“Menurut kamu gimana Mi?” tanya suamiku dengan polos.
“Kenapa sih Bi?” aku bertanya balik, hanya satu kata itu yang mampu ku lontarkan.....kenapa??! Ribuan tanya lainnya berebut untuk keluar dari kepala ku tapi tak mampu keluar dari bibirku yang kelu dan mulai kaku karena rembesan air mata yang sengaja ku tampung.
“Aku tuh cuma ingin melindungi dan menjaga kehormatannya, bukankah poligami itu sunah?!” Ungkapnya.
“Sejak kapan Kamu mulai menyukainya dan berniat menikahinya? Apa saja yang sudah kamu perbuat dan kamu rencanakan dibelakangku? Apa yang membuatmu tertarik dengannya dan melupakan aku?” Satu persatu pertanyaan itu keluar seiring dengan tangisan yang mulai deras.
Suamiku hanya duduk terdiam mendengar semua tanya yang bertubi-tubi menyerangnya.
Aku kecewa dengan sikap diam nya, aku berfikir jauh dan menarik kesimpulan sendiri, aku berfikir bahwa mereka telah lama menjalin komunikasi yang intens dibelakangku, mungkin juga karena tiap hari bertemu di tempat kerja sehingga menumbuhkan benih-benih cinta antara mereka.
“Oke......kalau kamu mau menikahi nya, silahkan!!!” kata ku sambil berusaha tegar dan menyeka air mata. Wajah sumringah mulai nampak, senyum mulai mengembang di bibir suamiku.
“Tapi ceraikan Aku!!” Aku berkata dengan ragu-ragu, masih tak percaya rumah tangga yang ku jaga dan ku bina lebih dari 5 tahun ini, rumah tangga yang sempurna dan bahagia ternyata seketika ditimpa masalah sebesar ini yang tak mampu aku membaginya, menjanda lebih baik dari pada berbagi suami, fikirku saat itu.
Aku ingin menyendiri lagi di pojok sepi kamarku, aku mulai melangkah menjauh namun suamiku memegang erat tanganku.
“Bukan itu yang Aku inginkan, aku ingin menikahinya tapi tak ada niat aku untuk meninggalkanmu,” Ujar suamiku.
“Kalau begitu silahkan pilih, tetap menjadi suamiku dan melupakannya atau menjadi suaminya dan lupakan aku!!” Ujar ku dengan penuh emosi.
Ekor mataku tertuju pada Syafia dan Yusuf, sepertinya Syafia menyadari keributan yang terjadi antara umi dan abi nya, tetapi Syafia berusaha tetap bermain dan menjaga adiknya, Yusuf.
Aku bisa jadi ibu sekaligus ayah bagi kedua anakku, aku yakin aku mampu berjuang membesarkan anak-anakku tanpa suami, tapi aku takkan mampu memiliki madu.
Wajah sumringah itu kini berubah menjadi kaku, kecewa karena jawabanku masih tak sesuai harapannya.
“Apapun yang terjadi, aku akan selalu jadi suamimu. Kamu tetap istri yang paling aku cintai,” ungkap suamiku sambil berusaha memelukku.
Aku menjauh dari pelukannya, kata-kata nya tak mampu meluluhkan hatiku yang mengeras seperti batu.
Kudengar Yusuf menangis, aku menghampiri Yusuf dan Syafia dengan segera.
Ku gendong Yusuf lalu Syafia bertanya dengan mata berkaca-kaca,“Umi kenapa?”
Aku hanya mampu menggelengkan kepala dan membawa Yusuf ke kamar untuk menemaninya tidur siang, sementara kulihat suamiku menghampiri Syafia dan menghiburnya.
Aku memberi ASI kepada Yusuf dan berhasil membuatnya tertidur, kuraih handphone ku lalu yang terlintas dalam fikiranku saat itu adalah Putri, adik iparku.
‘put, kalo aku ga ada tolong jaga Syafia dan Yusuf untukku ya’ ku kirimkan pesan singkat pada Putri adik iparku, fikiranku kembali kalut, perasaanku tak menentu, sepertinya ini adalah akhir dari segalanya, akhir dari mimpi indah hidup bersama bahagia berdua selamaya.
