Share

Bab 5 Akhir dari mimpi indah

“Menurut kamu gimana Mi?” tanya suamiku dengan polos.

“Kenapa sih Bi?” aku bertanya balik, hanya satu kata itu yang mampu ku lontarkan.....kenapa??! Ribuan tanya lainnya berebut untuk keluar dari kepala ku tapi tak mampu keluar dari bibirku yang kelu dan mulai kaku karena rembesan air mata yang sengaja ku tampung.

“Aku tuh cuma ingin melindungi dan menjaga kehormatannya, bukankah poligami itu sunah?!” Ungkapnya.

“Sejak kapan Kamu mulai menyukainya dan berniat menikahinya? Apa saja yang sudah kamu perbuat dan kamu rencanakan dibelakangku? Apa yang membuatmu tertarik dengannya dan melupakan aku?” Satu persatu pertanyaan itu keluar seiring dengan tangisan yang mulai deras.

Suamiku hanya duduk terdiam mendengar semua tanya yang bertubi-tubi menyerangnya.

Aku kecewa dengan sikap diam nya, aku berfikir jauh dan menarik kesimpulan sendiri, aku berfikir bahwa mereka telah lama menjalin komunikasi yang intens dibelakangku, mungkin juga karena tiap hari bertemu di tempat kerja sehingga menumbuhkan benih-benih cinta antara mereka.

“Oke......kalau kamu mau menikahi nya, silahkan!!!” kata ku sambil berusaha tegar dan menyeka air mata. Wajah sumringah mulai nampak, senyum mulai mengembang di bibir suamiku.

“Tapi ceraikan Aku!!” Aku berkata dengan ragu-ragu, masih tak percaya rumah tangga yang ku jaga dan ku bina lebih dari 5 tahun ini, rumah tangga yang sempurna dan bahagia ternyata seketika ditimpa masalah sebesar ini yang tak mampu aku membaginya, menjanda lebih baik dari pada berbagi suami, fikirku saat itu.

Aku ingin menyendiri lagi di pojok sepi kamarku, aku mulai melangkah menjauh namun suamiku memegang erat tanganku.

“Bukan itu yang Aku inginkan, aku ingin menikahinya tapi tak ada niat aku untuk meninggalkanmu,” Ujar suamiku.

“Kalau begitu silahkan pilih, tetap menjadi suamiku dan melupakannya atau menjadi suaminya dan lupakan aku!!” Ujar ku dengan penuh emosi.

Ekor mataku tertuju pada Syafia dan Yusuf, sepertinya Syafia menyadari keributan yang terjadi antara umi dan abi nya, tetapi Syafia berusaha tetap bermain dan menjaga adiknya, Yusuf.

Aku bisa jadi ibu sekaligus ayah bagi kedua anakku, aku yakin aku mampu berjuang membesarkan anak-anakku tanpa suami, tapi aku takkan mampu memiliki madu.

Wajah sumringah itu kini berubah menjadi kaku, kecewa karena jawabanku masih tak sesuai harapannya.

“Apapun yang terjadi, aku akan selalu jadi suamimu. Kamu tetap istri yang paling aku cintai,” ungkap suamiku sambil berusaha memelukku.

Aku menjauh dari pelukannya, kata-kata nya tak mampu meluluhkan hatiku yang mengeras seperti batu.

Kudengar Yusuf menangis, aku menghampiri Yusuf dan Syafia dengan segera.

Ku gendong Yusuf lalu Syafia bertanya dengan mata berkaca-kaca,“Umi kenapa?”

Aku hanya mampu menggelengkan kepala dan membawa Yusuf ke kamar untuk menemaninya tidur siang, sementara kulihat suamiku menghampiri Syafia dan menghiburnya.

Aku memberi ASI kepada Yusuf dan berhasil membuatnya tertidur, kuraih handphone ku lalu yang terlintas dalam fikiranku saat itu adalah Putri, adik iparku.

‘put, kalo aku ga ada tolong jaga Syafia dan Yusuf untukku ya’ ku kirimkan pesan singkat pada Putri adik iparku, fikiranku kembali kalut, perasaanku tak menentu, sepertinya ini adalah akhir dari segalanya, akhir dari mimpi indah hidup bersama bahagia berdua selamaya.

