pernah marah atau memendam emosi nya selama ini, Dia selalu mengalah dan tak pernah mengacuhkan ku sebelumnya.
“Kamu kenapa?” tanyaku saat kulihat suamiku sudah siap beranjak dari pintu tanpa menyentuh lagi kopi dan sarapan paginya.
“Aku berangkat ke kantor dulu, Assalamualaikum,” jawabnya sambil melangkah pergi menghindari pertanyaanku.
Apa kesalahanku hingga Dia bersikp acuh dan dingin padaku?
Apa karena dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan?
Atau karena dia lebih memilih dekat dengan Utari di kantor dibanding bercengkrama lagi denganku dirumah?
Dalam lamunanku tiba-tiba kudengar suara ketukan pintu, ternyata kali ini Ibuku dan Ayah sambungku mengunjungi rumahku.
“Assalamualaikum,” sapa Ibuku dari balik pintu sambil mengetuk nya.
“Waalaikumsalam Ma, eh ada Ayah juga....masuk yuk,” ajakku sambil membukakan pintu dan mencium tangan Mama dan Ayah sambungku.
“Eh cucu Enin sayang, apa kabar? Enin kangen deh,” ucap Mama ku setelah melihat Syafia dan Yusuf yang tengah asyik menonton tv di ruang tamu.
“Yeay Enin dan Kakek dateng,” ungkap Syafia kegirangan.
“Bentar ya Ma, Aku bikin minum dulu,” ucapku dengan nada sayu tak mampu menyembunyikan pikiran kalutku.
Mama menghampiriku ke dapur sementara Ayah sambungku bermain bersama Syafia dan Yusuf.
“Kamu kenapa sih? Koq kaya ga seneng Mama datang sama Ayah,” tanya Mama blak-blakan
“Eh enggak koq Ma, Aku senenglah Mama sama Ayah kesini,” ucapku berusaha menutupi keadaan.
Setelah bercengkrama beberapa waktu, Aku tak mampu lagi menyembunyikan rasa kalutku, Mama juga selalu bertanya kenapa, apa aku harus menceritakan semuanya dan meminta saran mama?
Ya sepertinya aku harus meminta saran dan doanya juga agar rumah tanggaku baik-baik saja.
“Gini Ma, sebenernya hubunganku sama Abi nya Syafia lagi gak baik-baik saja,” ucapku mengawali curahan hatiku
“Suamiku minta poligami Ma,” sambungku to the point.
“APAAAA???” ekspresi kaget Mama sungguh terlihat nyata, suara nya hampir terdengar sampai ruang tamu sehingga Ayah sambung dan Syafia menoleh ke arah kami.
“Ke kamarku yuk Ma,” ajakku kepada Mama agar aku bisa mencurahkan perasaanku tanpa diketahui Ayah dan anak-anak.
Mama nampak tak sabar mendengar cerita dan penjelasan dariku.
“Apa magsud kamu? Gimana ceritanya sih?” tanya Mama dengan nada penasaran dan seakan tak percaya mantu kesayangannya berani meminta hal yang dibencinya.
“Iya Ma, jadi beberapa hari terakhir ini suamiku memintaku untuk merestuinya menikahi Utari, janda muda yang bekerja dikantornya,” kataku memulai cerita
Aku pun bercerita panjang lebar dan memberitahu Mama bahwa mertuaku sudah tau dan tak setuju, mertuaku pun sudah menasehati suamiku tapi kini sikap suamiku berubah dingin padaku.
“Duuhh.....sabar ya Sayang, Mama doakan keluargamu utuh, dijauhkan dari janda genit penggoda,” ucapan Mama dengan mata berkaca dan emosi yang coba dia tahan.
“Kamu udah ketemu langsung sama si Utari Utari itu? Mama temuin ya, mau mama labrak,” geram mama.
“Gk usahlah Ma, yang ada hubungan aku sama suamiku makin berantakan,” ujarku meredakan emosi mama. Aku berusaha keras supaya tidak menangis didepan mama, aku khawatir tangisanku akan membuat mama semakin geram dan emosi yang malah akan memperburuk hubunganku dengan suamiku.
“Kamu kalau ada apa-apa ngomong sama mama ya, jangan diem aja!!” ucap mamaku tegas.