Putri meneleponku, tapi aku tolak panggilannya.
Aku tak tau harus cerita apa, Aku tak tau langkah apa selanjutnya yang harus ku ambil.
Handphone ku berbunyi, pesan masuk dari Putri ‘Mbak kenapa?apa Mbak lagi sakit?’
‘Iya Aku sakit. Sakit hati karena mas mu. Aku akan pergi semtara waktu, Kutitipkan Syafia dan Yusuf ya, tolong jangan bilang sama Mama’ balasku.
Aku berfikir lagi untuk pergi, entah pergi dari rumah ini atau pergi dari dunia ini.
Aaaaaaahhhh......pikiranku sungguh kalut, Aku takut!!!
Aku takut menghadapi kenyataan dan masa depanku nanti, dan Aku takut bisa bertindak nekat dengan mengakhiri hidupku, Aku teringat mengakhiri hidup adalah dosa yang sungguh teramat besar dan jaminan nya neraka bagi semua pelakunya.
Akankah Aku sanggup menanggung siksa neraka yang tiada henti? Ataukah Aku harus berani dengan kenyataan di dunia ini bahwa Aku harus merelakan segalanya, mengakhiri mimpi indah sempurnaku?!
Rumahku kini tak seperti dulu, rumah yang tenang, penuh ketentraman dan penuh cinta. Kini gersang bagai neraka, mataku tak henti mengalirkan air mata, rasa sedih seakan enggan pergi jauh dariku, kulalui hari-hari tanpa ada lagi senyuman dibibirku, tak lagi aku bacakan dongeng cerita sebelum tidur bagi anak-anakku, aku lebih banyak diam membisu dan ku abaikan tugas-tugas harianku. Suamiku lah yang mengurusi Syafia dan Yusuf, suamiku pula yang membeli makanan dan mencuci piring juga menyapu, suamiku tak beranjak pergi dan bekerja dari rumah seakan masih memantau keadaanku. Badanku sehat, tapi jiwaku tidak. Ragaku di rumah ini, tapi jiwaku tidak. Aku tak mampu lagi berfikir, yang lebih banyak kulakukan adalah diam.
Tok tok tok......Ku dengar suara ketukan pintu, Aku bergegas membukakan pintu, Putri dan Ibu mertuaku datang berkunjung.
Aku kaget dan malu dengan keadaanku, Aku terlihat sangat kusut dengan daster lusuh dan rumah yang berantakan. Syafia tertidur setelah bermain dengan abinya, begitupun suamiku. Hanya Yusuf yang sedang merangkak dan mulai belajar berdiri, sendiri diantara mainan dan tubuh abi serta kakaknya.
“Eh Put, Ma,” sapaku singkat lalu meraih tangan Ibu mertuaku dan menciumnya lalu mempersilakan mereka masuk.
“Kamu lagi kurang sehat ya Nduk?” Tanya Ibu mertuaku sambil melangkah masuk kedalam rumah.
“Mbak maaf ya aku kasih tau Mama, habisnya Aku khawatir sama Mbak,” Ujar putri sambil memegang tanganku.
“Sebentar ya aku bangunkan Abi nya Syafia dan ambilkan minum,” kataku sambil mempersilakan Putri dan Ibu mertuaku duduk.
“Udah gak usah repot-repot, kamu duduk aja sini,” Pinta Ibu mertuaku
“Cerita sama Mama ada apa? Kamu sakit apa?” tanya Ibu mertuaku
Aku pun duduk di samping Mama dan Putri, aku ragu untuk bercerita tapi tak mungkin pula ku sembunyikan luka hati ini.
“Sebenernya aku kecewa, Abi nya Syafia minta nikah lagi Ma” kataku sambil berurai air mata
“Kamu yakin? Atau hanya prasangka kamu saja?” tanya Ibu mertuaku
Sementara Putri terdiam dengan ekspresi kaget seakan tak percaya
“Bener Ma, Put, kalau ga percaya boleh tanyakan saja sama Abi nya Syafia, beberapa hari terakhir ini dia selalu memintaku untuk merestuinya menikah lagi, Aku sudah menolak tapi berulang kali dia selalu memintaku memikirkannya,” Jawabku panjang lebar
“Aku ga sanggup Ma, lebih baik Aku yang mundur, Aku ga mau meneruskan pernikahan, Aku ga mau di madu Ma, Aku ga sanggup,” ungkapku dengan deraian air mata.