Putri meneleponku, tapi aku tolak panggilannya.

Aku tak tau harus cerita apa, Aku tak tau langkah apa selanjutnya yang harus ku ambil.

Handphone ku berbunyi, pesan masuk dari Putri ‘Mbak kenapa?apa Mbak lagi sakit?’

‘Iya Aku sakit. Sakit hati karena mas mu. Aku akan pergi semtara waktu, Kutitipkan Syafia dan Yusuf ya, tolong jangan bilang sama Mama’ balasku.

Aku berfikir lagi untuk pergi, entah pergi dari rumah ini atau pergi dari dunia ini.

Aaaaaaahhhh......pikiranku sungguh kalut, Aku takut!!!

Aku takut menghadapi kenyataan dan masa depanku nanti, dan Aku takut bisa bertindak nekat dengan mengakhiri hidupku, Aku teringat mengakhiri hidup adalah dosa yang sungguh teramat besar dan jaminan nya neraka bagi semua pelakunya.

Akankah Aku sanggup menanggung siksa neraka yang tiada henti? Ataukah Aku harus berani dengan kenyataan di dunia ini bahwa Aku harus merelakan segalanya, mengakhiri mimpi indah sempurnaku?!

Rumahku kini tak seperti dulu, rumah yang tenang, penuh ketentraman dan penuh cinta. Kini gersang bagai neraka, mataku tak henti mengalirkan air mata, rasa sedih seakan enggan pergi jauh dariku, kulalui hari-hari tanpa ada lagi senyuman dibibirku, tak lagi aku bacakan dongeng cerita sebelum tidur bagi anak-anakku, aku lebih banyak diam membisu dan ku abaikan tugas-tugas harianku. Suamiku lah yang mengurusi Syafia dan Yusuf, suamiku pula yang membeli makanan dan mencuci piring juga menyapu, suamiku tak beranjak pergi dan bekerja dari rumah seakan masih memantau keadaanku. Badanku sehat, tapi jiwaku tidak. Ragaku di rumah ini, tapi jiwaku tidak. Aku tak mampu lagi berfikir, yang lebih banyak kulakukan adalah diam.

Tok tok tok......Ku dengar suara ketukan pintu, Aku bergegas membukakan pintu, Putri dan Ibu mertuaku datang berkunjung.

Aku kaget dan malu dengan keadaanku, Aku terlihat sangat kusut dengan daster lusuh dan rumah yang berantakan. Syafia tertidur setelah bermain dengan abinya, begitupun suamiku. Hanya Yusuf yang sedang merangkak dan mulai belajar berdiri, sendiri diantara mainan dan tubuh abi serta kakaknya.

“Eh Put, Ma,” sapaku singkat lalu meraih tangan Ibu mertuaku dan menciumnya lalu mempersilakan mereka masuk.

“Kamu lagi kurang sehat ya Nduk?” Tanya Ibu mertuaku sambil melangkah masuk kedalam rumah.

“Mbak maaf ya aku kasih tau Mama, habisnya Aku khawatir sama Mbak,” Ujar putri sambil memegang tanganku.

“Sebentar ya aku bangunkan Abi nya Syafia dan ambilkan minum,” kataku sambil mempersilakan Putri dan Ibu mertuaku duduk.

“Udah gak usah repot-repot, kamu duduk aja sini,” Pinta Ibu mertuaku

“Cerita sama Mama ada apa? Kamu sakit apa?” tanya Ibu mertuaku

Aku pun duduk di samping Mama dan Putri, aku ragu untuk bercerita tapi tak mungkin pula ku sembunyikan luka hati ini.