“Iya Ma, jangan khawatir aku baik-baik aja” jawabku meyakinkan mama.
“Kamu harus pastiin kalo suamimu ga akan berbuat yang macem-macem, kamu harus jauhkan suamimu dari wanita lain, pecat saja kalo bisa pecat semua karyawati di kantor suamimu itu biar dia ga bisa macem-macem sama perempuan lain manapun!” kata mama dengan nada penuh emosi yang meluap-luap.
“Ya ga bisa gitu juga Ma, ga bisa main pecat aja, semua kan ada SOP nya, Standar Operational nya ga bisa main pecat karyawan, udah sekarang mama tenang aja, lebih baik doakan aku, itu yang paling aku butuhkan saat ini Ma” jawabku.
Tiba-tiba ayah sambungku datang menghampiri kami
“Ma, pulang yuk!temen ayah mau mampir kerumah kita katanya udah dijalan dia” ajak ayah sambungku kepada mamaku.
“Maaf ya bukan nya ayah gak mau lama-lama disini, tapi ini temen ayah tiba-tiba menghubunginya” kata ayah sambil memandang ke arahku.
“Iya gak apa-apa koq yah, hati-hati dijalan ya, mau pesan taxi online apa gimana?” tanyaku
“Gak usah deh, di depan kan ada angkutan umum, maafin mama ya gak bisa lama-lama disini” kata mama sambil merangkulku.
“Jangan lupa kabarin mama terus ya kalo ada apa-apa” bisik mama sebelum melangkah pulang.
Aku bersyukur mama dan ayah pulang sebelum suamiku tiba dirumah, entah apa yang akan mama lakukan kepada suamiku jika mereka bertemu, aku khawatir mama tidak bisa menahan emosi nya dan berkata buruk pada suamiku, seburuk apapun suamiku aku masih menyimpan rasa sayang dan hormat padanya, tak ingin dia mendapat penghinaan dari siapapun termasuk dari ibu kandung ku sendiri.
“Hari ini jalan keluar yuk sama anak-anak,” ajak ku kepada suamiku“Ga bisa, Abi mau ada urusan,” jawab suamiku.“Abi mau kemana? Fia ikut, Fia bosen dirumah terus,” rengek Syafia kepada abi nya.“Abi sampe sore loh Fia,” kata suamiku“Gak apa-apa Fia ikut abi aja ya,” pinta Syafia dengan manja.“Ya udah, pake baju yang rapi ya,” kata suamiku.“Umi sama Yusuf ikut?” tanya ku pada suamiku.“Ga usah ya, dirumah aja!!” seru suamiku.Aku memakaikan Syafia baju casual, kaos panjang, celana panjang dan kerudung bahan kaos karena ku fikir suamiku akan membawa Syafia ke kantor atau rumah temannya di hari sabtu ini.“Jangan pake baju itu Mi, yang rapihan dikit, serasiin sama Batik Abi,” pinta suamiku kepadaku.“Rapi banget pake batik kaya mau kondangan,” ejek ku sambil mengganti baju Syafia dengan gamis b
Waktu menunjukan pukul 15.30 WIB, aku sudah selesai menyiapkan segala sesuatu untuk pergi berkencan sore ini dengan suamiku. Aku memakai gaun abaya hitam yang suamiku belikan saat dia Umroh dulu, lengkap dengan pasmina panjang menjuntai warna hitam juga. Aku yakin suamiku akan menyukainya karena dia sangat menyukai warna hitam dan perempuan yang berwajah Timur Tengah, sehingga gaya make up ku pun meniru perempuan ala Timur Tengah, dengan alis hitam lebat, celak mata yang tajam dan hitam, eyeliner di kelopak mata untuk mempertegas riasan mata, mascara hitam agar bulu mataku nampak lentik, lipstik berwarna softpink, aku tak memakai foundation dan bedak berlebihan, apalagi eyeshadow atau brush di pipi, terakhir kali aku memakai riasan itu malah suamiku tak menyukainya. Satu hal lagi, aku melengkapi penampilanku ini dengan cadar hitam agar aku terlihat sangat mirip dengan wanita Arab.Aku pun berangkat dengan ojek online dan sampai pada pukul 15.45WIB.‘Umi udah samp