Suamiku datang dari arah kamar, rupanya Dia terbangun karena mendengar suaraku, Mama dan Putri.
“Eh Ma, Put, kapan datang?” Tanya suamiku basa-basi.
“Kamu duduk sini, sekarang kamu ceritakan sama Mama apa yang sebenarnya terjadi.” Pinta Ibu mertuaku pada suamiku.
Sepertinya suamiku mendengar percakapanku dengan mama dan Putri tadi, dengan wajah tegang tak berdosa dia pun menjawab,
“Ya....Aku cuma minta Dia merestui pernikahanku, Aku ingin menikah lagi Ma, Aku ga ingin melakukan pernikahan diam-diam dibelakangnya, kalau Dia setuju baru Aku akan minta restu dari Mama,” ujarnya dengan polos.
“Tapi AKU GAK MAU BERAPA KALI AKU HARUS BILANG!!!” Kataku dengan nada emosi, Air mata mulai mengalir lagi deras tak terbendung, Aku pun tak mampu mengontrol emosi yang membuncah, Aku membentak suamiku di depan Ibu dan Adik kandungnya.
Mama meminta Putri untuk membawaku ke kamar dan menemani sampai Aku tenang, sementara itu Mama menasihati dan menyampaikan ketidaksetujuannya dengan niat putra sulungnya itu.
“Kamu lihat gimana kondisi istrimu sekarang? Apa pernah Dia begini sebelumnya? Tidak, Mama tau Istrimu Istri yang baik dan sabar, tapi sesabar apapun, sebaik apapun seorang Istri dia ga akan mampu merelakan suaminya menjadi suami orang lain, Begitupun Mama. Kamu mungkin tau bagaimana sakitnya Mama atas ketidakadilan Ayah dalam berpoligami, sekarang kamu mau melakukan hal yang sama kepada Istrimu? Mama ga rela cucu-cucu Mama ikut menderita karena keinginanmu yang salah itu. Jangan pernah berfikir untuk menduakan dan menyakiti hati istrimu, Nduk!!!” sayup ku dengar suara Ibu mertuaku dari balik pintu kamar, ada perasaan lega karena Ibu mertua dan adik iparku berpihak padaku.
Putri meyakinkanku bahwa kakaknya tidak akan pernah menduakanku karena Putri dan Mama tidak setuju. Putri memintaku untuk tidak lagi bersedih dan melupakan semua kejadian ini, Putri ingin Aku kembali berfokus pada Syafia dan Yusuf.
Aku teringat bahwa Utari pernah mengirim pesan singkat padaku saat dia bertanya tentang pekerjaan paruh waktu yang suamiku tawarkan padanya beberapa waktu lalu. Aku punya nomor handphone nya. Aku putuskan untuk mengirim pesan singkat padanya agar tak lagi berfikir untuk menjadi maduku.
‘Assalamualaikum, Utari saya sudah mendengar niat suami saya untuk menjadikanmu istri keduanya, saya dan keluarga besar kami tidak akan membiarkan itu terjadi. Saya harap kamu bisa menerimanya.’ isi pesan singkatku pada Utari.
Diing.....Handphone ku berbunyi, pesan singkat balasan dari Utari.
‘Waalaikumsalam’ isi pesan singkat itu.
Dia tidak menjelaskan atau membalas apapun selain salam keselamatan dariku.
Aku menarik kesimpulan bahwa Utari menerimanya walau mungkin dengan kecewa, Ku dengar suamiku pun tak membantah ucapan dan nasehat ibunya, kuputuskan untuk move on dan bangkit, menjalani hari seperti sedia kala, poligami ini tak akan terjadi!!!