“Sebenernya aku kecewa, Abi nya Syafia minta nikah lagi Ma” kataku sambil berurai air mata

“Kamu yakin? Atau hanya prasangka kamu saja?” tanya Ibu mertuaku

Sementara Putri terdiam dengan ekspresi kaget seakan tak percaya

“Bener Ma, Put, kalau ga percaya boleh tanyakan saja sama Abi nya Syafia, beberapa hari terakhir ini dia selalu memintaku untuk merestuinya menikah lagi, Aku sudah menolak tapi berulang kali dia selalu memintaku memikirkannya,” Jawabku panjang lebar

“Aku ga sanggup Ma, lebih baik Aku yang mundur, Aku ga mau meneruskan pernikahan, Aku ga mau di madu Ma, Aku ga sanggup,” ungkapku dengan deraian air mata.

Suamiku datang dari arah kamar, rupanya Dia terbangun karena mendengar suaraku, Mama dan Putri.

“Eh Ma, Put, kapan datang?” Tanya suamiku basa-basi.

“Kamu duduk sini, sekarang kamu ceritakan sama Mama apa yang sebenarnya terjadi.” Pinta Ibu mertuaku pada suamiku.

Sepertinya suamiku mendengar percakapanku dengan mama dan Putri tadi, dengan wajah tegang tak berdosa dia pun menjawab,

“Ya....Aku cuma minta Dia merestui pernikahanku, Aku ingin menikah lagi Ma, Aku ga ingin melakukan pernikahan diam-diam dibelakangnya, kalau Dia setuju baru Aku akan minta restu dari Mama,” ujarnya dengan polos.

“Tapi AKU GAK MAU BERAPA KALI AKU HARUS BILANG!!!” Kataku dengan nada emosi, Air mata mulai mengalir lagi deras tak terbendung, Aku pun tak mampu mengontrol emosi yang membuncah, Aku membentak suamiku di depan Ibu dan Adik kandungnya.

Mama meminta Putri untuk membawaku ke kamar dan menemani sampai Aku tenang, sementara itu Mama menasihati dan menyampaikan ketidaksetujuannya dengan niat putra sulungnya itu.

“Kamu lihat gimana kondisi istrimu sekarang? Apa pernah Dia begini sebelumnya? Tidak, Mama tau Istrimu Istri yang baik dan sabar, tapi sesabar apapun, sebaik apapun seorang Istri dia ga akan mampu merelakan suaminya menjadi suami orang lain, Begitupun Mama. Kamu mungkin tau bagaimana sakitnya Mama atas ketidakadilan Ayah dalam berpoligami, sekarang kamu mau melakukan hal yang sama kepada Istrimu? Mama ga rela cucu-cucu Mama ikut menderita karena keinginanmu yang salah itu. Jangan pernah berfikir untuk menduakan dan menyakiti hati istrimu, Nduk!!!” sayup ku dengar suara Ibu mertuaku dari balik pintu kamar, ada perasaan lega karena Ibu mertua dan adik iparku berpihak padaku.

Putri meyakinkanku bahwa kakaknya tidak akan pernah menduakanku karena Putri dan Mama tidak setuju. Putri memintaku untuk tidak lagi bersedih dan melupakan semua kejadian ini, Putri ingin Aku kembali berfokus pada Syafia dan Yusuf.

Aku teringat bahwa Utari pernah mengirim pesan singkat padaku saat dia bertanya tentang pekerjaan paruh waktu yang suamiku tawarkan padanya beberapa waktu lalu. Aku punya nomor handphone nya. Aku putuskan untuk mengirim pesan singkat padanya agar tak lagi berfikir untuk menjadi maduku.

‘Assalamualaikum, Utari saya sudah mendengar niat suami saya untuk menjadikanmu istri keduanya, saya dan keluarga besar kami tidak akan membiarkan itu terjadi. Saya harap kamu bisa menerimanya.’ isi pesan singkatku pada Utari.

Diing.....Handphone ku berbunyi, pesan singkat balasan dari Utari.

‘Waalaikumsalam’ isi pesan singkat itu.

Dia tidak menjelaskan atau membalas apapun selain salam keselamatan dariku.

Aku menarik kesimpulan bahwa Utari menerimanya walau mungkin dengan kecewa, Ku dengar suamiku pun tak membantah ucapan dan nasehat ibunya, kuputuskan untuk move on dan bangkit, menjalani hari seperti sedia kala, poligami ini tak akan terjadi!!!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status