“Bi, jalan-jalan berdua aja yuk,” ajakku kepada suamiku saat kami sedang bersiap tidur.“Kemana?” tanyanya singkat.“Kemana aja gitu, ke pantai boleh ke gunung boleh ke hotel boleh restoran juga ayo yang penting berdua aja,” jawabku sambil menatapnya.“Anak-anak gimana?” tanya suamiku seakan tak ingin mengabulkan permintaanku.“Ya semenara titip mama dulu, umi tuh pengen menghabiskan waktu berdua aja dulu sama abi biar bener-bener melupakan masalah kemarin, emang abi ga ngerasa ya kalo umi masih sakit hati?” tanyaku dengan nada sedikit emosi.“Sakit hati kenapa?” tanya suamiku dengan wajah polos seakan tanpa dosa.“Utari,” jawabku singkat sambil menatapnya tajam.“Ya ampun masih kepikiran aja, kamu sendiri yang rugi kalo masih ngerasa sakit hati,” ujar suamiku sambil memejamkan mata.Aku tak ingin memulai pertengkaran, namun sikap su
“Alhamdulillah kajian pagi ini telah selesai, mari kita tutup dengan membaca istigfar dan doa majelis, Astagfirullahaladziim subhanaka Allahuma wabihamdika Ashadu alla illaha illa anta astagfiruka waatubu ilaih, mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan, wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” Doa bu ustadzah Hilya menutup kajian pagi ini.Seperti biasa setelah kajian usai dan sambil menunggu Syafia pulang sekolah, aku menyempatkan diri untuk menyapa dan berbincang dengan guru sekaligus sahabatku......bu ustadzah Hilya.“MasyaAllah kajian hari ini ngena banget di hati saya bu, tapi bu rasanya koq sulit sekali ya untuk ikhlas dalam menerima ujian dalam hidup ini?” tanyaku kepada bu ustadzah Hilya.“Bukan sulit, tapi memang ga mudah dan proses belajar ikhlas itu butuh waktu seumur hidup,” jawab bu ustadzah Hilya yang selalu bisa menenangkan hatiku.Aku mengangguk dan mencoba memah
‘Yang, udah makan siang? Aku ke kantor ya sekarang’ isi pesan singkat yang siang ini ku kirim kepada suamiku. Dia sudah membaca pesanku tapi belum juga membalasnya, aku menunggu sambil mengecek lokasi keberadaannya, dia di kantor.Setelah sepuluh menit suamiku baru membalas pesanku,‘Jangan ke kantor sekarang ya, dirumah aja!’ seru suamiku dalam isi pesan singkatnya.Andai aku bisa meretas cctv di kantor nya atau memasang penyadap suara di meja kerja nya mungkin aku tak akan gelisah atas asumsi ku, mengira-ngira apa yang sedang suamiku lakukan? Bersama siapa?Tak lama kemudian aku kembali mengecek lokasi real time keberadaan suamiku via aplikasi yang sudah aku interegasikan antara handphone ku dan handphone miliknya, aku lihat sebuah pergerakan, dari kantor nya ke arah atas, entah menuju kemana.Aku terus memantau posisi suamiku, aku selalu merefresh aplikasi nya agar mendapat penyegaran dan info akurat mengenai keberadaan s
Aku mulai melupakan rasa sakit hati dan kecewa pada suamiku tentang niat nya yang sempat ingin menikahi Utari, Utari kini tak lagi bekerja di kantor suamiku, begitu pun ayahnya, no handphone Utari pun sudah ku blokir dari handphone suamiku agar mereka tak lagi bisa berkomunikasi, satu hal yang kini rutin kulakukan adalah berkunjung ke kantor suamiku sepekan sekali, kadang tiap 3 hari aku selalu beralasan ingin mengantar makan siang, sekedar berjalan-jalan dan mampir atau berbagai alasan lainnya aku pastikan di kantor dia tak bisa berbuat macam-macam.Karena semakin sering aku berkunjung ke kantor suamiku, maka aku pun sering mendengar gosip-gosip dari para karyawan, beberapa kali aku mendengar diantara mereka menjadikan aku dan suamiku bahan obrolan mereka, mereka seakan menerka-nerka kisah rumah tangga ku dan berhenti berbicara ketika mereka menyadari keberadaanku. Aku tak ingin membuat keributan dengan mempertanyakan itu semua secara langsung kepada mereka karena aku tau ji