Setelah kunjungan Ibu mertua dan Putri kemarin, suamiku menjadi lebih pendiam. Sebelumnya dia memang pendiam, tapi kali ini dia sungguh lebih diam.Apakah dia merasa bersalah? Apakah dia menyadari keinginannya untuk menikahi Utari sangat menyakiti hatiku? Apakah kini dia tak akan memaksaku untuk merestui niat nya berpoligami?Aku memutuskan untuk berusaha bangkit dan melupakan pertengkaran kami kemarin, aku berusaha kembali menjadi seperti sebelumnya, menjadi istri yang melayani segala keperluan suamiku, menjadi ibu yang merawat kedua anak-anakku dan mengurus rumah demi Syafia dan Yusuf.Suamiku mulai berangkat bekerja lagi, tapi dia tak menyentuh sedikitpun kopi dan sarapan yang telah kusediakan.“Bi, kopinya ga diminum?” tanyaku“Nanti aja,” jawabnya singkat sambil melangkah menuju pintu. Aku mengejarnya untuk meraih tangannya dan ku cium.Biasanya sebelum pergi bekerja, Aku mengantar suamiku ke depan pintu, mencium
Sudah hampir seminggu, hubunganku dengan suamiku belum kembali seperti semula, aku yang kini berusaha menghangatkan kembali hubungan kami namun dia nampak masih acuh tak acuh padaku.Aku mulai tak tahan, biarlah kini aku yang mengalah dan bersimpuh meminta maaf padanya, mungkin beberapa waktu lalu aku bersikap berlebihan dan menyakiti hatinya, dan jika bukan demi Syafia dan Yusuf mungkin aku pun akan tetap bertahan dengan keangkuhan dan egoku, tapi tadak.....aku tak ingin anak-anakku menjadi korban dalam perselisihan ini. Ikatan antara ibu dan anak benar adanya, beberapa hari terakhir ini si kecil Yusuf menjadi lebih rewel, sering menangis tanpa sebab dan tampak gelisah, begitu pun Syafia dia tampak agak murung tak seriang biasanya. Aku ingin kembali menghadirkan senyuman dan canda tawa dirumah ini, menjemput kembali sakinnah mawaddah warrahmah dalam kehidupan rumah tanggaku seperti sebelumnya. Ku coba melawan ego dan legowo untuk meminta maaf pada suamiku.“Yang
Bab 8 Penerimaan “Baik, tapi ijinkan aku mencari tau yang sebenar-benarnya dan seperti apa sosok Utari,” pintaku “Memang itu yang aku harapkan, aku tidak berselingkuh di belakangmu, aku tidak pernah berdua-dua an seperti yang kamu fikirkan, aku ingin kamu yang mencari tau tentang Utari dan mencoba membuka wawasan tentang poligami. Jangan berfikiran sempit, bukankah dalam surat an nisa ayat 3 dijelaskan bahwa...dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat,” ujar suamiku mengutip sebagian terjemahan surat an nisa ayat 3 “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, jangan lupa sambungan ayat lengkap nya!!!” seru ku tak mau kalah. “In shaa Allah aku akan berlaku adil,” ujar suami ku dengan rasa penuh percaya diri. “Apa sih alasan
“Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatu,” sapa ustadzah kepada ibu-ibu yang hadir pengajian rutin mingguan di komplek perumahan tempat tinggal ku.“Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarokatu,” jawab ibu-ibu komplek yang hadir, sekitar 15 orang termasuk aku yang duduk di pojok mushola sambil menggendong Yusuf dipangkuanku.Seperti biasa, sambil menunggu Syafia pulang sekolah Taman kanak-kanak, aku membawa Yusuf ke pengajian rutin di mushola komplek rumah kami, lokasi nya tidak jauh dari TK Syafia. Dari hari senin sampai jumat selalu ada ustadzah yang bergantian mengisi acara pengajian rutin tersebut, tema nya pun berbeda setiap hari, mulai dari parenting, rumah tangga ala nabi, fiqih wanita, tahsin atau memperbaiki bacaan alquran dah tadarus alquran. Biasa nya 2 atau tiga kali dalam sepekan aku menyempatkan menghadiri pengajian rutin tersebut, selain ingin memperbaiki bacaan alquran, mempelajari ilmu agama, bersilaturahim dengan tetangga juga
Setelah bu ustadzah Hilya pulang, kata-kata nya seakan tak ikut bersamanya, kata-katanya terngiang di telingaku dan menyadarkan kesalahanku. Terlebih ketika beliau bercerita tentang kisah nabi Muhammad SAW yang sempat mengharamkan madu untuk beliau minum, kala itu beliau meminum madu dari rumah Zainab salah satu isterinya lalu menceritakan betapa nikmat nya madu tersebut kepada Aisyah, Rasulullah juga menceritakan betapa lezat madu tersebut saat bersama Hafsoh, istreri nya yang lain, lalu karena beliau berulang kali mengulang dan memuji madu yang di hidangkan Zainab maka ketika Rasulullah kembali dari rumah Zainab, Aisyah sang isteri pun menyinggung soal madu, begitupun Hafsoh yang bertanya ‘bagaimana madu nya Zainab?’ Rasulullah menyadari bahwa kedua isterinya cemburu maka beliau berkata tidak akan meminum madu lagi, kemudian turunlah firmam Allah surat at tahrim ayat 1يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَ
“Sebelumnya saya minta maaf Bu, jadi beberapa waktu lalu saya minta tolong Bapak untuk barangkali punya kenalan bujang atau duda yang sedang mencari pasangan, seperti yang Ibu ketahui bahwa Utari anak saya itu janda, saya ingin dia cepet nikah lagi Bu, saya sedih melihat Utari di usia muda nya ini harus jadi single parent untuk anaknya,” ujar bu Jelita dengan mata berkaca“Sekali lagi saya minta maaf, saya tidak bermagsud menjodohkan Utari dengan bapak, saya hanya meminta bantuan bapak untuk mencarikan jodoh buat putri saya Utari,” sambung bu Jelita kini dengan nada gemetar dan sedikit takut. Mungkin bu Jelita berfikir aku akan marah atau kedatanganku untuk memaki anaknya.Tak lama datang seorang bapak paruh baya masuk ke dalam rumah sambil bergegas dan mengucap salam, ia tampak bingung dan terengah-engah karena berjalan separuh berlari. Bapak itu kemudian duduk di samping bu Jelita.“Ada apa ya Bu?” tanya bapak itu kepada bu
Air mata mulai mengalir di pipiku, aku tak lagi malu untuk menyembunyikan perasaanku, bu Jelita menyodorkan segelas air putih kepadaku.“Ini bu diminum dulu airnya,” ucap bu Jelita“Terimakasih bu,” jawabku sambil menegak air putih di gelas itu dan menyeka air mataku.“Maaf Pak, Bu, saya sebenarnya sangat terkejut dengan permintaan suami saya ini, saya kesini pun atas ijin suami saya untuk mengenal keluarga Utari sebelum mungkin melamar Utari secara resmi, jujur hati saya masih merasa berat melakukan ini,” ucapku sambil menahan rasa sedihku.“Mohon maaf bu kalau boleh tau, kira-kira kapan bapak mau melamar Utari secara resmi?” tanya pak Somad kepadaku.“Karena sebenarnya ada seorang lelaki teman nya Utari, akhir-akhir ini sering datang antar jemput Utari dan kadang tanpa sepengetahuan kami mereka sering bertemu diluar, saya tidak enak sama tetangga khawatir jadi fitnah, makadari itu saya berhara
Benar kata orang yang bilang ‘Cintailah kekasihmu sekedarnya saja karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi musuhmu dan bencilah musuhmu sekedarnya saja bisa jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu’ Mungkin aku terlalu mencintai suamiku, menganggapnya malaikat yang dikirim Tuhan hanya untukku, membahagiakan aku di dunia ini dan suatu saat bersama lagi di surga, suami sempurna tanpa cela yang ternyata kini menorehkan luka yang teramat dalam. Sepanjang jalan pulang dalam kereta, tak terasa aku menitikan air mata, teringat masa dimana dulu sebelum aku memutuskan untuk menikahi suamiku, bahkan lebih jauh lagi, aku teringat pada masa remajaku dimana saat itu orangtua ku terus bertengkar tiada henti dan akhirnya memutuskan untuk berpisah, mereka sempat bertanya aku akan ikut siapa, sempat terombang-ambing sekian waktu ikut mama dan lalu tinggal bersama ayah dan ibu sambung hingga akhirnya aku putuskan untuk tinggal sendiri di sebuah kost kecil dengan alasan dekat dengan